Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Agama dan Toa

Agama dan Toa

Written By Unknown on Minggu, 26 Agustus 2018 | Agustus 26, 2018


Di sebuah desa wilayah Sleman (DIY), seorang teman tinggal di antara dua masjid yang hanya berjarak kurang dari 50 meter. Ia bertutur: Mula-mula masjid sebelah kiri dengan 2 toa di sekeliling kubah. Tapi kemudian bertambah menjadi 6, lantaran masjid sebelah kanan menambah toa menjadi 4. Tak lama kemudian, toa masjid sebelah kanan bertambah menjadi 8. Masjid sebelah kiri? Tak berapa lama menjadi sama-sama 8. Score ini, kata teman saya, masih bertahan hingga kini.

Apa maknanya? Saya tak ingin memaknai, nanti ada yang sensi. Sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia, dulu Jusuf Kalla mengeluarkan aturan, agar penggunaan loudspeaker di masjid diatur. Aturan Menteri Agama mengenai penerapan loudspeaker, sebenarnya juga ada. Dipatuhi? Tidak, karena penegakan aturan juga tak ada.

Masih ingat Zoya, lelaki Bekasi yang dituding mencuri amplifyer masjid? Ia tewas dibakar hidup-hidup. Mungkin ini beda kasus, tapi intinya sama. Seseorang dibully, dipersekusi, dianiaya, atas alasan perasaan terhina keberagamaannya (meski tudingan Zoya mencuri ampli masih sumir, dan tak ada pengadilan untuk itu).

Kasus yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, justeru pengadilan negara yang menjatuhkan vonis atas dakwaan penistaan agama (persis seperti kasus Ahok). Sebelumnya Fatwa MUI Sumatera Utara mengatakan itu. Di situ ada ormas GPF (Gerakan Pengawal Fatwa) MUI. Tahun ini Ibu Meiliana divonis 18 bulan, atas peristiwa sumir tahun 2016. Fatwa MUI SU atas kasus itu dikeluarkan 2017. Padahal menurut terdakwa, ia hanya menanyakan tetangganya, kenapa suara adzan di masjid terdengar lebih keras?

Di Probolinggo, tentang salah satu TK yang viral di sosmed, gara-gara mengkarnavalkan murid-muridnya dengan pakaian yang ‘gitu deh’ dan berselempang replika senjata laras panjang? Yahya C. Staquf, pengurus PBNU, menyimpulkan hal itu sebagai bentuk pengajaran radikalisme (agama), sesuatu yang sedang diwaspadai gerak-geriknya oleh negara.

Publik (netizen) mengritik penyelenggara karnaval itu. Tapi hasilnya? Mendiknas menghadiahi TK itu Rp 25 juta, dan tak mempermasalahkan aksi yang ditentang banyak pihak. Kepolisian awalnya menegaskan hendak memburu pengunggah video pertama kali di sosmed. Tapi akhirnya, hal itu dibantah. Endingnya? Kepala Sekolah TK binaan Kodim (Komando Distrik Militer) Probolinggo dipecat.

Dst. Penanganan negara (dan terutama) masyarakat, soal yang bau-bau agama, semakin tak menjelaskan apa fungsi agama di dunia ini. Karena perilaku yang mengaku beragama, sama sekali tak mencerminkan rasa kemanusiaan dan keadilan. Jika kita percaya nilai hakiki agama adalah perihal kemanusiaan dan keadilan, mana buktinya? Ngomdo!

Itu saja sih yang ingin saya tulis, agar bisa mengerem diri, untuk tak mengritik agama. Karena persoalan pokoknya pada watak manusia. Kalau mau ngomong agama, (1) Indonesia bukan negara agama. (2) lembaga atau ormas agama kini lagi sibuk berpolitik. Daripada dituding ngribetin keasyikan mereka, mingkem sajalah, agar tak diminta test DNA.

Sumber: FB Sunardian Wirodono

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: