Seorang perempuan berjalan melewati sebuah poster yang memuji pengakuan Presiden AS Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, di Yerusalem, 7 Desember 2017. (Foto: AP)
Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel menuai kecaman di dunia Arab, di Eropa dan berbagai belahan dunia lainnya.
Dalam pidatonya, Rabu (7/12), Trump menggambarkan keputusannya itu sebagai langkah yang sudah lama tertunda setelah presiden-presiden sebelumnya tidak memenuhi janji AS terhadap Israel selama 22 tahun. Namun status Yerusalem adalah isu sengit yang menurut banyak negara seharusnya dirundingkan antara Israel dan Palestina.
Seperti diperkirakan, Palestina dan para pendukungnya di berbagai penjuru dunia marah menanggapi keputusan presiden AS untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
"Trump mendorong ekstrimisme keagamaan di sini dan di luar negeri dan ia memberikan pukulan keras terhadap prospek perdamaian di kawasan itu,” kata Nihad Awad dari Dewan Hubungan Amerika-Islam atau CAIR.
Ada kekhwatiran bahwa langkah Trump ini merusak peluang terciptanya solusi dua negara di Timur Tengah. Sekjen PBB Antonio Gutteres mengatakan status Yerusalem harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Isarel dan Palestina. Ia kembali menegaskan bahwa langkah sepihak bisa merusak usaha perdamaian.
"Saya akan melakukan apa saja dalam kewenangan saya agar para pemimpin Israel dan Palestina kembali melakukan perundingan yang berarti,” jelasnya.
Ketua perunding Palestina Saeb Erekat mengatakan, langkah Trump itu mendiskualifikasi Amerika sebagai salah satu pemain dalam proses perdamaian Timur Tengah. "Ia melanggar hukum internasional, HAM, dan mengubah konflik antara Palestina dan Israel dari isu politik menjadi isu agama,” jelasnya.Sejumlah analis sepakat, keputusan Trump itu mengisyaratkan berakhirnya proses perdamaian yang dipimpin AS.
"Rakyat Palestina tidak akan membiarkan ini. Saya kira, siapapun pemimpin Palestina yang berusaha menyetujui itu akan sepenuhnya jatuh di mata rakyatnya. Saya kira ini akhir proses perdamaian pimpinan Amerika,” jelas Khaled Elgindy dari Brookings Institution.
Nathan Diament, ketua kelompok advokasi Yahudi Orthodoks di Washington mengatakan kepada VOA, mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel akan membantu menghidupkan kembali proses perdamaian.
“Pengumuman dari Presiden Trump hari ini dan awal dimulainya proses memindahkan kedutaan besar mengirim pesan sangat penting ke Palestina dan lain-lainnya, yakni: jika Anda terus menyingkir, segala sesuatunya tidak akan tetap sama, Anda justru kehilangan pijakan. Jadi, demi kepentingan Anda, pertama-tama, cari cara untuk menghentikan hal-hal yang merusak proses perdamaian.”
Sebuah UU AS tahun 1995 merencanakan untuk memindahkan Kedubes Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, namun sejauh ini semua presiden sebelum Trump mengambil langkah menunda rencana itu karena alasan keamanan.
(VOA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar