Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Perspektif Ekonomi Islam Nusantara: Islam Tanpa Kemiskinan

Perspektif Ekonomi Islam Nusantara: Islam Tanpa Kemiskinan

Written By Unknown on Kamis, 21 Juni 2018 | Juni 21, 2018


Islam Nusantara menjadi isu perdebatan yang cukup hangat (dan bahkan cenderung keras) baik di media massa cetak maupun online. Pada media sosial, isu Islam Nusantara sebagai platform berislam Nadhlatul Ulama, menjadi perdebatan yang cenderung sarkastik, dengan menempatkan Islam Nusantara sebagai Islam yang anti-Arab. Kondisi tersebut pada akhirnya menjadi perdebatan yang tidak produktif, dan bahkan melemahkan ukhuwah islamiah antarsesama umat Islam di Indonesia.

Islam Nusantara, sebagai materi utama dalam Madrasah Kader Nahdlatul Ulama, pada prinsipnya mendasarkan pada tiga hal, sebagaimana yang disampaikan KH Said Aqil pada pengantar buku Islam Nusantara karangan Muhammad Sulton Fatoni, yaitu; (i) aspek fiqh mengikuti salah satu empat Mazhab dimana di Nusantara adalah madzhab Imam Syafii, (ii) aspek tauhid mengikuti konsep Imam Abulhasan Al-Asya’ari, dan (iii) aspek tasawuf mengikuti mazhab Imam Ghazali dan Abul Hasan As-Syadzili. Pada pengantar yang sama, Ketua Umum PBNU ini juga menegaskan pentingnya untuk terus dilakukan penggalian dalam upaya merawat dan mengembangkan tradisi yang ada pada jamiyah Nahdlatul Ulama, sebagai bagian penguatan khidmat NU dengan pola khas Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliah, merawat tradisi dan mengupayakan inovasi.

Jika mengacu pada ketiga aspek yang menjadi orientasi berislam NU sebagai mainstream umat Islam di Indonesia, tidak selayaknya Islam Nusantara dituduh sebagai Islam yang anti-antian. Pendapat bahwa Islam Nusantara adalah antiArab adalah pemahaman yang tidak benar. Islam Nusantara, pada prinsipnya, meletakan Islam sebagai agama universal yang dapat bersanding harmonis dengan budaya apapun. Mendefinsikan bahwa Islam bersifat rahmat yang tidak dapat direpresntasikan oleh suku bangsa manapun, termasuk Arab, selain oleh nilai-nilai Islam yang ada pada ajaran Islam itu sendiri. Dalam konteks Islam Nusantara, memposisikan Islam sebagai sumber inspirasi budaya dan peradaban umat Islam Indonesia melalui dakwah yang dilakukan oleh wali songo.

Jika menilik lebih dalam, dengan mereferensi dialog interaktif KH Agus Sunyoto, dimensi Islam Nusantara sangatlah luas. Islam Nusantara ala NU tidak hanya ditujukan untuk menekankan posisi Islam yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan bangsa dan negara Indonesia, namun juga aspek-aspek yang lebih luas mengikuti pola dakwah wali songo, yang sudah dilakukan berabad-abad di Indonesia, salah satunya adalah dimensi ekonomi.

Dimensi ekonomi implementasi Islam Nusantara adalah salah satu dimensi yang sangat berat. Hal ini mengingat orientasi Nusantara masa lampau sebagai idealita ekonomi. Jika menelusuri pernyataan KH Agus Sunyoto, suku-suku bangsa yang hidup di Nusantara ini tidak mengenal kosa kata miskin. Kata miskin atau fakir merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang dipergunakan hingga saat ini. Atas dasar idealitas tersebut, Islam Nusantara secara tidak langsung sebenarnya telah menantang NU dan jamiyahnya untuk menjadi pionir atau aktor yang berperan dalam pengentasan kemiskinan yang ada di masyarakat Indonesia saat ini. Oleh karenanya, dimensi ekonomi Islam Nusantara harus didorong menjadi diskursus publik, sehingga perdebatan-perdebatan yang muncul menjadi lebih produktif, selain sebagai media mempertajam aspek-aspek operasional bagaimana pengimplmentasian Islam Nusantara mewujudkan masyarakat tanpa kemiskinan.

Sebagai sebuah tantangan internal, NU pada prinsipnya memiliki modal dasar untuk mewujudkan platform masyarakat nusantara yang tanpa kemiskinan. Modal dasar tersebut di antaranya adalah; (i) basis jamiyah yang menyebar dan berada pada sumber bahan baku produksi, (ii) adanya pesantren sebagai insitusi yang menciptakan SDM, (iii) soliditas dan solidaritas jamiyah melalui tradisi keagamaan. Ketiga modal dasar ini, jika disinergikan, setidaknya, akan melahirkan basis ekonomi rakyat yang mampu memperkuat fundamental ekonomi nasional.

Basis jamiyah NU yang besar dan berada pada sumber bahan baku produksi, umumnya hanya dipergunakan sebagai kantong politik oleh para politisi sebagai basis elektoral. Politik adalah pertarungan kalah menang, yang dalam jangka panjang, akan kurang menguntungkan bagi penciptaan sinergi ekonomi NU. Adagium yang cukup akrab terdengar, NU hanya dipergunakan untuk mendorong mobil mogok, di mana setelah jalan, jamiyah ditinggal lari kencang oleh mobil mogok yang dibantu sebelumnya. Relasi politik semacam itu memang tidak mungkin dihilangkan karena NU tidak hidup di ruang hampa, namun setidaknya orientasi tersebut dapat diperkecil. Salah satu yang dapat dilakukan adalah penguatan platform pengembangan basis ekonomi berdasarkan potensi wilayah di mana basis jamiyah tersebut berada. Dengan basis pengembangan produksi, jamiyah akan tetap mendapatkan manfaat dengan berkembangnya aktivitas produksi di basis jamiyah, tidak peduli diajak atau ditinggal mobil yang mogok sebelumnya.

Modal dasar kedua, yaitu pesantren, merupakan modal insitusional di mana NU dapat menghasilkan SDM-nya sendiri. NU harus mendorong reposisioning pesantren kembali kepada jaman wali songo sebelumnya. Mengacu kepada apa yang telah disampaikan oleh KH Agus Sunyoto, pesantren pada waktu walisongo merupakan instiusi yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, namun juga mengajarkan ilmu metalurgi atau pengolahan logam. Hal inilah yang menjadi faktor mengapa kemudian Portugis tidak dapat mendarat di pulau Jawa, mengingat kerajaan Islam pada saat itu memiliki meriam yang dipasok oleh pesantren. Hal ini menysiyaratkan bahwa posisi pesantren pada masa wali songo mengajarkan ilmu pengetahuan umum yang menjawab kebutuhan masyarakat pada masanya, selain juga mengajarkan ilmu agama.

Pola inilah yang kemudian diadopsi oleh sekolah Islam, yang mengambil metode dan kurikulum pesantren untuk diterapkan sebagai standar pendidikan sekolah Islam terpadu. Pesantren sebagai ahli waris metode wali songo, saat ini hanya bisa melihat warisannya dikembangkan melalui kapitalisasi pendidikan, sedangkan nafas dakwah dipikul sendiri oleh pesantren. Kondisi ini harus diakhiri melalui revitalisasi pesantren secara jamiyah, menyatukan kembali wadag dan nafas pesantren yang selama ini terpisah, sebagai akibat mungkin kurang dirawat. Pola pesantren sebagai pencipta SDM telah menjadi kebutuhan masyarakat, hal ini karena masyarakat SDM dengan kapasitas yang baik tidaklah cukup tanpa adanya akhlak yang baik. Dan manusia yang berahlak adalah 100% manusia yang beretika, insan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas saat ini. Dan pesantren, adalah ahli waris yang seharusnya menjadi pionir dalam penciptaan SDM yang dibutuhkan itu.

Modal dasar ketiga adalah tradisi keagamaan yang mampu menciptaan soliditas dan solidaritas ke-NU-an. Tidak sebagaimana organisasi tanpa tradisi yang akan kerepotan untuk melakukan konsolidasi, NU dapat mengoptimalkan aktivitas tradisi keagamaan sebagai momentum monitoring dan evaluasi agenda ekonomi Islam Nusantara. Hal tersebut dapat diperkaya melalui agenda peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang menggerakan Islam Nusantara secara ekonomi. Melalui aktivitas tradisi keagamaan tersebut, aktivitas tradisi diperkuat dengan penciptaan soliditas dan solidaritas kader penggerak Islam Nusantara secara ekonomi.

Melalui penguatan modal dasar yang dimiliki di atas, instrumen NU akan menjadi satu rangkaian religious supply chain, menjadi rangkaian rantai penawaran yang memiliki nafas keagamaan sebagai perwujudan Islam Nusantara secara ekonomi, menuju idealita masyarakat tanpa kemiskinan sebagaimana Nusantara masa lampau. Semoga.

(NU-Online/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: