Sebuah era baru sedang terbuka, hampir secara diam-diam. Fitur yang menggambarkan definisinya adalah ekspansi militer yang diperintahkan oleh presiden Amerika Serikat dan dilakukan oleh Pentagon. Yang mendasari hal itu adalah penggabungan dari strategi kedua pendahulu Trump, yaitu George W Bush dan Barack Obama.
Sebuah dokumen Pentagon baru-baru ini memberi sedikit gambaran tentang kekuatan militer AS saat ini:
“AS memiliki 8.892 pasukan di Irak, 15.298 tentara di Afghanistan dan 1.720 di Suriah, dengan total 25.910 tentara yang bertugas di tiga zona perang pada 30 September, menurut Department of Defense. Angka tersebut diumumkan ke publik pada 17 November. sebagai bagian dari tugas rutin kuartalan DoD, personil sipil dan tentara cadangan yang ditugaskan oleh negara, yang dihitung oleh Pusat Data Tenaga Pertahanan “(lihat Tara Copp,” 26.000 tentara total .. “, Military Times, 27 November 2017).
Jumlah keseluruhan jauh lebih tinggi dari angka sebelumnya. Tapi hal ini bisa menyesatkan, bahwa departemen pertahanan Amerika Serikat biasanya mengecualikan dua kategori pasukan: mereka yang bertugas untuk jangka pendek dan, yang jauh lebih penting: pasukan khusus. Merekalah yang melancarkan sebagian besar pertempuran di ketiga medan perang : Afghanistan, Irak, dan Suriah. Itu berarti angka sebenarnya mungkin mendekati, atau bahkan lebih dari 30.000. Untuk ini bisa ditambahkan pasukan yang terlibat dalam operasi di wilayah Sahel, Somalia atau Yaman.
Indikator semacam itu hanya memberi sebagian penampakan dari gambar keseluruhan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah permintaan Pentagon sebesar $ 143 juta untuk memperluas operasinya di pangkalan Azraq di Yordania. Ini adalah satu-satunya komitmen keuangan luar negeri terbesar saat ini yang sedang dipertimbangkan. Pangkalan ini telah menjadi kunci operasi militer di Suriah dan Irak, dan telah digunakan oleh negara-negara lain termasuk Belanda dan Belgia.
Jadi seperti halnya peperangan di Irak dan Suriah yang seharusnya runtuh setelah kekalahan ISIS, Pentagon ingin melangkah ke arah lain dan bersiap menghadapi lebih banyak konflik di wilayah tersebut. Pertumbuhan basis luar negeri tampaknya sedang menjadi trend, seperti kebutuhan yang sangat besar untuk pesawat pengintai yang berharga $ 100 juta di Niger.
Semua ini harus dilihat dalam perspektif enam belas tahun “perang melawan teror”. Sekali lagi, jumlah pasukan adalah sebuah pertanda saja, jika bukan merupakan keseluruhan cerita. Pada 2007-08, pada puncak kampanye George W Bush, hampir 200.000 tentara AS berada di Irak dan Afghanistan. Bahkan saat Barack Obama mulai menarik pasukan dari Irak, dia menambah jumlah pasukan mereka di Afghanistan: 30.000 tentara tambahan pada tahun 2011, membuat total pasukan AS di negara tersebut mencapai sekitar 100.000 orang.
Kebijakan jangka pendek tersebut gagal dalam tujuan utamanya, yaitu memaksa Taliban ke meja perundingan. Sebagian besar tentara ditarik pada akhir masa jabatan keduanya pada tahun 2012. Sejalan dengan itu, Obama bergerak cepat menuju “perang jarak jauh”. Perang ini lebih mengandalkan pesawat tempur, pesawat tak berawak, dan pasukan khusus. Kesemuanya hanya sedikit melibatkan pasukan di permukaan tanah.
Kini, era Perang Trump membawa kita pada sebuah era dengan tatanan baru: banyak peperangan jarak jauh dan lebih banyak personil militer di luar negeri. Bush berorientasi menghancurkan al-Qaida dan kelompok serupa, serta penghentian rezim yang dianggap anti-demokrasi; Obama bergerak lebih ke arah “perang bayangan” dengan intensitas yang jauh lebih rendah. Hari ini, Trump, telah menggabungkan keduanya, dan ia akan akan mengulanginya di masa depan.
Paralelisme Mesir
Hancurkan musuhmu; lupakan 16 tahun perang yang gagal; Tak perlu pahami dari mana musuh-musuh ini berasal, dan mengapa mereka mendapatkan dukungan. Jika ajaran-ajaran itulah yang menginspirasi cara-cara yang digunakan Trump, maka rezim Abdel Fattah al-Sisi patut dikatakan telah meniru cara-cara mereka di Mesir.
Sejak al-Sisi menjadi presiden setelah menyingkirkan pemerintahan Ikhwanul Muslimin, Presiden Mohamed Morsi pada tahun 2013, pasukannya telah berusaha keras melawan perbedaan pendapat berdasarkan agama. Pemberontakan yang dikaitkan dengan kelompok Islam garis keras di Sinai utara merupakan target utama. Serangan yang mengerikan terhadap masjid Al-Rawda di Sinai pada 24 November, yang menewaskan 305 orang, adalah insiden terbaru dalam konflik ini.
Reaksi langsung terhadap pembantaian tersebut adalah serangan udara oleh pesawat tempur, yang telah diperkirakan dan telah siap dihadapi oleh para pemberontak.
Tapi masalah di Sinai jauh lebih kompleks daripada kebijakan al-Sisi, yang justru semakin merusak. Sinai telah lama terbengkalai dan terpinggirkan. Generasi mudanya sangat marah karena industri minyak dan pariwisata hanya memberi manfaat sedikit bagi masyarakat lokal atau bahkan tidak bermanfaat.
Dengan demikian, ISIS yang sekarang tersebar di Sinai melihat Mesir pada umumnya dan Sinai khususnya sebagai tanah subur untuk menyebarkan pengaruhnya. Kebijakan penekanan kepada kelompok garis keras hampir tidak bisa menjadikan Sinai menjadi lebih baik. Pandangan objektif beberapa dekade terakhir Sinai menunjukkan bahwa kemungkinan pendekatan yang digunakan al-Sisi sama sekali tidak bekerja.
Jadi perbandingannya bekerja terbalik. Bagi al-Sisi, atau Trump dalam skala yang jauh lebih besar. Ini mungkin masih menjadi tahap awal era Perang Trump. Peningkatan ekses terburuk pasca 9/11, seperti penahanan di tempat-tempat rahasia dan juga siksaan, dapat diperkirakan sebagai masalah berlipat ganda. Indikasi yang jelas bahwa gagasan baru terhadap masalah ini masih langka. Semuanya baru memberi solusi pada permukaan dan menafikan akar masalah.
Baca: https://www.opendemocracy.net/paul-rogers/trump-wars-era
(Open-Democracy/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar