Ilustrasi
Pegiat media sosial, Eko Kuntadhi membongkar doktrin yang diajarkan di liqo-liqo ala PKS. Berikut tulisan menarik Eko Kuntadhi yang diposting di laman facebooknya:
KAMPRET DALAM TEMPURUNG
Ada satu doktrin yang diajarkan di liqo-liqo ala PKS, bahwa saat ini di dunia sedang terjadi perang pemikiran atau istilah mereka gazwul fikri. Perang itu, katanya terjadi antara kaum muslimin dan lawan. Siapakah lawannya? Ya, semua pihak yang dianggap berseberangan dengan mereka.
Karena dunia ini sedang terjadi perang pemikiran, maka doktrin yang dijejalkan kepada kadernya adalah jangan percaya pada pemikiran yang berasal dari kelompok lain. Bukan hanya jangan percaya tetapi juga dilarang mengakses perkembangan pemikiran lain. Rasa curiga ditimbulkan untuk menjadi pagar agar tidak ada informasi lain yang masuk ke kepala.
Dalam mengkaji agama misalnya, mereka mengharamkan buku-buku yang dianggap tidak sejalan. Bacaanya berputar disitu-situ saja. Buku pegangannya karangan Hasan Albanna, Sayed Qutub, Hasan at-Turabi, Said Hawwa atau Yusuf Qardawi.
Bahkan Murabi atau pengajar liqo biasanya mengharamkan muridnya membaca buku-buku karangan orang di luar kelompoknya. Alasannya jangan sampai fikiran mereka dijajah. Sebetulnya yang ditakutkan jangan sampai fikiran mereka terbuka.
Akibatnya kebenaran yang mereka yakini hanya berdimensi tunggal. Tidak ada pembanding untuk mengujinya. Disini doktrin lebih terasa dibanding proses pencarian.
Dengan latar belakang seperti inilah kita berhadapan dengan orang-orang PKS. Ketika pimpinannya berkata harga bensin naik, semuanya langsung nyerocos harga bensin naik. Seperti burung beo yang bicara tanpa makna.
Padahal yang naik harga Pertamax dan sekelasnya, sementara harga BBM jenis lainnya tetap. Tapi mereka gak mau tahu, kalau kata pimpinannya harga bensin naik, berarti ya, naik. Kalaupun harga Premium dan Pertalite tidak naik, mereka akan terus menerus mengatakan itu naik.
Ketika mereka ke SPBU membeli Pertalite dengan harga yang biasa, mereka akan menganggap harganya naik. Antara pernyataan tidak harus sama dengan kenyataan. Inilah salah satu keberhasilan doktrin : antara keyakinan dan realitas bisa jauh berbeda.
Itu baru satu kasus ekstrim. Ada banyak kasus lain yang bisa kita ajukan. Mereka misalnya dicekoki informasi bahwa umat islam di Indonesia sedang dizalimi pemerintah. Walaupun disodorkan bukti bahwa umat islam baik-baik saja –malah justru kadang menindas umat agama lain secara kasar– tapi mereka gak akan percaya.
Kalau Rocky gerung berkata kitab suci adalah fiksi dan pentolan PKS gak ada yang protes, maka pengikutnya akhirnya juga yakin kebenaran omongannya Rocky. Walhasil mereka lebih percaya fiksi yang ditiup-tiupkan ke telinganya ketimbang mengakui realitas.
Sebab mereka memang seperti orang yang memenjarakan pikirannya sendiri dari informasi apapun di luar dari kelompoknya. Jadi percuma juga kita bicara soal proses mencari kebenaran, soal fakta, soal begitu banyaknya fikiran yang bisa diakses dan dipelajari atau soal mana fakta mana hoax, mana yang logis mana yang ngaco. Gak akan tembus ke telinganya.
Soal demo di depan markobar, misalnya. Kita memandang itu tindakan yang nir-etika dan norak. Masa demo di warung milik seorang anak Presiden yang gak ada sangkut pautnya dengan politik. Tapi gak begitu bagi mereka. Demo itu adalah bagian dari jihad. Mereka bisa merumuskan sendiri apa itu jihad yaitu sepanjang bersesuaian dengan kepentingannya.
Ada lagi yang menarik, diantara mereka ada yang menganggap sekarang ini dalam kondisi perang (ya, perang pemikiran itu) maka setiap perang pasti ada barang rampasan. Nah, harta hasil korupsi itu dianggap sebagai rampasan perang. Jadi seperti ada doktrin pembenaran pada perilaku korup.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana mereka memandang orang lain di luar kelompoknya. Bagaimana mereka memandang perbedaan pandangan politik apalagi agama. Singkatnya mereka berfikir seperti kampret dalam tempurung.
Bisa dibayangkan jika yang terkena doktrin seperti ini adalah anak Anda. Atau saudara Anda. Apa gak jadi ribut setiap kali ada beda pandangan. Sebab dalam perang pemikiran, otomatis yang berbeda adalah musuh.
Lalu bagaimana cara menghadapi spesies jenis ini?
Ya, gak usah pakai argumen yang menjelimet. Karena juga gak akan ada gunanya. Mereka sudah menolak bahkan sebelum mendengar argumen kita. Wong sedang gazwul fikri.
Kalau saya, sih, hadapi saja dengan becanda. Dengan humor. Cuma itu satu-satunya cara kita merawat kewarasan berhadapan dengan orang sejenis ini.
Walaupun kita tahu, pikiran itu mirip parasut. Dia hanya berguna bila mengembang.
Eko Kuntadhi
Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2021245604617440&id=1020117881396889
(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar