Buku yang berjudul Jerusalem and Its Role in Islamic Solidarity, secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “Yerusalem dan Perannya dalam Solidaritas Islam”. Buku yang ditulis oleh Yitzhak Reiter ini diterbitkan oleh Palgrave Macmillan, New York, Amerika Serikat pada bulan Januari 2008.
Buku dengan ketebalan sebanyak 208 halaman ini mempunyai ISBN 978-0-230-60782-8 untuk versi cetak sampul tebal dan ISBN 978-0-230-61271-6 untuk versi e-book. Isi buku ini disusun menjadi 7 Bab termasuk Bab Pendahuluan di bagian awal dan Bab Kesimpulan di bagian akhir. Buku ini juga dilengkapi dengan Daftar Catatan Kaki, Daftar Pustaka, dan Daftar Indeks.
Yitzhak Reiter adalah seorang profesor Studi Islam dan Timur Tengah di Ashkelon Academic College dan Hebrew University of Jerusalem, Israel. Dia adalah seorang anggota senior di the Jerusalem Institute for Israel Studies dan the Harry S. Truman Research Institute for the Advancement of Peace of the Hebrew University of Jerusalem.
Buku ini membahas peran Yerusalem sebagai simbol politik-agama utama. Ia juga membahas suatu proses yang mana simbol keimanan dan kesucian digunakan dalam sebuah perjuangan politik.
Buku ini mengkaji etos Islam saat ini menuju Yerusalem dan kaitan antara etos agama ini dengan aspirasi politik orang-orang Palestina dan kelompok-kelompok Arab dan Islam lainnya. Ia juga membandingkan narasi-narasi Yahudi dan Muslim saat ini dan proses penyangkalan dan delegitimasi afiliasi kelompok lainnya terhadap kota suci itu dan tempat-tempat sucinya.
Buku ini juga membahas pertanyaan apakah pandangan keagamaan merupakan penghalang utama untuk mencapai perdamaian di arena Israel-Arab.
Ulasan Buku Ini
Berikut adalah ulasan terhadap buku ini yang diberikan oleh Craig Larkin seorang dosen Politik Komparatif Timur Tengah di King’s College London. Ia menerima gelar PhD bidang Middle East Studies dari Institute of Arab and Islamic Studies, University of Exeter. Ulasan ini dimuat dalam The Journal of Palestine Studies yang diterbitkan oleh Institute for Palestine Studies.
Imajinasi dinamis Yerusalem, sebagai pusat dunia Islam -dalam penciptaan, penghakiman apokaliptik dan perjuangan keagamaan (Jihad)- adalah fokus dari karya Yitzhak Reiter, Jerusalem and Its Role in Islamic Solidarity (2008).
Meskipun perdebatan dan wacana mitologis tidak hanya dikaji di bidang kajian Yerusalem, Reiter menawarkan sebuah catatan rinci dan terdokumentasi dengan baik, yang mengeksplorasi sejarah perkembangan pemahaman Islam tentang kota itu, dan juga hubungan antitesis yang kompleks dengan wacana Yahudi-Israel.
Dengan mendasarkan pada beragam sumber Arab; buku, fatwa, artikel, situs web dan wawancara media, dari seluruh dunia Muslim, Reiter mengeksplorasi peningkatan kesucian ‘masjid al-Aqsa’ (bab 2) dan munculnya etos islamisasi yang mendasar (bab 4), yang menciptakan konflik (bab 5) dan berusaha memobilisasi dunia Muslim yang lebih luas (bab.6) dalam pembebasan Yerusalem.
Sambil menegaskan dominannya keilmuan orang Israel atas ‘Al-Quds’ Islam, yang menyulitkan historisitas Arab, politisasi simbol-simbol keagamaan dan penafsiran ulang tradisi-tradisi sakral; analisisnya menawarkan wawasan berharga bagaimana teks/wacana Islam tentang Yerusalem mempengaruhi kesadaran publik, membentuk agenda politik dan berdiri sebagai ‘penghalang keagamaan’ bagi perdamaian masa depan.
. Meskipun direvisi dan diadaptasi dari versi Ibrani sebelumnya (‘From Jerusalem to Mecca and Back’ 2005), buku ini seperti sintesis dari makalah-makalah tematik dan artikel-artikel yang diambil dari pengalaman Reiter sebagai komentator dan penasihat politik urusan Palestina.
Karya ini secara persuasif didasarkan pada penelitian empiris dan studi kearsipan, namun, dikecewakan oleh gaya yang agak terputus-putus, banyaknya pengulangan dan struktur yang tidak ortodoks. Pembaca diberitahu lebih dari enam kali bahwa Ikrima Sabri adalah seorang yang ditunjuk Arafat sebagai Mufti PA; lima kali bahwa Organisasi Konferensi Islam (OKI) terdiri dari 57 negara dan tiga kali bahwa buku karya Sheikh Yusuf al-Qaradawi berjudul Jerusalem is the Problem of Every Muslim.
Beberapa isi buku ini juga saling tumpang tindih dalam bab dua dan lima. Sementara diskusi tentang aktor dan kelompok Islam (bab 6) akan menambahkan kejelasan dan pengaruh yang lebih besar jika diperkenalkan di awal buku ini.
Kendati demikian, kelemahan gaya ini tidak mengurangi kekuatan dan substansi pendirian Reiter yang luar biasa, bahwa perubahan wacana Islam atas Yerusalem, baik yang diilhami seperti ‘sindrom cermin’ (hal.98) untuk melawan pemukim Yahudi Nasionalisme Mesianisme atau yang dimobilisasi sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap pendudukan Israel di Yerusalem Timur, kini telah menjadi seruan global, memperingatkan perambahan Israel atas ‘Haram al-Sharif’, dan menegaskan bahwa ‘Al-Aqsa dalam bahaya’.
Dia menggambarkan imajinasi baru Islam ini menjadi tiga lingkaran konsentris: masjid Al-Aqsa yang disucikan, Yerusalem sebagai ‘Kota Suci’ dan Palestina tanah yang diberkati. Pertama, dia mengeksplorasi berkembangnya fokus atas masjid Al-Aqsa dan bukan pada seluruh kompleks Haram, yang ia yakini sebagai upaya untuk menegaskan kembali mandat Alquran yang suci dan kebutuhannya akan perlindungan pan-Islam.
Kedua, dia mengkaji bagaimana status suci Yerusalem bagi Muslim telah dibangun di atas kecenderungan yang berkembang untuk menolak hubungan Yahudi dengan situs Haram itu sebagai tempat Kuil kuno dan untuk menolak Yerusalem sebagai ibukota bersejarah sebuah kerajaan Israel. Sebaliknya, Yerusalem dipuja sebagai ‘benteng pertahanan Islam’ (hlm.33) – kisah pembebasan bersejarah di bawah Khalifah Umar dan Saladin – dan lokasi untuk pembebasan dan restorasi Islam di masa depan.
Akhirnya, Reiter mengkaji bagaimana kesucian Yerusalem telah diperluas ke seluruh Palestina sebagai Wakaf Islam yang generik, yang kekal abadi, tidak dapat dipindahtangankan dan tidak tunduk pada klaim historis, politik atau agama apapun.
Meskipun Reiter menangani tema-tema ini dengan keahlian, masih ada ruang untuk analisis lebih mendalam dan penyelidikan secara teoritis. Asumsinya tentang bagaimana wacana keagamaan membentuk kebijakan politik dan persepsi publik juga harus diperhatikan secara terbalik. Bagaimana kebijakan kontemporer Israel (permukiman, tembok pembatas, penutupan PA di Yerusalem) dapat mempengaruhi wacana Palestina dan Muslim di tempat-tempat suci di kota itu?
Bab terakhir, meskipun menawarkan ringkasan yang berguna tentang bagaimana perubahan ini mempengaruhi proses perdamaian yang sedang berlangsung, masih memerlukan kajian yang lebih rinci mengenai apa yang dia usulkan, terkait dengan intervensi pihak ketiga dan pengawasan Kota Tua Yerusalem. Karya Reiter ini tetap merupakan proses yang menarik dan tepat waktu yang mana simbol keimanan dan kesucian digunakan dalam sebuah perjuangan politik.
(Palestine-Studies/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar