Muda adalah kekuatan, demikian judul orasi ke-tiga Agus Harimurti Yudhoyono. Siapa Agus? Anaknya Ibu Ani Yudhoyono. Cucunya Sarwo Edi Wibowo. Anak dari Susilo Bambang Yudhoyono. Artinya? Dikaitkan dengan 1965, Soeharto, PKI, kita ngerti konteksnya. Di ILC, Rocky Gerung dengan gaya aktor Dustin Hoffman, dengan nada rendah yang ditinggikan, memuji SBY seorang “Strateeeegggg!”
Kita dulu ngertinya ahli strategi itu Soeharto. Baru kali ini, ada yang ingin meyakinkan kita, di luar Soeharto. Atau jangan-jangan murid Soeharto? Sebagai jenderal meja, SBY mempunyai kesempatan leluasa berhubungan dengan buku, bukannya bedil di lapangan. Meski TB Simatupang dan AH Nasoetion bisa membuktikan hal lain. Jenderal lapangan juga bukannya tidak intelektual. Sekali pun Jenderal Soedirman prototype yang banyak pengikutnya dalam tradisi ketentaraan kita.
Jika Rocky Gerung begitu akrab dengan SBY, bahkan kemudian menjadi mentor politik AHY, bisa dimaklumi karena berkecenderungan sama. Bermain-main dengan logika. Sekalipun kemudian ketika Rocky Gerung mereduksi Jokowi, atau kubu Megawati yang dinilai tak punya tradisi akademik, di sisi ini selaku intelektual Rocky Gerung hanyalah tukang. Ia bukanlah Aristoteles atau Socrates. Ia filsuf yang bisa menyerang balik emak-emak di sosmed.
Bahwa ia melakukan dekonstruksi pemikiran, akan terlihat baik ketika menjadi penasihat, konsultan, atau mentor seseorang. Namun akan bermasalah ketika menerapkannya ke publik secara terbuka. Bukan hanya kontroversial, melainkan kontra-produktif. Karni Ilyas, yang berkewajiban menjaga rating ILC, mengeksploitasi kontroversi ini. Karena itu, narasi-narasi kehebatan Rocky Gerung digelembungkan Karni Ilyas untuk membesarkan ILC.
Lho, kok malah ngomong Rocky Gerung? Ini hanya sekedar untuk melihat, siapa sebenarnya SBY dan anaknya. Saya tidak tahu, dari mana pengenaan diksi ‘Muda adalah Kekuatan’. Dari Rocky Gerung? SBY? Kesepakatan keduanya? Ketiganya? Karena kata-kata itu, persis sebagaimana disampaikan Adolf Hitler dalam menciptakan kebohongan-kebohongan atas orasi-orasi politiknya.
“Aku memulai dengan pemuda. Kami yang lebih tua telah bekerja. Ya, kami sudah tua,” berucap Hitler dalam orasinya yang makin menggila dan populer, pada awal Mei 1927. “Kami busuk sampai tulang sumsum. Kami tidak memiliki sisa naluri yang terkendali. Kami pengecut dan sentimental. Kami menanggung beban masa lalu yang memalukan dan dalam darah memiliki ingatan yang membosankan dari perhambaan dan perbudakan. Tetapi, anak-anakku luar biasa! Adakah yang lebih baik di mana pun di dunia? Lihat pemuda dan anak-anak ini! Sangat berarti! Dengan mereka, aku bisa membuat dunia baru.” Muda adalah kekuatan. Di situ intinya.
Salah satu doktrin Hitler ialah, lakukan kebohongan terus-menerus, secara persisten, maka kebohongan akan dianggap sebagai kebenaran. Jika Demokrat mendekati Prabowo, mayjend yang pemecatannya juga ditandatangani SBY, karena posisi Demokrat memang tak bisa tidak butuh tangga. Gerindra adalah tangga yang baik, ketika tawaran AHY sebagai cawapres bagi capres Jokowi dinilai ketinggian.
Memang SBY harus mendukung salah satu capres, agar tak terkena aturan UU yang bisa membuat Demokrat tak bisa ikut Pemilu 2024. Sebagai jenderal meja, ia pasti ahli berhitung. Hingga teganya-teganya-teganya, memerintahkan anaknya copot dari dinas kemiliteran, dengan tanpa hirau bagaimana negara membiayai untuk pendidikan dinas ke luar negeri itu.
Tampaklah SBY sebagai strateeeggg seperti teriakan Rocky Gerung di ILC. Sebagaimana ia memakai kembali Prabowo, yang dihentikan karirnya, untuk dipakai mengatrol anaknya, yang juga diberhentikan karirnya dari dinas kemiliteran. AHY ditarik ke kancah politik praktis. “Aku ingin berperang, Bagiku semua cara adalah benar,” teriak Adolf Hitler dalam pidatonya di Coburg, 15 Oktober 1937. Hitler sudah mulai kalap. “Motoku bukan ‘Jangan, apa yang kamu lakukan mengganggu musuh’. Motoku adalah ‘Hancurkan dia dan semua dengan segala cara’. Aku adalah pengobar perang!”
Maka korban pertama adalah Prabowo dengan Gerindra. Berikutnya PKS, PAN yang masih alot dalam pembahasan cawapres Prabowo. Belum di belakangnya para ulama ‘su di GNPF yang diinisiasi Rizieq Shihab. Ini semua karena AHY harus menjadi presiden di 2024. Jika tidak mulai sekarang, kapan lagi? SBY mungkin beranggapan, pada 2024 AHY siap bertempur secara matang. Tahun ini ia butuh sparing partner, kawan dan lawan latih tanding.
Apa yang dijual? Kemudaan. Persis kehadiran bapaknya dulu, ketika menantang ibu ndut bernama Megawati. Para ibu-ibu bisa histeris melihat SBY 15 tahun lampau. Sampai Ibu Ani banyak sewotnya. Tetapi apa hasil memimpin 10 tahun? Presiden dengan latar belakang militer yang dibanggakan itu, presiden terjeblok. Banyak elite partainya masuk penjara karena korupsi. Proyek-proyek pembangunan mangkrak, padahal utang negara juga tinggi, serta diwariskan pada pemerintahan berikutnya.
Muda adalah Kekuatan. Itu sudah dijajakan di Pilkada DKI Jakarta 2017. Melawan yang lebih tua seperti Anies dan Ahok. Nyatanya, generasi milenial Jakarta dengan segala fasilitas modernitas, tak terpengaruh. Ahok tetap lebih menjadi pilihan anak muda, karena keren dan berbeda. AHY berada di pilihan buncit. Karena belum keren? Tentu saja, semuanya akan beralasan begitu. Keren bukan karena sepatu dan jaketnya mahal bikinan luar negeri. Mencari pemimpin juga bukan karena sisi usia. Jokowi waktu itu lebih muda, dibanding Prabowo. Tetapi Jokowi membawa track-record, bukan trah-record.
AHY belum dalam kapasitas level kepemimpinan nasional yang teruji, persis seperti Prabowo. Pada sisi itulah AHY, yang belum bisa mengkapitalisasi, sangat tertolong dengan semangat joang bapaknya, juga Rocky Gerung tentunya, yang menjadi mentor politiknya.
Kemudaan AHY tidak dalam pengertian paralel dengan Justin Trudeau, yang dicintai rakyatnya karena jawaban yang sederhana; Kenapa Anda membawa perubahan? “Karena ini tahun 2015,” demikian katanya seusai dilantik sebagai PM Kanada. Atau taruhlah dengan pemimpin muda dan presiden Perancis, Emmanuel Macron, yang masuk dalam gerakan politik secara praktik. Sebagaimana spirit Obama dan Jokowi, mereka ada dalam type kepemimpinan androgini, generasi baru yang mandiri, yang pada kenyataannya sulit lahir dari kepemimpinan militer.
Dalam framing SBY, AHY lebih berada dalam spirit orangtua, yang termotivasi kemenangan Mahathir Mohamad belum lama lalu. Sama persis dengan spiritualisme Prabowo, yakni kemenangan dan kekuasaan. Bukan sebuah elan vital, atau kebersatuan dengan majoritas masyarakat diam. Dan tidak paralel dengan generasi milenial kidz jaman now.
Jadi, so what ‘gitu loh, AHY, soal kemudaanmu! Ini tidak sedang kontestasi mencari pria metro-sexual. Karena jika engkau pemimpin masa depan, yang dibutuhkan adalah pemimpin masa kini.
Diambil dari Facebook Sunardian Wirodono
(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar