Akhir-akhir inipun, perdebatan masalah gender kembali mengemuka, kini dalam bentuk “RUU KKG” (Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender). Dalam bahasa yang berbeda, sesungguhnya yang ‘diperjuangkan’ itu-itu juga. Bahkan, kini ada tambahan isu yaitu hak untuk menikah sesama jenis (meski tidak eksplisit, tapi ada pasal karet dalam RUU KKG yang membuka celah bagi pengesahan perkawinan para homoseks).
Dulu, sekitar bulan Oktober tahun 2004, masyarakat Indonesia diramaikan oleh kontroversi Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun oleh Departemen Agama RI dalam tim khusus bernama Tim Pengarusutamaan Jender. Tim yang dibiayai oleh The Asia Foundation (yang konon punya link dengan Zionisme Internasional) ini menawarkan rumusan baru fiqih Islam yang diselaraskan dengan karakteristik demokrasi dan pluralisme. Di antara pasal-pasal “pembaharuan” yang mereka susun adalah: asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), perempuan bisa menjadi saksi sebagaimana laki-laki (pasal 11), calon istri bisa memberikan mahar (pasal 16), perkawinan beda agama diperbolehkan (pasal 54), bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama (pasal 8 ayat 3), dan anak di luar nikah (zina) yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya (pasal 16 ayat 2). Meskipun pelaksanaan dari draft KHI rancangan Depag ini terjegal oleh kritikan keras dari berbagai ormas-ormas Islam, namun kasus ini seolah menjadi bukti bahwa isu-isu jender dan feminisme memang tak akan berhenti dibicarakan.
Akhir-akhir inipun, perdebatan masalah gender kembali mengemuka, kini dalam bentuk “RUU KKG” (Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender). Dalam bahasa yang berbeda, sesungguhnya yang ‘diperjuangkan’ itu-itu juga. Bahkan, kini ada tambahan isu yaitu hak untuk menikah sesama jenis (meski tidak eksplisit, tapi ada pasal karet dalam RUU KKG yang membuka celah bagi pengesahan perkawinan para homoseks).
Sepanjang sejarah kontemporer, silih berganti muncul wacana baru, diskursus baru, sudut pandang baru, yang intinya sama, yaitu memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas atau dianggap tertindas. Kata feminisme seolah menjadi sebuah kata yang melambangkan kemodernan dan kemandirian perempuan. Gerakan untuk mengangkat harkat perempuan, yang diberi label gerakan feminisme, seolah menjadi sebuah isu atau gerakan yang bernilai jual tinggi. Yang mendanai proyek-proyek inipun lembaga-lembaga donor Barat yang konon ingin memperbaiki kondisi masyarakat dunia.
Sebenarnya apakah feminisme itu? Secara umum, feminisme adalah gerakan untuk mencapai kesetaraan politik, sosial, dan pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Gerakan ini muncul pertama kali di Eropa dan AS. Pada abad ke-18, kaum perempuan di sana masih dilarang untuk mengikuti pemilu, memperoleh pendidikan tinggi, atau menerjuni profesi-profesi tertentu (misalnya, Elizabeth Blackwill, dokter wanita pertama di dunia yang lulus kuliah tahun 1849, sempat diboikot teman-temannya dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran). Isu-isu yang dikemukakan oleh para feminis Eropa dan AS antara lain adalah hak untuk bekerja di luar rumah, hak untuk mendapatkan pendidikan, kesamaan kewajiban untuk mendidik anak (jadi, tugas mendidik anak tidak hanya dibebankan kepada perempuan saja), hak menggunakan kontrasepsi dan melakukan aborsi, kesetaraan gaji dengan laki-laki, perubahan peran dalam keluarga, dan keterwakilan perempuan dalam politik.
Namun demikian, di dalam tubuh gerakan feminisme sendiri ada banyak paham, versi, atau sudut pandang. Ada berbagai aliran feminisme, misalnya feminisme liberal yang bertujuan mencapai kesamaan status antara perempuan dan laki-laki dalam ekonomi dan politik (dalam konteks kapitalisme); feminisme radikal yang arus utama gerakannya menentang patriarki dan menganggapnya sebagai sumber penindasan terhadap perempuan; dan adapula gerakan feminisme marxist yang berusaha mengaplikasikan teori Marxisme untuk memahami sumber penindasan terhadap perempuan dalam sistem kapitalis[2]. Belum lagi bila kita sebut, individual feminism (i-feminism), feminisme sosialis, feminisme borjuis, atau bahkan feminisme Islam.
Konsep-konsep feminisme mulai bersentuhan dengan dunia Islam sejak abad ke-19, seiring dengan menyebarnya imperialisme Barat di negara-negara Arab. Pada tahun 1892, pers perempuan Mesir mulai menyuarakan isu-isu feminisme. Sejak satu dekade sebelumnya, kaum perempuan Mesir, Suriah, dan Libanon telah membaca berbagai majalah Eropa berkenaan dengan feminisme dan mendiskusikan relevansinya terhadap situasi di Timur Tengah. Pada tahun 1899, Qasim Amin dari Mesir menerbitkan buku pertama mengenai feminisme berjudul Tahrirul Mar’ah (Pembebasan Perempuan) sehingga dia disebut sebagai Bapak Feminisme Arab. Dalam bukunya tersebut, Amin mengkritik sebagian praktek yang menyebar dalam masyarakat dengan atas nama Islam, misalnya, poligami, hijab, dan pengasingan perempuan. Dalam berbagai karyanya, Amin mengecam praktek-praktek tersebut sekaligus menyebutnya sebagai tidak Islami dan bertentangan dengan spirit Islam. Sebagai contoh, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang berhijab akan lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan hijabnya. Karya-karya Qasim Amin sangat berpengaruh besar dalam gerakan politik perempuan di dunia Arab dan Islam. Bahkan, hingga hari ini, karya Qasim Amin masih terus disebut-sebut dan dijadikan rujukan oleh para feminis muslim.
Di Indonesia pun, gerakan feminisme memiliki beragam bentuk, mulai dari perlindungan terhadap buruh perempuan, hingga yang ekstrim, hak untuk mempergunakan tubuh secara bebas. Namun, yang paling sering menimbulkan kontroversi adalah gerakan untuk membebaskan perempuan muslim dari “ketidakadilan” fiqih Islam, dan inilah yang akan saya bahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Salah satu contoh nyata dari gerakan ini adalah diluncurkannya Draft KHI, sebagaimana yang telah saya bahas di awal tulisan ini. Bahkan, para aktivis feminisme muslim Indonesia membuat sebuah istilah atau wacana baru, yaitu “fiqih perempuan”. Fiqih perempuan yang dimaksud di sini bukanlah fiqhunn-nisaa yang kita bahas di hauzah (yang berbicara seputar jenis-jenis air, cara bersuci, haid, istihadhah, dll), melainkan rekonstruksi fiqih agar sesuai dengan kepentingan perempuan. Dengan kata lain, mereka berusaha mengkritisi berbagai masalah fiqih yang dianggap merugikan atau tidak adil terhadap perempuan, antara lain, apakah perempuan wajib berjilbab, mengapa perempuan hak warisnya setengah, mengapa perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri, mengapa perempuan muslim tidak boleh menikah dengan non-muslim, dsb.
Bila kita membahas lebih dalam mengenai penyebab timbulnya gerakan semacam ini, kita bisa membaginya ke dalam dua sub pembahasan. Pertama, kesalahan paradigma masyarakat muslim sendiri dalam memandang perempuan. Kedua, adanya infiltrasi politik asing yang memang ingin menyerang Islam dengan menggunakan perempuan dan aturan-aturan Islam terhadap perempuan sebagai sasaran tembak. Namun mengingat keterbatasan waktu dan ruang, dalam makalah ini, saya hanya akan meneliti lebih jauh tentang kesalahan paradigma masyarakat muslim dalam memandang perempuan.
Islam Melakukan Revolusi Terhadap Posisi Perempuan
Adalah sebuah fakta yang nyata bahwa Rasulullah datang membawa sebuah revolusi yang mengangkat harkat martabat kaum perempuan jahiliah pada masa itu. Sebelum diturunkannya risalah Islam, kaum Arab jahiliah memiliki tradisi mengubur hidup-hidup anak perempuan, kaum lelakinya berhak untuk menikahi perempuan berapapun jumlahnya tanpa aturan dan kewajiban untuk berlaku adil, dan kaum perempuan tidak memiliki hak waris. Yang lebih mengerikan lagi adalah adanya jenis-jenis pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan perempuan. Pertama adalah nikah al-dayzan, yaitu, jika suami seorang perempuan meninggal, maka anak laki-laki tertuanya berhak untuk menikahi ibunya. Jika sang anak berkeinginan untuk menikahinya, maka sang anak cukup melemparkan sehelai kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai isteri. Kedua, zawj al-balad, yaitu dua orang suami sepakat untuk saling menukar isteri tanpa perlu adanya mahar. Ketiga adalah zawj al istibda. Dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali lagi kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan sepasang suami isteri memperoleh ‘bibit unggul’ dari orang lain yang dipandang mempunyai kelebihan.
Islam datang untuk menyelamatkan kaum perempuan dan umat manusia dari praktek-praktek yang bertentangan dengan harkat kemanusiaan seperti itu. Islam mengecam keras tradisi penguburan hidup-hidup anak perempuan, memberikan aturan dan tatacara pernikahan secara jelas, serta mengatur secara jelas hak perempuan untuk mendapatkan warisan. Sedemikian pentingnya reposisi perempuan dalam masyarakat muslim, sampai-sampai, dari 114 surat dalam Al Quran, ada satu surat khusus dengan nama perempuan (An-Nisaa) yang membahas mengenai perempuan dan menjelaskan secara rinci hak-hak mereka. Berbagai riwayat juga menyebutkan betapa kaum perempuan pada era Rasul secara aktif hadir dalam majelis-majelis ilmu, pendidikan, bahkan perang. Kaum perempuan juga tidak ragu menyuarakan “protes feminisme” mereka dengan mempertanyakan, apakah pekerjaan mereka di rumah setara dengan jihad yang dilakukan kaum laki-laki di medan perang (pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah dan Asma binti Yazid kepada Rasulullah)
Bahkan, lebih jauh lagi, Islam telah merekonstruksi total pemahaman manusia tentang perempuan. Sebagaimana yang diungkapkan Ali Syariati, Muhammad SAWW adalah ahli waris Ibrahim, Nuh, Musa, dan Isa (a.s.), tetapi Fathimah (s.a) adalah satu-satunya ahli waris beliau. Padahal, tradisi Arab saat itu menganggap penerus keturunan hanya laki-laki dan orang-orang yang tidak memiliki anak laki-laki disebut abtar (terputus keturunan). Namun Allah berfirman, “Inna a’thainakal kautsar.“ (Al Kautsar: 1). Dalam pandangan Al Quran, Fathimah (s.a) justru adalah nikmat yang banyak. Bahkan, dalam ayat ke-3 surat Al Kautsar, Allah menyebut orang-orang yang menghina Rasulullah SAWW itulah yang abtar, meskipun mereka mempunyai anak laki-laki. Syariati juga memberikan contoh lain dari revolusi ajaran Islam terhadap perempuan, yaitu menjadikan seorang budak perempuan berkulit hitam (yaitu Siti Hajar), sebagai perempuan yang melahirkan Ismail, yang garis keturunannya akan melahirkan Nabi Muhammad SAWW. Bahkan, kuburan beliau sedemikian mulianya dalam pandangan Islam sehingga berada di sisi Ka’bah, dan setiap jemaah haji ketika bertawaf wajib pula mengelilingi kuburan perempuan suci ini.
Dalam menyifati Siti Hajar, Syariati menulis, “Tuhannya Ibrahim memilih seorang perempuan di antara sedemikian banyak manusia sebagai tentara-Nya; dia (adalah) seorang ibu dan seorang budak. Dengan kata lain, Tuhan memilih seorang makhluk yang dalam semua sistem manusia, dianggap tidak memiliki kehormatan dan kelayakan.”
Kesalahan Paradigma dalam Memandang Perempuan
Ironisnya, semakin jauh era Rasulullah berlalu, semakin jauh pula umat Islam dari penghormatan kepada perempuan. Kehidupan perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam berada dalam “hegemoni Islam”. Atas nama Islam, kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, dan dalam kancah politik, suaranya tidak begitu diperhatikan atau bahkan diabaikan sama sekali. Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara Dunia Ketiga yang umumnya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Hari ini, kita melihat betapa banyak beredar hadis-hadis yang “merendahkan” perempuan, misalnya “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, “Tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan,” atau “Aku tak menyaksikan orang yang kurang akal dan agamanya, dibanding perempuan,” Lalu, seorang perempuan bertanya, “Apa kekurangan kami ?” “Kekurangan akalnya, karena kesaksian dua orang wanita dinilai sama seperti kesaksian seorang pria. Kekurangan agamanya, karena seorang di antara kamu tak puasa di bulan Ramadhan (akibat haid), dan beberapa hari diam tanpa shalat.” (HR Abu Dawud)
Selain hadis-hadis “populer” tadi, hadis-hadis yang banyak beredar adalah hadis-hadis yang hanya difokuskan kepada perempuan, misalnya “Bila perempuan telah menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan, menjaga kehormatan dan mentaati suami, maka dikatakanlah kepadanya; masuklah ke dalam sorga, dari pintu mana yang kamu suka.” (HR Ahmad dan At-Thabrani). Lalu bagaimana dengan laki-laki? Mengapa jarang beredar (dengan arti: para ulama jarang menyebarluaskannya) hadis-hadis tentang kewajiban laki-laki untuk berperilaku baik kepada istrinya atau bersikap sabar kepada istri?
Belum lagi bila kita melihat berbagai penafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran, misalnya ar-rijaalu qawwamuuna alan-nisaa (QS 4:34), diartikan sebagai laki-laki harus memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perempuan, sehingga dalam segala bidang, perempuan dianggap tidak berhak untuk memimpin (ayat ini pula yang banyak dipakai untuk menjegal pencalonan Megawati dalam pemilu tahun 2004), atau ayat alladzi khalaqakum min nafsi wahidah wa khalaqa minha zawjaha (QS 4:1) diartikan bahwa Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, yang artinya perempuan itu subordinat-nya lelaki (disebut-sebut pula bahwa tulang rusuk itu bengkok, dan artinya perempuan itu “bengkok” sehingga harus “diluruskan” oleh laki-laki).
Hal tersebut di atas telah menimbulkan kesalahan cara pandang atau paradigma masyarakat muslim terhadap perempuan, termasuk kesalahan kaum perempuan dalam memandang dirinya sendiri. Dari sudut ini, bila kita hendak ber-husnuzh-zhan, sebagian besar para pejuang feminisme di Indonesia sesungguhnya adalah kaum muslimah yang melihat hukum-hukum Islam yang (sepertinya) tidak adil, dan kemudian merasa terpanggil untuk memprotes dan meneriakkan perubahan. Bila kita mau jujur, di sekitar kita dengan mudah bisa ditemukan berbagai bentuk ketidakadilan perilaku masyarakat muslim terhadap perempuan, yang mengatasnamakan Islam.
Bukan hal aneh bila kita mendengar ada anak perempuan yang dipaksa menikah oleh orangtuanya, perempuan yang diterlantarkan oleh suaminya yang mempunyai istri muda, perempuan yang ditalak begitu saja tanpa diberi bantuan keuangan oleh mantan suami, atau prinsip bahwa “perempuan tak perlu sekolah tinggi karena toh akhirnya hanya mengurusi dapur”. Belum lagi kalau kita bahas pula sistem rumah tangga yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Perempuan selalu dianggap memiliki kewajiban domestik (memasak, mencuci, mengurus anak), sehingga meskipun seorang perempuan mempunyai karir di luar rumah (dan mempunyai kontribusi pada penghasilan keluarga), begitu ia pulang ke rumah, sederet pekerjaan rumah sudah menunggu, sementara si suami dianggap berhak untuk beristirahat.
Anehnya, paradigma seperti ini diteruskan pula secara turun-temurun oleh perempuan sendiri. Contoh mudahnya, anak laki-laki akan dibelikan mainan mobil-mobilan oleh ibunya, sementara anak perempuan dibelikan mainan “masak-masakan”. Pulang sekolah, anak laki-laki boleh bebas bermain, sementara anak perempuan harus membantu ibu di dapur. Hadis-hadis dan riwayat mengenai Rasulullah (SAWW) yang menjahit sendiri sendalnya yang robek, Imam Ali a.s. yang membantu Sayyidah Fathimah (s.a.) mengerjakan pekerjaan rumah tangga, Imam Khomeini yang mengambil sendiri makanannya di dapur dan mencuci piringnya sendiri, seolah-olah lenyap begitu saja dalam lembaran-lembaran sejarah.
Di sekitar kita, kita akan melihat bahwa semakin rendah tingkat perekonomian masyarakat, semakin besar pula penindasan yang terjadi terhadap perempuan. Fenomena banyaknya TKW Indonesia yang terpaksa bekerja di luar negeri (dan harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan jam kerja yang panjang, perlindungan kerja yang tidak jelas, serta rentan penyiksaan dan pemerasan), memperlihatkan dengan jelas ketertindasan perempuan. Kaum perempuan yang seharusnya dinafkahi, malah harus membanting tulang untuk membiayai keluarganya, termasuk suaminya sendiri. Para oknum pun dengan kejam memeras uang para TKW itu setibanya mereka di tanah air. Belum lagi bila kita lihat nasib buruh-buruh perempuan di pabrik-pabrik yang tidak mendapat cuti haid atau melahirkan, sehingga setiap saat mereka bisa dipecat ketika terpaksa membolos karena kondisi fisiknya melemah akibat haid atau pasca melahirkan.
Penyebab Kesalahan Paradigma dalam Memandang Perempuan
Qasim Amin, Bapak Feminisme Arab, menyatakan bahwa akar dari penindasan perempuan dalam masyarakat muslim adalah bercokolnya pemerintahan yang zalim dan despotik. Menurutnya, di zaman ketika penguasa zalim berkuasa, kezaliman itu tidak hanya akan dilakukan oleh sang raja, melainkan akan diikuti oleh orang-orang sekitarnya, dan seterusnya, sampai ke masyarakat kelas bawah. Proses ini akan berlanjut ke seluruh sendiri masyarakat, sehingga orang yang kuat akan menindas orang yang lemah. Salah satu korban terbesar dalam pemerintahan seperti ini adalah kaum perempuan karena laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih besar, sehingga dengan leluasa merendahkan perempuan.
Para feminis Arab lain (yang banyak menjadi rujukan kaum feminis Indonesia) adalah Nawal Sa’dawi dan Fatima Mernissi, umumnya juga tidak memandang agama sebagai satu-satunya faktor penyebab penindasan terhadap perempuan. Sa’dawi menyamakan persoalan wanita dengan masalah keterbelakangan. Menurut Sa’dawi: “Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara. Sementara itu, Mernisi menilai struktur sosial-lah yang berperan dalam menyengsarakan nasib perempuan. Yang dimaksud struktur sosial oleh Mernissi adalah termasuk juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat.
Allamah Thabathabai menulis bahwa masyarakat Ahlul Kitab pada zaman risalah (pada zaman ketika nabi Muhammad menyampaikan Islam), hidup dalam pemerintahan yang despotik. Pada saat itu, masyarakat terbagi antara penguasa dan rakyat. Rakyat pun terbagi menjadi rakyat kaya dan rakyat miskin, sedang rakyat miskin terbagi antara yang miskin dan lebih miskin, seterusnya, sampai pada pembagian antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat seperti ini, laki-laki mendapatkan kebebasan dalam berbuat apapun, sementara perempuan diisolir dari berbagai bentuk kebebasan dan semata-mata menjadi pelayan laki-laki.
Ilmuwan Iran, Doktor Fathiah Fattahizadeh, menyatakan bahwa selain pemerintahan yang zalim dan despotik, penyebab kesalahan paradigma kaum muslimin dalam memandang perempuan adalah juga pencampuran antara ajaran agama dengan tradisi, yang sayangnya justru disebarluaskan oleh para ulama dan cendikiawan. Fattahizadeh menulis, “Karena sebagian besar masyarakat pada era sebelum Islam berorientasi pada laki-laki, sebagian para pemikir Islam yang terpengaruh oleh orientasi tersebut, alih-alih menyampaikan aturan-aturan Islami, malah menafsirkan teks-teks agama dengan paradigma yang berorientasi kepada laki-laki. Di sisi lain, kebudayaan Islam juga kehilangan kemurniannya karena adanya interaksi dan infiltrasi berbagai peradaban yang berorientasi kepada laki-laki.”
Menampilkan Fiqih Yang Bersahabat dengan Perempuan
Bila dikaji lebih cermat, berbagai dalil yang dikemukakan dalam memposisikan perempuan, sering tidak dipaparkan sesuai konteks, atau malah hanya disampaikan sebagian saja. Misalnya, hadis, “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, sesungguhnya masih ada lanjutannya: Seseorang lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang dimaksud dengan menuruti?” Rasulullah menjawab, “Yaitu, bila suami memperbolehkan istrinya pergi ke kolam renang, pesta perkawinan, perayaan, dan ke tempat orang meninggal, dengan menggunakan pakaian tipis dan sangat halus.” Dengan demikian, jelaslah bahwa “menuruti” di sini adalah mengizinkan perempuan untuk berbuat sesuatu yang melanggar syariat. Mengenakan pakaian tipis keluar rumah memang jelas-jelas dilarang syariat. Namun karena tidak disampaikan secara utuh, hadis ini seolah-olah melarang laki-laki menuruti permintaan atau saran dari istri secara keseluruhan.
Sementara itu, hadis tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan, sesungguhnya telah disampaikan tanpa menyebutkan pendahuluannya sbb. “Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat Putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa’i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah). Jadi, hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.
Mengenai hadis-hadis tentang kurang akalnya perempuan, mungkin bisa dicari jawabannya dari sisi psikologis atau konteks zaman, (atau mungkin bisa ditelusuri kesahihan hadis tersebut), sehingga kesan yang ditimbulkan bahwa Islam memandang rendah perempuan bisa dieliminasi. Karena, secara jelas dan tegas, Islam memang tidak pernah memandang rendah perempuan. Berbagai ayat Al Quran (3:195, 4:124, 16:97, 9:71-72, 33:35) secara tegas dan jelas memposisikan perempuan dan laki-laki secara setara dalam kewajiban mereka menegakkan nilai-nilai Islam, adanya sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan mereka, serta adanya pahala yang sama untuk amal saleh mereka. Satu-satunya faktor yang membedakan perempuan dan laki-laki di hadapan Allah SWT adalah keimanan dan ketakwaan mereka masing-masing.
Dalam masalah hukum waris yang sering diperdebatkan oleh kaum feminis, dan dituduh sebagai salah satu bentuk ketidakadilan Islam terhadap perempuan (karena perempuan hanya diberi setengah), sebenarnya bisa dibahas sbb. “Pada dasarnya Islam mensyariatkan untuk memberi imbalan yang sama atas prestasi yang sama, tidak pandang laki-laki atau perempuan, sedangkan soal waris bukanlah soal prestasi. Hukum ini harus didudukkan bersama-sama dengan hukum nafkah. Laki-laki wajib menafkahi saudara perempuannya, sedangkan perempuan tidak wajib menafkahi siapapun. Tanggung jawab keluarga dibebankan pada lelaki. Jika tanggungjawab ini tidak dijalankan, negara berhak campur tangan dan memaksanya sehingga hak-hak si perempuan itu tetap terpenuhi. Jadi, syariat Islam tidak berdiri sendiri-sendiri. Nikah, waris, nafkah saling berkaitan erat. Tidak bisa dipandang secara parsial.”
Dalam pandangan saya, di sinilah peran penting para ulama dan pemikir perempuan muslim untuk meluruskan pemahaman umat tentang posisi perempuan dalam Islam. Kita meyakini bahwa Allah Maha Adil dan oleh karena itu, tidak mungkin ada ketidakadilan di dalam ajaran-Nya. Tuduhan-tuduhan atas ketidakadilan Islam, sebagaimana telah saya bahas di atas, berakar pada kesalahan paradigma kaum muslim sendiri dalam memandang perempuan, yang bersumber dari kesalahpahaman, pencampuran tradisi dengan agama, kejumudan cara berpikir mereka, serta berkuasanya pemerintahan yang despotik.
Kita perlu mengkaji Islam dengan dasar-dasar mantiq (logika)-nya yang kuat serta keluasan penafsiran filosofis atas berbagai hukum. Tanpa penafsiran filosofis, hukum Islam akan dipahami secara salah. Seperti yang dikemukakan oleh Syahid Murtadha Muthahhari,”Masalah seputar hak-hak dan hukum perempuan dari sudut pandang Islam, yang muncul dalam masyarakat kita hari ini, selain memiliki dimensi praktis juga memiliki akar pada masalah keimanan. Saat ini, ada berbagai kepercayaan dalam masyarakat yang tidak memiliki dasar, tapi kepercayaan itu dinisbatkan kepada Islam. Di sisi lain, berbagai perintah Islam yang hakiki belum dipahami oleh masyarakat karena nilai falsafah yang ada di dalamnya belum dijelaskan. Akibat dari semua itu adalah disalahgunakannya berbagai aturan dalam agama Islam tentang wanita oleh pihak luar, sebagai cara untuk menyerang dasar-dasar agama Islam.”
Sebagai contoh praktis dalam hal ini adalah dalam menyampaikan masalah kewajiban hijab. Ketika kita hendak membahas masalah jilbab, umumnya, pembahasan yang dikemukakan adalah berkaitan seputar ayat dan hadis yang memberikan perintah hijab kepada kaum muslimah. Cara ini akan terus mendapatkan jawaban negatif dari para pendukung feminisme, karena mereka akan mempersoalkan tafsir ayat dan hadist tersebut dengan mengemukakan penafsiran dari para ulama yang tidak mewajibkan hijab. Coba kita perhatikan bagaimana konsep hijab ini disampaikan oleh Sultana Yusuf Ali, seorang remaja Kanada, berikut ini.
“Saya sangat bersyukur karena tidak pernah menderita nasib harus bersusah-payah menaikkan atau menurunkan berat badan, serta mencari-cari warna lipstik yang sesuai dengan warna kulit saya. Saya telah membuat pilihan tentang apa yang menjadi prioritas, dan hal-hal seperti itu (kelangsingan badan, warna lipstik) bukanlah prioritas saya. Jadi lain kali, jika Anda melihat saya (menggunakan jilbab), jangan memandang saya dengan kasihan. Saya tidak sedang berada dalam paksaan dan saya bukan perempuan pengabdi laki-laki, yang menjadi tawanan di gurun sahara Arab. Saya telah terbebaskan.”
Dalam kacamata remaja muslimah ini, jilbab justru merupakan simbol kebebasan, yaitu kebebasan dari tatapan orang lain yang menilai postur tubuh, tata rambut, kecocokan baju dengan warna kulit, atau merek T-shirt yang dipakai. Bila kaum feminis Barat memakai slogan ‘my body is my choice’ untuk mengesahkan apapun yang ingin mereka lakukan (termauk berpakaian minim atau seks bebas), Sultana Yusuf Ali mengatakan, “My body is my own business” (tubuh saya adalah urusan saya sendiri) untuk menyampaikan filosofi hakiki dari jilbab: yaitu membebaskan perempuan dari penilaian “kulit luar” dan perempuan akan dinilai dari akhlak, watak, dan keilmuannya. Artinya, jangan lihat tubuh saya, mau seksi atau tidak, itu urusan saya; lihatlah apa yang saya katakan, pikirkan, dan lihatlah karya saya!
Para ulama dan pemikir yang ‘feminis’ daripada menyebarluaskan konsep-konsep Barat tentang feminisme, lebih baikmenggali dan menyebarkan hadis-hadis yang lebih seimbang. Hadis-hadis tentang kewajiban perempuan untuk taat dan melayani suaminya dengan baik, memang harus terus dibacakan kepada kaum perempuan. Namun, sangat banyak hadis Nabi dan para awliya tentang laki-laki yang selama ini “diabaikan”, misalnya sbb.
– Rasullulah SAWW bersabda, “Barang siapa yang lebih baik kelakuannya, maka ia lebih sempurna imannya. Yang terbaik di antara kamu adalah yang berbuat baik kepada keluarganya.”
– Imam Ali mengatakan, “Perempuan dipercayakan kepada pria dan mereka (para perempuan) bukanlah pemilik keberuntungan atau kemalangan. Mereka bersamamu sebagai amanat Allah, maka janganlah kamu menyakiti dan membuat hidupnya susah.”
– Imam Ridha mengatakan, “Kaum perempuan Bani Israil telah menyimpang dari jalan yang benar karena kaum pria mereka tidak memperdulikan kebersihan dan penampilan baik. Apa yang kamu harapkan dari istrimu juga diharapkan oleh istrimu terhadapmu.”
Penutup
Bila kita melakukan kajian secara mendalam dan menyeluruh terhadap hukum-hukum Islam, kita akan menemukan fakta menarik bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang paling feminis. Pembelaan Islam terhadap perempuan adalah pembelaan terbesar yang pernah diberikan oleh agama samawi manapun dan pemerintahan manapun (termasuk pemerintahan yang mengaku beraliran demokrasi dan kebebasan). Kenyataan empiris yang kita temukan dalam masyarakat sama sekali tidak bisa dipakai sebagai parameter dari kebenaran atau kesalahan suatu ajaran. Sebagaimana yang dikatakan Lois Lamya al Faruqi, kita harus membangun suatu Quranic society (masyarakat Qurani), yang menerapkan aturan-aturan yang benar-benar murni dari Al Quran, tidak dicampurkan dengan konsep-konsep pseudo-Islamic, yang meskipun berlabel Islam, namun justru pada hakikatnya malah anti-Islam. (Dina Y. Sulaeman*)
*magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate Global Future Institute
(Islam-Feminis/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar