Jemaah haji dianggap berbahaya. Pemerintah kolonial mengaturnya dengan berbagai resolusi.
Guna mempelajari Islam, Christian Snouck Hurgronje masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dia tinggal di Mekah dari Februari sampai Agustus 1885, selanjutnya ke Jedah dan kembali ke Belanda pada 1886. Kemampuannya yang mumpuni perihal Islam membuat Snouck diangkat menjadi penasihat (adviseur) untuk masalah-masalah pribumi dan Arab. Dia tiba di Hindia Belanda pada 1889.
“Dengan kedatangan Snouck Hurgronje di Hindia Belanda pengetahuan kita tentang Islam dimulai. Dimulai!” demikian pernyataan Charles O. van der Plas, penasihat Belanda untuk urusan pribumi yang ahli soal Islam dan fasih bahasa Arab.
Snouck mengkritik politik haji berupa sikap keras dan pengawasan ketat terhadap jemaah haji hanya karena takut fanatisme agama dapat mengancam pemerintah kolonial. Sejatinya, Snouck juga melihat bahaya besar dari jemaah haji yang menetap di Mekah (mukim). “Di Mekah yang merupakan pusat internasional Islam, para mukim ini berkenalan dengan gagasan-gagasan Pan-Islam yang berpengaruh negatif pada sikap mereka terhadap penguasa kolonial,” tulis antropolog Jacob Vredenbregt, “Ibadah Haji, Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia,” termuat dalam Indonesia dan Haji. Tapi, menurut Snouck, sebagian besar jemaah haji tak akan menjadi fanatik karena masa 5-6 bulan di Mekah lebih banyak digunakan untuk ibadah. Selain itu, para syekh yang menangani jemaah haji itu repot mengurus dan mengatur jemaah haji untuk beribadah.
Snouck yakin para jemaah haji kembali ke tanah airnya tanpa membawa apa-apa kecuali sedikit pengalaman. Besar-kecilnya pengetahuan dan fanatisme mereka tetap sama seperti ketika mereka masih berada di tempat semula.
Kebijakan yang Berubah-ubah
Perlakuan keras terhadap jemaah haji telah dilakukan sejak masa Kongsi Dagang Belanda (VOC). Pada 1664 misalnya, VOC membuang tiga haji asal Bugis yang baru tiba dari Mekah ke Tanjung Harapan. Alasannya, kedatangan mereka akan berakibat buruk. Tak diketahui pasti mengenai ketiga orang Bugis itu. “Tapi besar kemungkinan mereka murid dan pengikut Syekh Yusuf Makassar,” tulis M. Shaleh Putuhena, guru besar sejarah dan kebudayaan UIN Alauddin Makassar, dalam Historiografi Haji Indonesia.
Syekh Yusuf sendiri kabur ke Banten dan bersama Sultan Ageng Tirtayasa berperang melawan Abdul Qahhar atau Sultan Haji, putra Tirtayasa, yang didukung VOC hingga akhirnya ditangkap dan dibuang ke Afrika Selatan.
Kepada sekutunya, VOC memberi keleluasaan. Pada 1667, misalnya, atas permintaan Sultan Haji, VOC memberikan izin kepada sejumlah calon jemaah haji dari Banten. Menurut Dadi Darmadi, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sikap dan kebijakan VOC kerap berubah-ubah. Sekali waktu VOC melarang kapal-kapalnya mengangkut jemaah haji sesuai aturan Besluit van 4 Agustus 1716, tapi pada kesempatan lain membolehkannya, dengan persetujuan dan perjanjian dengan penguasa setempat.
“Seperti diketahui VOC menerapkan strategi dagang dan perang yang berbeda-beda ketika menghadapi penguasa lokal di berbagai wilayah Nusantara,” ujar Dadi.
Tujuan utama VOC adalah keamanan kekuasaan mereka dan ketentraman negeri. “Mereka mengaturnya demi keuntungan sistem monopoli dan ambisinya untuk menguasai semua pengapalan,” tulis Vredenbregt.
Ketika Inggris mengambil-alih kekuasaan Belanda, yang lagi diduduki Prancis, Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles menganggap perjalanan haji sebagai bahaya politik. Raffles mengemukakan: “Setiap orang Arab dari Mekah, maupun setiap orang Jawa yang kembali dari ibadah haji, di Jawa berlagak sebagai orang suci. Karena mereka begitu dihormati, tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar berontak. ‘Pendeta Islam itu’ ternyata hampir selalu merupakan golongan paling aktif dalam setiap pemberontakan.”
Pada 1811, lewat surat edaran, pemerintah Inggris mengingatkan penduduk terhadap para “Sayid” (orang Arab) atau “pendeta pribumi” (haji) dan menyebut mereka sebagai sebagai penghasut.”
Kekuasaan Inggris hanya bertahan empat tahun. Tak ada kebijakan haji yang sempat dibikin.
Resolusi Haji
Setelah VOC dibubarkan pada 1798, pemerintah kolonial Belanda meneruskan perlakukan VOC. Mereka tetap menaruh syak wasangka terhadap jemaah haji. “Para jemaah haji yang pulang dari Mekah dicurigai sebagai orang-orang fanatik yang berbahaya bagi kepentingan mereka,” kata Dadi.
Perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada pertengahan abad ke-19, terutama Perang Padri dan Perang Diponegoro, menimbulkan kesan adanya haji fanatik. Karenanya, untuk mengantisipasi “gerakan” dari orang-orang yang telah berhaji atau yang bisa menumbuhkan fanatisme agama, pemerintah membuat berbagai peraturan terkait pelaksanaan haji. Lahirlah Resolusi tahun 1825.
Kemunculan Resolusi ini bermula setelah adanya surat dari Residen Batavia yang melaporkan sekira 200 calon jemaah haji mengajukan permohonan paspor. Hal itu membuat Residen dan pemerintah kolonial cemas.
Resolusi tersebut diarahkan untuk membatasi haji sebanyak mungkin. Caranya, ditetapkan biaya paspor f.110, jumlah yang besar pada masa itu, dan melalui “surat-surat rahasia” kepada para residen di Jawa supaya menggunakan pengaruhnya untuk membendung semangat berlebih penduduk untuk naik haji. Jemaah haji yang tak memiliki paspor didenda sebesar f.1.000. Ketentuan ini hanya berlaku untuk residen Jawa dan Madura, tapi lima tahun kemudian juga berlaku untuk residen Palembang.
Banyak jemaah haji yang menghindari paspor karena biayanya sangat mahal, dan berangkat melalui Sumatra. “Sebagian jemaah haji mengambil pas-jalan (paspor) untuk ke Singapura, Penang, atau Bombay, dan dari sana langsung ke Jedah,” tulis Shaleh.
Pertimbangan tersebut mendorong lahirnya Resolusi tahun 1831. Dalam resolusi ini paspor tetap diwajibkan, tapi dendanya diganti menjadi dua kali harga paspor.
Pada 1852, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Albertus J. Duymaer van Twist mencabut Resolusi tahun 1825 dan 1831 serta menggantinya dengan resolusi baru: paspor haji masih diwajibkan tapi denda dihapuskan. Pencabutan ini karena pajak dianggap kian membebani jemaah haji yang sudah berat dengan biaya paspor. Pada saat yang sama, Van Twist menginstruksikan para kepala pemerintahan daerah di Jawa, Palembang, dan pesisir barat Sumatra agar “mengawasi dengan bijaksana tindakan-tindakan para haji dan memberi laporan tentang mereka bila mengajukan daftar orang-orang yang telah berangkat ke Mekah atau kembali dari Mekah.”
Ketika kebijakan itu tak berjalan efektif, tulis sejarawan M. Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial, pemerintah kolonial mengeluarkan Resolusi 1859. “Latar belakang ordonansi ini karena banyak penyalahgunaan gelar haji dan ada sebagian jemaah haji yang tidak kembali ke tanah air. Akibatnya menimbulkan masalah sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan,” catat Dien Majid.
Selain itu, Pemberontakan Sepoy yang dilakukan umat Muslim India terhadap kolonial Inggris pada 1857 menambah keyakinan penguasa kolonial Belanda akan adanya haji fanatik. “Salah satu pengaruh pemberontakan itu adalah dikeluarkan Ordonansi 6 Juli 1859,” tulis Shaleh.
Resolusi 1859 mengharuskan calon jemaah haji mempunyai surat keterangan dari bupati bahwa dia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang-pergi dan nafkah keluarga yang ditinggalkan. Sekembalinya dari Mekah, jemaah haji harus menjalani ujian untuk membuktikan mereka benar-benar mengunjungi Mekah. Bila lulus ujian, barulah mereka bisa menyandang gelar haji dan memakai busana haji. Dalam resolusi ini juga disebutkan bahwa jemaah haji yang memegang pasor harus meminta visa jika Konsulat Belanda telah didirikan. Konsulat Belanda itu baru didirikan di Jedah pada 1872.
Resolusi 1859, catat Dien Majid, bertujuan untuk mempertegas peraturan-peraturan sebelumnya yang pelaksanaannya belum optimal sehingga tak menekan jumlah jemaah haji. “Ini dapat diketahui dari tingginya keinginan masyarakat Islam Nusantara pergi naik haji setiap tahun semakin bertambah jumlahnya,” catat Dien Majid. Pada 1850, misalnya, jemaah haji hanya berjumlah 74 orang, namun lima tahun kemudian meningkat menjadi 1.668 orang --860 orang di antaranya bermukim di Mekah.
Mengenai ujian, Snouck menyatakan ketidaksetujuannya. Sudah menjadi kebiasaan seorang yang kembali dari ibadah haji untuk menceritakan pengalamannya kepada orang sekampung. Dengan begitu, ujian haji sesungguhnya telah dilaksanakan. Nyatanya, ujian haji versi pemerintah kolonial sulit dilaksanakan.
“Snouck Hurgronje mengakui bahwa kekerasan, pencegahan, dan pengawasan ketat terhadap jemaah haji selama ini tak akan berhasil karena melanggar prinsip kebebasan agama,” tulis Shaleh.
Umumnya, rekomendasi Snouck dilaksanakan pemerintah kolonial, kecuali ketika ordonansi haji tahun 1922 diberlakukan yang mewajibkan setiap jemaah haji memiliki karcis pulang-pergi. “Dengan tindakan tersebut mereka menyerah sama sekali terhadap tekanan yang dilakukan perusahaan-perusahaan pelayaran Belanda puluhan tahun lamanya,” tulis Vredenbregt.
Pecahnya berbagai pemberontakan pada 1926, di mana para haji terlibat, mendorong lahirnya surat keputusan tahun 1928. Kebijakan ini memungkinkan pemerintah menolak paspor perjalanan calon haji yang dicurigai akan bepergian ke Mekah dengan maksud melakukan agitasi di sana melawan pemerintah kolonial.
Menurut Vredenbregt, di sisa tahun sebelum invasi Jepang, sikap pemerintah kolonial terhadap haji tak mengalami perubahan mendasar dari apa yang telah dirumuskan dalam Resolusi tahun 1922 dan surat edaran 1928.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Jemaah haji di Pulau Onrust, 1930. (Foto: ANRI).
Guna mempelajari Islam, Christian Snouck Hurgronje masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dia tinggal di Mekah dari Februari sampai Agustus 1885, selanjutnya ke Jedah dan kembali ke Belanda pada 1886. Kemampuannya yang mumpuni perihal Islam membuat Snouck diangkat menjadi penasihat (adviseur) untuk masalah-masalah pribumi dan Arab. Dia tiba di Hindia Belanda pada 1889.
“Dengan kedatangan Snouck Hurgronje di Hindia Belanda pengetahuan kita tentang Islam dimulai. Dimulai!” demikian pernyataan Charles O. van der Plas, penasihat Belanda untuk urusan pribumi yang ahli soal Islam dan fasih bahasa Arab.
Snouck mengkritik politik haji berupa sikap keras dan pengawasan ketat terhadap jemaah haji hanya karena takut fanatisme agama dapat mengancam pemerintah kolonial. Sejatinya, Snouck juga melihat bahaya besar dari jemaah haji yang menetap di Mekah (mukim). “Di Mekah yang merupakan pusat internasional Islam, para mukim ini berkenalan dengan gagasan-gagasan Pan-Islam yang berpengaruh negatif pada sikap mereka terhadap penguasa kolonial,” tulis antropolog Jacob Vredenbregt, “Ibadah Haji, Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia,” termuat dalam Indonesia dan Haji. Tapi, menurut Snouck, sebagian besar jemaah haji tak akan menjadi fanatik karena masa 5-6 bulan di Mekah lebih banyak digunakan untuk ibadah. Selain itu, para syekh yang menangani jemaah haji itu repot mengurus dan mengatur jemaah haji untuk beribadah.
Snouck yakin para jemaah haji kembali ke tanah airnya tanpa membawa apa-apa kecuali sedikit pengalaman. Besar-kecilnya pengetahuan dan fanatisme mereka tetap sama seperti ketika mereka masih berada di tempat semula.
Kebijakan yang Berubah-ubah
Perlakuan keras terhadap jemaah haji telah dilakukan sejak masa Kongsi Dagang Belanda (VOC). Pada 1664 misalnya, VOC membuang tiga haji asal Bugis yang baru tiba dari Mekah ke Tanjung Harapan. Alasannya, kedatangan mereka akan berakibat buruk. Tak diketahui pasti mengenai ketiga orang Bugis itu. “Tapi besar kemungkinan mereka murid dan pengikut Syekh Yusuf Makassar,” tulis M. Shaleh Putuhena, guru besar sejarah dan kebudayaan UIN Alauddin Makassar, dalam Historiografi Haji Indonesia.
Syekh Yusuf sendiri kabur ke Banten dan bersama Sultan Ageng Tirtayasa berperang melawan Abdul Qahhar atau Sultan Haji, putra Tirtayasa, yang didukung VOC hingga akhirnya ditangkap dan dibuang ke Afrika Selatan.
Kepada sekutunya, VOC memberi keleluasaan. Pada 1667, misalnya, atas permintaan Sultan Haji, VOC memberikan izin kepada sejumlah calon jemaah haji dari Banten. Menurut Dadi Darmadi, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sikap dan kebijakan VOC kerap berubah-ubah. Sekali waktu VOC melarang kapal-kapalnya mengangkut jemaah haji sesuai aturan Besluit van 4 Agustus 1716, tapi pada kesempatan lain membolehkannya, dengan persetujuan dan perjanjian dengan penguasa setempat.
“Seperti diketahui VOC menerapkan strategi dagang dan perang yang berbeda-beda ketika menghadapi penguasa lokal di berbagai wilayah Nusantara,” ujar Dadi.
Tujuan utama VOC adalah keamanan kekuasaan mereka dan ketentraman negeri. “Mereka mengaturnya demi keuntungan sistem monopoli dan ambisinya untuk menguasai semua pengapalan,” tulis Vredenbregt.
Ketika Inggris mengambil-alih kekuasaan Belanda, yang lagi diduduki Prancis, Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles menganggap perjalanan haji sebagai bahaya politik. Raffles mengemukakan: “Setiap orang Arab dari Mekah, maupun setiap orang Jawa yang kembali dari ibadah haji, di Jawa berlagak sebagai orang suci. Karena mereka begitu dihormati, tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar berontak. ‘Pendeta Islam itu’ ternyata hampir selalu merupakan golongan paling aktif dalam setiap pemberontakan.”
Pada 1811, lewat surat edaran, pemerintah Inggris mengingatkan penduduk terhadap para “Sayid” (orang Arab) atau “pendeta pribumi” (haji) dan menyebut mereka sebagai sebagai penghasut.”
Kekuasaan Inggris hanya bertahan empat tahun. Tak ada kebijakan haji yang sempat dibikin.
Resolusi Haji
Setelah VOC dibubarkan pada 1798, pemerintah kolonial Belanda meneruskan perlakukan VOC. Mereka tetap menaruh syak wasangka terhadap jemaah haji. “Para jemaah haji yang pulang dari Mekah dicurigai sebagai orang-orang fanatik yang berbahaya bagi kepentingan mereka,” kata Dadi.
Perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada pertengahan abad ke-19, terutama Perang Padri dan Perang Diponegoro, menimbulkan kesan adanya haji fanatik. Karenanya, untuk mengantisipasi “gerakan” dari orang-orang yang telah berhaji atau yang bisa menumbuhkan fanatisme agama, pemerintah membuat berbagai peraturan terkait pelaksanaan haji. Lahirlah Resolusi tahun 1825.
Kemunculan Resolusi ini bermula setelah adanya surat dari Residen Batavia yang melaporkan sekira 200 calon jemaah haji mengajukan permohonan paspor. Hal itu membuat Residen dan pemerintah kolonial cemas.
Resolusi tersebut diarahkan untuk membatasi haji sebanyak mungkin. Caranya, ditetapkan biaya paspor f.110, jumlah yang besar pada masa itu, dan melalui “surat-surat rahasia” kepada para residen di Jawa supaya menggunakan pengaruhnya untuk membendung semangat berlebih penduduk untuk naik haji. Jemaah haji yang tak memiliki paspor didenda sebesar f.1.000. Ketentuan ini hanya berlaku untuk residen Jawa dan Madura, tapi lima tahun kemudian juga berlaku untuk residen Palembang.
Banyak jemaah haji yang menghindari paspor karena biayanya sangat mahal, dan berangkat melalui Sumatra. “Sebagian jemaah haji mengambil pas-jalan (paspor) untuk ke Singapura, Penang, atau Bombay, dan dari sana langsung ke Jedah,” tulis Shaleh.
Pertimbangan tersebut mendorong lahirnya Resolusi tahun 1831. Dalam resolusi ini paspor tetap diwajibkan, tapi dendanya diganti menjadi dua kali harga paspor.
Pada 1852, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Albertus J. Duymaer van Twist mencabut Resolusi tahun 1825 dan 1831 serta menggantinya dengan resolusi baru: paspor haji masih diwajibkan tapi denda dihapuskan. Pencabutan ini karena pajak dianggap kian membebani jemaah haji yang sudah berat dengan biaya paspor. Pada saat yang sama, Van Twist menginstruksikan para kepala pemerintahan daerah di Jawa, Palembang, dan pesisir barat Sumatra agar “mengawasi dengan bijaksana tindakan-tindakan para haji dan memberi laporan tentang mereka bila mengajukan daftar orang-orang yang telah berangkat ke Mekah atau kembali dari Mekah.”
Ketika kebijakan itu tak berjalan efektif, tulis sejarawan M. Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial, pemerintah kolonial mengeluarkan Resolusi 1859. “Latar belakang ordonansi ini karena banyak penyalahgunaan gelar haji dan ada sebagian jemaah haji yang tidak kembali ke tanah air. Akibatnya menimbulkan masalah sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan,” catat Dien Majid.
Selain itu, Pemberontakan Sepoy yang dilakukan umat Muslim India terhadap kolonial Inggris pada 1857 menambah keyakinan penguasa kolonial Belanda akan adanya haji fanatik. “Salah satu pengaruh pemberontakan itu adalah dikeluarkan Ordonansi 6 Juli 1859,” tulis Shaleh.
Resolusi 1859 mengharuskan calon jemaah haji mempunyai surat keterangan dari bupati bahwa dia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang-pergi dan nafkah keluarga yang ditinggalkan. Sekembalinya dari Mekah, jemaah haji harus menjalani ujian untuk membuktikan mereka benar-benar mengunjungi Mekah. Bila lulus ujian, barulah mereka bisa menyandang gelar haji dan memakai busana haji. Dalam resolusi ini juga disebutkan bahwa jemaah haji yang memegang pasor harus meminta visa jika Konsulat Belanda telah didirikan. Konsulat Belanda itu baru didirikan di Jedah pada 1872.
Resolusi 1859, catat Dien Majid, bertujuan untuk mempertegas peraturan-peraturan sebelumnya yang pelaksanaannya belum optimal sehingga tak menekan jumlah jemaah haji. “Ini dapat diketahui dari tingginya keinginan masyarakat Islam Nusantara pergi naik haji setiap tahun semakin bertambah jumlahnya,” catat Dien Majid. Pada 1850, misalnya, jemaah haji hanya berjumlah 74 orang, namun lima tahun kemudian meningkat menjadi 1.668 orang --860 orang di antaranya bermukim di Mekah.
Mengenai ujian, Snouck menyatakan ketidaksetujuannya. Sudah menjadi kebiasaan seorang yang kembali dari ibadah haji untuk menceritakan pengalamannya kepada orang sekampung. Dengan begitu, ujian haji sesungguhnya telah dilaksanakan. Nyatanya, ujian haji versi pemerintah kolonial sulit dilaksanakan.
“Snouck Hurgronje mengakui bahwa kekerasan, pencegahan, dan pengawasan ketat terhadap jemaah haji selama ini tak akan berhasil karena melanggar prinsip kebebasan agama,” tulis Shaleh.
Umumnya, rekomendasi Snouck dilaksanakan pemerintah kolonial, kecuali ketika ordonansi haji tahun 1922 diberlakukan yang mewajibkan setiap jemaah haji memiliki karcis pulang-pergi. “Dengan tindakan tersebut mereka menyerah sama sekali terhadap tekanan yang dilakukan perusahaan-perusahaan pelayaran Belanda puluhan tahun lamanya,” tulis Vredenbregt.
Pecahnya berbagai pemberontakan pada 1926, di mana para haji terlibat, mendorong lahirnya surat keputusan tahun 1928. Kebijakan ini memungkinkan pemerintah menolak paspor perjalanan calon haji yang dicurigai akan bepergian ke Mekah dengan maksud melakukan agitasi di sana melawan pemerintah kolonial.
Menurut Vredenbregt, di sisa tahun sebelum invasi Jepang, sikap pemerintah kolonial terhadap haji tak mengalami perubahan mendasar dari apa yang telah dirumuskan dalam Resolusi tahun 1922 dan surat edaran 1928.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar