Awal minggu ini, Kementerian Luar Negeri di Berlin menggelar forum dialog internasional antar agama dengan mengundang wakil-wakil dari Asia. Mottonya: "Tanggung Jawab Agama Bagi Perdamaian."
Sekitar 70 wakil kelompok agama dari Asia diundang Kementerian Luar Negeri Jerman ke Berlin, karena Asia tahun ini menjadi fokus utama dalam forum dialog internasional yang digelar pertama kali tahun 2017. Ketika itu, Menteri Luar Negeri Sigmar Gabriel menjadikan dialog antar agama sebagai bagian penting diplomasi Jerman (foto artikel).
Forum dialog kali ini digelar bersama oleh Jerman dan Finlandia. Yang hadir adalah wakil-wakil dari Asia, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Bangladesh, Pakistan, Myanmar, Korea Selatan, Jepang dan China. Mereka mewakili agama Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, Shinto, Taoisme, Kong Hu Cu, Zoroaster dan Bahai. 30 persen pesertanya adalah perempuan.
Umat beragama di Asia sering digambarkan sebagai moderat dan damai. Namun dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai konflik berlatar belakang agama di berbagai tempat. Terutama eskalasi konflik Rohingya di Myanmar mengguncang citra umat Buddha yang di Eropa dikenal sebagai agama yang "penuh ketenangan dan damai".
"Tanggung Jawab bagi perdamaian"
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas dalam sambutannya kembali menerangkan, bagi Jerman upaya membangun dialog antar tokoh agama adalah bagian penting diplomasi global. Karena tokoh-tokoh agama "sering memiliki pengaruh besar dalam masyarakat", dan karena itu "punya tanggung jawab bersama bagi perdamaian". Itulah sebabnya sangat penting bagi Jerman untuk "bekerja sama dengan kelompok-kelompok agama".
Salah satu peserta dari Indonesia, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah mengatakan kepada DW, forum dialog antar agama dan peradaban semacam ini penting diperbanyak. Inisiatif serupa memang sudah banyak dilakukan oleh banyak pihak di banyak tempat, namun dia berharap ini tidak hanya menjadi "diplomasi tanpa makna".
"Kita butuh dialog yang intens yang mengkoneksikan antar peradaban dan agama untuk membangun persaudaraan dan mutual understanding", katanya.
"Dialog yang tidak berpura-pura"
"Keterbukaan Jerman dan Eropa penting dipelajari oleh banyak pihak, dialog yang tidak berpura-pura harus menjadi kebiasaan, sehingga hubungan antar peradaban dan agama bisa dibangun dengan baik."
Selain penting untuk memahami dan belajar dari Eropa, di sisi lain sangat positif bila Eropa juga belajar dan memahami peradaban dan tradisi keagamaan di Timur dan dengan begitu dapat terbentuk saling pengertian untuk menuju perdamaian abadi, tambah pengamat yang juga mengajar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Menurut Dahnil Anzar Simanjuntak, Indonesia juga punya sesuatu yang bisa ditawarkan kepada dunia dalam dialog antar agama.
"Tingkat keberagaman yang tinggi di Indonesia ternyata bisa tetap terawat sampai hari ini", tandasnya. Karena ada produk dialog yang sudah menjadi konsensus bersama, yakni Pancasila. Pesan-pesan Pancasila itulah yang bisa menjadi "bingkisan Indonesia untuk Eropa dan Jerman".
(DW/Detik/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar