Sampai sekarang salah satu pertanyaan besar terkait dengan isu Palestina ialah mengapa umat Islam yang memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang begitu luar biasa tampak lemah dan tidak berdaya di hadapan Rezim Zionisme Israel? Jawaban pertanyaan ini bisa kita dapatkan dengan baik saat kita menelusuri gagasan dan peryataan Imam Khomaini yang berhubungan dengan Palestina berikut ini.
Dari awal perjuangannya sebelum mencapai kemenangan, Imam Khomeini secara tegas menentang Israel. Sehingga masalah Palestina mendapat tempat yang istimewa dalam kehidupan politik dan Ilahiah Imam Khomeini, dan bila kita hapus peran beliau dari perjuangan secara teoritis dan praktis dalam membela Palestina maka kita tidak akan pernah menyaksikan pengaruh kepemimpinannya yang luar biasa di tengah masyarakatnya dan bagaimana beliau menginspirasi pelbagai gerakan perlawanan melawan Israel.
Imam Khomeini meyakini bahwa persoalan utama Muslimin, bahkan masyarakat dunia adalah hegemoni yang diistilahkannya dengan “Zionisme Internasional” terhadap pelbagai bangsa. Dan satu-satunya jalan untuk menghadapi ini adalah perlawanan dengan pelbagai bentuk melalui persaudaraan dan kesetiakawanan sesama umat Islam.
Terkait dengan perjuangan panjang Imam Khomeini dalam membela Palestina, beliau berkata:
“Saya nyaris dua puluh tahun telah membicarakan bahaya Zionisme Internasional.”
Pandangan yang cukup lama tersebut menunjukkan kecerdasan dan kejelian Imam Khomeini dalam mengenali musuh. Padahal, waktu itu orang yang paling cerdas di dunia Islam hanya berbicara tentang ancaman Zionisme bagi umat Islam saja, namun Imam justru telah memperkenalkan bahaya Zionisme bagi masyarakat dunia secara umum.
Imam Khomeini sering mengutip hadis Nabi saw yang berbunyi: “Barangsiapa memasuki waktu pagi dan ia tidak peduli terhadap urusan Muslimin maka ia bukan termasuk orang Muslim.”[1]
Ya, Imam Khomeini cukup menderita melihat berkobarnya perselisihan Sunnah dan Syiah hingga melupakan problema besar dan utama dunia Islam seperti Palestina. Imam tidak ingin persoalan sempit mazhab sampai menengelamkan masalah krusial dunia Islam seperti al-Quds dan Palestina. Dan untuk memperkuat persatuan dan keharmonisan Sunni dan Syi’i, beliau menggagas Pekan Persatuan yang diadakan dari tanggal 12 sampai 17 Rabiul Awal dengan mengambil momentum kelahiran Nabi Muhammad saw yang sangat dihormati kedua madrasah besar Islam tersebut.
Berulangkali Imam Khomeini menegaskan perihal pentingnya persatuan antara sesama kelompok dan komunitas Islam. Isu Sunnah-Syi’ah harus “dikubur”untuk menghadapi Israel dan menghentikan pendudukan Zionisme. Israel hanya berpikir kehancuran Islam, ngak peduli Sunnah, apa Syiah.
Meskipun mayoritas orang-orang Arab yang tinggal di Palestina adalah pengikut mazhab Ahlu Sunnah namun Imam Khomeini sebagai Fakih (ahli fikih) dan Marja’ Syiah tidak pernah sedikit pun mengendur dalam pembelaannya terhadap mereka, bahkan beliau menganggap masalah Palestina sebagai persoalan yang terkait dengan eksistensi Islam. Oleh karena itu, Imam Khomeini selalu mengajak seluruh Muslimin, khususnya Syiah Lebanon untuk membantu rakyat Palestina dan beliau menegaskan bahwa masalah Palestina adalah masalah dunia Islam.
Imam Khomeini menganggap sebuah aib besar ketika kelompok kecil Zionis justru berkuasa atas lebih dari satu milyar umat Islam, dan dalam hal ini beliau berkata:
“Mengapa negara-negara yang memiliki segala sesuatu dan mempunyai pelbagai kekuatan dan potensi justru dikuasai oleh Israel yang merupakan kelompok kecil? Mengapa mesti demikian? Ini terjadi karena umat tercerai berai dan pelbagai negara Islam tidak terkonsolidasi dengan baik. Satu milyar masyarakat Islam yang memiliki pelbagai peralatan dan aset hanya duduk dan berpangku tangan menonton kebiadaban Israel terhadap rakyat Lebanon dan Palestina.”[2]
Ada pernyataan Imam Khomeini yang terkenal, yaitu bahwa bila seluruh kaum Muslim bersatu dan masing-masing mereka membawa seember air yang ditumpahkan di Israel maka Israel akan tenggelam dan kebanjiran. Dalam hal ini, Imam Khomeini berkata:
“Ada masalah yang menjadi misteri bagi saya. Yaitu seluruh negara Islam dan bangsa Islam mengetahui apa problema sebenarnya. Mereka mehamami bahwa tangan-tangan asing berada di balik perpecahan ini, dan mereka sadar bahwa dengan perpecahan ini, mereka melemah dan akan binasa. Mereka melihat bahwa negara fiktif Israel berdiri tegak di hadapan umat Islam yang bilamana umat Islam bersatu maka masing-masing dari Muslim membawa seember air lalu ditumpahkan di kawasan Israel nicaya mereka akan mengalami kebanjiran dan tenggelam. Ironisnya, mereka tampak kerdil dan hina di hadapan Israel.”
“Selama kita belum kembali kepada Islam; Islam Rasulullah saw; selama kita belum kembali kepada Islam Rasulullah maka kita akan tetap dililit masalah. Kita tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah Palestina, demikian juga Afganistan, dan juga kawasan-kawasan lainnya. Umat harus kembali ke masa permulaan Islam.”[3]
Dalam pelbagai kesempatan berulang kali Imam Khomeini mengingatkan bahwa jangan sampai umat Islam justru saling berhadapan, utamanya Ahlu Sunnah dan Syiah sehingga masalah Palestina terbengkalai dan terpinggirkan. Ini adalah jebakan dan konspirasi musuh. Dan sekarang sudah tidak relevan lagi mempertetangkan antara Sunnah dan Syiah, apalagi saling menyesatkan dan mengkafirkan. Saat ini kita lebih memerlukan persatuan dan toleransi lebih dari zaman sebelumnya.
Alhamdulillah, musuh-musuh kebenaran adalah orang-orang yang bodoh dan marilah kita manfaatkan kebodohan mereka untuk menggalang komunikasi, silaturahmi dan konsolodasi antar pelbagai kelompok Islam demi pembelaan terhadap rakyat Palestina dan kita perlu mengapresiasi dalam bentuk dukungan moril, materi dan minimal doa kepada siapapun yang secara nyata berada di garis terdepan dalam perjuangan membela hak-hak rakyat Palestina.
Catatan Kaki:
[1] Riwayat ini terdapat dalam al-Hakim fi al-Mustadrak (7902), ath-Tahbrani fi al-Mu’jam al-Austah (474), al-Baihaqi fi asy-Syi’b (10586).
[2] Sayed Ruhullah Musawi Khumaini, Shahifah Imam, Muassaseh Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, tahun 1394, jilid 10, hal. 417-418.
[3] Shahifah Imam, jilid 9, hal. 274.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar