Dakwah yang disampaikan para kiai, ulama, atau ustaz diharapkan tetap mengakomodasi khasanah lokal yang sudah ada. Jika pun ada khasanah lokal yang dinilai bertabrakan dengan syariat agama, maka perlu kontennya diubah supaya dapat masuk dalam nilai-nilai ibadah.
“Kalau ada yang melanggar (agama), konten kita ganti menjadi lebih bagus sehingga dapat menjadi nilai ibadah. Jadi tidak serta merta kita buang khasanah lokalnya. Kita bisa angkat dan dijadikan mitra dalam perjuangan berdakwah. Inilah Islamisasi ala Nahdlatul Ulama,” kata Ketua Rijalul Ansor PP GP Ansor Sholahulam Notobuwono, dalam Halaqoh Kiai Muda Ansor di Ponpes Cidahu, Cadasari, Pandeglang, pekan lalu.
Halaqoh bertema “Di Mana Bumi Dipijak, di Situ Langit Dijunjung” itu sendiri dihadiri sekitar 400 kiai muda GP Ansor se-DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Acara dibuka pengasuh Ponpes Cidahu KH Abuya Muhtadi, disaksikan Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, Sekjen Abdul Rochman, dan para ketua dan pengurus wilayah. Sebagai pembicara hadir Khatib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Lesbumi KH Agus Sunyoto, dan sejumlah nama lainnya.
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas dalam keterangan tertulis mengatakan, tema halaqah sejalan dengan cara dakwah Nahdatul Ulama.
“Dakwah seperti inilah yang harus dikedepankan. Mengakomodasi budaya lokal, yang baik diserap yang tidak baik diubah menjadi baik. Mari kita menoleh kembali pemahaman keagamaan kita ke tempat di mana bumi dipijak. Jangan asal impor dari luar yang belum tentu sesuai,” ujar Gus Yaqut, sapaan akrabnya.
Ia menambahkan, pola dakwah semacam ini sekaligus menjadi langkah penguatan jejaring kiai muda Ansor, juga salah satu upaya untuk menangkal radikalisme agama yang marak belakangan ini.
(Republika/Islam-Indonesaia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar