Ilustrasi
Bukan NU kalau tidak mengejutkan. Berpikir di luar kotak (out The box) dan terus tidak lelah membangun paradigma, layaknya sebagai sebuah gerbong dengan muatan penuh, NU tetap lincah bergerak dan genit. NU tak bisa ditarik dalam definisi yang rigid, sebaliknya NU selalu inklusif dan kenyal dengan berbagai kondisi.
Kader NU juga di kenal sangat loyal dengan para kyai nya tanpa banyak tanya. Yang tak suka NU, menyebutnya taqlid, padahal itu dibutuhkan, sebab banyak tanya juga kerap kontra produktif, apalagi dilanjutkan dengan menjudge pemimpin-nya dengan stigma negatif hanya kebetulan tidak sehaluan.
Dalam kurun dua tahun terakhir, setidaknya NU telah berhasil membuat Islam tetap eksis dan diperhitungkan lawan. Kader-kadernya berserak di semua lini, mulai pengusaha, politisi, teknisi, militer dan terakhir kader-kader NU berhasil memenangi sejumlah pilihan gubernur dan kepala daerah bahkan Calon Presiden dan Wakil Presiden lahir dari rahim NU, mereka para petarung yang gesit dan ulet.
Setelah gagasan Islam Nusantara yang penuh kontroversi karena definisi yang belum selesai, jagat politik dikejutkan dengan terpilihnya Rois Syuriah Kyai Ma’ruf Amin menjadi cawapres mendampingi petahana, pada pilihan politik yang riuh penuh ghirah. Dan terakhir pemberian Karta-NU Untuk capres Prabowo dan Sandi. Lengkap sudah semua diambil.
Berbeda dengan kunjungan Prabowo-Sandi sebelumnya yang formal. Di kantor PB NU isinya hanya guyon dan tertawa ringan, lantas diakhiri dengan pemberian kartu anggota NU. Inilah cerdiknya dan sekali lagi, ini gaya Wali Songo dalam berdakwah meng-Islamkan raja-raja nusantara. Singkat, padat dan dapat banyak.
Nakamura (2001) dalam paper-nya yang berjudul The Radical Transformation of Nahdlatul Ulama in Indonesia, menyebut perilaku politik NU pada 1970-hingga 1990 an kerap melawan arus dari kecenderungan umum, membangun relasi antara organisasi kemasyarakatan dan pemerintah. NU adalah ormas terbuka bagi siapapun. Longgar dan fleksibel.
Tidak ribet untuk menjadi warga NU. Jamaah tahlilan adalah NU, jamaah Yasinan adalah NU, baca qunut saat shalat shubuh adalah NU, mereka semua bisa diakomodir sebagai jam’iyah tanpa harus ribet setor pas foto, atau pembagian sertifikat setelah lulus pengkaderan. Bahkan konon ada yang merengek mengaku sebagai anggota sebuah perkumpulan tetap saja tidak diakui, hanya karena kerudungnya kurang rapat dan warnanya kebetulan berbeda. Bukan nya kartu anggota yang di dapat malah caci dan serapah.
Padahal toh sama-sama tidak ada keuntungan yang didapat sebab menjadi anggota, tidak mendapat jaminan atau kemudahan saat masuk sekolah atau sekedar keringanan beli obat saat sakit. Jadi kenapa harus dipersulit untuk menjadi jam’iyah, adalah tidak penting berideologi apa atau berasal dari partai apa yang penting NU.
Tradisi politik NU tidak melulu mengikuti textbook. Meminjam analogi Robin Bush (1999), NU pintar bermain dansa, sehingga susah dijerat atau dipaku pada posisi tertentu.
Hanya dengan Karta-NU, NU tak perlu bersusah-payah meng-kader seseorang untuk menjadi Presiden. Prabowo-Sandi, Jokowi-Amin telah menjadi bagian dari jam’iyah NU. Itulah manuver cerdas gaya Sunan Kalijaga. Lazimnya ijtihad, semua ada kelebihan dan ada kekurangan dan itulah dahsyatnya ushul fiqh yang dipegang kukuh: yang biasanya diramu dalam kaidah ushul fiqh: dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindarkan keburukan jauh lebih diutamakan daripada meraih kebaikan).
Para pengamat gampang sekali bilang bahwa NU uportunis, in-konsisten atau lebih mengutamakan tujuan jangka pendek, tapi bukan NU kalau tidak bisa memberi alasan telogis. Dan hasilnya memang luar biasa …🙏🙏🙏
Wallahu a’lam
@nurbaniyusuf, Guru di Univ Muhammadiyah Malang dan Penggiat Komunitas Padhang Makhsyar
Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2146462398934896&id=100007134692657
(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar