Banyak sekali hadits yang menunjukkan keutamaan dan keunggulan Ali dibandingkan para sahabat lain dari Rasulullah. Tidak mungkin untuk menyebutkan semuanya dalam ruang yang sangat sempit seperti blog ini. Akan tetapi ada beberapa hadits dan riwayat yang mungkin kita bisa ketengahkan di sini. PeristiwaMubahalah mungkin adalah contoh klasik yang bisa kita ketengahkan di sini.
Pada suatu kesempatan ada 14 utusan yang beragama Nasrani yang berasal dari Najran datang untuk menemui Nabi. Ketika mereka bertemu dengan Nabi mereka segera mengemukakan sebuah pertanyaan:
“Apa pendapatmu tentang Yesus Kristus?”
Rasulullah menjawab:
“Kalian sebaiknya istirahat dulu hari ini; besok kalian akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan kalian itu”
Keesokan harinya turunlah 3 buah ayat (QS. 3: 59—61):
إن مثل عيسى عند الله كمثل آدم خلقه من تراب ثم قال له كن فيكون
الحق من ربك فلا تكن من الممترين
فمن حآجك فيه من بعد ما جاءك من العلم فقل تعالوا ندع أبناءنا وأبناءكم ونساءنا ونساءكم وأنفسنا وأنفسكم ثم نبتهل فنجعل لعنة الله على الكاذبين
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Ketika orang-orang Nasrani itu tidak mau menerima firman Allah dan malah bersikeras untuk tetap pada keyakinan mereka yang salah maka Rasulullah mengajak mereka untuk ber-mubahalah.
Keesokan harinya orang-orang Nasrani itu keluar ke tanah lapang dan membentuk sebuah barisan di satu sisi. Kemudian Rasulullah juga keluar dengan membawa kedua cucunya yang tercinta. Husein di gendongnya dan Hasan dituntunnya. Di belakangnya berjalan dengan langkah pasti, puterinya—Fathimah—dan di belakang Fathimah ada Ali yang juga melangkah dengan pasti.
Demi melihat mereka berjalan beriringan seperti itu orang-orang Nasrani itu termanggu terpana dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Demi melihat 5 orang suci itu, orang-orang Nasrani itu membatalkan rencananya untuk ber-mubahalah dan mereka mengajukan permohonan untuk damai dari Nabi.
Ayat tersebut di atas, menurut Jabir ibn Abdillah al-Ansari kata-kata: ANAK-ANAK KAMI itu mengacu tidak lain melainkan kepada HASAN DAN HUSEIN. Sementara kata-kata ISTRI-ISTRI KAMI itu diwakili oleh FATHIMAH dan DIRI KAMI mengacu kepada NABI DAN ALI. Jadi diri Ali dalam ayat Mubahalah ini disejajarkan dengan diri Nabi. [1]
Dengan ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kalau ada orang yang mengambil pemimpin lain berdasarkan keutamaan dan kemuliaan akhlak maka ia sudah seharusnya memilih Ali karena Ali dan Rasulullah memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda. Apabila ada orang yang melebihkan Ali atas Rasulullah maka itu berarti ia telah sesat karena Ali memiliki keutamaan dan kemuliaan di bawah Rasulullah akan tetapi tidak ada orang lain yang lebih utama setelah Rasulullah kecuali Ali-lah orangnya. Menganggap orang lain lebih utama daripada Ali sama saja dengan menganggap bahwa ia lebih utama dari Rasulullah.
Hadits-hadits lainnya
Setelah pelantikkan Ali di Ghadir Khum sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi bukti-bukti lainnya untuk membuktikan bahwa Ali adalah khalifah yang haq sepeninggal Rasulullah akan tetapi di sini saya akan menunjukkan beberapa buah hadits yang bisa diketengahkan untuk memperkuat kembali uraian yang sudah kita bahas di atas.
Dalam hadits “2 hal yang berharga” atau juga disebut dengan hadits “ats-Tsaqalayn” Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan bersamamu dua perkara yang berharga yaitu Kitabullah dan Ahlul-Baytku. Apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya dan tidak meninggalkan salah satunya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Mereka berdua tidak akan berpisah dari satu sama lainnya hingga menemuiku di telaga Kautsar (telaga di surga nanti)”[2]
Kemudian ada juga hadits yang dinamakan dengan hadits al-manzilah. Kejadiannya seperti ini. Pada suatu ketika dalam peperangan Tabuk (yang terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah), Rasulullah meninggalkan Ali di kota Madinah untuk menggantikan kepemimpinannya.
Ali bertanya dengan sedih kepada Rasulullah, “Apakah engkau akan meninggalkanku sendirian di sini?”
Rasulullah menjawab, “Wahai Ali! Tidakkah engkau puas dengan kedudukanmu yang sangat mulia itu? Kedudukanmu itu sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa hanya tidak ada lagi Nabi setelahku”
Rasulullah berkata seperti itu sekaligus ingin menunjukkan bahwa Musa telah meninggalkan Harun dan menyuruh Harun untuk mengurus umat karena Musa harus bertemu Tuhan untuk mendapatkan perintah Tuhan (the Commandments). Di sini Rasulullah juga telah menitipkan umat kepada orang yang paling ia percayai yaitu Ali bin Abi Thalib. Rasulullah juga ingin mendidik umatnya pada waktu itu agar umatnya terbiasa dipimpin oleh pemimpin yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin sepeninggalnya.[3]
Ada juga peristiwa lainnya yaitu peristiwa dimana Rasulullah harus menyampaikan wahyu yang baru diterimanya yaitu surrah al-Bara’ah (atau disebut juga dengan surrah at-Taubah) kepada penduduk kota Mekah. Pertama-tama Rasulullah menyuruh Abu Bakar untuk menyampaikan dan membacakan surat Al-Bara’ah kepada musyrikin kota Mekah akan tetapi kemudian Rasulullah menyuruh Ali untuk menyusul Abu Bakar dan mengambil surat Al-Bara’ah itu darinya dan kemudian membacakannya sendiri di kota Mekah. Abu Bakar terpaksa kembali ke kota Madinah dengan segenap perasaan gundah. Padahal Abu Bakar sudah berjalan sekitar setengah perjalanan menuju kota Mekah. Setibanya di Madinah Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah apakah ada wahyu lain yang datang yang memerintahkan untuk melarang Abu Bakar membacakan surat Al-Bara’ah itu. Rasulullah menjawab:
“Jibril datang kepadaku dan berkata bahwa tidak boleh ada satu orangpun yang menyampaikan wahyu dari Allah kecuali diriku atau orang yang berasal dari diriku.”[4]
Selain dari peristiwa-peristiwa tersebut di atas, Rasulullah juga seringkali dilaporkan mengekspresikan secara gamblang pemihakkannya kepada Ali yang memang sengaja didesain untuk menjadi pemimpin menggantikan dirinya kelak. Seringkali Rasulullah terlihat memuji-muji Ali seperti:
“Ali senantiasa beserta kebenaran; dan kebenaran senantiasa bersama Ali; kemanapun Ali berpaling, kesitulah kebenaran akan berpaling dengannya”
Dengan itu tidak diragukan lagi bahwa kekhalifahan akan jatuh ke tangan Ali karena hanya Ali-lah yang tak mungkin salah dalam memimpin seperti yang disebutkan oleh Rasulullah bahwa kebenaran akan selalu bersama Ali.[5]
Masih ada satu lagi hadits yang bisa kita ketengahkan di sini untuk menutup serial Ghadir Khum ini. Hadits yang saya maksud ialah hadits “Cahaya Illahi” (atau juga dikenal dengan hadits An-Nuur). Sayyid ‘Ali Hamadani menulis dalam Mawaddatu ‘l-qurba, mengutip hadits yang disampaikan lewat Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Aku dan Ali itu diciptakan dari satu cahaya yang sama (cahaya Illahi) sekitar 4000 tahun sebelum Adam diciptakan, dan ketika Adam diciptakan cahaya itu ditempatkan di sebuah tempat di tulang belakangnya (tulang belakang Adam). Begitulah kami turun dari satu orang ke orang lain menghuni tempat yang sama hingga kemudian berpisahdi tulang punggungnya Abdul Muttalib. Oleh karena itu, padaku ada Kenabian sementara pada Ali ada kekhalifahan (Imamah).”
Dalam kitab Riyadu ‘l-fada’il, kalimat terakhir diganti dengan kalimat: '”Kemudian padaku ada kenabian dan pada Ali ada wasy (kepemimpinan)”[6]
Referensi:
[1] al-Wahidi: Asbabun Nuzul, halaman 40; As-Suyuthi: Durrul Mantsur, volume 2, halaman 38.
[2] Hadits ats-Tsaqalayn ini adalah hadits yang sangat masyhur dan ada di hampir seluruh kitab hadits. Anda bisa melihat misalnya dalam At-Tirmidzi: as-Sahih, volume 2, halaman 308; Ibnu ‘l-Athir: Usdu ‘l-ghabah, volume 2, halaman 12; As-Suyuthi: Durru ‘l-mantsur, volume 6, halaman 7; Al-Muttaqi al-Hindi: Kanzul ummal (Hyderabab, 1312H), halaman 48.
[3] Rujukan haditsnya adalah sebagai berikut:
- Ibnu Majah: As-Sunan, halaman 12.
- Ahmad: Al-Musnad, volume 1, halaman 174.
- An-Nasai: Al-Khasa’is, halaman 15—16.
- At-Tahawi: Mushkilu ‘l-athar, volume 2, halaman 309.
- Al-Muhibb At-Tabari: Dhakhairu ‘l-uqba, halaman 63).
[4] As-Suyuthi: Ad-Durrul Mantsur, volume 6, halaman 206; At-Tabari: at-Tafsir, volume 10, halaman 47; an-Nasai: Al-Khasa”is, halaman 20.
[5] Al-Khalil al-Khwarazmi: al-Manaqib, halaman 56; Al-Hammuyi: Fara’idu’s-simtayn, volume 1, halaman 176; Al-Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, volume 14, halaman 321.
[6] Mafatihu ‘l-matalib, halaman 396; Al-Ganji: Kifayatu ‘t-talib, halaman 176.
(AB-Perlak1/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar