Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Agama dan Dunia

Agama dan Dunia

Written By Unknown on Jumat, 16 Februari 2018 | Februari 16, 2018


Sejarah kehidupan manusia mencatat bahwa agama senantiasa menunjukkan peran dan pengaruh mendasar dalam berbagai dimensi kehidupan. Ajakan ke arah tauhid dan anjuran meninggalkan segala bentuk perbudakan merupakan tujuan terpenting diutusnya para nabi. Agama tidak saja memberikan pengaruh positif dalam kebahagiaan hidup manusia di akhirat kelak, melainkan juga memberikan pengaruh yang fundamental dalam kehidupan duniawi. Pertanyaan seputar interaksi antara agama dan dunia, fungsi agama, peran sentral agama dalam berbagai aspek kehidupan duniawi, dan begitu pula faktor-faktor epistemologi, sosiologi, dan kebudayaan merupakan persoalan-persoalan utama yang menyebabkan lahirnya kebangkitan renaissance di dunia Barat dan gerakan pemisahan antara agama dan dunia.

Sebelum kita membahas dan mengkaji permasalahan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, seperti pengertian agama, pengertian dunia, defenisi sekularisme, dan sekularisasi. Agama didefinisikan sebagai sebuah majemuk dari makrifat-makrifat ketuhanan, hukum-hukum, dan akhlak. Dalam satu ungkapan bisa dikatakan bahwa agama merupakan segala sesuatu yang diturunkan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul-Nya dalam bentuk wahyu dan kitab-kitab suci dengan tujuan mengarahkan dan memberi petunjuk kepada manusia. Secara etimologis, dunia berasal dari akar kata dunuww yang berarti dekat, atau dari akar kata danâ yang bermakna tercela atau eksistensi yang paling rendah.

Dalam istilah keilmuan Islam mempunyai tiga pengertian, pengertian pertama mencakup segala realitas eksistensi alam, seperti tanah, langit, manusia, binatang, batu, laut, daratan, gugusan bintang-bintang, dan lain sebagainya. Pengertian kedua adalah bergantung dan bersandar kepada selain Tuhan, lalai dalam berzikir kepada-Nya, terjebak dalam khayalan-khayalan non-aktual, dan melupakan hakikat Keberadaan Mutlak. Pengertian ini digunakan dalam ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Allamah Thaba-thabai dalam tafsir al-Mizân mengisyaratkan pada makna kedua, dan berkata: “Kehidupan dunia di samping bermakna sia-sia, juga sebagai sebuah permainan jika dilihat dari sisi aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, karena dunia begitu cepat berlalu dan fana. Dunia ini ibarat sebuah permainan anak-anak yang dimulai dengan semangat menggelora akan tetapi dalam waktu singkat akan letih, selesai lalu berpisah satu sama lain. Dan sebagaimana dalam setiap permainan, anak-anak terkadang bertengkar, berkelahi, dan bahkan saling membunuh, sementara sumber pertengkaran mereka hanyalah sesuatu yang bersifat khayalan belaka. Masyarakat materialistik pun melakukan permusuhan dan peperangan satu sama lain dalam persoalan-persoalan duniawi. Dunia adalah sebuah panggung permainan dan sebuah komoditi yang dapat dinikmati.”

Oleh karena itu, dunia yang didefenisikan dalam makna pertama sebagai langit, bumi, sahara, samudra, dan lain-lain tidak sama dengan makna kedua dunia. Makna pertama dunia tersebut tidak lain merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat Tuhan.

Makna ketiga dari dunia adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan duniawi, makna ini yang menjadi pokok bahasan kita. Dengan demikian, pertanyaan utama berhubungan dengan pembahasan di sini adalah apakah agama hanya difokuskan pada kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat saja ataukah agama juga mempunyai konsep-konsep tentang kesejahteraan duniawi? Apakah agama hanya memberikan solusi untuk kebutuhan perorangan saja ataukah ajaran agama juga menawarkan jalan penyelesaian atas berbagai permasalahan sosial, politik, budaya, dan masyarakat?

Sekularisasi diartikan sebagai globalisasi kecenderungan non-religius. Sekularisasi bertujuan untuk menjauhkan manusia dari segala bentuk hubungan dengan realitas alam non-materi dan nilai-nilai suci agama. Sekularisasi bermaksud mengarahkan segenap pemikiran manusia hanya untuk membangun kemegahan dan kesejahteraan kehidupan duniawi. Ungkapan sekularisasi untuk pertama kali digunakan di Eropa pada pertengahan tahun 1648 M yang maksudnya adalah perpindahan kekuasaan politik dari penguasa gereja ke penguasa non-ruhani. Pemisahan antara sacred (suci, kudus dan keagamaan) dan secular (hal-hal duniawi) pada hakikatnya bersumber dari pemisahan konsep metafisika ajaran Kristen dari segala sesuatu yang dipandang sebagai “tidak suci”, “rendah”, dan “hina”. Gagasan ini berangsur-angsur dianut secara global oleh masyarakat. Para pendeta dan ruhani yang memisahkan secara ekstrim antara urusan akhirat dan dunia memandang sekularisasi itu merupakan suatu bentuk “pengunduran diri” kaum ruhani dari pentas dunia dan perwujudan janji dan cita-cita mereka.

Sekularisme secara leksikal bermakna suatu pandangan yang menganggap duniawi sebagai hal yang prinsipal, kecenderungan kepada non-agama, dan pemisahan agama dari dunia, politik, dan sosial. Sebagian menafsirkan sekularisme sebagai pengaturan persoalan-persoalan kehidupan dunia yang mencakup pengajaran, pendidikan, politik, akhlak, dan dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia tanpa menempatkan keberadaan Tuhan dan agama sebagai landasan operasionalnya. Sebagian menuliskan bahwa sekularisme mempunyai makna: bertentangan dengan syariat dan harapan-harapan agama, kecenderungan duniawi, dan mendukung program-program duniawi. Sementara sekularis bermakna seorang yang menentang penerapan ajaran agama dan mendukung pemberdayaan infra struktur duniawi.

Sekularisme jika dipandang dari dasar, tujuan, dan sisi-sisi yang berbeda memiliki makna luas yang terbentang dari ateisme hingga monoteisme. Sebagian orang memandang agama hanya pada dimensi hubungan ritual manusia dengan Tuhan dan tidak meluaskannya pada aspek-aspek sosial, politik, dan kebudayaan. Sementara kelompok lain menentang keras agama dan mengusulkan penghapusan ajaran agama serta meniadakan pengaruh-pengaruhnya dalam semua aspek kehidupan manusia.

Dengan demikian sekularisme menjadi terbagi dua, sekularisme moderat dan sekularisme ekstrim. Sekularisme moderat membatasi ruang lingkup agama hanya pada kebutuhan spiritual individu, sedangkan sekurarisme ekstrim secara mutlak menentang keberadaan agama dalam kehidupan manusia. Di bawah ini akan disebutkan enam istilah sekularisme:

1. Sekularisme berhubungan dengan penghapusan agama. Lembaga-lembaga propaganda, pengajaran, dan pendidikan agama dilemahkan sedemikian sehingga masyarakat semakin jauh dan bahkan membenci agama itu sendiri.

2. Sekularisme dipahami sebagai upaya menjalin keharmonisan dengan kehidupan dunia. Keterasingan manusia dari nilai-nilai spiritual menjadikan manusia berupaya menjalin kembali kehidupan duniawi dengan nilai-nilai spiritual agama.

3. Sekularisme dipandang sebagai usaha memisahkan agama dari kehidupan sosial. Marginalisasi peran dan fungsi agama hanya pada wilayah individual dan menjauhkannya dari sisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Sekularisme didefenisikan sebagai langkah-langkah praktis mengubah substansi ajaran agama. Ilmu, perbuatan, dan kodrat yang dulunya disandarkan kepada Tuhan sekarang ditafsirkan sebagai milik manusia dan di bawah kekuasaan manusia. Agama Tuhan berubah menjadi agama manusia, yakni manusialah yang membuat agama, bukan Tuhan.

5. Sekularisme diartikan sebagai upaya menghapus pengaruh faktor-faktor non-materi terhadap fenomena-fenomena alam materi. Semua kejadian yang berlaku di alam natural ini hanya dipandang dari aspek pengaruh material dan empiris.

6. Sekularisme diposisikan sebagai gerakan perubahan secara evolusional dari masyarakat religius ke arah masyarakat duniawi-materialistik. Pengaruh perubahan fundamental ini sebegitu efektif sehingga setiap individu yang mengambil langkah praktis meninggalkan ajaran agamanya dipandang sebagai suatu upaya yang sangat rasional dan pragmatis.
Faktor-Faktor Lahirnya Sekularisme

Sebelum kita mengutarakan beberapa pendapat dan dalil-dalil tentang sekularisme, pada kesempatan ini akan dikemukan faktor-faktor lahirnya sekularisme dan penyebab perkembangannya di Barat. Dapat dipastikan bahwa mustahil mengkaji akar sekularisme lewat pendekatan sejarah. Atas dasar ini, pertama-tama akan dikaji faktor-faktor pendukung munculnya renaissance dimana pencetus ide pemisahan agama dan dunia.

Analisa dan pembahasannya tentangnya akan memberikan kemampuan kepada para pembaca untuk menganalisa substansi, peran dan posisi agama Islam serta berkesimpulan bahwa apakah di masyarakat Timur terdapat kelayakan untuk tumbuh dan berkembangnya pemikiran sekularisme?


A. Saintisme (Scientism)

Perkembangan zaman renaissance begitu cepat dengan ilmu. Kemajuan ini awalnya dimotori – dimana kemunculannya pertama dalam bidang Matematika, Fisika, dan Astronomi – oleh ilmuwan, seperti Galileo dan Koopler, hadirnya banyak perubahan pada konsep dan pandangan pada zaman itu – seperti posisi dan keadaan matahari – dan lahirnya Isaac Newton (1642-1727) mengakibatkan perkembangan semakin mengerucut. Penemuan-penemuan unggul yang dicapai oleh Newton, seperti gravitasi bumi, matematika, teori cahaya, fisika, kimia, dan filsafat membuat banyak ilmuwan tertarik padanya.[1]

Pada awalnya, perkembangan ilmu yang begitu pesat tidak melahirkan gagasan tentang pertentangan ilmu dan agama, Newton sendiri yang mempunyai banyak andil dalam melahirkan penemuan baru dalam bidang keilmuan senantiasa menekankan aspek-aspek eksistensi alam non-materi dan nilai-nilai supranatural. Tetapi arah perubahan ke dimensi yang tidak diinginkan, mayoritas ilmuwan mendukung pemisahan ilmu dan agama serta menganggap bahwa nilai-nilai spiritual dan agama tidak utama dalam kehidupan dunia.[2]

Gagasan-gagasan Laplace yang berpijak pada teori Newton untuk perkembangan dan kemajuan ilmu disepakati oleh sebagian ilmuwan, ia juga beranggapan bahwa alam materi merupakan suatu sistem tan-jiwa dan tanpa tujuan. Menurutnya, apabila sebab-sebab materi memiliki pengaruh atas semua kejadian di alam natural ini, maka semestinya bisa dijelaskan lewat pendekatan ilmiah dan tidak lagi dihubungkan dengan pertolongan gaib, nilai-nilai spiritual, dan aspek-aspek supranatural. Dasar-dasar penelitian dan observasi ilmiah tidak lain adalah menggunakan metode empirikal.

Realitas pemikiran di atas menunjukkan secara jelas adanya gagasan pemisahan agama dan dunia, hubungan pemisahannya dengan ilmu, dan daya tarik manusia terhadap perkembangan ilmu. Namun pesona manusia ini berefek pada menurunnya perhatian manusia pada nilai-nilai agama dan memuncak pada marginalisasi pemimpin-pemimpin agama dalam ruang lingkup sosial dan politik.

Konklusi dari esensi pemikiran itu adalah tidak memandang keberadaan Tuhan dan kehendak-Nya di alam natural, dan karena pengaruh kemajuan ilmu lahir begitu banyak gagasan dan konsep para ilmuwan yang berindikasi pada pemisahan agama dan dunia.[3]

Apakah kemajuan ilmu dan pengetahuan berakibat lahirnya pandangan mandiri[4] atas fenomena-fenomena alam natural? Teori tentang sumber agama banyak dilontarkan, mereka menyatakan bahwa manusia-manusia pada abad permulaan tidak mengenal ilmu dan sebab-sebab materi. Atas dasar ini, seluruh kejadian alam disandarkan pada sebab-sebab supranatural dan maujud-maujud yang lebih tinggi, misalnya mereka menyatakan bahwa Tuhan yang menyebabkan gerhana matahari dan bulan, menimbulkan penyakit, menurunkan hujan, banjir, gempa bumi, dan bencana lainnya.

Dengan hadirnya ilmu dan pengetahuan, segala sebab-sebab dan pengaruh-pengaruh materi atas kejadian-kejadian di alam ini berhasil diungkapkan, dengan demikian manusia memahami bahwa sebab-sebab peristiwa bukan berasal dari non-materi tetapi sebab itu semuanya bersumber dari materi, empiris, dan terindera. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa keyakinan terhadap kekuatan dan kodrat supranatural hanyalah hayalan belaka yang tidak lain berasal dari kebodohan manusia akan sebab-sebab materi. Jadi Tuhan dan agama serta nilai-nilai supranatural tidak memiliki realitas hakiki.

Di bawah ini kita akan menganalisa ketidakbenaran pemikiran di atas dengan juga berpijak pada kemajuan ilmu dan pengetahuan.

Kritikan atas Saintisme (Scientism)

Realitas-realitas yang diungkapkan itu tidak lebih dari sebuah teori kemungkinan dan prasangka sejarah. Maka dari itu, tidak akan dibahas dalam koridor pengkajian logikal. Namun di bawah ini akan diisyaratkan hal-hal yang mendasar berkaitan dengan realitas itu:

1. Peran dan kedudukan sebab-sebab materi

Tidak diragukan lagi bahwa sebab-sebab materi memiliki andil dalam perwujudan fenomena-fenomena natural dan tidak satupun dari tokoh-tokoh agama yang memungkiri kenyataan ini. Siapakah manusia yang menolak bahwa awan, angin, uap, air, dan faktor lain yang tidak berperan dalam menciptakan hujan atau siapakah yang mengingkari bahwa penyakit-penyakit disebabkan oleh serangan bakteri, mikroba, dan faktor lain atas badan manusia? Dalam kitab suci al-Quran dan hadis Nabi ditekankan pula tentang pengaruh faktor-faktor tersebut dalam perwujudan berbagai peristiwa alam[5] dan diisyaratkan bahwa Tuhan dalam menghadirkan kejadian alam niscaya melibatkan sebab-sebab materi.[6]

Oleh karena itu, kemajuan ilmu hadir untuk membongkar kepalsuan sebagian hayalan, pemikiran, dan khurafat; bukan untuk mengganti kedudukan nilai-nilai spiritual dan agama. Di sini harus dibedakan antara khurafat dan agama. Khurafat adalah satu bentuk kepercayaan yang tidak sesuai dengan realitas hakiki, sementara nila-nilai agama bersandar pada kenyataan hakiki. Walaupun tidak semua agama benar, tapi hal ini tidak berarti bahwa tak satupun agama yang benar. Agama yang benar niscaya sesuai dengan ilmu dan pengetahuan. Apabila manusia meyakini suatu bentuk khurafat bahwa kejadian-kejadian alam tidak berhubungan dengan sebab-sebab materi, tapi bersumber dari sebab-sebab non-materi, maka hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran-ajaran agama; karena hakikat agama Ilahi bukan hanya menerima sebab-sebab materi bahkan menekankan pengkajian atas pengaruh dan efeknya. Namun keberadaan sebab-sebab materi bukan berarti menafikan eksistensi sebab-sebab lain yang lebih tinggi dan sempurna.

Agama disamping menerima sebab-sebab natural juga menekankan eksistensi sebab-sebab perantara dan ketakmandirian sebab-sebab tersebut. Agama menyatakan bahwa apabila kalian melihat pengaruh ayah dan ibu dalam penciptaan manusia atau kalian memahami peran petani dalam pertumbuhan tanaman, maka janganlah memandang bahwa mereka itu merupakan sebab-sebab akhir, tapi pahamilah bahwa kesemuanya itu hanyalah sebab-sebab perantara yang berujung pada sebab akhir dan hakiki (Tuhan). Pada ayat al-Quran Tuhan berfirman, “Kami telah menciptakan kamu, Maka mengapa kamu tidak membenarkan? Maka Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau kamikah yang menciptakannya?”[7] Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan Dia hancur dan kering, Maka jadilah kamu heran dan tercengang.[8]

Dengan demikian, agama tidak menolak sebab-sebab materi bahkan menekankan keberadaan dan pengaruhnya. Disamping itu agama tidak membatasi sebab-sebab hanya pada materi saja tapi juga meluaskannya pada sebab-sebab non-materi dan hakiki.

2. Hakikat dan tujuan ilmu

Karena perkembangan dan kemajuan ilmu, sebagian manusia memandang salah seluruh ajaran agama. Namun pasca penemuan sebab-sebab materi, pengaruh agama tak hanya semakin melemah bahkan semakin memperkuat dasar-dasar pandangannya, karena dengan mengenal sebab-sebab materi kita memahami keberadaan hukum-hukum yang mengatur alam semesta ini. Adanya keyakinan akan hukum-hukum ini lebih lanjut akan menyingkap keberadaan hakikat-hakikat supranatural yang menyertainya.

Oleh karena itu, penciptaan tidak hanya terbatas pada alam materi ini. Dengan pandangan ini, eksistensi alam-alam penciptaan akan mengantarkan manusia pada Sang Pemberi Keberadaan. Dari satu sisi, apabila ilmu senantiasa berjalan untuk mengungkap fenomena-fenomena, maka niscaya berhubungan dengan substansi dan esensi sebab-sebab yang diungkapkannya. Ilmu akan sampai pada satu kesimpulan fundamental bahwa mata rantai sebab-sebab mustahil bersifat mandiri dan tidak bergantung pada suatu realitas yang hakiki dan mandiri secara esensial. Eksistensi hakiki itu mesti bukan maujud materi atau maujud-maujud non-materi yang juga terbatas. Newton menemukan kenyataan tersebut dibalik observasi-observasinya, berkata, “Gravitasi atau gaya tarik bumi bersandar pada satu kekuatan tertinggi bernama Tuhan, gravitasi ini tidak bisa menciptakan dan mengarahkan segala sistem tata surya.”[9]

Oleh karena itu, ilmu tak berimplikasi pada ketakbergantungan fenomena natural pada sebab akhir dan non-materi. Bahkan jika para ilmuwan memandang sistem alam ini dengan teliti dan jujur, maka niscaya mereka mendapatkan bahwa segala perkara di alam ini membutuhkan Pengatur yang mengarahkan pada suatu tujuan.

Al-Quran menekankan peran ilmu[10] dan memandang bahwa ilmu merupakan jembatan menuju makrifat Pencipta alam. Namun ketika ilmu manusia berkembang dan dengan perkembangan ilmu manusia memahami bahwa sistem alam beserta realitas yang ada di dalamnya memiliki keteraturan yang sempurna dan seimbang, hal ini semestinya mengantarkan manusia memakrifati Tuhan dan menyembah pada-Nya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya yakni pengingkaran eksistensi dan nikmat-nikmat Tuhan.

Tuhan berfirman dalam al-Quran tentang orang berilmu yang angkuh, “Maka tatkala datang kepada mereka Rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.[11] Kesombongan manusia akan ilmunya tidak sepadan dengan hakikat dan tujuan ilmu, karena hakikat ilmu ialah cahaya yang dengannya manusia dapat melihat hakikat-hakikat eksistensi, bukan malah denganya manusia berlaku sombong dan angkuh dengan mengingkari hakikat keberadaan.

3. Keterbatasan ilmu manusia

Para ilmuwan mengakui bahwa ilmu manusia dalam setiap disiplin dan cabang keilmuan hanya mampu mengungkap sebagian kecil dari hal-hal tidak diketahui, yang tidak diketahui masih jauh lebih banyak dari yang diketahui manusia. Di samping itu, sebagian yang diketahui juga masih berada dalam ketidakpastian ilmiah dan sebagian darinya hanya melampaui sedikit dari batasan asumsinya. Banyak penemuan-penemuan ilmiah yang diyakini kebenarannya oleh ilmuwan, namun setelah melampaui beberapa tahun lamanya penemuan tersebut dianggap tidak benar dan usang.

Perbedaan konsep di antara para ilmuwan menambah runyam persoalan sebelumnya, sedemikian sehingga dalam tataran ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu humaniora, tidak terdapat kesatuan teori dan pandangan. Perbedaan yang sedemikian tajam dan dalam ini akhirnya melahirkan dukungan yang berlebihan terhadap paham relatipisme di Barat. Dengan realitas seperti ini bagaimana manusia dapat bersandar dengan ilmu tersebut dalam melakukan penolakan dan pengingkaran ajaran-ajaran suci Ilahi? Bagaimana ia berjalan dengan ilmu yang tak pasti itu? Bagaimana ia dapat yakin dengan jalan-jalan yang tak pasti, tak tetap, dan senantiasa berubah yang berujung pada pengorbanan umur dan kehidupan manusia dimana ia merupakan harta paling berharga baginya? Apakah ajaran-ajaran suci Ilahi bukan merupakan jalan yang paling kokoh dan benar?

Berdasarkan perspektif di atas, bisa disimpulkan bahwa ilmu-ilmu manusia sangatlah terbatas; ilmu manusia tidak dapat secara tepat membahas kondisi-kondisi dan perkara-perkara alam ini dan juga tidak mampu menjawab begitu banyak pertanyaan tentang fenomena-fenomena alam dan rahasia kehidupan manusia. Soal-soal itu misalnya apa yang bakal terjadi pasca kematian, kemana perginya jiwa setelah meninggalkan badan, apakah alam barzakh itu, hubungan jiwa dengan alam itu, apa hari kebangkitan, apa makna perjumpaan dengan Tuhan, apa surga dan neraka itu, dan sebagainya, hal ini oleh ilmu manusia merupakan masalah-masalah yang tidak dapat dipahami apalagi menawarkan bentuk-bentuk penyelesaiannya.

Apakah hakikat alam akhirat bisa dipisahkan langsung dengan alam dunia dan apakah hanya dengan bantuan ilmu manusia yang bersifat materi itu bisa mengarahkan kehidupan manusia? Dengan sedikit perhatian kita mampu memahami bahwa ilmu manusia yang tidak meliputi alam akhirat secara riil tidak dapat menghakimi dunia dan permasalahan-permasalahan yang terpaut dengannya. Dengan demikian dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:
1. Penemuan-penemuan yang dicapai dengan ilmu manusia masih sangat sedikit dibandingkan dengan realitas yang tidak diketahui.
2. Apa yang ditetapkan oleh ilmu manusia tak memiliki nilai pasti.
3. Ilmu manusia tidak bisa menentukan jalan dan konsep yang jelas dan pasti untuk mengantarkan manusia menggapai cita-citanya.
4. Hakikat alam akhirat tidak terjangkau oleh ilmu manusia.

Dengan ilmu manusia yang terbatas ini mustahil dapat menawarkan program-program yang jelas, bertahap dan membawa hasil bagi perjalanan kehidupan manusia di alam materi.

Adalah suatu kesalahan besar bila kita hanya membatasi ilmu hanya pada materi saja dan juga kita tidak memandang apa-apa yang dicapai oleh ilmu manusia. Ilmu manusia semakin bernilai bila diarahkan untuk berkhidmat pada agama. Ilmu dan akal mampu menawarkan metodologi efektif dan efisien dalam penerapan nilai-nilai agama dan membantu manusia mencapai kemajuan yang bisa mendukung terwujudnya tujuan hakiki kehidupan. Agama pun dapat merumuskan hukum-hukum fiqih yang justru memotivasi manusia untuk melakukan observasi keilmuan yang lebih mendalam.


Hubungan Ilmu Empiris dan Fiqih

Fiqih dan ilmu eksperimental merupakan dua cabang ilmu yang mesti dijelaskan bentuk hubungan keduanya. Sebagian menyatakan bahwa fiqih mengikuti ilmu empiris. Mereka berkata:
1. Fiqih berhubungan langsung dengan hukum-hukum.
2. Subyek hukum ditentukan oleh ilmu-ilmu empiris.
3. Seluruh hukum pasti mengikuti subyek hukumnya, karena subyeklah yang mencipta hukum dan ketiadaan subyek membuat ketiadaan hukum. Oleh karena itu, subyek lebih dahulu dari hukum dan hukum muncul setelah subyek serta mengikuti subyek. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa fiqih mengikuti ilmu-ilmu empiris dan moderen, dan fakih secara otomatik mengikuti ilmuwan dan hanya ilmuwan-ilmuwan empirislah yang dapat meletakkan dan menentukan pondasi dan ruang lingkup kehidupan manusia. Para fukaha harus taklid pada pandangan dan konsep mereka.

Tentang argumentasi di atas dikatakan bahwa pendahuluan pertama dan kedua adalah benar. Tetapi mukadimah ketiga dan aplikasinya merupakan hal yang masih perlu didiskusikan, karena kesebaban subyek terhadap hukum bukan berarti bahwa subyek itu merupakan sebab pencipta (‘illah fâ’il) hukum dan hukum sebagai akibat subyek, karena dengan keberadaan sebab dari subyek ini tak lagi memberikan tempat bagi keputusan Tuhan; seperti persoalan minuman keras dan faktor pengharamannya, di sini pengharaman minuman keras langsung bersumber dari Tuhan. Jadi yang dimaksud sebab di sini ialah sebab penerima (qâbil, recipient).

Begitu pula tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum adalah benar, bentuk sebab di sini juga sebab penerima. Penjelasan hal ini adalah apabila tidak terdapat minuman keras dan taklif di alam ini, maka tidak lahir juga pengharaman atasnya. Persoalan ini mengungkapkan kepada kita bahwa terdapat suatu sebab untuk subyek dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Subyek dan hal-hal yang terkait dengan hukum ini tidak satupun merupakan faktor yang pasti dalam mewujudkan hukum, keduanya hanya menerima hukum yang diwujudkan oleh Sang Pencipta Hukum.

Dengan ungkapan lain, hukum bukan akibat dari subyek, tapi akibat langsung dari kehendak dan iradah Tuhan. Subyek dalam hal ini hanya menyiapkan lahan bagi penciptaan hukum dari sisi Tuhan.

Apabila persoalan di atas kita jabarkan secara filosofis, maka subyek dan hal-hal yang terkait dengan hukum diposisikan sebagai materi (maddah) dan hukum itu sendiri ditempatkan sebagai forma (shurah). Jika materi tiada, maka mustahil Sang Pencipta memberi forma. Namun ini tak berarti bahwa materi sebagai sebab pencipta forma, materi hanyalah menerima dan “mengusulkan” forma yang layak baginya. Sebenarnya yang membentuk materi adalah forma.

Oleh karena itu, sebab hakiki dari hukum adalah kehendak dan iradah suci Ilahi dan fiqih sebagai penjabaran hukum mengikuti kehendak Tuhan, bukan mengikuti ilmu-ilmu empiris. Fungsi ilmu-ilmu empiris adalah mengkaji subyek-subyek dan ruang lingkupnya kemudian menawarkan pada fiqih dan faqih mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan ruang lingkup subyek-subyek ilmu empiris.


B. Rasionalisme

Pasca kemajuan dan perkembangan ilmu dan pengetahuan, muncul suatu penyikapan untuk memisahkan agama dari dunia dan bahkan secara ekstrim mengumumkan ketidakbutuhan manusia pada agama serta ajaran agama dipandang menghambat kemajuan manusia karena hanya mengandung nilai-nilai utopia dan khurafat. Sebagian manusia yang menolak agama berpijak pada akal dan rasionalitas, akal diyakini sangat mampu menyelesaikan segala persoalan dan permasalahan manusia dan peran agama dalam hal ini diambil alih oleh akal. Mereka kemudian menamai abad delapan belas ini sebagai era kebangkitan rasionalisme.

Di awal era kebangkitan rasionalisme, mereka tidak langsung mempertentangkan antara nilai-nilai akal dan ajaran agama, dan bahkan tokoh rasionalisme seperti Thomas Pin masih mempercayai eksistensi Tuhan dan berprilaku sesuai dengan etika agama. Namun karena pertentangan yang semakin tajam antara agama bumi (yang tidak memiliki wahyu dan kitab suci) dan kecenderungan rasionalisme pada akhirnya melahirkan suatu keraguan yang pasti atas fungsi dan peran agama dalam kemajuan manusia.[12]

Kritikan atas Rasionalisme

Para pengikut rasionalisme menempatkan akal berlawanan secara sine qua non dengan agama, maka dari itu dengan berpegang pada akal masyarakat manusia tidak lagi memerlukan agama dalam menapaki perjalanan hidup di dunia ini.

Mereka menolak agama dengan argumentasi bahwa ajaran agama dan wahyu suci apabila sesuai dengan akal, maka agama tidak lagi diperlukan, karena dengan melaksanakan kewajiban akal pada dasarnya masyarakat telah terbebas dari agama dan wahyu. Tapi apabila agama berlawanan dengan akal, maka agama yang tidak rasional niscaya akan tertolak. Dengan demikian, keberadaan akal menyebabkan masyarakat manusia tidak memerlukan agama.

Dengan menjelaskan hubungan akal dan wahyu akan nampak kelemahan dari argumentasi di atas. Justru dengan bersandar pada akal kita dapat menegaskan eksistensi Tuhan, kemestian wahyu dan kenabian, dan keniscayaan alam akhirat (hidup setelah mati). Juga dalam pancaran akal akan nyata bahwa manusia di dunia ini tidak memiliki kebebasan mutlak, tetapi ia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap diri sendiri, makhluk lain, dan Tuhan. Dan bentuk pelaksanaan kewajiban-kewajiban ini mesti berdasarkan suatu sistem yang seimbang dan teratur. Apakah akal dalam hal ini bisa mengemban tugas untuk menjabarkan secara mendetail segala bentuk kewajiban utama manusia dengan penuh keseimbangan?

Akal mustahil melakukan hal-hal tersebut, karena indera dan pengetahuan akal atas kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan hanya bersifat universal dan tidak mencakup hal-hal yang partikular. Misalnya akal memahami adanya kewajiban manusia untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat, namun akal tidak mengetahui bagaimana bentuk aktual prosesi rasa syukur itu. Dengan demikian, akal tidak dapat menolak hukum-hukum agama yang partikular, seperti shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Akal memahami secara universal bahwa kezaliman itu adalah buruk dan keadilan merupakan suatu kebaikan. Namun akal tidak dapat mengetahui mana di antara prilakunya yang bernuansa dan berujung pada keadilan dan kezaliman terhadap orang lain. Sebagai contoh akal tidak bisa menentukan bahwa riba dan berjudi adalah kezaliman, sebagaimana ia pun tidak dapat menegaskan tentang kebaikan pernikahan dan memilih pasangan yang layak baginya.

Oleh karena itu, akal mustahil bisa mengemban amanat untuk menentukan secara mendetail segala kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri, makhluk lain, dan terhadap lingkungannya.


Hubungan Wahyu dan Akal

Wahyu mempunyai dua kewajiban mendasar terhadap akal, yakni mengesahkan akal dan menyempurnakannya. Di bawah ini akan kami akan jelaskan tentang dua kewajiban tersebut:

1. Wahyu melegitimasi fungsi akal. Legitimasi ini terjadi apabila akal dapat mengetahui keberadaan wahyu. Pada awalnya mungkin akan terkesan bahwa legitimasi akal oleh wahyu tidak bermanfaat dan apabila akal bisa mengetahui sesuatu, maka tidak memerlukan lagi legitimasi baru dari wahyu. Tapi perlu diketahui bahwa manusia dengan berbagai alasan sangat mungkin terjebak dalam kesalahan dan kekeliruan, disengaja atau tidak. Realitas ini merupakan hal yang tidak mungkin dapat dipungkiri oleh akal dan bahkan akal sendirilah yang mengesahkan kenyataan dan pengalaman ini. Namun pada kesempurnaan tertentu akal tidak mengalami suatu kesalahan dan kekeliruan, dan akal pada tingkatan ini tidaklah bertentangan dengan wahyu.[13] Tapi apakah seluruh manusia dapat mencapai tingkatan kesempurnaan itu dan senantiasa tetap pada derajat tersebut? Hadirnya berbagai keragaman pemikiran dan pandangan serta perbedaan konsep yang tajam dan bahkan saling bertolak belakang menandakan bahwa manusia secara mayoritas belum mencapai tingkatan kesempurnaan akal. Oleh karena itu, legitimasi dan pengesahan wahyu atas konsep dan pengetahuan yang dapat dicapai oleh akal menyebabkan terhindarnya manusia dari keraguan dan kebimbangan pemikiran serta membuat manusia menjadi yakin dan tentram atas apa yang telah dicapainya.

2. Wahyu mengarahkan dan menyempurnakan akal. Penyempurnaan akal dalam ruang lingkup dimana akal tidak mampu memahami suatu realitas dan memberikan keputusan secara langsung. Wahyu memiliki kemampuan menjelaskan segala hal-hal yang partikular yang mana hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh akal. Sebagian dari perkara-perkara partikular seperti bentuk-bentuk hubungan manusia dengan Tuhan dan amal-amal ibadah khusus manusia kepada-Nya. Misalnya hukum-hukum shalat, puasa, haji, dan zakat. Sebagian lagi berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan segala makhluk. Misalnya adab-adab pergaulan, perdagangan, hukum denda, jihad, qishas, dan masalah sosial dan politik pemerintahan. Jadi ketidakmampuan akal di sini bukan berarti pertentangan akal dengan ajaran-ajaran agama, karena tidaklah bermakna apabila akal berlawanan dengan sesuatu yang ia tidak capai. Dikatakan akal bertolak belakang dengan agama dan wahyu kalau ia memahami sesuatu dan memutuskannya lantas apa yang diputuskannya ini bertentangan dengan ajaran-ajaran agama dan wahyu. Begitu pula ketidakmampuan akal dalam memahami hal-hal yang partikular berkaitan dengan hukum-hukum agama, namun setelah penyampaian wahyu ini akal bukan hanya tidak menetang bahkan menyetujuinya. Hal ini dikarenakan hukum-hukum partikular itu telah keluar dari wilayah jangkauan pengetahuan akal. Persetujuan akal atas ajaran-ajaran ini didasari oleh pengetahuan universal akal bahwa nilai-nilai suci itu bersumber dari Wujud Yang Maha Sempurna. Jadi pandangan keliru tentang pertentangan akal dengan wahyu bisa dikatakan bahwa pertentangan seperti ini hanyalah bersifat lahiriah yang terkait dengan keterbatasan akal dan dengan memperhatikan keterbatasan akal ini – yang diakui oleh akal-akal menolak ikut campur dalam menilai persoalan yang berada di luar jangkauannya sendiri.


Akal Melayani Kemanusian

Agama Islam menempatkan akal pada kedudukan yang sangat tinggi dan mulia sedemikian sehingga dipandang sebagai salah satu sumber hukum agama selain al-Quran dan sunnah Nabi.

Akal sendiri sepakat bahwa akal dan pemikiran manusia mesti digunakan untuk melayani manusia dalam mengantarkannya pada hakikat penciptaan dan kesempurnaan hakiki wujudnya. Dengan akal, Tuhan disembah dan meraih kesempurnaan Ilahi. [14]

Seseorang yang menjadikan akal sebagai pelayan atas keinginan alami dan kecenderungan hawa nafsu yang rendah mustahil menggapai suatu hakikat-hakikat tinggi dan suci dan ketika manusia telah dikuasai oleh kecenderungan rendah jasmaninya maka pada hakikatnya ia bukan lagi manusia karena sudah jauh terpisah dari nila-nilai suci kemanusiaan, walaupun ia secara lahiriah berbentuk manusia.

Al-Qur’an mensifatkan orang tersebut seperti binatang ternak dan bahkan lebih buruk dan rendah dari pada binatang, Tuhan berfirman, “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.”[15] Ayat ini menjelaskan hakikat manusia yang telah diselimuti oleh hawa nafsu dan kecenderungan rendah jasmani. Jadi batin orang-orang yang sudah terwarnai dengan sifat-sifat rendah itu adalah binatang, walaupun secara lahiriah berbentuk manusia.

Nabi Muhammad saw dalam menjelaskan ayat yang berbunyi, “Yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangsakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok,[16] bersabda, “Pada hari kiamat, sebagian orang akan datang dalam bentuk binatang yang berbeda, sebagian berbentuk semut, monyet, ular, dan kalajengking.[17] Orang ini berbuat tidak berdasarkan kemanusiannya dan pada akhirnya telah menjadi sifat yang tetap baginya, seperti mencegah hak-hak masyarakat, menzalimi manusia, marah tidak pada tempatnya, dan syahwat pada hal-hal yang diharamkan. Prilaku ini akan lahir dan nampak di hari kiamat berwujud binatang-binatang tertentu.

Maka dari itu, selayaknya akal berkhidmat pada kemanusian dan membantu manusia menyelami hakikat-hakikat eksistensi dan hikmah-hikmah penciptaan. Jika tidak demikian, maka manusia hanya akan terjebak dalam kecenderungan kebinatangannya dan mengotori kemanusiaannya serta semakin jauh dari tujuan hidup dan hakikat penciptaannya. Dari sini, jelaslah bahwa orang-orang yang menempatkan agama itu sebagai perkara yang khurafat dan memposisikan akal sebagai lawan dari agama, sesungguhnya tidak mengetahui substansi akal, batasan, dan implikasinya. Agama Ilahi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada hakikat penciptaannya dan menyempurnakan kemanusiaannya sama sekali tidak mendukung pemisahan antara akal dan agama, dengan akal manusia dapat memahami dengan benar peran dan posisi agama dan agama dalam hal ini mensuplai informasi yang mustahil dicapai secara mandiri oleh akal itu sendiri.


C. Humanisme

Sebagian manusia sangat menekankan peran strategis dan sentral ilmu dan akal, kedua hal ini diposisikan sebagai pengganti wahyu dan agama, oleh karena itu mereka beranggapan bahwa untuk menggapai suatu peradaban yang moderen dan kebahagiaan manusia tidak lagi membutuhkan wahyu dan agama. Sebagian lagi memandang bahwa kebebasan manusia, pandangan dan pemikiran manusia, kepentingan ekonomi, dan kekuasaan merupakan nilai-nilai yang mutlak dan berada di atas segala-galanya, kesemuanya ini diletakkan menduduki peran dan fungsi agama dan wahyu ilahi.

Sesungguhnya masih banyak lagi nilai-nilai yang merupakan produk pemikiran manusia yang mereka tempatkan sebagai pengganti peran agama dan wahyu. Mungkin dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pengganti ini dipandang memiliki kelayakan sedemikian sehingga manusia dapat merasakan ketidakbutuhan atas nilai-nilai suci Ilahi, tapi yang terjadi sebenarnya kebalikan dari hal ini, bahwa perasaan tak butuh dan puas yang terdapat pada diri manusialah yang pada akhirnya membuat ia mengedepankan nilai-nilai seperti ilmu, akal, pandangan masyarakat, kebebasan, kekuasaan, dan ekonomi atas nila-nilai suci agama dan wahyu. Pada dasarnya manusia tidak menginginkan ada penghalang bagi kebebasan dan perwujudan segala keinginan dan kecenderungan alaminya. Dan karena agama dipandang sebagai tembok penghambat atas implementasi cita-cita duniawinya, maka dengan segala cara dan upaya mencari alasan agar dapat terbebas dari cengkeraman nilai-nilai suci Ilahi.

Kecenderungan ekstrim dari rasionalisme, saintisme, dan sekurarisme menyebabkan semakin berkembangnya humanisme ini sedemikian sehingga menempatkan seluruh keinginan, kehendak, dan kemashlahatan manusia di atas segala-galanya. Humanisme pertama kali muncul pada akhir abad ke 13 M di selatan Italia. Paham ini pada awalnya merupakan gerakan budaya dan selang beberapa waktu muncul sebagai gerakan politik dan pemikiran. Dan akhirnya paham ini menyebar dan berpengaruh di negara-negara seperti Jerman, Prancis, Spanyol, dan Inggris.

Pada kesempatan ini kami tak mengkaji panjang lebar segala pandangan dan konsep humanisme, kami cukupkan mengutarakan defenisi umum tentangnya agar dapat dipahami. Humanisme bisa didefenisikan sebagai suatu filsafat yang menempatkan nilai dan kedudukan manusia sebagai tolok ukur mutlak atas segala sesuatu. Dengan ungkapan lain, segala kecenderungan, kemashlahatan, kehendak, dan keinginan manusia diletakkan sebagai subyek utama dalam mengkaji, menilai, dan memutuskan kebenaran sesuatu.[18]

Dengan berpijak pada defenisi humanisme di atas, di bawah ini kami akan membedah dan menganalisanya dari dua aspek, yaitu aspek yang dipandang sangat berlebih-lebihan bagi manusia dan aspek yang memiliki kadar-kurang untuk manusia.


Analisa Terhadap Stetmen Sekularisme

Terdapat begitu banyak stetmen-stetmen yang telah dinukilkan sehubungan dengan teori sekularisme, dimana berlawanan dengan penampakan lahiriah dari pembahasan ini, stetmen-stetmen para penyanggah muncul dalam bentuk yang tidak begitu mencolok, sedemikian hingga kadangkala mereka telah merasa cukup dengan hanya mengajukan stetmen-stetmen kosong yang tak bermakna, dan tak jarang pula mereka meletakkan dan menjadikan ilusi dan khayalan sebagai landasan argumen, sedangkan hal tersebut sama sekali tidak otentik dan tidak valid, baik secara akal, teks suci ataupun historis.

Stetmen-stetmen yang diajukan oleh kelompok sekularisme ini terbagi ke dalam dua kelompok, kelompok pertama lebih banyak memaparkan prinsip dan asas dari stetmen itu sendiri, dan bukan mengenai argumennya. Dikarenakan bentuknya yang sangat mencolok yang merupakan pembentuk landasan pemikiran berbagai kelompok dalam memilih teori sekularisme dan juga merupakan cabang yang penting untuk mengenal berbagai kelompok sekuler, hal ini telah mendudukkannya pada posisi yang sangat penting, akan tetapi dari sisi karena mereka tidak memiliki bentuk yang argumentatif dan mendetail, telah menyebabkan penjelasan dan analisa terhadap stetmen-stetmen tersebut dilakukan hanya dalam bentuk yang singkat, ringkas dan disajikan hanya dalam kemasan sebagai pengenalan dan pendahuluan.

Sedangkan kelompok kedua, memiliki stetmen-stetmen yang bersifat argumentatif meskipun masih dalam tingkatan yang minimal. Dari sinilah sehingga perhatian dan analisa lebih banyak dilakukan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini, kadangkala pula stetmen-stetmen tersebut bahkan telah diteliti dari berbagai dimensi. Oleh karena itu, bisa jadi dari sinilah sebagian jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak terungkap yang masih tertinggal dalam prinsip keraguan personal bisa ditemukan.

Bisa jadi dan terdapat asumsi bahwa sebagian dari keraguan-keraguan yang disebutkan, tidak seluruhnya diketengahkan dengan nama “Argumentasi Sekularisme”, melainkan dituangkan dan dikemas dalam bentuk yang lain; akan tetapi, analisa dan penelitian yang cermat terhadap hal-hal di atas menunjukkan bahwa apa yang mereka paparkan tak lain adalah merupakan penguat dan penegas teori sekularisme. Oleh karena itu, terdapat dua asumsi, pertama, bisa jadi mereka mengungkapkan pendapat dan teori, tanpa menyadari dan memahami kelengkapan dan konklusi dari pendapat mereka sendiri, atau kedua, secara sadar dan praktis mereka menjadi pendukung dari hasil pemikiran sekuler, akan tetapi mereka menyembunyikan dan tidak bersedia menampakkan keberadaan dan identitas dirinya. Dari sinilah sehingga hanya dengan adanya klaim ketidak-sekuleran seseorang, bukan merupakan dalil yang cukup untuk tidak memperhatikan dan mengesampingkan perkataan mereka, atau menyebabkan berhentinya analisa serta kritik terhadap pemikiran dan akidah mereka.


Pendapat Kelompok-kelompok Sekuler

Mereka yang dalam menjelaskan pendapatnya menyetujui bahwa keterpisahan antara agama dan dunia didasarkan pada motivasi, tujuan dan metode yang berbeda, terbagi ke dalam berbagai kelompok: sebagian meyakini adanya Tuhan dan meyakini bahwa kalam-Nya memberikan warna pada agama, sebagiannya lagi memperhatikan proposisi tersebut dengan pandangan ateis. Distingsi dan perbedaan ini bisa jadi muncul dari ketidakdewasaan, kerumitan prinsip teori atau dari konklusi yang mereka simpulkan dari argumen-argumen mereka sendiri, akan tetapi keseluruhan hal di atas memiliki kesetaraan, yaitu dalam masalah tolok ukur keterpisahannya dan keluarnya agama dari arena politik, pemerintahan dan masalah-masalah duniawi serta aspek social manusia. Berikut kami akan melakukan analisa terhadap stetmen dan kritik teori dari keempat kelompok yang merupakan kelompok-kelompok utama pendukung pemisahan agama dan dunia. Dan keempat kelompok tersebut adalah:

Kelompok pertama: adalah sebagian dari mereka yang memiliki pemikiran sekularis, yang menganggap agama adalah batil dan bahkan meletakkan nilai-nilai agama pada tataran fiksi dan dongeng belaka. Mereka menolak keikutsertaan dan peran global agama dalam arena pemerintahan dan kemasyarakatan, terutama dalam masalah politik, selanjutnya mereka juga menganggap bahwa melakukan hal tersebut merupakan sebuah langkah yang mutlak salah dan tak benar. Kelompok ini menganggap berbaurnya agama dengan persoalan sosial kemasyarakatan adalah sebagaimana berbaur dan bercampurnya sesuatu yang jelas (ma’lum) dengan sesuatu yang tak jelas (majhul) atau bercampurnya sesuatu yang hak dengan batil, selanjutnya mereka mengatakan bahwa sebuah perbauran dan percampuran yang diperoleh dari unsur-unsur yang tak harmoni pastilah akan menghasilkan sesuatu yang salah dan tak bermanfaat.

Kelompok kedua: adalah kelompok yang meyakini bahwa prinsip agama adalah hak dan benar, akan tetapi mereka membatasi wilayah dan teritorialnya. Kelompok ini meletakkan agama dan doktrin-doktrinnya hanya dalam batasan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan persoalan individu dan etika, dan peran agama hanya sebatas pada edifikasi dan perbaikan ruhani serta pembersihan jiwa saja. Dari sinilah sehingga kemudian keberadaan persoalan seperti pemerintahan, politik, perekonomian, dan lain sebagainya dinafikan dari doktrin dan pengajaran agama.

Kelompok ketiga: adalah mereka yang meyakini prinsip agama, juga meyakini keluasan domain dan jangkauan agama, dan bahwa agama akan membuahkan hasil yang cemerlang ketika dimanfaatkan untuk mengatur masyarakat dan mengarahkan hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemanusiaan, akan tetapi mereka meyakini bahwa pengatur dan pemimpin agama ini harus dan hanya dari mereka yang memiliki kesucian batin dan terhindar dari segala bentuk kesalahan (ishmah), dan insan biasa yang tidak suci sama sekali tidak berhak dan tidak layak menjadi penyelenggara dan pemimpin agama dalam masyarakat. Mereka sepakat bahwa Rasul saw, Imam Ali As dan Imam Hasan As merupakan pemimpin-pemimpin Ilahi yang berperan utama pada masa awal pembentukan Islam dan bagi masyarakat pada eranya, dan mereka juga menyepakati bahwa Imam Mahdi As (Imam terakhir yang gaib) pada saat kehadiran dan kemunculannya kelak, merupakan pemimpin agama Ilahi. Akan tetapi, mereka ini melakukan pemisahan dalam strukturisasi agama yaitu membuat jurang pemisah antara pemimpin suci Ilahi (Imam Makshum) dan para ulama biasa, mereka mengatakan bahwa agama hanya harus diatur dan diawasi oleh insan Makshum –yang dalam struktur agama menduduki posisi inti dan tertinggi- sedangkan insan biasa –yang berada dalam posisi luar- tidak memiliki kelayakan sedikitpun untuk memegang tampuk keagamaan tersebut.

Kelompok keempat: adalah mereka yang meyakini bahwa prinsip agama merupakan sebuah persoalan yang suci dan muqaddas, selanjutnya mereka meyakini bahwa intervensi dan campur tangan agama dalam masalah duniawi hanya akan menyebabkan tercemar, terkontaminasi dan hilangnya kesucian yang dimilikinya, hal ini terjadi sebagaimana yang bisa disaksikan dalam sepanjang sejarah, ketika seseorang atau suatu kelompok melakukan intervensi dan campur tangan dalam persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan, maka orang atau kelompok tersebut akan kehilangan posisi dan simpati dari masyarakat, bahkan bisa jadi hal tersebut akan menimbulkan pandangan yang negatif dan merugikan pihaknya. Demikian juga halnya apabila intervensi semacam ini dilakukan oleh agama dan kaum ulama, sudah pasti hal ini akan menyebabkan agama kehilangan wajah suci dan mulianya, yang kemudian akan berlanjut dengan munculnya pandangan negatif masyarakat terhadap agama, dan akhirnya akan mengotori dan mencemari kesucian dan citra agama. Oleh karena itu, persoalan-persoalan duniawi harus sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang menginginkannya, sedangkan agama harus tetap dijaga dalam kedudukannya yang mulia.


Kritikan atas Stetmen Kaum Sekuler

Sebelum melakukan kritikan lebih lanjut terhadap stetmen-stetmen tersebut, kami akan mengisyaratkan pada rumusan global berikut bahwa “kejahilan dan kebodohanlah yang senantiasa menjadi sumber dari sikap yang ekstrim (baik sikap itu berlebihan atau berkekurangan)”. Dari sinilah sehingga dalam salah satu hadisnya, Amirul Mu’minin Ali As bersabda, “Kejahilan akan menyebabkan sikap yang berlebihan atau berkekurangan”.[19] Teori pemisahan agama dari dunia di atas dikatakan sebagai sikap yang berlebihan (ekstrim kanan), karena adanya stetmen yang menyatakan bahwa karena agama adalah persoalan langit dan suci, apabila dia berkecimpung dan memberikan perhatiannya pada masalah dan persoalan duniawi, maka hal ini akan menyebabkannya menjadi kotor, tercemar dan kehilangan kesucian …, dan dikatakan sebagai sikap yang berkekurangan (ekstrim kiri) dengan sebuah peryataan bahwa agama tidak muncul dari hakikat langit (malakuti) dan tidak pula dari realitas bumi, karena sebenarnya agama hanyalah khurafat, khayalan dan imajinasi belaka, dan selalu saja, apa yang dikatakan sebagai imajinasi dan khayalan pasti tak akan memiliki manfaat dan hanya merupakan kesia-siaan belaka. Karena itulah agama, tidak seharusnya dan tidak boleh melakukan intervensinya dalam masalah pribadi maupun sosial masyarakat.

Berikut ini akan diketengahkan analisa-analisa dan kritikan-kritikan atas perspektif kelompok-kelompok di atas:

Kelompok pertama: adalah kelompok yang merupakan sebagian dari pendukung teori sekularisme yang menganggap agama sebagai sebuah perkara yang batil dan khayalan belaka, mereka yang berada dalam kelompok ini menyangka bahwa intervensi agama terhadap dunia manusia hanya akan menyebabkan semakin banyaknya problem dan musibah saja. Pencetus asli dari teori ini harus dicari di era Renaissance. Sebenarnya, pada awal era Renaissance belum ada pihak yang mengetengahkan bahwa agama itu bersifat khayalan, para pelopor paham sekularisme ini, lebih banyak menampakkan stetmen mereka dalam bentuk sebagai pihak pemerhati, pembaharu dan penjaga agama, akan tetapi teori dan satetmen selanjutnya berkembang hingga menempatkan dirinya dalam posisi yang berlawanan secara utuh dengan prinsip agama.

Berdasarkan teori ini, agama dalam segala bentuk dan metodenya dianggap sebagai sebuah unsur penghalang dan tak memiliki manfaat sama sekali, mereka menyatakan bahwa sebenarnya akal manusia telah mencukupi untuk mencari solusi serta jawaban atas segala persoalan, baik persoalan individu maupun sosial, sedemikian sehingga yang pada awalnya agama memiliki peran, meskipun sangat lemah dalam membantu akal manusia, kini malah menjadi tak berdaya dan tak memiliki peran apapun.

Akan tetapi, harus diketahui bahwa apabila mereka ingin mengetengahkan teori-teori yang cerdas dan logis tentang persoalan universal, tidak seharusnya mereka mencukupkan diri dengan hanya memperhatikan salah satu dari realitas-realitasnya, akan tetapi paling tidak mereka harus meletakkan beberapa realitas yang berbeda untuk mengevaluasi persoalan universal tersebut. Sepertinya, mereka yang menganggap agama hanya sebagai khayalan dan imajinasi ini, tidak saja hanya mencukupkan diri pada salah satu dari realitas-realitas universal agama, melainkan mereka juga telah meletakkan realitas yang tak benar dan tak hakiki dari agama sebagai landasan untuk proses evaluasi itu. Mereka melihat dan menyaksikan sempitnya teori serta pandangan yang dimiliki oleh pihak gereja, juga mendeteksi pandangan-pandangan akidah yang mereka miliki, kemudian hanya dari satu pandangan dan visi seperti ini-lah mereka mengklaim dirinya telah mampu menghukumi dan menyimpulkan tentang agama. Tentu saja, pendapat, pandangan, visi dan pengevaluasian seperti ini tidak akan memiliki nilai logika dan akal.

Perlu diketahui bahwa analisa akal serta praktisi setiap maktab didasarkan pada norma dan aturan, yaitu apabila ingin menemukan hakikat yang sebenarnya, maka para pencari hakikat tersebut harus melakukan evaluasi dari berbagai realitas yang valid dan bisa dipercaya, lebih penting dari itu mereka juga harus melakukan analisa pada dasar-dasar realitas hakiki yang dimiliki oleh agama Islam, karena agama-agama Ilahi, seperti agama Masehi dan Yahudi, meskipun keduanya memiliki sumber wahyu, akan tetapi karena adanya distorsi dan penyimpangan serta masuknya khurafat-khurafat dalam doktrin-doktrinnya, telah menyebabkan keduanya tidak bisa menjadi cermin jernih yang mampu merefleksikan agama Ilahi secara sempurna. Dari sinilah sehingga dalam melakukan analisa dan evaluasi, mengarahkan rujukan kepada agama hakiki yang terlepas dari distorsi dan penyimpangan –dimana agama Islam merupakan contoh sempurna dari realitas tersebut- merupakan sebuah persoalan yang sangat signifikan. Demikian juga orang-orang yang menganggap agama sebagai sebuah imajinasi, khayalan dan batil, seharusnyalah mereka melakukan rujukan pula pada argumen-argumen yang berkaitan dengan filsafat agama. Dengan melakukan analisa semacam ini, sudah pasti mereka akan sampai pada hakikat agama, eksistensi hakiki Tuhan, dan kehidupan pasca alam materi (alam akhirat); demikian juga kebutuhan mereka terhadap adanya pembimbing dan penuntun ghaib akan menjadi terpenuhi. Al-Quran al-Karim menukilkan dan memberikan stetmen-nya terhadap apa yang dikatakan oleh kelompok-kelompok yang menganggap agama hanya sebagai sebuah imajinasi dan khayalan belaka, dengan salah satu firman-Nya, “Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja“[20]

Penjelasan dari apa yang dikatakan oleh para penentang serta jawaban yang diberikan oleh al-Quran bisa membuka kritikan terhadap Stetmen yang diungkapkan oleh kelompok pertama, akan tetapi, karena analisa penyimpulan agama yang seperti ini bukan merupakan topik bahasan kita, maka kami mencukupkan pembahasan hingga di sini.

Kelompok kedua: adalah mereka yang membatasi teritorial agama hanya sebatas pada persoalan individu dan ibadah saja. Dengan alasan inilah, meskipun mereka tidak menghalangi intervensi dan campur tangan agama yang bersifat reformasi serta pembaharuan, akan tetapi mereka menolak adanya intervensi agama dalam masalah hukum dan pelaksanaan agama pada persoalan duniawi –seperti politik dan pemerintahan- dan mereka menganggap hal ini sebagai sebuah intervensi yang tidak pada tempatnya. Stetmen yang dikeluarkan oleh kelompok ini bisa dianalisa dari dua arah:

1. Akal. Basanya mereka yang sepakat dengan personalitas aturan-aturan agama dan menganggap bahwa persoalan sosial masyarakat dan persoalan-persoalan duniawi berada di luar zona personalitas tersebut, akan menyandarkan diri pada akal; dan pola dari topik-topik bahasan semacam “Penantian Manusia terhadap Agama”, dan “Pandangan Eksternal atas Agama” merupakan penegas dari masalah ini.

Sekarang harus ditanyakan: Apakah perbedaan yang ada antara kebutuhan pribadi dengan kebutuhan sosial, sehingga hal tersebut telah menyebabkan manusia pada posisi pertama membutuhkan agama, dan akal memahami kebutuhan pribadinya terhadap agama; akan tetapi pada posisi kedua, tidak dapat disaksikan adanya kebutuhan semacam ini, dan akal mengetahui bahwa manusia dalam arena duniawi dan sosial sama sekali tidak membutuhkan kehadiran agama melainkan mandiri secara total?! Dengan sedikit melakukan kontemplasi maka bisa dipahami bahwa sebenarnya akal yang mengetahui bahwa manusia membutuhkan kehadiran pembimbing gaib dalam persoalan-persoalan pribadinya, ternyata juga memberikan fatwanya pada kebutuhan manusia terhadap kehadiran pembimbing dalam persoalan-persoalan hukum pemerintahan, pencaharian dan …, dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan semacam ini, bergantung pada keberadaan aturan yang sempurna dan mandat Ilahi, sebuah aturan yang di dalamnya memperhatikan seluruh nilai-nilai dan potensi-potensi manusia, dimana manfaatnya tidak hanya bergantung pada kelompok tertentu dan pelaksanaannya pun bisa dilakukan oleh seluruh kelompok masyarakat secara adil dan setara.

Kontemplasi dan perenungan dalam masalah sosial kemasyarakatan, menunjukkan adanya kerumitan yang lebih tajam dalam masalah ini, karena mengatur permasalahan-permasalahan sosial, dimana di dalamnya mengatur interaksi sebegitu banyak personal, apabila dibandingkan dengan manajemen permasalahan-permasahan pribadi, sudah pasti akan membutuhkan tenaga dan usaha yang lebih banyak dan lebih cermat. Dari sinilah sehingga apabila para penyetuju agama berkeyakinan bahwa dalam permasalahan pribadinya sendiri mereka membutuhkan kehadiran agama, maka mereka harus menerima pula bahwa pada permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sosial dan politik pun mereka membutuhkan kehadiran agama, bahkan dalam porsi yang lebih besar.

Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara kebutuhan pribadi dengan kebutuhan sosial atau masyarakat –karena bahkan yang dibutuhkan oleh masyarakat lebih besar dari itu-, karena bahkan bisa diketahui dari sisi akal, dan bisa dibuktikan bahwa berkembang dan meluasnya agama senantiasa mencakup dan meliputi seluruh dimensi-dimensi manusia dari segala sisi, dan membatasi agama hanya pada permasalahan-permasalahan individu sama sekali tidak logis dan tidak bisa diterima oleh akal.

2. Teks Suci. Untuk melakukan analisa dan pemeriksaan terhadap sebuah agama atau aliran, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah merujuk pada agama atau aliran itu sendiri, lalu melakukan evaluasi secara langsung terhadap teks-teks suci yang dimilikinya.

Pengkajian terhadap teks-teks agama Islam menunjukkan bahwa tidak hanya Rasul saw saja yang memberi penegasan terhadap permasalahan-permasalahan duniawi, melainkan masalah ini telah merupakan sirah dan sunnah seluruh Nabi Ilahi, sebagaimana dalam al-Quran disebutkan bahwa tugas paling utama yang dipegang oleh Nabi Musa As adalah menentang sikap bengis Fir’aun dan menyingkirkan mereka dari tahta pemerintahan lalu menggiringnya ke dasar kehinaan, Tuhan berfirman, “Kemudian Kami utus Musa sesudah rasul-rasul itu dengan membawa ayat-ayat Kami kepada Fir’aun dan para pemuka kaumnya, lalu mereka menzalimi ayat-ayat itu. Maka perhatikanlah bagaimana akibat (yang dirasakan oleh) orang-orang yang membuat kerusakan”.[21] Demikian juga disebutkan bahwa langkah awal yang dilakukan oleh Nabi Isa As adalah memberikan pembenaran terhadap perlawanan sengit yang dilakukan oleh Nabi Musa As terhadap perbuatan zalim Fir’aun, Allah Swt berfirman, “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Isra’il) dengan Isa putra Maryam, untuk membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat”.[22] Jadi, perjuangan dan kerja keras para pemimpin terdahulu dalam menentang kezaliman dan kesewenang-wenangan-lah yang telah menyebabkan mereka mampu memegang dan merebut kembali pemerintahan di muka bumi dari para perampasnya.

Sekarang yang harus ditanyakan adalah bagaimana perlawanan dan perjuangan melawan kaum zalim bisa dihubungkan dengan prinsip sekularisme? Apakah hanya karena para pemimpin dan para utusan Ilahi ini secara langsung mampu memasuki wilayah politik dan mengatur pemerintahan negara setelah menggulingkan kezaliman para penguasa masa itu lalu meletakkan hal tersebut pada teks-teks risalahnya?

Setelah Nabi Isa As yang membenarkan risalah Musa as, Nabi Muhammad saw merupakan sosok berikutnya yang membenarkan risalah Isa As. Dari sini, Allah Swt dalam salah satu ayat dari surah As-Shaff berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam yang telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Para pengikut yang setia itu berkata, “Kamilah para penolong agama Allah.” Lalu segolongan dari Bani Isra’il beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang”.[23]

Pesan al-Quran menjelaskan bahwa tidak sebagaimana dengan yang ada dalam kebanyakan bagian-bagian penting agama Masehi sebagai pendahulu agama Islam, agama Islam mengkhususkan diri pada persoalan-persoalan pemerintahan, pencarian nafkah, perang, perdamaian dan persoalan-persoalan dunia lainnya, sedemikian sehingga berkaitan dengan masalah perlawanan dan perang, Allah Swt meletakkan kelompok Khawariyyun Isa al-Masih As sebagai teladan untuk kaum muslim.

Jadi, sirah yang kontinu dan berkesinambungan dari para anbiya, Nabi Muhammad saww dan dilanjutkan oleh para Imam Suci As, -yang merupakan sirah yang tidak memberikan kesempatan kepada orang zalim untuk berkuasa, melainkan mempertahankan hak-hak kaum tertindas- dengan sangat baik menjelaskan bahwa mereka tidak saja tak memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakatnya serta perkara-perkara sosial para pengikutnya, melainkan mereka menganggap bahwa campur tangan dan intervensi dalam masalah-masalah sosial merupakan salah satu dari tugas dan kewajibannya, dan kewajiban serta tugas ini pun telah diatur atas prinsip dan doktrin agama Tuhan dan mereka mengamalkannya supaya umat Islam mendapatkan manfaat dan keuntungan dari hal tersebut, bukannya dengan menawarkan dunia itu sendiri; maksudnya pengarahan dan pengaturan persoalan kehidupan dalam bentuk yang baik – yang tak lain merupakan proses kelanjutan dari agama- yang akan menyebabkan karakterisasi dunia menjadi lebih baik, pengaturan menjadi lebih baik serta perputaran politik berjalan lebih baik, adalah merupakan sebagian dari intervensi agama dalam keseluruhan tingkatan persoalan dunia.

Kelompok ketiga: menurut pendapat kelompok ini, dilema utama yang dihadapi oleh sebuah pemerintahan agama terletak dalam masalah bahwa seorang pemimpin itu haruslah suci dan tak pernah bersalah (maksum). Dengan perkataan lain, sebenarnya problem utama yang dihadapi oleh pemerintahan agama bukanlah terletak pada intervensi agama pada persoalan-persoalan sosial dan politik, melainkan kembali pada tiadanya kelayakan sosok yang non-makshum untuk memegang jabatan pemerintahan.

Analisa ringkas dan sinopsis terhadap teks-teks riwayat menunjukkan bahwa anggapan yang salah ini bersumber dari ketiadaan pengetahuan mereka terhadap asas dan pondasi agama. Harus diketahui bahwa agama Islam adalah agama yang abadi, dan keabadiannya –yang termanifestasi dalam kontinuitas doktrin-doktrin agama dan pelaksanaan hukum-hukum Tuhan- tidak hanya diperuntukkan dan khusus terdapat pada zaman para Imam Makshum As saja, melainkan kontinuitas dari sebagian agama dalam arena pengajaran dan pelaksanaannya pada masa ini yaitu masa kegaiban Imam Mahdi As –berdasarkan riwayat-riwayat yang masyhur- berada dalam tanggung jawab wakil-wakil Imam dan para fukaha yang adil, kompeten dan mengenal Islam secara baik.

Para fukaha yang adil dan kompeten ini, dengan usaha kerasnya dan ijtihadnya yang terus berkelanjutan, dari satu sisi bertugas untuk menjelaskan hukum-hukum universal syariat yang berkaitan dengan seluruh topik, baik mengenai topik-topik yang lama maupun yang baru, dan pada sisi lainnya dengan melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijtihad tersebut, mereka pun melanjutkan kepemimpinan masyarakat dan mengatur masyarakat muslim.[24]

Dengan demikian, apabila orang mengatakan bahwa: pemerintahan hanya untuk para Imam Makshum As, maka maksud sebenarnya sudah jelas bahwa tujuan sebuah pemerintahan bukanlah untuk memperluas kekuasaan dan teritorial negara, melainkan maksud mereka dari pemerintahan yang seperti ini adalah bagaimana mengevaluasi pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, mengaplikasikan dan menyebarkan doktrin-doktrin suci Tuhan. Jelas, konsekuensi dari berhentinya pemerintahan seperti ini pada masa gaibnya Imam Mahdi As akan sama artinya dengan berhentinya pelaksanaan dan pengaplikasian hukum-hukum serta doktrin-doktrin suci Tuhan dalam kebanyakan perkara dan juga terpenggalnya suatu perjalanan sejarah, sebagaimana realitas yang saat ini telah terjadi. Begitu banyak hukum-hukum agama seperti hukum cambuk, diyah, dan sepertinya, yang tidak dapat diberlakukan dan diaplikasikan hanya dikarenakan ketiadaan pemerintahan Islam; dan pada prinsipnya tidak bisa pula diharapkan bahwa pemerintahan non-agamis -yang manapun juga- akan mampu melakukan pelaksanaan hukum-hukum agama –seperti qishash dan berbagai hukum cambuk-, sebuah hukum yang tidak bisa terwujud tanpa adanya suatu intervensi kekuasaan dan pemerintahan.

Oleh karena itu, ada dua alternatif yang harus dipilih, pertama tidak berjalan dan berhentinya hukum-hukum Tuhan dalam masa yang panjang –seperti masa gaibnya Imam Mahdi As- harus dianggap sebagai sebuah persolan yang bebas, wajar dan biasa, dimana persoalan ini dengan sangat tegas telah dinafikan dalam teks-teks agama; atau yang kedua, harus menerima bahwa sebenarnya pembentukan pemerintahan ditangan para non-Makshum pun tidak menjadi masalah. Sebenarnya, apabila kita perhatikan dengan seksama terhadap adanya interaksi tertutup antara pemerintahan dengan pelaksanaan hukum, maka bisa disimpulkan bahwa bukan saja persoalan di atas –yaitu pembentukan pemerintahan oleh para non-Makshum- tidak bermasalah, bahkan akal dan hadis pun menganggapnya sebagai sebuah kemestian yang wajib dan harus dilakukan.[25]

Kelompok keempat: Menurut pendapat kelompok ini, agama merupakan sebuah unsur yang suci dan muqaddas, dan intervensinya dalam persoalan sosial dan politik merupakan sebuah hal yang tidak layak baginya yang hanya akan menyebabkan munculnya pandangan negatif masyarakat kepada kesucian sebuah madzhab dan tercorengnya wajah agama serta tercemarnya kesucian agama tersebut.

Mencermati proses tercemar dan tercorengnya seseorang atau kepribadian seseorang, hampir senantiasa menunjukkan bahwa penyebab asli dari peristiwa tersebut kembali kepada persoalan-persoalan internal semacam kejahilan, kelalaian dan kedengkian; dan kadangkala dikarenakan masalah-masalah dan kondisi-kondisi internal seperti inilah, manusia menjadi benci dan tidak menyukai suatu persoalan.

Maka, untuk menjawab stetmen di atas harus dikatakan bahwa untuk meneliti penyebab pencemaran dan faktor-faktor yang memunculkan kebencian masyarakat terhadap agama, kita harus mencermati kedua poin di bawah ini:

a. Dalam lingkup kekuasaan Tuhan, persoalan-persoalan di atas dinafikan secara mutlak, karena wujud azali Tuhan, sebagaimana ilmu, adalah mutlak; dalam keluasan ilmu-Nya, Dia tidak memiliki keterbatasan, dan tidak ada sebutir ilmu-pun di alam penciptaan (takwini) ini yang bisa keluar dari lingkup ilmu-Nya, Dia berfirman: ” … dan kamu sekalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak akan luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh)“.[26] Oleh karena itu, penisbahan kejahilan kepada zat-Nya merupakan hal yang absurd dan tak mungkin bisa dilakukan. Demikian juga, mustahil dan tidak mungkin terjadi kelalaian dan kealpaan dalam lingkup ilmu Tuhan, karena segala sesuatu senantiasa hadir di hadapan-Nya, berfirman: “Musa menjawab, “…, Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa“.[27]

Dari sisi yang lain, wajah-Nya adalah suci dan bersih, bahkan suci dari paling kecilnya aib dan cacat, lalu bagaimana mungkin kedengkian bisa dinisbahkan kepada-Nya. Jadi, ketika kita menerima bahwa dalam lingkup Tuhan, tidak mungkin terdapat sifat-sifat sebagaimana yang telah tersebut di atas, maka agama dan doktrin-doktrin Tuhan pun -yang muncul dari kehendak istimewa-Nya- pasti terlepas pula dari sifat-sifat tersebut, karena keseluruhannya merupakan sifat-sifat yang tidak ada pada Tuhan dan sifat-sifat yang meniadakan agama Tuhan.

b. Apabila relasi dari berbagai persoalan sebagai petunjuk bagi ketaksempurnaan dan kecacatan agama telah dinafikan, maka penafian sifat-sifat tersebut pasti bukan hanya untuk sebagian persoalan agama saja, melainkan berlaku untuk seluruh hal yang berkaitan dengan agama, dari masalah yang tertinggi hingga cabang-cabangnya, dengan demikian pada masing-masingnya tidak mungkin terdapat kecacatan dan ketaksempurnaan. Jadi, apabila kita menerima bahwa sebagian dari doktrin agama, berkaitan dan berhubungan pula dengan dunia dan persoalan-persoalan duniawi, berarti pada hubungan yang ini pun, tidak mungkin terdapat kecacatan; sebagaimana pula apabila kita menerima bahwa sebagian dari doktrin agama berkaitan dengan persoalan individu dan ibadah, maka bagian ini pun terbebas dari kecacatan dan ketaksempurnaan. Oleh karena itu, esensi agama dalam seluruh dimensinya terlepas dari ketaksempurnaan dan kecacatan yang manapun, -khususnya dari ketaksempurnaan-ketaksempurnaan yang tersebut di atas- baik dalam hukum-hukum individunya maupun yang berkaitan dengan sosial dan masyarakat, baik hukum-hukum duniawinya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukum akhirat.

Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa agama dengan seluruh kesempurnaannya dalam berbagai arena kehidupan manusia dan juga dengan kesuciannya dari segala aib dan ketaksempurnaan, telah menjadikannya mampu mengambil tanggung jawab campur tangan dan intervensinya dalam seluruh sisi kehidupan manusia, dan dia akan menyelesaikan tanggung jawab yang diembannya ini dengan penuh kepercayaan dan kebanggaan. Pada hakikatnya, wajah agama yang memikat, akan muncul semakin memikat lagi ketika dia telah hadir pada beragam sisi kehidupan manusia dan telah berhasil menarik tangan mereka dan membimbingnya menuju ke arah dan tujuannya yang sesuai. Dengan analisis seperti ini, maka sudah pasti manusia tidak akan mengatakan, sungguh sayang bahwa agama telah memasuki arena percaturan politik sehingga membuat dirinya sendiri tercemari, melainkan dengan logis mereka akan mengatakan, sungguh sayang, apabila manusia diatur oleh selain agama.


Argumen-argumen Sekulerisme

1. Argumen Pertama: Ketakharmonisan Negara dengan Agama

Salah satu argumen yang dikemukakan oleh para pendukung aliran sekularisme ialah ketakharmonisan hubungan antara negara dan agama, dengan artian bahwa agama hanya berkaitan dengan akidah, keyakinan dan persoalan-persoalan kalbu manusia, dengan demikian ia hanya berkecimpung dengan masalah ruh dan hati manusia, serta hanya bertugas menggerakkan perasaan dan emosi manusia; akan tetapi berseberangan dengan hal itu, negara dan pemerintahan hanya memiliki tugas menjaga keteraturan, stabilitas, sistematisasi sosial yang ada dalam masyarakat, menjaga harta benda mereka, dan mengamankan harta maupun jiwa personal dan anggota masyarakatnya, tanpa harus berkecimpung dalam masalah spiritual, ruh maupun hati manusia.

Sebagiannya lagi, dengan lebih hiperbol, hanya mencukupkan pada ketiadaan interaksi antara agama dan pemerintahan lalu mengemukakan stetmennya tentang adanya kontradiksi antara keduanya, dengan artian bahwa seluruh kewajiban pemerintahan bisa diperspektifkan dengan menggunakan intensitas dan kehebatan kekuatan, hal ini disebabkan karena warna pemerintahan diletakkan dan didasarkan pada kekuatan dan kekuasaan, dengan demikian antara pemerintahan dan agama –yang dikatakan hanya berkaitan dengan masalah kalbu dan perasaan- sama sekali tidak bisa dilakukan perbandingan. Dengan kata lain, reaksi dan tanggapan agama ketika berhadapan dengan masyarakat muncul dalam bentuk yang lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi reaksi pemerintahan terhadap mereka adalah dengan kekuatan dan amarah; dengan demikian, keduanya bukan saja tidak memiliki interaksi, bahkan keduanya berada pada posisi diametrikal sempurna dan saling menafikan satu sama lain.

Sekarang, apabila seseorang ingin menghubungkan kedua masalah ini, maka konklusi dari interaksi yang tidak pada tempatnya ini akan menciptakan adanya suatu penindasan, karena berarti pemerintahan harus menggunakan kekuasaan dengan cara paksaan dalam mengarahkan masyarakat kepada kecenderungan dan keinginan mereka untuk beragama, dan karena masalah ini bertentangan dengan norma dan kecenderungan kepada persoalan-persoalan agama, maka seakan-akan pemerintahan hendak menggunakan dominasi kekuatan dan kekuasaannya pada sebuah masalah yang sama sekali bebas dan tidak pernah membutuhkan pemaksaan, dan hal semacam ini tak lain kecuali penindasan.

Dengan kata lain, para pelaksana negara dan pemerintahan bisa menggunakan otoritas, kekuasaan dan pemaksaan pada tempat dimana mereka layak untuk memanfaatkannya–seperti pada masalah-masalah politik, keamanan, sosial, dan lain sebagainya- dan memanfaatkan hal tersebut dengan keras dan sungguh-sungguh tidak akan memunculkan problem apapun; akan tetapi pada masalah-masalah yang tidak memerlukan kekerasan dan pemaksaan –seperti pada masalah-masalah keyakinan, etika, dan lain-lain- apabila mereka hendak menggunakan kekerasan, maka hal ini akan menyebabkan penindasan, dan penindasan sama sekali tidak sejalan dan berlawanan dengan norma agama.

Demikian juga, analisis terhadap interaksi tersebut –yang tidak pada tempatnya- dari perspektif agama menunjukkan bahwa selain intervensi pemerintahan ini akan menimbulkan kerugian yang banyak dan menjauhkan masyarakat dari agama, hal semacam ini pun merupakan perbuatan yang sia-sia dan sama sekali tidak memberikan manfaat bagi agama.

Pendapat seperti ini dikemukakan pula di Eropa, mereka menyatakan bahwa apabila perangkat kota dengan alasan untuk pensucian kalbu lalu memaksa penduduknya untuk mendatangi gereja, berarti mereka telah melakukan hal yang absurd dan sia-sia; karena pada dasarnya, apabila mereka memiliki keyakinan terhadap gereja, maka tanpa adanya pemaksaan pun, mereka tetap akan mendatangi gereja dengan suka rela dan senang hati, dan apabila mereka tidak meyakininya, kehadiran mereka di gereja tidak akan memberikan manfaat apa pun bagi mereka, dan selama belum ada niat baik meskipun sedikit, jenis penyembahan, pengampunan ruh, alasan yang sesuai untuk ilmu, maka kehadiran mereka sama sekali tidak akan memberikan dampak pada pengampunan dan ketakwaan mereka. Jadi, semua hal tersebut harus diserahkan kepada kehendak masyarakat dengan bebas.

Ringkasnya:
1. Agama dan negara, sama sekali tidak memiliki bentuk hubungan maupun kesamaan,
2. Dengan mencermati keduanya dengan lebih seksama bisa diketahui bahwa keduanya saling berkontradiksi dan berlawanan,
3. Apabila keduanya dihubungkan secara tidak pada tempatnya, maka tidak akan ada konklusi lain selain munculnya penindasan dan intervensi yang salah, dan hasil dari penindasan tak lain kecuali kebencian masyarakat kepada agama dan kecenderungan mereka kepada ateis atau menentang agama.


Substansi kritikan

Untuk menganalisa argumen pertama di atas, terdapat beberapa topik yang perlu mendapat penjelasan:

a. Dampak negara pada umat beragama

Mereka yang mengeluarkan pernyataan dan stetmen bahwa pemerintahan tidak lebih dari pengaturan, pengamanan dan pengawasan harta benda, lebih baik mereka mengemukakan stetmennya itu dengan mengatakan: kami menghendaki pemerintahan hanya untuk keteraturan, keamanan, dan lain sebagainya; dan kami tidak sepakat dengan intervensi negara ke dalam agama, etika dan keyakinan masyarakat. Apabila pernyataan tersebut dikemukakan seperti ini berarti mereka telah menginformasikan realitas diri yang sebenarnya dan dengan semakin jujurnya kemasan laporan ini, maka mereka akan semakin jauh dari kebenaran. Akan tetapi apabila mereka mengatakan: pada dasarnya adalah demikian bahwa pemerintahan tidak boleh dan tidak berhak melakukan campur tangan dan intervensi dalam etika dan keyakinan masyarakat dan dia juga tidak memiliki kemampuan serta dampak dalam religi maupun keimanan individu masyarakat; maka dengan pernyataan ini berarti mereka telah mengatakan sesuatu yang sama sekali tak benar.

Mencermati pemerintahan-pemerintahan yang telah lalu dan dengan sedikit melakukan kontemplasi terhadap situasi dan kondisi yang terdapat pada berbagai negara dan pemerintahan yang ada, menunjukkan bahwa berbagai demarkasi dan pemblokiran yang dilakukan oleh pemerintahan terhadap aturan-aturan dan norma-norma -bahkan metode pengamatan dan reaksi mereka terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan- memegang peran yang sangat besar dalam menentukan kuat dan lemahnya keyakinan masyarakat.

Bagaimana sebuah pemerintahan memiliki aliran sosialisme, atau menganut asas liberalisme, atau sejauh mana perangkat pemerintah memberikan perhatiannya terhadap aturan-aturan, atau sejauh mana pentingnya persoalan-persoalan perekonomian dan kemajuan teknologi bagi mereka, dan lain-lain, keseluruhannya memberikan dampak pada pemikiran, visi, perspektif dan tingkah laku masyarakat, sebuah dampak yang sama sekali tidak bisa dipungkiri.

Bisa jadi, menurut pendapat mereka yang berpikiran sederhana, yaitu para pengklaim yang menyetujui pemerintahan agamis, dampak dan efek sempurna pemerintahan terletak pada tingkat religiusitas masyarakat; akan tetapi klaim ini pun ditolak mentah-mentah dan hanya sedikit dari para pemikir agama yang sepakat terhadap dampak pasti, menyeluruh dan sempurna yang diberikan oleh pemerintahan semacam ini; akan tetapi apakah mereka bisa mengingkari adanya dampak nisbi dan mendalam, serta peran berpengaruh yang dimiliki oleh pemerintahan pada cara berpikir dan keyakinan masyarakat?! Dengan melakukan pengamatan secara global terhadap situasi dan kondisi pada berbagai komunitas yang berbeda, kita bisa menemukan bahwa pemerintahan yang mengklaim dirinya non blok -dalam masalah etika dan keyakinan yang dipegang kuat oleh masyarakat- pun tetap memiliki pengaruh dan dampak yang sangat pekat dalam warna etika masyarakat dan lingkup etika komunitas, sedemikian hingga mereka yang tidak perduli terhadap etika, kalangan yang tak peka atas lingkungan, orang-orang yang egosentris, dan lain-lain, hanya merupakan bagian kecil dari hasil klaim ini.

Oleh karena itu, apabila sebuah pemerintahan mengatakan kepada umum akan ketakberpihakannya kepada agama dan etika masyarakat, berarti secara tidak langsung dia memiliki masalah dengan keyakinan, pola pikir dan tingkah laku masyarakatnya, dengan demikian bagaimana dia merasa memiliki kewajiban untuk bertindak yang bermanfaat atau merugikan bagi agama, pola pikir dan etika tertentu, dimana apabila hal ini terjadi, sudah pasti dia akan mampu bertanggung jawab dalam memegang peran yang berpengaruh dalam pola pikir masyarakat umum, bahkan diapun akan mampu mengubah arah dan tujuan pemikiran umum serta menarik perhatian begitu banyak pendapat ke arahnya.

b. Negara dan cinta kasih agama

Kritikan lain, adalah adanya kontradiksi antara pemerintahan dan agama, dengan makna bahwa aksi dan aktivitas pemerintah diliputi oleh otoritas dan kekuatan, sedangkan agama muncul di atas pondasi penerimaan kalbu dan kehendak bebas (ikhtiyar) manusia, dari sinilah sehingga dikatakan keduanya saling berkontradiksi, dan apabila keduanya diletakkan secara berdampingan maka akan menciptakan penindasan dan pemaksaan.

Pendapat inipun mengandung penyimpulan yang salah terhadap hubungan negara dan agama, karena:

1. Dengan mencermati tugas-tugas yang ditanggung oleh berbagai pemerintahan –baik pemerintahan agama (teokrasi) maupun non-agama- kita bisa menyimpulkan bahwa tingkat otoritas, kekuatan, kekerasan dan tingkat pemaksaan mereka kepada masyarakat tidaklah sama, karena apabila dikatakan bahwa nada yang digunakan oleh pemerintah hanyalah nada pemaksaan, dan tidak ada kebebasan, kelemahlembutan dan lain sebagainya di dalamnya, maka konsekuensinya adalah bahwa kebanyakan dari aktivitas pemerintahan –yaitu sebagian dari tugas pasti pemerintahan yang tidak bisa dilakukan dengan memanfaatkan aksi kekerasan dan pemaksaan- seperti strategi pemerintah dalam masalah perekonomian, atau perlindungan finansial dari berbagai lapisan masyarakat –terutama lapisan masyarakat tak mampu-, dan program-program yang berkaitan dengan kultur dan kebudayaan, serta opini masyarakat, akan keluar dari lingkup kewenangan pemerintah. Tidak ada yang meragukan bahwa pemerintahan senantiasa diiringi dengan otoritas, kekuatan dan kemampuannya untuk melakukan pemaksaan, akan tetapi topik ini sangat berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa aktivitas asli pemerintah adalah aktivitas yang diiringi dengan kekuatan dan pemaksaan.

Oleh karena itu, untuk menyajikan sebuah pandangan dan pendapat yang dimilikinya, pemerintah sangat bisa menuangkannya dengan berbagai metode, tanpa harus meminta bantuan dari kekerasan dan kekuatan. Metode-metode ini, bisa saja dilakukan dengan mengambil bantuan dari dakwah, propaganda, atau wacana-wacana pemikiran, bahkan terdapat pula kemungkinan untuk melakukannya dengan cara-cara yang lembut dan sentimental. Semuanya mengetahui bahwa pemerintah pasti mampu menjelaskan sebuah akidah dan keyakinan dengan cara yang benar, indah dan memikat tanpa harus menggunakan kekerasan.

2. Sebagaimana halnya menyimpulkan bahwa citra suatu negara dan pemerintahan adalah kekerasan merupakan ilustrasi dan penggambaran yang salah; penyimpulan bahwa agama memiliki kelemahlembutan mutlak dalam seluruh bagian-bagiannya, pun merupakan sebuah kesimpulan yang salah dan tak layak. Agama adalah sebuah program yang dikhususkan untuk kehidupan manusia yang mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Agama merupakan majemuk dari keyakinan dan akidah, etika, hukum dan norma-norma, yang disusun dan diletakkan dalam kewenangan manusia untuk memanajemen dan mengatur persoalan-persoalan individu dan sosial mereka. Dengan demikian, agama dengan makna ini, sama sekali tidak memiliki kesesuaian secara mutlak dengan kelembutan dan kasih sayang. Sepertinya, prinsip agama telah disalah artikan dengan iman dan religius. Maksud mereka adalah bahwa tidak ada pemaksaan dalam menerima agama ataupun kecenderungan terhadapnya, akan tetapi mereka mengatakan bahwa agama itu sendirilah yang merupakan sebuah hal yang penuh kelembutan dan kasih sayang, dan kesalahan ini telah terjadi pada banyak pemikir sehingga mereka keliru meletakkan religius dengan prinsip agama. Maktab Ilahi agama Islam pun, dalam penerimaan agama dan iman terhadap Tuhan dan prinsip atau ushul agama, menafikan apapun jenis pemaksaan. Bukan hanya tidak boleh dipaksa, bahkan tidak ada kemungkinan untuk memaksa, sebagaimana Allamah Thabathabai di bawah ayat, “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam)” (Qs. Al-Baqarah: 156), mengingatkan bahwa dalam penerimaan agama dan keimanan seseorang kepada Tuhan tidak mungkin ada pemaksaan, dan seseorang tidak akan mampu memaksa pihak lain untuk sepenuh hati meyakini sebuah persoalan dan menerima sebuah masalah dari lubuk hati.[28]

Dari sini, para mukmin dan para muballigh agama ketika berhadapan dengan orang-orang yang hendak menerima agama atau mereka yang telah menerima agama dan tengah berada dalam praktek pengamalan, harus senantiasa bereaksi dengan lembut dan penuh kasih sayang, bercakap dengan baik dan sopan sehingga sambutan masyarakat –baik yang selama ini belum beragama, maupun keseluruhan muslim- dari agama, semakin hari akan menjadi semakin banyak, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. An-Nahl: 125)

Dalam ayat ini, Tuhan memberi perintah kepada Rasul saw supaya dalam mengajak masyarakat menggunakan tiga unsur berikut: kebijaksanaan atau kearifan, nasehat yang baik, dan dialog yang dilandasi dengan semangat mencari kebenaran. Dengan mencermati ketiga unsur di atas bisa disimpulkan bahwa menurut perspektif al-Quran dalam mengajak masyarakat ke arah agama, kita sama sekali tidak boleh menggunakan kekerasan, dan hal yang secara rasional dan logis bisa menarik dan mengajak masyarakat ke arah agama dan keimanan kepada Tuhan, hanyalah pesan, nasehat, dan percakapan yang konstruktif.

Demikian juga, Tuhan menganggap bahwa budi pekerti yang baik dan perilaku yang lemah lembut merupakan salah satu keistimewaan Nabi Muhammad saw dan merupakan rahasia kecenderungan masyarakat ke arahnya, sebagaimana dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali-Imran: 159)

Oleh karena itu, menurut perspektif Islam, jelas bahwa ketika berhadapan dengan masalah iman, keyakinan dan akidah masyarakat, kita harus menampakkan reaksi yang lemah lembut dan tenang.

Selanjutnya, dengan adanya kedua konklusi di atas, kita akan bisa sampai pada konklusi ketiga, sebagai berikut bahwa apabila lingkup pemerintahan tidak terbatas hanya pada kekerasan dan pemaksaan; dan keahlian mereka adalah lebih dari itu; yang berarti bahwa diapun memiliki keahlian untuk berperilaku lemah lembut; demikian pula jika penyebaran dan penjelasan agama harus diterapkan dengan metode yang lemah lembut, maka berarti sebenarnya pemerintah pun mampu pula menjadi penjelas agama yang menggunakan metode kasih sayang dan kelembutan. Dengan ibarat lain, apabila kita menerima bahwa sebuah pemerintahan mampu mewujudkan dan mengantarkan suatu hal pada tujuannya dengan cara damai dan bisa mempersiapkan lahan yang tepat tanpa membebani dan memaksa, maka tidak ragu lagi, berarti pemerintah itupun pasti mampu mempresentasikan agama dengan kaidah ini tanpa terkecuali; dengan demikian pemerintahan akan memiliki kemampuan untuk mempresentasikan agama dengan penuh kedamaian tanpa ada sedikitpun halangan.

Dengan alasan inilah sehingga dikatakan bahwa para fukaha agama dan perangkat pemerintahan yang diangkat oleh suatu pemerintahan agama (teokrasi) harus terlebih dahulu berusaha untuk menyebarluaskan agama dengan kelembutan, kasih sayang, cinta dan penuh ketenangan; demikian juga berusaha untuk memperjelas masalah-masalah keagamaan yang masih kabur dengan keakraban yang khas. Amirul Mukminin Ali As ketika menjelaskan tentang tugas pemimpin umat Islam –dimana pada tahap pertama beliau menyampaikan ikhtisar dari tugas beliau sendiri di kancah pemerintahan- terlebih dahulu mengisyarahkan pada saran dan nasehat berikut: “Tidak ada sesuatu yang menjadi tanggung jawab pemimpin selain apa yang diletakkan Tuhan dalam kedua pundaknya, yaitu: tidak sembarangan dalam memberikan pesan, berusaha dalam memberikan nasehat, menghidupkan sunnah dan melaksanakan batasan-batasan untuk mereka yang berhak, menyampaikan saham baitul mal ke mereka yang membutuhkan.”[29]

Sebenarnya sangat tidak pada tempatnya apabila hanya dengan mendasarkan pada pernyataan mereka yang memiliki gambaran bahwa pemerintahan agama hanya terbatas pada pemerintahan gereja Masehi dengan kitab-kitab Taurat dan Injil -yang telah mengalami distorsi dan penyimpangan-, lalu kita telah merasa mampu untuk menghukumi dan menyimpulkan tentang sebuah pemerintahan agama (teokrasi) lalu menyangka bahwa hakim-hakim agama memiliki wewenang untuk memaksa masyarakat menjadi manusia-manusia yang religius dan menghendaki personal-personal masyarakat menerima agama dengan terpaksa, padahal menurut perspektif agama, tanggung jawab pemerintahan dalam presentasi dan penyajian dakwah, sama sekali tidak boleh dengan melalui metode pemaksaan, melainkan yang menjadi kewajibannya adalah menyediakan lahan, dan masyarakat sendirilah yang secara logis, cerdas, damai dan tentram akan berjalan ke arah agama lalu menjadi masyarakat yang religius.

c. Nagara dan pelaksanaan norma-norma agama

Tidak ragu lagi, salah satu hal yang senantiasa dibutuhkan oleh setiap masyarakat adalah adanya norma hukum dan keniscayaan untuk melaksanakannya. Apabila dalam masyarakat tidak ada aturan atau –misalnya ada aturan, akan tetapi- masyarakat mengabaikan dan tidak memperdulikannya, maka sudah pasti dalam waktu yang relatif singkat infrastruktur masyarakat akan menjadi musnah dan akan terjadi kekacauan luar biasa yang pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat dan negara.[30] Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah kekuatan supaya aturan-aturan tersebut mampu berkuasa di dalam masyarakat, kemudian mereka yang melakukan kesalahan dan melanggar hukum-hukum tersebut harus pula mengetahui tugasnya sendiri dan merasa puas dengan hak yang didapatkannya. Dan pelaksana kekuasaan ini senantiasa dan tak lain adalah sebuah pemerintahan. Perlu diketahui bahwa paling baiknya keteraturan adalah ketika personal-personal masyarakat yang berada dalam naungan pertumbuhan kultur dan budaya, menghormati segala aturan-aturan tanpa merasa terbebani dan bahkan mereka meletakkannya sebagai pondasi kehidupan; akan tetapi berharap bahwa seluruh lapisan masyarakat selalu dan senantiasa berperilaku sesuai dengan aturan, pun merupakan sebuah harapan yang terlalu muluk dan tidak mungkin tercapai.

Pada seluruh lapisan masyarakat, baik yang ada pada masa lampau maupun masyarakat saat ini, senantiasa saja terdapat kelompok-kelompok atau orang-orang yang mengabaikan dan tidak memperdulikan aturan-aturan serta hukum-hukum yang telah ditentukan, mereka melangkahkan kaki terlalu jauh, nasehat dan pengarahan tidak lagi memberikan pengaruh, dan bahkan mereka tidak bisa lagi dihadapi dengan bahasa halus. Hal-hal semacam inilah yang meniscayakan kepada sebuah pemerintahan dalam melaksanakan aturan-aturan yang telah ditentukannya, untuk tidak mencukupkan diri hanya pada pelaksanaan serta peringatan akan hukum-hukum tersebut, melainkan pada kasus-kasus tertentu, kadangkala dia harus pula memanfaatkan kekuatan yang dia miliki.

Topik terdahulu, yang mengatakan tentang urgensi keberadaan hukum dalam sebuah negara dan pelaksanaannya oleh pemerintah, meskipun kadangkala terpaksa harus dengan menggunakan kekuatan otoriter pun, tidak ada hubungannya sedikitpun dengan penerimaan masyarakat terhadap prinsip-prinsip akhlak, etika, agama maupun prinsip-prinsip hukum yang konstan; akan tetapi mereka, yaitu masyarakat dan individu-individu yang menentang etika dan prinsip konstan tersebut dan sepakat dengan aliran bebas liberalis atau mereka yang hanya menerima bahwa manajemen pemerintah hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang menyenangkan, bersifat materialis dan memberikan keuntungan duniawi yang lebih banyak, pun menyepakati dan menegaskan tentang urgensinya keberadaan hukum-hukum dalam sebuah pemerintahan serta terdapatnya urgensi untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut, meskipun dengan kekerasan.

Menjadi jelaslah bahwa pemerintahan yang bersandar pada agama dalam seluruh garis-garis pemerintahannya, sesungguhnya tidak terpisah dan tidak berbeda dari seluruh pemerintahan lainnya, apabila dia menghendaki keteraturan yang sesuai dalam masyarakatnya maka diapun harus menyajikan hukum-hukum untuk mereka lalu melaksanakannya. Demikian juga sebagaimana pemerintahan-pemerintahan yang lain, apabila di antara anggota masyarakatnya terdapat kelompok atau individu yang tidak taat pada aturan atau hukum, ingin melangkah terlalu jauh dari apa yang telah ditentukan, tidak bisa dihadapi dengan nasihat atau bahasa yang halus, maka konsekuensinya, pemerintahan inipun harus memilih bahasa lain sebagai alat komunikasi dengan kelompok dan orang-orang ini, yang bisa jadi alat komunikasi baru yang dipilih ini berupa kekerasan dan pemaksaan; poin asasi ini, dalam al-Quran al-Karim kadangkala direfleksikan dalam bentuk universal dan kadangkala pula dalam bentuk partikular; dalam bentuk universal misalnya terdapat dalam salah satu ayat-Nya yang berfirman, “Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman dengan izin-Nya kepada (hakikat) kebenaran yang telah mereka perselisihkan itu. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Qs. Al-Baqarah: 213)

Berdasarkan ayat ini, keputusan dan hukum adalah solusi untuk menyelesaikan perbedaan, ikhtilaf, distingsi, kekacauan dan ketidakteraturan, yang keseluruhannya muncul karena ketiadaan perhatian terhadap hukum dan hak-hak asasi yang dimiliki oleh selainnya. Pada ayat ini Allah Swt meletakkan pesan dan nasehat sebagai bagian dari tugas asasi para Nabi, akan tetapi untuk menghilangkan ikhtilaf serta pelanggaran hak, tidak cukup hanya dengan mengandalkan kedua hal di atas. Apa yang dalam al-Quran diyakini sebagai sebuah hal yang sangat berperan dan berpengaruh dalam menghilangkan ikhtilaf dan kekacauan dalam pelaksanaan hukum adalah pelaksanaan hukum dan aturan-aturan secara kuat dan tegas sebagaimana yang terkandung dalam makna hukum di atas, yang hal ini hanya akan bisa terwujud melalui pemerintahan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, masalah ini direfleksikan juga oleh al-Quran dalam bentuk partikular, sebagaimana dalam salah satu ayat-Nya yang berfirman, “Dan orang-orang yang menuduh istri mereka (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.“ (Qs. An-Nur: 6). Jadi, pemerintahan Ilahi dalam masalah bahwa dia tidak hanya mencukupkan diri dengan cara yang lembut, nasehat dan peringatan kepada para penentang hukumnya, tidak memiliki perbedaan dengan pemerintahan lain. Sekarang, akan muncul pertanyaan seperti ini, lalu kenapa kadangkala terdapat suatu persoalan yang pada seluruh pemerintahan merupakan hal yang bebas, akan tetapi persoalan yang sama menjadi terlarang dalam pemerintahan agama?!

Ringkasnya, meskipun pemerintahan agama ketika mengetengahkan agama tidak dengan menggunakan bahasa kekerasan, akan tetapi ketika terdapat pihak atau seseorang yang menjadi penghalang penyampaian agama, maka pemerintah tidak lagi akan menghadapinya dengan kelembutan, melainkan akan menyingkirkan penghalang tersebut dengan kekuatan. Face to face dan bertatap muka secara langsung dengan para penghalang dan penentang bukanlah bermakna menawarkan prinsip agama secara paksa, melainkan melaksanakan hukum dan aturan-aturan dimana agama itu sendiri melarang seseorang melangkahkan kakinya terlampau jauh dan melewati batas-batas yang telah ditentukan, dan topik inipun diterima oleh seluruh pemerintahan serta seluruh pemikir politik.


2. Penolakan Negara Agama (Teokrasi)

Pada akhir jawaban untuk argumentasi pertama, harus diisyaratkan terhadap satu point yang biasanya diketengahkan oleh para pendukung ketakharmonian hubungan antara agama dan pemerintahan, dimana mereka menyepakati bahwa ada perbedaan antara “pemerintahan agama” dan “agama pemerintahan”. Mereka berkata bahwa saat ini dalam pemerintahan agama, agama diletakkan sebagai elemen dan alat pemerintahan, dengan artian bahwa untuk melanggengkan pondasi kekuatannya, perangkat pemerintahan agama memanfaatkan sentimental, perasaan dan keyakinan masyarakat. Mereka meletakkan agama sebagai alat untuk mencapai keinginan duniawinya, padahal agama terlepas dari hal semacam ini. Agama, memiliki tujuan khusus dan kita tidak berhak memanfaatkannya untuk meraih tujuan duniawi, kekuatan maupun kekuasaan duniawi.

Dalam interaksi ini, perlu sekiranya –sekali lagi- dipertegas tentang kondisi interaksi antara agama dan pemerintahan. Pemerintahan, dimana di dalamnya diisyaratkan tentang ajaran dan doktrin-doktrin Islam, merupakan sebuah pemerintahan dan sebuah kekuatan yang berada dalam pengkhidmatannya kepada agama dan digunakan untuk membimbing manusia. Dikatakan bahwa agama memiliki begitu banyak hukum yang tanpa dimilikinya sebuah pemerintahan, maka hukum-hukum tersebut tidak mungkin akan bisa terwujud atau terlaksana. Jadi, untuk agama, pemerintahan berperan sebagai alat dan elemen yang digunakan untuk berkhidmat supaya masyarakat memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melakukan hukum-hukum, aturan-aturan Ilahi dan doktrin-doktrin agama; dan berpegang erat padanya akan memberikan kesulitan yang lebih sedikit.

Agama mendapatkan keuntungan dari pemerintahan sehingga masyarakat –selain menarik mereka dari persoalan-persoalan pribadi ke arah ibadah dan interaksi individu dengan Tuhan dan mendekatkan diri kepada dzat suci Tuhan- dalam arena sosial mendapatkan kemungkinan untuk mendorong dan mengarahkan selainnya serta lingkup komunitasnya ke arah dan tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesempurnaan dan kedekatan (taqarrub) kepada Ilahi. Oleh karena itu, pemerintahan senantiasa memiliki hukum sebagai “alat” supaya agama bisa muncul dalam bentuk yang lebih baik dan mencapai tujuannya, akan tetapi sebagian dikarenakan tujuan-tujuan dan kecenderungan tertentunya, berusaha sehingga seakan-akan mereka telah memanfaatkan agama dalam bentuknya sebagai alat dalam pemerintahan yang dimilikinya.

Apabila dikatakan bahwa agama sama sekali tidak boleh memegang peran sebagai alat, maka hal ini merupakan sebuah persoalan yang jelas. Apabila para hakim dan pemimpin agama, yang seharusnya dengan adanya kodrat dan kekuatan religius yang dimilikinya bertugas untuk mengajak dan membimbing masyarakat ke arah hidayah Tuhan, malah meletakkannya untuk mencari kesenangan dan ketamakan duniawi dan kekuatannya sendiri, maka sudah jelas, peristiwa selanjutnya yang akan terjadi adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Amirul Mukminin Ali As, dalam salah satu hadisnya, “Dan sesungguhnya agama, sebagaimana seorang tawanan berada di tangan orang jahat, yang dia gunakan untuk memuaskan hawa nafsu dan keserakahan dunia.”

Pada saat seperti ini, aturan dan hukum-hukum agama muncul dalam bentuk sebagaimana yang ditafsirkan dan diselewengkan oleh para penguasa, dan tidak akan muncul dalam bentuk hakikinya. Dengan demikian, sebagaimana halnya tawanan yang nasib dan akhir kehidupannya berada di tangan dan kewenangan penawannya, nasib agamapun akan jatuh di tangan para perangkat pemerintah dan akan menjadi bahan permainan di tangan penguasa, dan akhirnya pesan-pesan dan kandungan-kandungan riilnya menjadi pudar dan kehilangan warna.

Oleh karena itu, tanpa ragu lagi, seluruh perangkat dalam pemerintahan agama harus diposisikan untuk berkhidmat di dalam agama dan meletakkan tolok ukur seluruh prilaku, pendapat dan penolakan-penolakannya untuk kepentingan pemerintahan dan hukum-hukum agama, dan pandangan mereka terhadap agama haruslah sebagai seorang pelayan, bukan sebagai seorang pencari keuntungan dimana ketika dia mampu memanfaatkannya untuk mencari kesenangan dan memenuhi keserakahannya terhadap dunia serta untuk mencapai kekuatan dan posisi, maka dia akan mendekati dan memanfaatkannya, dan setelah kebutuhannya terpenuhi, dia akan meletakkan dan meninggalkannya.


Referensi: 

[1] . Târikh ‘Ilm, bab keempat.
[2] . ‘Ilm wa Din, hal. 71.
[3] . Târikh ‘Ilm, bab keempat dan ‘Ilm wa Din, hal. 70-79.
[4] . Yakni memisahkan pengaruh ketuhanan dan faktor-faktor supranatural.
[5] . Silahkan rujuk: Qs. al-Hijr: 22, Qs. Ibrahim:23, Qs. al-Fatir: 35
[6] . Ushul Kafi, jilid pertama, hal. 189.
[7] . Q.S. al-Waqi’ah: 57-59 [8] . Q.S. al-Waqi’ah: 63-65
[9] . Silahkan merujuk: Bar Ghuzide-ye Afkâr-e Rassel, hal 57.
[10] . Qs. al-Fathir: 28, al-Baqarah: 31-32, Isra’: 39: al-Ankabut: 80, ar-Rum: 29, Yunus: 55, an-Nahl: 41.
[11] . Qs. al-Mu’min: 83
[12] . ‘Ilm wa Din, hal. 75-77.
[13] . Pembahasan mendetail silahkan rujuk: Wahy wa Rahbar, hal. 281.
[14] . Ushul Kafi, jilid pertama, hal. 11.
[15] . Qs. al-A’raf: 179
[16] . Qs. an-Naba’: 18
[17] . Tafsir Majmâ’ al-Bayân, jilid kesembilan, hal. 642.
[18] . Paul Edward, Encyclopaedia of Philosophy, New York, Macmillian, 1976.
[19] . Nahjul Balaghah, Hikmat 70.
[20] . Qs. Al-Jatsiyah: 24.
[21] . Qs. Al-A’raf: 103.
[22] . Qs. Al-Maidah: 46.
[23] . Qs. As-Shaff: 14.
[24] . Rujuklah: Wilayah Fakih, Ayatullah Jawadi Amuli, hal. 237.
[25] . Rujuklah: Hukumat-e Islami, Imam Khomeini ra, hal. 47.
[26] . Qs. Yunus: 61.
[27] . Qs. Thaha: 52.
[28] . Al-Mizan, J. 2, hal. 342.
[29] . Nahjul Balaghah, Khutbah 105.
[30] . Salah satu pemikir Barat dalam kaitannya dengan masalah ini mengatakan: “Tiada norma dan aturan berarti tiada keteraturan, dan tiada keteraturan sama artinya dengan masyarakat yang hidup dalam kebingungan dan tidak mengetahui arah maupun tujuan. Keberadaan sebuah silsilah yang sesuai dan interaksi yang teratur merupakan syarat pertama dalam kehidupan manusia, dalam tingkatan yang manapun. Mafhum masyarakat, pada tahapan pertamanya bergantung pada keberadaan aturan, bahkan tukang kebun, pencuri serta perampok pun memiliki aturan di antara mereka, dimana tanpa adanya aturan, tidak mungkin mereka memiliki kemampuan untuk melanjutkan aksi pencurian dan perampokan. Ilustrasi binatang-binatang liar yang berlari di tengah hutan tanpa aturan dan tujuan, merupakan sebuah mafhum yang sangat jelas. Sebenarnya binatang-binatang inipun tidak tak beraturan sama sekali, karena sebenarnya mereka sangat memegang kuat hukum-hukum yang ada di dalam rimba dan mereka menjalaninya sesuai dengan instink yang mereka miliki. Untuk penjelasan lebih lanjut, rujuklah: Jami’ah wa Hukumat, hal. 75.

(Syiah-Menjawab/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: