Indonesia, Turki, dan Mesir merupakan negara dengan penduduk mayoritas Islam. Namun, Demokrasi di Indonesia dinilai lebih maju dibanding dengan kedua negara tersebut.
“Bila dibandingan dalam kemajuan demokrasi di ketiga negara, Indonesia berada dalam urutan teratas, kemudian Turki. Sementara dalam kemajuan ekonomi, ada Turki kemudian diikuti Indonesia. Mesir berada di urutan terbawah dalam dua kategori itu,” papar peneliti Universitas Nasional (UNAS) Doktor Muhammad najib.
Najib menyampaikan itu dalam diskusi publik di kantor Centre of Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), Jl Brawijaya VIII no 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2017). Diskusi itu bertajuk ‘Telaah Kritis Demokratisasi Dunia Islam: Perbandingan Pengalaman Indonesia, Turki, dan Mesir’ yang merupakan disertasi Najib.
Najib mengatakan dibandingkan Turki dan Mesir yang cenderung terlalu ekstrem pada kubu tertentu, demokrasi dan Islam di Indonesia berada di jalan tengah. Sebab, Indonesia berusaha memberikan win-win solution bagi semua kekuatan politik.
“Dalam hubungannya Islam dengan negara, Indonesia, Turki, dan Mesir punya cara yang berbeda. Turki sebagai negara sekuler, Mesir sebagai negara syariah, sementara Indonesia memiliki jalan tengah,” ucapnya.
Namun, meskipun demokrasi Indonesia terdengar dalam kondisi aman, Najib mengaku kekhawatir menjelang Pilpres 2019. Menurutnya, isu-isu SARA belakangan ini sudah mulai santer terdengar dan terus dimainkan dalam panggung politik.
“Pilpres 2019 risikonya jauh lebih besar dari pemilu sebelumnya. Dua Pilpres sebelumnya juga sudah menimbulkan potensi letupan. Namun dalam yang mendatang ini menjadi lebih serius, karena sudah dapat dilihat sentimen SARA sudah mulai dimainkan sedemikian kuat. Sentimen ekonomi dan ketimpangan juga dimainkan. Saya pikir ini cukup mengkhawatirkan,” Najib menjelaskan.
Terkait kondisi itu, Najib kemudian bercermin pada upaya kudeta yang sempat terjadi di Turki dan Mesir. Namun, ia menilai dalam waktu dekat tidak akan terjadi upaya kudeta di Indonesia.
“Saya menyatakan peluangnya terbuka bila 2 syarat terpenuhi. Pertama kalau ekonomi semakin sulit, dan kedua kalau kontestasi (kekuatan politik) berlangsung tidak balance,” imbuhnya.
Sementara itu, Ahli Perbandingan Politik Timur Tengah dan Asia Tenggara, Ali Muhanif sependapat dengan Najib. Sebab, ongkos kudeta terlalu berat untuk dilakukan di Indonesia.
“Dalam 5-10 tahun ke depan saya pikir tidak ada. Karena ongkosnya sangat berat, sementara return-nya sedikit. Tidak seimbang. Terutama dalam kondisi masyarakat demokrasi digital. Sangat berat bagi siapapun yang melakukan kudeta,” terang Ali.
(Detik/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar