Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Al-Rum 30: 30)
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan fithrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dalam pola fithrah itu sebagai konsekuensi dari keberadaannya. Fitrah ini telah terjalin berkelindan dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt yang khusus dianugerahkan kepada manusia. Makhluk-makhluk selain manusia tidak memiliki fitrah semacam ini, atau mereka memilikinya dengan kadar yang lebih rendah daripadanya.
Untuk memahami bahwa keyakinan akan keberadaan Wujud Awal dari segala sesuatu telah tertanam dalam fitrah manusia, kita perlu memahami lebih dahulu sebuah realitas, yaitu bahwa salah satu di antara hal-hal fitrah manusia adalah kecintaan dan kerinduan akan kesempurnaan. Ini adalah salah satu karakter bawaan semenjak lahir yang dimiliki seluruh generasi umat manusia. Tak satu individu pun dari mereka yang tak memilikinya atau berlawanan dengan karakter ini.
Adat, tradisi, ataupun aliran keagamaan mana pun, tak dapat mengubahnya, merusaknya atau menghalangi jalannya kecenderungan ini. Kecenderungan alamiah untuk mengejar kesempurnaan ini demikian universalnya sehingga jika Anda mengalami fase-fase sejarah umat manusia secara keseluruhan, lalu Anda teliti kecenderungan setiap individu, kelompok, suku, ataupun bangsa dari mereka, pasti Anda akan menemukan bahwa kecenderungan semacam ini adalah sebuah sifat manusia yang dibawa semenjak kelahirannya. Anda pasti akan mendapati hatinya selalu cenderung menuju ke arah kesempurnaan.
Patut diketahui bahwa salah satu kecenderungan fitrah manusia yang telah Allah tanamkan dalam diri seluruh manusia adalah kerinduannya pada suatu ketenangan dan kenyamanan. Jika seluruh episode sejarah manusia – dari kehidupan kaum bar-bar hingga kaum beradab, sejak zaman pemberontakan kaum pagan hingga zaman kesalehan – dikaji, dan apabila seluruh individu masyarakat manusia – mulai kalangan terpelajar hingga mereka yang jahil, dari yang mulia hingga yang hina, dari kaum pedesaan hingga perkotaan – ditanyai tentang tujuan dari aneka ketergantungan mereka yang bermacam-macam serta keinginan-keinginan yang beragam, lalu apa sebenarnya target di balik kesediaan mereka menerima berbagai macam penderitaan, cobaan, serta kesulitan hidup?
Semua akan sepakat menjawab – secara serempak dan dengan jelas – bahwa satu-satunya tujuan mereka adalah untuk memperoleh kenyamanan serta kenikmatan hidup. Target dan tujuan akhir yang mereka idam-idamkan adalah kenyamanan mutlak, yang tak tercemari oleh sedikit pun kelelahan.
Memang kenyamanan dan kebahagiaan sempurna adalah dambaan setiap orang. Namun meskipun ia ditemukan pada mereka, selalu saja yang mereka dapati tidak sempurna. Sehingga apabila seseorang menyukai sesuatu, dia segera membayangkan kenyamanan pada sesuatu itu. Padahal, ketenangan dan kenyamanan mutlak seperti itu mustahil ada di dunia ini. Seluruh rahmat dan nikmat di dunia ini bercampur dengan kerja keras yang melelahkan. Seluruh kenikmatan dunia pasti dicemari oleh suatu derita.
Rasa sakit dan derita, kegusaran dan nestapa, kecemasan dan kekhawatiran, ada di setiap bagian dunia ini. Selama sejarah panjang umat manusia, tak seorang pun di dunia ini yang derita dan nestapanya sebanding dengan kenikmatan yang diperolehnya, kesenangannya sama dengan kelelahannya – apalagi untuk mendapatkan kenikmatan mutlak yang tak tercemari oleh apa pun.
Oleh karena itu, dambaan manusia tak mungkin diperolehnya di dunia ini. Kecintaan naluriah yang telah menjadi sifat bawaannya ini tak mungkin terpuaskan tanpa adanya “kekasih idaman” yang benar-benar nyata.
Maka, haruslah ada suatu dunia dalam alam eksistensi di mana kesenangan tak terkotori oleh kerja atau derita apa pun, yang kenikmatan dan kedamaiannya mutlak dan murni, tanpa penderitaan. Dunia itu adalah rumah nikmat Ilahiah.
Dunia itu dapat pula ditunjukan melalui cinta kebebasan yang fitri pada manusia dan keteguhan kehendak manusia, yang tertanam dalam fitrah setiap individu. Karena materi-materi penunjang berlangsungnya kehidupan di alam ini dapat mengekang kebebasan serta kehendak manusia, seperti banyaknya penderitaan dan kesempitan yang sering kali merintanginya, harulah ada suatu alam lain yang didalamnya kehendak manusia dapat lebih berpengaruh dan faktor-faktor penunjang kelangsungan alam itu tak berbenturan dengan kehendak manusia. Alam dengan keadaan seperti ini akan membuatnya dapat berbuat sesuai dengan kehendak dan kebebasannya secara penuh.
Dengan demikian, aspek cinta kenikmatan dan cinta kebebasan adalah dua dimensi fitrah yang telah tertanam dalam diri manusia dan lahir bersamaan dengan kehadirannya di pentas dunia ini. Keduanya adalah fitrah Allah yang tidak akan pernah mengalami perubahan sedikit pun. Dengannya, manusia dapat terbang tinggi dipuncak alam malakut sambil mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Masih ada lagi dimensi-dimensi fitrah lainnya selain yang telah kita bahas di atas yang dapat juga dijadikan sebagai argumentasi untuk membuktikan beberapa pengetahuan haqq.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar