Mahfudz Siddiq, kader Partai Keadilan Sejahtera, blak-blakan kepada Tirto mengenai konflik internal di partainya. Muasalnya sejak Agustus 2015 ketika partai yang semula bernama Partai Keadilan ini mengganti Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syuro.
Upaya pembaharuan yang diinisiasi oleh Anis Matta menjadi bumerang. Ada upaya menyingkirkan Anis dan para loyalisnya menjelang pemilihan presiden 2019, menurut Mahfudz. Indikasinya, muncul surat edaran bertandatangan Presiden PKS Sohibul Iman dilampiri dua formulir yang meminta loyalitas legislator pada partai.
Dua formulir ini meminta para legislator, baik di parlemen daerah dan pusat, bersedia diganti sewaktu-waktu dan mengundurkan diri dengan tanggal kosong. Kedua surat ini mengikat karena harus ditandatangani dengan cap materai.
Pada saat konflik internal mencuat, beredar dokumen berjudul “Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS” tanpa jelas siapa pembuatnya. Dokumen ini dibuat pada 25 Maret 2018 dan sudah menyebar ke para petinggi PKS. Dokumen ini berisi paparan modus kerja gerakan mengkudeta PKS oleh Anis Matta dan bagaimana menanggulangi gerakan tersebut.
“Orang-orang yang disebut sebagai loyalis Anis Matta ini banyak yang menjadi petahana di DPRD,” kata Mahfudz, yang juga lingkaran Anis Matta. “Kebanyakan basis sosialnya kuat, karena mungkin sudah dua kali masa jabatan.”
Mahfudz sendiri adalah kader potensial PKS yang akhirnya dicoret dari daftar caleg PKS yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum, Selasa kemarin. Ia sudah hampir 15 tahun menjadi anggota DPR. Nama Mahfudz tidak lagi tercatat sebagai caleg PKS meski ia tidak pernah menyatakan mengundurkan diri.
Menurutnya, pembersihan kelompok Anis Matta dilakukan oleh DPP PKS lewat unit intelijen PKS yang dikembangkan oleh Suripto, mantan anggota Badan Intelijen Negara didikan Benny Moerdani.
“Ustaz Hilmi Aminuddin memang memperkuat unit intelijen yang dibuat oleh Pak Suripto,” kata Mahfudz. “Kebetulan saya tujuh tahun di Komisi I, mitranya orang BIN, jadi paham.”
Berikut petikan wawancara Mahfudz Siddiq saat bertandang ke redaksi Tirto pada 17 Juli 2018. (Mahfudz datang ke Tirto saat bikin janji dengan reporter Tirto Mawa Kresna. Kresna menawarkannya sekalian datang ke kantor Tirto ketika Mahfudz berkata janjian wawancaranya di sekitar Kemang. Wawancara ini berselang bersama reporter Tirto Arbi Sumandoyo, Akbar Wijaya, dan Husein Abdulsalam.)
Ada yang ingin kami konfirmasi mengenai gejolak di internal PKS. Apa yang sesungguhnya terjadi?
PKS itu lahir dari tuntutan Reformasi 1998. Saya sejak 1997 sudah terlibat. Sebagai respons dari gelombang reformasi yang dimotori orang-orang muda. Ada Fahri Hamzah juga. Dan, semangatnya melawan otoritarianisme dan menyebarkan benih demokrasi.
Cuma dalam perjalanan PKS selama 20 tahun, PKS malah menjadi organisasi otoriter baru dan menurut saya, bukan hanya merugikan PKS . Dari segi partai politik, PKS termasuk partai papan atas dari partai-partai Islam lain. PKS tertinggi suaranya. Artinya PKS termasuk parpol papan tengah dan boleh dibilang tertinggi dan paling besar dari parpol Islam.
Ide kami adalah membangun partai—ide dengan beberapa teman seperti Fahri Hamzah dan Pak Anis Matta—begitu gerakan dakwah Islam tumbuh pada era 1980-an.
Ketika PKS muncul, semula bernama Partai Keadilan, parpol ini menjadi salah satu yang memimpin modernisasi Islam. Kira-kira pemikirannya: semua aspirasi Islam yang dimotori orang-orang muda, dimotori ide-ide Islam transnasional, punya kanalisasi institusi lewat PKS. Modernisasinya terletak di situ; mengadopsi demokrasi, mengadopsi negara dan seterusnya. Sehingga tidak ada yang namanya Hizbut Tahrir, garis demarkasi antara Islam dan negara. Tidak ada Salafi yang anti-demokrasi dan bahkan berpolitik itu haram.
Cuma memang tampaknya proses modernisasi di PKS tidak berjalan. Dan sekarang malah terjadi gejala-gejala kemunduran. Ini malah menarik bagi saya sendiri bahwa PKS mundur pada konservatisme. Tema ini memang terlalu berat untuk kader PKS.
Tapi bagi Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Wilayah PKS, pendekatannya bukan rasionalisasi pusat, tapi doktrin, harus taat. Kami akhirnya cuma cari calon yang taat, kok. Surat dari DPP beserta formulir ketaatan itu menunjukkannya: yang enggak mau taat, ya mundur. Maka, yang dilakukan adalah stigmatisasi: “Yang mundur adalah yang tidak taat kepada pimpinan, tidak taat kepada organisasi.”
Kami mengonfirmasi kepada caleg-caleg yang mundur, sebagian besar beralasan karena ini berkaca pada kasus Fahri Hamzah?
Motif mungkin. Mereka (DPP) mungkin punya pengalaman traumatis, misalnya bahkan diledekin sama Ruhut Sitompul, “PKS mau ganti presiden, ganti Fahri Hamzah aja enggak bisa.” Mungkin DPP belajar, jangan sampai ke depan ada preseden misalnya bahwa PKS itu terbelah antara kubu Pak Anis Matta dan yang bukan. Nah, orang-orang yang disebut sebagai loyalis Anis Matta ini banyak yang menjadi petahana di DPRD dan kebanyakan basis sosialnya kuat.
Saya berkata “mungkin”, baru dugaan, karena belum ada penjelasan dan lain sebagainya dari DPP. Ada preferensi atas kasus Fahri Hamzah dan DPP PKS. Surat pernyataan itu pun bisa menjadi novum, yang kalau digugat ke pengadilan, surat itu lemah.
Apakah tidak sayang dengan suara PKS pada 2019, mungkin akan anjlok?
Ini persoalan prinsip mengenai kebijakan mengelola organisasi. Kalau menyetujui dengan tandatangan formulir bersedia diganti sewaktu-waktu dan mengundurkan diri, artinya menjustifikasi kebijakan yang salah. Ini sama saja membuka kesalahan keempat, kelima, dan seterusnya. Ini secara moral politik lemah.
Ada juga perhitungan: konstituen mau dikemanakan? Contoh NTT, provinsi yang minoritas muslim, PKS bukan hanya punya basis massa, yang tercermin dalam kursi di DPRD, tapi mendapat penerimaan secara sosial dari kelompok-kelompok masyarakat Nasrani. Ini jadi pertimbangan bagi kader yang memilih mundur. Proses memelihara basis massa bukan setahun atau dua tahun, bukan sekali atau dua kali Pemilu. Konstituen ini memilih karena prinsip.
Bagaimana dengan Anis Matta?
Pak Anis memang tidak mau banyak bicara, ya. Dia tidak mau memberikan pernyataan di media. Karena apa? Akan direspons secara negatif oleh pimpinan PKS saat ini. Karena pernyataan Anis yang sedang ditunggu mereka. Sehingga saat ada satu saja statement dari Pak Anis, pimpinan PKS saat ini bisa berkata, “Tuh, aktor utamanya sudah bicara.” Membangun persepsi bahwa situasi konflik di PKS ini karena Anis Matta.
Bagaimana komunikasi Anis Matta di internal partai?
Saya berpandangan, biarkan dinamika ini dibicarakan langsung, dijelaskan langsung oleh pihak-pihak yang terlibat di lapangan. Caranya lewat data dan fakta, bukan penilaian, bukan opini.
Berarti, siap tenggelam bareng pada Pemilu 2019?
Saya sih tidak mau karena saya ikut membangun partai ini.
Caranya tenggelam bareng?
Ya tidak tenggelam bareng. Dalam Islam itu ada namanya ruqyah. Cuma kita belum tahu, yang sakti hantunya atau ayat kursinya (tertawa).
Sebenarnya, apakah ada musyawarah buat mengambil keputusan ini?
Di PKS itu ada namanya Musyawarah Majelis Syuro. Anggotanya 99 orang, 30 orang sekian itu adalah anggota yang diangkat atas tiga lembaga tinggi partai. Ada DPP, ada MPP (Majelis Pertimbangan Pusat). Mereka bisa mengusulkan dan keputusannya ada di Ketua Dewan Majelis Syuro.
Bukan di pengurus DPD?
Waktu Agustus 2015, saat musyawarah Majelis Syuro PKS setelah pemilu 2014, ada pergantian pertama kali Ketua Majelis Syuro, dari Hilmi Aminudin ke Salim Segaf Al-Jufri. Peristiwa Agustus 2015 ini menunjukkan 60 anggota Majelis Syuro menginginkan perubahan di PKS. Semua orang tahu yang mengusulkan ide perubahan itu adalah Anis Matta. Setelah keputusan Majelis Syuro, terjadilah pergantian sejumlah anggota.
Pada 2020 akan ada lagi pergantian Majelis Syuro, tapi sebelum itu ada penjaringan calon Majelis Syuro yang baru. Nah, sejak kira-kira dua bulan lalu, ada perubahan besar-besaran terhadap ketua kelompok pembinaan di PKS. Di PKS itu strukturnya begini: ada DPP (pusat), DPW (provinsi), ada DPD (kabupaten/kota), ada DPC (kecamatan), dan ada ranting (kelurahan atau desa). Di bawah ini ada kelompok pembinaan, biasa disebut tarbiyah. Itulah proses kaderisasi.
Secara struktur yang mirip dengan PKS itu adalah Partai Komunis. Nah, penjaringan calon Majelis Syuro itu ada di kelompok ini dan baru naik ke atas. Sejak dua bulan lalu, ketua kelompok pembinaan ini terjadi perubahan secara massal. Orang-orang yang terindikasi sebagai “osan” (“orang sana”) itu diganti semua.
Apa targetnya? Mengontrol Pemira (pemilihan raya) tahun 2020. Sehingga yang akan terjaring sebagai anggota Majelis Syuro 2020 adalah orang yang menurut istilahnya “osin” (“orang sini”). Jadi memang DPP PKS saat ini sedang melakukan tindakan yang sangat sistematik untuk memecah diri.
Soal bursa capres dan cawapres, ada 9 nama tapi yang dipublikasikan berbeda. Ada satu nama, Nur Mahmudi Ismail diganti Mardani Ali Sera. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perintah buat melakukan penjaringan datang dari Majelis Syuro. Di Majelis Syuro ini ada namanya Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) berisi tujuh orang, yang memiliki kewenangan eksekutif, termasuk perubahan nama Nur Mahmudi Ismail atas perintah DPTP. Dan sebenarnya ada yang lebih serius dari sekadar nama Nur Mahmudi, yaitu peraturan yang disahkan DPTP sendiri soal penjaringan bakal capres & cawapres yang diajukan lima orang.
Kalau lima orang, berdasarkan suara terbanyak, pertama Ahmad Heryawan, kedua Hidayat Nurwahid, ketiga Anis Matta, keempat Irwan Prayitno, dan kelima Sohibul Iman. Tapi kemudian oleh DPTP, oleh Ketua Majelis Syuro, memerintahkan sembilan nama. Siapa nomor enam? Salim Segaf Al-Jufri, lalu Tifatul Sembiring, Al Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera (yang menggantikan Nur Mahmudi).Mungkin Nur Mahmudi mau konsentrasi jadi PNS. Perubahan lima nama menjadi sembilan ini diresmikan.
Untuk mengakomodasi?
Ya tidak pernah ada penjelasan. Cuma kalau orang menganalisis, kan, tidak salah juga kalau mengarah ke sana…
Intervensi Majelis Syuro?
Dan sekarang beredar, informasi di lapangan dan disampaikan sendiri oleh pihak Gerindra, bahwa PKS sudah mengajukan dua nama sebagai bakal calon. Yang diajukan adalah Ahmad Heryawan dan Salim Segaf Al-Jufri. Kalau ditanya, di mana itu proses pengambilan keputusan dari sembilan menjadi dua nama? Tidak ada. Pasti mereka tidak bisa jawab.
Seharusnya ada?
Iya, dong. Minimal di Dewan Pimpinan Tingkat Pusat. Ada sembilan calon, tapi datang ke Prabowo Subianto, yang diajukan dua nama, yang tujuh nama bagaimana? Artinya ada mekanisme yang tidak ditaati. Ini menjelaskan paling tidak dua hal. Kenapa dari awal dibuat ada aturan main yang dibatasi? Punya capres kenapa dilarang sosialisasi, dilarang komunikasi dengan partai lain? Itu sih bukan capres. Yang kedua, kenapa kemudian ada tekanan terhadap Anis Matta ketika dia bikin tim sukses?
Kami mengonfirmasi kepada Fahri Hamzah. Ia berkata konfliknya ideologis antara kedua kubu di DPP saat ini. Pendapat Anda?
Memang memberikan gambaran secara sederhana tidak mudah. Kalau meloncat pada konklusi kok ada aspek ideologis, orang bingung. Tapi kita coba iris satu-satu. Dari mana mulanya? Kenapa ada orang-orang yang diistilahkan dengan “osin” (“orang sini”), kenapa ada istilah “orang sana” (loyalis Anis Matta)?
Kader tidak tahu ada pembelahan ini?
PKS mestinya sejak 98 menjadi organisasi terbuka, tapi sampai sekarang dia menjadi organisasi yang semi-terbuka. Proses PKS menjadi institusi politik yang terbuka, berintegrasi dengan negara, sedang mundur ke belakang. Karena persoalan ini sangat dilokasir di tingkat elite.
Pertanyaannya: ada apa dengan Anis Matta? Saya sih tidak suka menyebut loyalis Anis Matta karena ini bukan persoalan itu, bukan figuritas atas orang.
Jawaban paling sederhana ialah merujuk pada peristiwa Agustus 2015 di Majelis Syuro ketika Anis Matta dianggap yang memotori rencana pergantian Majelis Syuro-nya Hilmi Aminuddin. Ini suatu peristiwa yang di tubuh PKS jadi besar. Di PKS, Ketua Majelis Syuro baru berganti sejak 2015. Dipegang oleh sosok yang sama, Hilmi Aminuddin. Upaya untuk mengganti ada sejak tahun 2000, 2005, 2010.
Kenapa disebut peristiwa besar? Ketua Majelis Syuro dalam AD/RT (anggaran dasar) PKS punya kewenangan eksekutif dan kewenangan legislatif. Namanya presiden partai, ketua dewan pertimbangan partai, diangkat oleh Ketua Majelis Syuro. Posisi ini sangat kuat sekali. Karena Anis Matta dianggap sebagai orang yang menjadi pemicu pergantian ini, kemudian berdampak pada politik organisasi yang terjadi sampai sekarang.
Membuat khawatir Salim Segaf Al-Jufri dan Sohibul Iman?
Itu irisan pertamanya. Irisan keduanya lebih politis soal suksesi kepemimpinan demokrasi yang bisa gagal, kan? Irisan ketiga, kalau betul Anis Matta memotori pergantian kepemimpinan, apa sih alasannya? Nah, di sini akan masuk aspek ideologis.
Apa aspek lebih ideologis? Tahun 2004, PKS meraih suara yang luar biasa. Pada Pemilu 1999 (bernama Partai Keadilan) meraup 1,36% suara menjadi 7,34% pada Pemilu 2004. Di putaran kedua, kami masuk koalisi dengan SBY. Pada 2009 suara kami naik lagi menjadi 7,88%. Kursinya dari 45 bertambah menjadi 57 di DPR. Jadi sepuluh tahun PKS menikmati koalisi eksekutif. Fase sepuluh tahun itulah fase persoalan akar-akar ideologis.
Apa yang terjadi? Saat itu Ketua Majelis Syuro Hilmi Aminuddin punya kebijakan semua menteri-menteri langsung di bawah kontrol Majelis syuro. Dan bukan sekadar koordinasi tugas, tapi terkait pengelolaan sumber daya. Jadi pengelolaan sumber daya itu mulai didesentralisasi ke Majelis Syuro. Dan ini menjadi pembeda ketika Anis Matta menjadi Presiden PKS. Kalau PKS mau menjadi partai politik yang terbuka, maka kita harus mengembangkan pengelolaan organisasi dan sumber daya yang terbuka. Transparan dan akuntabel, sesuai negara yang modernlah.
Ini yang kemudian menjadi jarak: tadinya Hilmi Aminuddin dekat dengan Anis Matta kemudian berjarak. Pak Hilmi mulai mengembangkan kerja-kerja yang sifatnya sumber daya dan kontrol organisasi. Sampai setelah Pemilu 2009 diangkatlah Lutfhi Hasan Ishaaq sebagai presiden partai. Di masa Luthfi itulah menjadi klimaks, pengelolaan sumber daya terkontrol kuat. Pak Anis sudah semakin berjarak.
Sampai akhirnya muncullah kasus pada akhir Januari 2013, Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap di kantor DPP PKS saat memimpin rapat. Sore sebelum kejadian, Pak Anis sudah lihat karena ramai di media. Setelah Ahmad Fathanah ditangkap di Hotel Le Meredien, Pak Anis telepon Pak Luthfi, “Ini ada hubungannya dengan ente enggak? Dijawab: enggak… enggak.” Rapat berjalan terus. Setelah magrib, KPK datang, ternyata Pak Luthfi terjerat influence trading, memperdagangkan pengaruh, terlibat korupsi kuota impor daging.
Apakah ada gerakan pembaharuan?
Aspek ideologisnya begini: Sosok Hilmi Aminuddin, meskipun dia adalah pendiri, guru di PKS, dengan segala jasa-jasanya, tapi beliau ini punya akar geneologis dan akar ideologis dari bapaknya yang dulu lama di DI/TII.
Salah satu doktrin pemikiran di DI/TII, ada satu namanya doktrin fai’. Zaman Orde Baru, kan, banyak kasus fai’. Artinya, harta yang dimiliki orang lain menjadi halal untuk dirampas sebagai perjuangan. Kira-kira konsep dasar fai’ seperti itu. Analisis beberapa teman, sikap Hilmi Aminuddin pada saat itu ingin mengontrol penuh. Secara terpusat, pengelolaan sumber daya, kira-kira adalah rembesan dari pemikiran itu.
Jadi bahasa lebih sopannya: bisa mengelola dari tangan negara. Ini irisan aspek ideologis seperti itu.
Kedua, sejak 2004, Ustaz Hilmi memang memperkuat unit intelijen yang dibuat oleh Pak Suripto. Rekrutmen dan pelatihan masif sekali. Sebagai organisasi politik, kemampuan intelijen itu memang dibutuhkan dan kehadiran Pak Suripto sangat membantu. Kami, kan, harus mampu menganalisis segala macam. Ketika unit ini dibangun, fungsi intelijen justru dipakai ke dalam.
Model pengelolaan konflik di PKS sekarang ini model operasi intelijen. Maka, keluarlah “Dokumen Osan-Osin” di PKS—”Gerakan 30 Syaikh Pemimpin Kelompok Sebelah” (Dokumen “Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS”). Jelas ini ciri khas cara kerja intelijen. Kebetulan saya tujuh tahun di Komisi I, mitranya orang BIN, jadi paham.
(Tirto/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar