Ilustrasi
Oleh: Eko Kuntadhi
Gerindra dan Partai Demokrat sepertinya sudah mendekati kata sepakat untuk bergandengan. Gerindra punya Prabowo. PD jelas punya AHY. Keduanya bisa saling melengkapi. Ok, AHY masih muda. Tetapi PD memiliki amunisi yang cukup untuk menangung biaya Pilpres. Jadi beban biaya bisa ditanggung bersama.
Soal biaya ini yang belum dimiliki PKS yang ngotot menyorongkan sembilan kadernya untuk mendampingi Prabowo. Sejak sebelum Ramadhan kemarin, Presiden PKS sudah ngebet mendorong Prabowo segera mengumumkan Cawapresnya, tetapi dicuekin.
Wajar saja Prabowo cuek. PKS boleh ngotot, tetapi apa yang ditawarkan untuk Prabowo?
Di internal PKS sendiri saling cakar-cakaran. Konflik panjang faksi Anis Matta dan faksi Sohibul Iman sampai sekarang gak kelar juga. Bahkan di berbagai daerah banyak caleg dari PKS memilih mundur. Itu terjadi akibat kebijakan DPP PKS yang memaksa semua caleg menandatangani surat pengunduran diri. Dengan surat pernyataan itu, nanti anggota legistaltif dari PKS kapan saja bisa dipecat dari kursinya.
Kebijakan itu tampaknya lahir dari kapoknya DPP PKS dengan perlawanan kadernya seperti Fahri Hamzah, yang gak nau dicopot dari kursinya.
Caleg PKS mikir, buat apa capek-capek berkampanye, jika DPP bisa sembarangan memecatnya ketika mereka sudah berhasil memenangkan Pileg? Lebih baik mundur sekalian.
Karena kesemrawutan itu juga Fahri Hamzah meramalkan partai ini akan tutup usia pada Pemilu 2019.
Jadi wajar jika Prabowo nyuekin PKS. Dari sisi soliditas internal kemampuan PKS sudah diragukan. Mesin politiknya diyakini tidak efektif bekerja. Belum lagi soal amunisi. Emang mau PKS ikut keluar duit?
Kabarnya Prabowo juga masih sakit hati dikerjain kader PKS pada Pilpres lalu. Waktu itu dia masih percaya pada kekuatan PKS. Kabarnya banyak dana digelontorkan ke tim PKS termasuk membiayai saksi di puluhan ribu TPS.
Saking percayanya, Prabowo begitu yakin laporan hasil hitung cepat PKS yang memenangkan dirinya. Wong, seluruh saksi sudah dibiayai masa hasilnya bohong. Saking percayanya, waktu disarankan melakukan sujud syukur Prabowo langsung ‘nyusruk’.
Kader PKS sendiri ketika itu tidak ada satupun yang mau mendampingi Prabowo melakukan sujud syukur. Mungkin karena mereka tahu sujud syukur untuk merayakan kekalahan termasuk perbuatan sia-sia dan lucu.
Artinya bukan hanya duitnya yang jebol, tetapi juga wajah Prabowo dipermalukan. Ibaratnya ada jenderal dikibuli anak Rohis.
Prabowo lebih memilih bergerak sendiri. Dia menemui SBY untuk membangun koalisi. Setelah perjumpaan dengan Prabowo, SBY melanjutkan menggelar pertemuan dengan PAN.
Kini dua kekuatan sudah mulai terlihat bentuknya. Di satu sisi ada koalisi Jokowi dengan enam partai pendukung. Di sisi lain ada PD, Gerindra dan PAN yang sedang menjalin komunikasi intens.
Sementara partai anak ‘rohis’ ini sebaiknya dibiarkan jadi remahan rengginang. Mengutip Fahri Hamzah, “Innalillahi waina ilaihi rajiun.”
Tinggal satu cara yang bisa dilakukan, tutup pakai jaring hitam.
(Eko-Kuntadhi/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar