Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Palestina, Nasibmu! (Sejarah: 69 Tahun Nakba, Saat Israel Berdiri di Atas Ribuan Mayat Warga Palestina)

Palestina, Nasibmu! (Sejarah: 69 Tahun Nakba, Saat Israel Berdiri di Atas Ribuan Mayat Warga Palestina)

Written By Unknown on Jumat, 15 Desember 2017 | Desember 15, 2017


Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sudah berlangsung 69 tahun sejak berdirinya Israel pada bulan Mei 1948, rakyat Palestina tidak pernah putus dirundung malang. Ribuan telah tewas dalam mempertahankan hak hidup di buminya sendiri yang dirampok kaum Zionis. Entah berapa ribu pula yang terpaksa jadi imigran ke berbagai pojok bumi dengan segala penderitaan yang menyertainya.

Sementara itu, negara-negara Arab dan bahkan Iran dan Turki yang sama-sama berada di kawasan itu tidak pernah serius dalam membela rakyat tertindas ini. Ironisnya lagi, rakyat Palestina sendiri juga tidak satu dalam menghadapi Israel.

Donald Trump, presiden Amerika, dengan pengakuan barunya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah semakin membuyarkan harapan perdamaian antara Palestina dan Israel. Bagi Trump, apa yang bernama resolusi Dewan Keamanan PBB tentang kedaulatan Palestina atas wilayah pra-Perang 1967 dianggap angin lalu saja. PBB yang keropos ini tidak berdaya menghadapi politik jingoisme buta Amerika Serikat.

Protes dunia atas politik luar negeri Amerika yang biadab ini nyaris tidak ada dampaknya bagi nasib Palestina. Sangat ironis, demokrasi Amerika telah memunculkan seorang Trump yang berbeda tipis dengan Kim Jong-un.

Negara-negara Eropa yang telah mengakui hak kemerdekaan Palestina juga tidak mampu menekan Amerika sebagai kekuatan imperialis kesiangan agar bersikap lebih beradab dalam menjalin hubungan antarnegara. Amerika di bawah Trump dengan tingkahnya yang aneh dan buruk tanpaknya sedang menggiring dunia ke dalam situasi yang amat mencemaskan.

Kita belum dapat memperkirakan ujung dari hubungan mesra antara Raja Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dengan Trump yang terjalin sejak beberapa bulan yang lalu. Semuanya berada dalam teka-teki yang serba tidak pasti.

Dalam pada itu, perebutan hegemoni antara Saudi Arabia yang didukung Amerika dan Iran yang didukung Rusia dengan negara satelitnya masing-masing di kawasan panas itu, situasinya semakin tak terkendali. Posisi rakyat Palestina yang rentan adalah ibarat seekor kancil yang terjepit antara pertarungan gajah-gajah yang beringas.

Adapun Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas rakyat di kawasan itu sudah lama dipinggirkan, kecuali dalam kemasan retorika politik yang sangat dangkal. Retorika ini sudah lama dimainkan oleh negara-negara Muslim untuk saling menjatuhkan di sana.

Sementara itu, Turki di bawah Erdogan yang semula memberi harapan untuk turut mencerahkan dunia Muslim malah menyeret dirinya ke jurang perpecahan dan permusuhan dengan Fethullah Gulen yang pernah menjadi mitranya saat berhadapan dengan pihak militer, penerus politik Kemal Ataturk dengan panji-panji sekularismenya yang gagal itu.

Akibatnya, rakyat Turki terbelah dan terpolarisasi gara-gara perseteruan elitenya sendiri yang kehilangan perspektif masa depan yang semestinya bisa melampaui usia sebuah rezim. Sekarang hampir tidak ada lagi sebuah negara Muslim pun yang dapat menolong Palestina, termasuk Indonesia.

Dalam situasi yang serba tidak menentu ini, saya teringat akan renungan seorang intelektual Yahudi anti-Zionis, Prof Richard A Falk, pada 1998 yang lalu, dua tahun sebelum memasuki abad ke-21: Kedatangan milenium baru setidak-tidaknya menyiratkan sebuah imajinasi. Ia adalah tanda petunjuk yang dilemparkan ke pantai di gelap malam, sementara sungai sejarah mengalir dengan deras.

Yang terlihat tidak lebih dan tidak kurang selain apa yang diizinkan oleh imajinasi itu, terutama harapan-harapan kita yang terdalam dan kecemasan-kecemasan kita yang mengerikan. Berlalunya milenium ini mendorong kutub-kutub harapan [ke jurusan] yang berlawanan: berakhirnya dunia atau bermulanya sebuah tatanan baru. (Lihat: Just Commentary, No 8, Januari 1998, hlm 1).

Dunia memang belum berakhir. Sekalipun percobaan peluru balistik Korea Utara sebagai wujud tingkah gila dari Kim Jong-un terus saja berlangsung, harapan bagi terciptanya sebuah tatatan baru bagi umat manusia juga belum tampak.

Dengan Trump sebagai penguasa baru Amerika yang ditentang sebagian besar rakyatnya, nasib Palestina semakin tidak pasti, sementara negara-negara Muslim di kawasan Asia Barat dan Afrika Utara sibuk dengan masalah domestinya masing-masing yang berketiak ular, tidak jelas ujung-pangkalnya.

Tetapi, orang tidak boleh patah harapan. Sebab, di tengah kabut gelap manusia gila kuasa, masih saja ada manusia lain yang masih waras, tempat dunia mengadu dan bertanya.
*****


69 Tahun Nakba, Saat Israel Berdiri di Atas Ribuan Mayat Warga Palestina


Mei 2017, genap 69 tahun peristiwa Nakba yang memilukan, sehingga dampaknya terasa sampai hari ini. Peristiwa Nakba tercipta sebuah entitas yang disebut “Israel” di atas reruntuhan 78 persen dari negara bersejarah Palestina, yang menyaksikan perubahan peta sejak 1948.

“Nakba” menjadi titik balik yang tragis dalam perjalanan kehidupan orang Palestina setelah penjarahan tanah mereka, properti dan kekayaan, dan menderita pembunuhan sistematis dan perpindahan oleh Zionis pada tahun 1948.

fakta-fakta Nakba, sebenarnya dimulai sebelum tanggal 15 Mei 1948, namun tanggal itu dipilih oleh para politisi untuk mengenang sejarah awal Nakba, ketika milisi Zionis menyerang desa dan kota-kota Palestina untuk memusnahkan atau menimbulkan kepanikan untuk memfasilitasi perpindahan penduduk Yahudi.

Seperti dikonfirmasi oleh banyak sejarawan dan peneliti, proses pemindahan paksa warga Palestina tersebut “telah diprogram dan direncanakan, untuk membersihkan Palestina dari penduduk Arabnya” proses itu disertai teror intensif dan pembantaian yang merupakan salah satu alasan utama untuk bagi warga muslim Palestina meninggalkan desa-desa dan kota-kota mereka.

Menurut data yang didokumentasikan bahwa milisi Zionis selama fase Nakba mengambil alih secara paksa 774 desa dan kota. Mereka juga menghancurkan 531 desa dan kota Palestina, serta lebih dari 70 kejadian pembantaian rakyat Palestina, menyebabkan kematian lebih dari 15 ribu warga Palestina selama Nakba. Menyebabkan sekitar 800 ribu warga Palestina mengungsi dari desa-desa dan kota-kota mereka.


Jumlah Pengungsi

Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, perkiraan jumlah warga Palestina di dunia pada 2016 sekitar 12,7 juta orang. Ini berarti jumlah mereka bertambah 9,1 kali lipat sejak peristiwa Nakba 1948.

Berkenaan dengan jumlah warga Palestina saat ini berada di wilayah Palestina bersejarah (antara sungai dan laut, yang sebagian besar telah dikuasai israel), pada akhir tahun 2016 sekitar 6.410.000 orang. Diperkirakan mencapai sekitar 7,12 juta orang pada akhir tahun 2020, jika tingkat pertumbuhan seperti saat ini.

Data statistik menunjukkan bahwa pengungsi Palestina mencapai 42 persen dari semua warga penduduk Palestina di Palestina, akhir tahun 2016. Jumlah total pengungsi terdaftar UNRWA pada Januari 2015, sekitar 5.590.000 pengungsi. Sekitar 29 persen pengungsi Palestina berada di 58 kamp;​​ 10 kamp di Yordania, 9 di Suriah , 12 di Lebanon, 19 di Tepi Barat, dan 8 kamp di Jalur Gaza.

Perkiraan ini merupakan jumlah minimum pengungsi Palestina. Banyak pengungsi tidak terdaftar, jumlah ini tidak termasuk orang-orang yang telah mengungsi dari Palestina setelah tahun 1949 sampai menjelang perang Juni 1967, “menurut definisi pengungsi UNRWA,” juga tidak termasuk orang Palestina yang meninggalkan atau dideportasi pada tahun 1967, dengan latar belakang perang, dan yang awalnya tidak ditujukan untuk mengungsi.

Berkenaan dengan tanah, pendudukan Israel telah mengeksploitasi lebih dari 85 persen Palestina bersejarah, yaitu sekitar 27.000 kilometer persegi. Saat ini Palestina hanya menempati sekitar hanya 15 persen dari luas lahan yang menjadi hak mereka.


Penderitaan Tiada Henti

Hak kembali ke rumah bagi para pengungsi Palestina selalu menagalami penolakan dari negara pendudukan Israel. Israel menolak resolusi internasional tentang hak pengungsi untuk kembali ke rumah mereka dan kompensasi untuk kerusakan pada penderitaan besar disebabkan pendudukan tersebut.

Israel tidak berhenti, mereka terus berusaha melanjutkan pendudukan atas semua tanah Plestina sampai hari ini. Penggusuran dan pemindahan paksa terhadap warga Palestina melalui pembongkaran rumah di Yerusalem dan Tepi Barat, yang diduduki, dan penghancuran ribuan rumah, perampasan tanah dan aneksasi terus berlanjut. Demikian pula serangan, pembakaran, penutupan dan pendudukan terhadap Masjid Al-Aqsa dan tempat-tempat suci Islam dan Kristen. Di Jalur Gaza warga Palestina mengalami blokade berkepanjangan.

Gerakan anti pendudukan, Intifadha menjadi usaha yang bisa dilakukan sebagai sebuah jeritan terhadap ketidak adilan dan kezaliman Israel yang dibiarkan oleh negara-negara besar di dunia internasional. Sedangkan orang, lembaga dan negara yang peduli dan berusaha membantu sering dicap sebagai pendukung teroris.

Baca: http://www.qudspress.com/index.php?page=show&id=31843
*****

Sejarawan Israel: Israel Berdamai dengan Islam? Tidak Akan Pernah!


Kenali dirimu, kenali musuhmu, dan kenali medan tempurmu. Dan kau akan memenangi seribu pertempuran
– Sun Tzu –

Dalam bahasa lain dari tokoh militer AS, agar bisa memenangi pertempuran, perlu untuk masuk ke dalam pikiran musuh, sehingga bisa merasakan semangat yang sama, keyakinan, dan ketakutan yang menggerakkan mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk memimpin dan membimbing sebuah kelompok. Perlu untuk masuk dan menyelami ke pikiran orang-orang yang hendak dipimpin.

Langkah serupa sepertinya sedang ditempuh oleh seorang profesor Yahudi yang juga pakar sejarah. Moshe Sharon namanya. Ia adalah ahli sejarah Islam asal Israel yang sering dijuluki sebagai “ilmuwan tentang Timur Tengah terbesar di Israel”. Ia mencoba menyelami cara pandang Islam terhadap dunia, sebagai langkah untuk mengenali kelompok yang ia anggap musuh. Ia sering mengisi forum-forum kontraterorisme yang diadakan oleh Israel.

Sharon mengatakan bahwa para pejabat Barat gagal untuk memahami bahwa dunia Arab dan Islam melihat pendirian negara Israel sebagai “pembalikan sejarah” dan karenanya tidak pernah menerima hubungan damai dengannya.

Dari perspektif Islam, “Wilayah Islam diambil dari Islam oleh orang-orang Yahudi. Anda tahu sekarang bahwa ini tidak dapat diterima, meski hanya satu meter pun. Jadi setiap orang yang berpikir bahwa Tel Aviv aman, telah membuat kesalahan besar. Wilayah yang pada satu waktu didominasi oleh pemerintahan Islam, kini telah menjadi wilayah non-Muslim. Non-Muslim independen dari pemerintahan Islam, dan Yahudi juga telah menciptakan negara independen mereka sendiri. Lebih buruk lagi, Israel, negara non-Muslim, memerintah umat Islam. Sangat tidak bisa terpikirkan bahwa non-Muslim menguasai Muslim.”

Sharon menganggap bahwa berbagai perjanjian damai yang ditandatangani oleh pejabat Muslim dan Arab selama bertahun-tahun sebagai “potongan kertas, bagian dari taktik dan strategi … tanpa makna.”

Penilaian Sharon difokuskan pada bahaya yang ditimbulkan oleh Iran. Ia mempelajari budaya, sastra, surat kabar, siaran TV dan radio, serta melakukan wawancara dengan tokoh utama rezim Iran. Sharon menyimpulkan bahwa keyakinan yang mendalam akan mesianisme Syiah adalah akar dari proyek nuklir Iran.

“Mereka benar-benar percaya bahwa mesiah Syiah, Imam Keduabelas (juga dikenal sebagai Al-Mahdi), berada di sini (Israel), dan bahwa ia akan mengungkapkan dirinya … Yang menggerakkan pemerintah dan pemimpin Iran hari ini adalah pertama dan terutama keinginan untuk membawa Imam keduabelas.”

Sharon menjelaskan doktrin teologis Syiah bagaimana Al-Mahdinya nanti akan muncul. Sharon menjelaskan: “Bagaimana mereka akan membawanya muncul? Melalui kiamat. Dia (Al Mahdi) membutuhkan perang. Dia tidak bisa datang ke dunia ini tanpa Armageddon. Dia menginginkan Armageddon. Semakin cepat kita memahami ini, semakin baik.” Dan karena itulah, menurut Sharon, program nuklir mencoba direalisasikan oleh Iran.

Sharon di masa lalu bersikeras bahwa dunia Barat telah melakukan kebodohan besar dengan membedakan antara Islam radikal dan Islam moderat. “Tiba-tiba kita melihat bahwa penafsir terbesar Islam adalah politisi di dunia Barat,” tulisnya sinis.

“Mereka tahu lebih baik daripada semua penceramah di masjid-masjid, semua orang yang memberikan khotbah yang mengerikan tentang Kristen atau Yahudi. Politisi Barat ini tahu bahwa ada Islam yang baik dan Islam yang buruk. Mereka bahkan tahu bagaimana membedakan keduanya—Kecuali bahwa tidak satupun dari mereka tahu cara membaca bahasa Arab.”

“Perbedaan antara agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah sebagai berikut: Yudaisme berbicara tentang keselamatan nasional—yaitu, bahwa di akhir cerita, ketika dunia menjadi tempat yang lebih baik, Israel akan berada di tanah sendiri, diperintah oleh raja sendiri dan melayani Tuhan. Kristen berbicara tentang gagasan bahwa setiap orang di dunia dapat diselamatkan dari dosa-dosanya, sementara Islam berbicara tentang menguasai dunia. Saya bisa mengutip dalam bahasa Arab, namun tidak ada gunanya mengutip bahasa Arab, jadi izinkan saya mengutip sebuah ayat dalam bahasa Inggris: ‘Allah mengirim Muhammad dengan agama yang benar untuk diunggulkan atas semua agama.’

“Idenya bukanlah bahwa seluruh dunia akan menjadi muslim saat itu, tetapi bahwa seluruh dunia akan ditundukkan di bawah kekuasaan Islam.”

Sharon juga pernah menjelaskan tentang cara pandang Islam terhadap sejarah dan geografi. Sharon menegaskan bahwa dalam perspektif Islam, pada dasarnya, agama di alam semesta ini hanyalah satu. Agama tersebut mengokohkan keesaan Allah dan menegaskan nabi Muhammad sebagai utusan Allah.

“Dari mulai diciptakannya semesta ini, hanya ada satu agama, yaitu Islam,” ujarnya. Sharon menjelaskan lebih lanjut, “Solomon (sulaiman,- red) adalah muslim. David (Daud, – red), Abraham (Ibrahim, – red), Moses (Musa, – red), Yesus (Isa, – red), adalah muslim.

“Inilah yang saya maksudkan dengan islamisasi sejarah. Di seluruh islamisasi sejarah akan ada islamisasi geografi, semua wilayah yang berhubungan dengan tokoh-tokoh tadi adalah wilayah muslim,” tegas Sharon.

Wilayah-wilayah tersebut, jelasnya, terlepas apakah sesudah Nabi Muhamad datang atau belum, harus dibebaskan. “Bukan untuk ditaklukkan. Yang ada adalah untuk dibebaskan,” imbuhnya. Islam muncul di sejarah, pada saat Muhammad, adalah sebagai pembebas. Tidak ada penjajahan dalam Islam. Yang ada adalah pembebasan dalam Islam.

(Quds-Press/Islam-Indonesia/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: