Salah satu keyakinan Syiah adalah seorang Imam selain sebagai pemberi petunjuk bagi manusia dan menjaga keutuhan agama Islam, mereka juga harus menjadi pemimpin dalam pemerintahan Islam sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Saw sendiri. Rasulullah Saw membentuk pemerintahan Islam dan beliau menjadi pemimpin bagi orang muslim. Maka dari itu, para Imam sebagai pengganti Rasul Saw, memiliki tanggung jawab yang sama untuk memimpin dan membentuk sebuah pemerintahan.
Akan tetapi, karena banyaknya problem dan rintangan, selain Imam Ali as dan Imam Hasan Mujtaba as tidak ada satupun dari mereka yang bisa memegang kekuasaan tersebut. Imam Ali as setelah terpaksa mendekam di rumahnya selama 25 tahun, beliau hanya bisa memimpin selama 5 tahun, itupun selama kepemimpinannya yang sebentar ini beliau dihadapkan dengan tiga peperangan; Perang Jamal, Shifiin dan Nahrawan.
Muawiyah memprovokasi masyarakat awam untuk memerangi Imam Ali as dan Imam Hasan as dengan dalih jihad dan ibadah. Di masa Imam Husein juga, penduduk Kufah dengan ribuan surat undangan, mereka meminta Imam Husein as untuk menjadi pemimpin dan akan dibaiat namun, kenyataannya mereka membantai beliau dan para sahabat setia beliau di padang suci Karbala.
Di sisi lain, meskipun kekejaman Bani Umayyah ( khususnya di Karbala) membuat orang-orang muslim muak dan pada akhirnya pemerintahan 1000 bulan Bani Umayyah tumbang. Akan tetapi, pengetahuan dan kesiapan Masyarakat umum tidak membuat mereka menerima pemerintah Imam Shadiq as dan belum mampu menyadarkan mereka akan tipu daya dan ambisi kekuasaan para penguasa seperti Abdullah As-Saffah dan Mansur Abbasi.
Bujukan Abu Muslim Dan Abu Salamah
Imam Shadiq as diajak oleh Abu Muslim Khurasani; sebagai pembela keluarga Nabi melakukan pemberontakan dan mengundang Imam sebagai pemimpinnya. Sebagaimana Abu Salamah juga dalam suratnya membujuk Imam untuk menerima kepemimpinan tersebut.
Akan tetapi, Imam menolak semuanya karena Imam tahu persis bahwa hanya segelintir orang saja yang benar-benar menerima pemerintahan Imam, dan undangan Abu Salamah tak ubahnya seperti undangan penduduk Kufah kepada Al-Husein as.
Ringkasnya, jelas bahwa tidak ada tempat untuk para Imam untuk memimpin, oleh karenanya beliau melakukan pekerjaan yang lebih mendasar lain seperti menjelaskan Islam dan mendidik para kader-kader.
Abu Salmah menulis surat kepada tiga pembesar Alawiyin: Ja’far bin Muhammad As-shadiq, Umar Asyraf bin Zainul Abidin dan Abdullah Mahdz yang dikirim melalui budaknya yang bernama Hamd bin Abdur Rahman.
Abu Salamah memerintahkan kepada budaknya, Cepatlah engkau menuju ke rumah Ja’far bin Muhammad setibamu di Kota Madinah, berikan surat itu kepadanya, jika kau mendapatkan jawaban positif hapus dan hancurkan dua surat yang lain, namun jika mendapatkan jawaban negatif maka pergilah kepada Abdullah Mahd. Jika kau mendapatkan jawaban positif maka hapuslah dua surat yang lain, namun jika mendapatkan jawaban negatif maka pergilah kepada cucu Imam Ali Zainal Abidin Umar Asyraf dan serahkan surat itu kepadanya.
Pembawa surat berangkat dan sampailah di rumah Imam Shadiq as dan dia serahkan surat tersebut. Karena Imam sangat mengenal Abu Salamah, tanpa membaca surat tersebut beliau berkata: Apa urusanku dengan Abu Salamah? Dia pengikut orang lain. Pembawa surat menawarkan: tolong baca terlebih dahulu surat tersebut.
Imam memerintahkan pelayannya untuk mendekatkan lampu dan membakar surat tersebut. Pembawa surat bertanya, mengapa kau tidak memberikan jawaban? Imam menjawab: kau telah melihat sendiri jawabannya, laporkan kepada majikanmu apa yang telah kau lihat.
Pembawa surat keluar dari rumah Imam dan pergi ke rumah Abdullah Mahd dan menyerahkan surat tersebut, dia membaca suratnya dan merasa bahagia. Keesokan harinya Abdullah menuju rumah Imam Shadiq as. Ketika Imam melihat matanya, Imam sedih dan bertanya: Ada apa gerangan sehingga kamu datang kemari? Dia berkata: iya, ada sesuatu yang lebih dari yang dibayangkan.
Imam bertanya: Ada apa? Dia berkata: ini surat dari Abu Salamah yang mengundangku untuk menjadi pemimpin. Dia telah didukung oleh penduduk Khurasan.
Imam berkata: kapan masyarakat Khurasan menjadi Syiah dan menjadi pengikutmu? Apakah kau mengutus Abu Salamah ke Khurasan? Dan apakah engkau pakaikan mereka baju hitam? Apakah mereka yang datang ke Irak karena perintahmu dan apakah kau kenal salah satu dari mereka?
Abdullah menjawab pertanyaan-pertanyaan Imam dan berdebat dengan beliau. Akhirnya, Imam menjawab: Pada akhirnya pemerintahan akan berakhir untuk keuntungan Bani Abbas, surat yang telah engkau terima juga telah dikirim kepadaku dan aku telah membakarnya.
Di akhir dari kepemimpinan Marwan ( Khalifah terakhir Bani Umayyah) Muhammad ayah Ibrahim dan As-Saffah Khalifah pertama Bani Abbasiyah berusaha dengan sangat gigih dan keras untuk sampai pada kepemimpinan. Di antaranya mengirim seorang ke Khurasan dan memerintahkan masyarakatnya untuk mendukung keluarga Muhammad Saw, namun tanpa menyebut nama keluarga nabi yang dimaksud.
Dia juga mengutus Abu Muslim Khurasani dengan maksud yang sama dan menulis surat yang panjang lebar kepada orang-orang berpengaruh di daerah tersebut. Namun tidak lama Muhammad meninggal, setelah itu dilanjutkan oleh putranya Ibrahim sesuai dengan wasiat ayahnya.
Dia juga mengutus Abu Muslim Khurasani ke tempat itu untuk mengajak masyarakat sana , begitu juga Abu salamah diutus ke daerah itu untuk mengirim surat kepada pembesar Khurasan. Kemudian Abu Salmah diutus oleh Ibrahim untuk datang ke Kufah dan melakukan kegiatan politik sampai-sampai dia dikenal dengan Mentri Keluarga Muhammad.
Marwan menangkap Ibrahim dengan tipu dayanya dan dia di penjara di Harran serta dengan kejam dia bunuh. Ketika Ibrahim di penjara dia sadar bahwa dia tidak akan bebas dari penjara Marwan, oleh karenanya dia menulis wasiat bahwa saudaranya As-Saffah sebagai penggantinya.
Abu Salmah setelah mengetahui terbunuhnya Ibrahim, dia berfikir bahwa harus ada salah satu dari Alawiyin yang harus diajak menjadi pemimpin. Dia adalah seorang oportunis dan hanya berupaya sampai kepada kekuasaan. Dia mengetahui bahwa Ibrahim mewasiatkan As-Saffah sebagai penggantinya, sehingga ketika Saffah, saudara-saudaranya dan sahabat-sahabatnya berangkat menuju Kufah dia langsung memberikan tempat dan mereka dijamu di rumah Walid bin Sa’ad dan sampai 40 hari dia rahasiakan kedatangan mereka. Dan pada akhirnya dia membai’at As-Saffah.
Dari fakta-fakta di atas, jelas terlihat mengapa Abu Salamah menulis surat untuk Imam, apa motivasinya? sangat jelas bahwa dia tidak meyakini akan keImamahan Imam Shadiq as, hanya saja orang-orang yang ada di sekelilingnya adalah orang-orang Syi’ah Kufah.
Dia mengetahui bahwa Ibrahim telah mencalonkan saudaranya Saffah untuk menjadi pemimpin, dan juga mengetahui bahwa pasukan Abu Muslim berperang demi keuntungan Bani Abbasiyah sedang menuju Kufah tempat tinggalnya.
Pada akhirnya dia mengetahui semua kegiatan-kegiatan politik As-Saffah Dengan ini semua, Sangat jelas bahwa Abu salmah selamanya tidak condong kepada kepemimpinan Imam Shadiq as dan tidak ingin menjadikan beliau sebagai khalifah sebenarnya. Undangan itu hanya untuk membungkam orang-orang Syiah yang ada di sekelilingnya dan dengan tujuan agar masyarakat membai’at Imam Shadiq as tentunya dia akan sampai kepada sebuah kedudukan.
Engkau Bukan Termasuk Pembelaku Dan Zaman Ini Bukan Masa Pemerintahanku
Abu Muslim Khurasani juga memiliki kondisi yang serupa, meski dia tidak percaya dengan keImamahan Imam Shadiq as, namun dia menulis surat untuk Imam Shadiq yang isinya: Aku mengajak masyarakat untuk mencintai Ahlulbait, jika kau ingin menjadi pempimpin silahkan. Imam menjawab: Engkau bukan termasuk pembelaku dan zaman ini bukan masa pemerintahanku.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Imam tahu betul bahwa Abu Muslim dan Abu Salmah ingin memobilisasi masyarakat dengan mengambil hati Imam dan dengan slogan / yel-yel “Yang direstui adalah keluarga Muhammad Saw” namun di balik itu semua ternyata Abu Muslim menjadi pembela Bani Abbas begitu juga Abu Salamah akhirnya berbaiat dengan As-Saffah.
Dengan demikian apa tujuan mengundang Imam? Sudah jelas. Sebagaimana Imam Ali as menolak kepemimpinan bersyarat saat musyawarah enam tokoh dan dengan tegas menolak untuk menerima kepemimpinan yang harus berlandaskan Sirah dan para khalifah sebelumnya.
Di sisi lain keimanan masyarakat yang menampakkan kecintaannya kepada Imam sangat sedikit sehingga sulit bagi mereka melawan tipu daya penentang pemerintahan Imam as atau sulit bertahan ketika menemui hambatan dan rintangan.
Mengapa Imam Ja’far Shadiq as tak tergugah untuk mengambil haknya?
Imam memahamkan kepada masyarakat dengan cara yang bermacam-macam bahwa sebenarnya banyak sahabat yang sejati yang mampu berjuang, tapi jumlah merek belum mencukupi.
Sahl bin Hasan Khurasani datang kepada Imam dan berkata: Wahai putra Rasulullah engkau adalah Ahlulbait dan seorang pemimpin, namun mengapa engkau tidak perjuangkan hakmu padahal engkau memiliki ratusan ribu tentara bersenjata?
Imam bersabda: Wahai penduduk kota Khurasan, duduklah! Hakmu akan tetap terjaga di sisi Allah. Pada saat itu Imam memerintahkan untuk menyalakan tungku api, kemudian Imam bersabda: Wahai Khurasani bangunlah dan masuklah ke dalam tungku itu! Khurasani menjawab: Tuanku, wahai putra Rasul jangan kau bakar diriku, ampunilah aku, dan semoga Tuhan juga akan mengampuni dosamu. Beliau bersabda: aku telah mengampuni dirimu, kemudian datanglah Harun Al-Makki dan berkata: Salam atasmu wahai putra Rasulullah.
Imam Ja’far Shodiq as bersabda: Masuklah ke dalam tungku, dia pun masuk ke dalam tungku dan duduk di dalamnya. Imam kemudian menatap penduduk Khuroshan itu dan berbincang-bincang tentang situasi dan kondisi di kota tersebut seakan-akan Imam menyaksikan kondisi mereka dari dekat.
Kemudian beliau berkata: Wahai khurasani, bangun dan lihatlah apa yang ada di dalam tungku! Khuroshani berkata: aku bangun dan aku lihat dia duduk bersimpuh dan keluar dari tungku dan mengucapkan salam kepada kami.
Imam berkata kepada laki-laki tersebut, di Khurosan kira-kira berapa orang yang bisa kamu dapati seperti dia? Dia berkata: Aku bersumpah, satu orangpun tidak ada. Imam bersabda: Pada saat kita tidak memiliki (minimal) 5 orang pembela yang sejati maka kami tidak akan pernah melakukan kebangkitan / pergerakan, kami lebih tahu kapan kami harus melakukan kebangkitan itu.
Imam Ja’far Shadiq bersabda: Andaikan aku memiliki pengikut sebanyak domba-domba ini, maka aku tidak akan diam dan pasrah berpangku tangan adalah sebuah kesalahan.
Riwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Sudair Shairafi mengatakan: Aku pergi ke Imam Shadiq dan berkata, Sumpah demi tuhan berdiam diri untukmu bukanlah sebuah kepatutan. Imam Shadiq as bersabda: mengapa wahai Sudair? Aku berkata: Karena teman, pengikut dan pembela dirimu sangat banyak. Sumpah demi Allah jika Imam Ali as punya pengikut dan pembela sepertimu, niscaya khalifah pertama dan kedua tidak akan berambisi untuk merebutnya.
Imam bersabda: Wahai Sudair, menurutmu berapa jumlahnya? Seratus ribu, Imam bersabda: seratus ribu? Aku berkata: dua ratus ribu. Imam bersabda: dua ratus ribu? Aku berkata: Iya bahkan setengah dari dunia
Imam kemudian berdiam diri, kemudian setelah beberapa saat beliau bersabda: Mari kita bergegas ke Yanbu’. Aku berkata, Iya. Kemudian beliau memerintahkan untuk menyiapkan seekor keledai dan onta. Aku ingin menaiki keledai itu, tapi Imam berkata, Bisakah engkau berikan keledai itu kepadaku? Aku menjawab, Onta lebih indah dan lebih kuat bagimu. Imam menjawab bahwa keledai lebih mudah baginya.
Beliau naik keledai dan aku naik onta, sampai akhirnya waktu shalat tiba. Imam bersabda: Turunlah, kita akan shalat. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, di daerah ini kurang cocok kalau kita buat shalat, ayo kita jalan kaki sampai kita ke tanah merah. Setelah sampai, beliau memperhatikan seorang pemuda yang menggembala beberapa kambing dan bersabda: Sumpah demi Allah, andaikan aku memiliki pengikut sejumlah kambing yang digembalakan pemuda itu, maka berdiam diri (tidak mengambil hak) adalah ketidakpatutan bagi diriku. Sudair berkata, Kami turun dan shalat setelah itu aku menghitung jumlah kambing-kambing itu yang ternyata tidak lebih dari bilangan 17 ekor.
Dengan demikian, dari apa yang dibahas alasan-alasan dan dalil keengganan Imam Ja’far Shadiq as menerima tawaran dijadikan pemimpin adalah hal-hal berikut ini:
1. Tawaran dan ajakan tersebut tidaklah murni untuk menjadikan beliau sebagai seorang khalifah resmi.
2. Waktu yang memang belum tepat karena faktor tidak cukupnya pendukung dan landasan pemikiran mereka. Sehingga beliau lebih tertarik untuk membenahi urusan ilmiah dan pemikiran para pengikut tersebut daripada menghunus senjata mengambil hak yang sudah dirampas.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar