Koalisi kelompok Islam politik dan nasionalis pernah terjadi di masa lalu, tapi selalu diliputi kecurigaan
Rumor tentang koalisi PDIP dan PKS di Pemilihan Gubernur Jawa Barat mudah menerbitkan keheranan. Di tingkat pusat, PDIP dan PKS adalah dua partai yang seakan-akan tidak bisa bersekutu. Tapi politik Indonesia sering mengejutkan, apalagi di level pemilihan kepala daerah. Konfigurasi politik di pusat tidak pernah menjadi patokan yang pasti bagi koalisi di daerah.
Andai PDIP dan PKS berkoalisi di Pemilihan Gubernur Jawa Barat, ini pun bukan hal yang sama sekali baru. Sejarah politik Indonesia menunjukkan adanya preseden koalisi antara kelompok Islam dan nasionalis. Di masa Revolusi (1945-1949) dan Demokrasi Parlementer (1950-1959), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pernah berkoalisi beberapa kali untuk membentuk kabinet.
Bila PDIP punya kaitan historis dengan PNI, sebenarnya tidak bisa ditemukan pewaris yang sama bagi Masyumi pada partai-partai besar yang sekarang bertarung dalam pentas politik nasional. Partai Bulan Bintang (PBB) memang mengklaim sebagai penerus Masyumi, namun partai yang didirikan Yusril Ihza Mahendra ini kian terpuruk. Pada Pemilu 2014, PBB hanya memperoleh 1,46% suara dan tidak lolos parliamentary treshold.
Jika aspirasi Islam politik dan formalisme syariah menjadi takaran, PKS bisa diasumsikan dalam satu garis dengan Masyumi. Kesimpulan ini memang problematis dan menyederhanakan masalah. Tapi, seperti ditunjukkan Burhanudin Muhtadi dalam Dilema PKS: Suara dan Syariah (2012), genealogi para pendiri dan jajaran Dewan Syuro partai dakwah ini berakar pada garis politik Masyumi.
Masyumi Menentukan Garis Politik
Ketika Kabinet Sjahrir I terbentuk sebagai konsekuensi diberlakukannya Maklumat 3 November 1945, Masyumi memilih jalan oposisi. Tapi, dua orang petinggi Masyumi dimasukkan dalam kabinet: M. Rasjidi diberi jatah Menteri Agama, M. Natsir mendapat bagian Menteri Penerangan (menggantikan Amir Sjarifuddin). Kedua orang itu bergabung ke kabinet sebagai pribadi, bukan atas nama partai.
Masyumi baru menyatakan bergabung ke koalisi pemerintahan saat Sjahrir membentuk kabinet baru yang dikenal dengan nama Kabinet Sjahrir II (2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947) dan Sjahrir III (12 November 1947 – 23 Januari 1948). Saat itu, seperti diungkap Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013), Masyumi mengubah sikap oposisi menjadi “dukungan kritis” terhadap pemerintahan Sjahrir (hlm. 77).
Dalam koalisi tersebut termasuk juga unsur Partai Nasional Indonesia (PNI) dan beberapa representasi golongan komunis. Bahkan, dalam konteks oposisi terhadap pemerintah, Masyumi juga bersekutu dengan anasir-anasir kiri untuk menentang perundingan dengan Belanda.
Pada Kabinet Sjahrir III, keterwakilan Masyumi di jajaran kementerian semakin besar. Ada 8 orang anggota atau simpatisan yang masuk. Sedangkan PNI mengirimkan 4 orang anggotanya. Meski mendapat jatah besar di kabinet, hubungan dengan pemerintah tak kunjung membaik. Beberapa unsur perwakilan dalam tubuh Masyumi tetap bersikeras menentang perundingan Indonesia-Belanda. Begitu pula dengan PNI: sebagian besar anggotanya menolak perundingan.
Secara umum, garis politik Masyumi dan kelompok nasionalis belum menemukan perbedaan yang tajam di masa Revolusi. Baru di era sesudahnya, ketika Demokrasi Liberal diterapkan pada dasawarsa 1950-an, perbedaan di antara mereka kian sulit dijembatani.
Tapi politik tetap merupakan seni mengelola berbagai kemungkinan. Bahkan di zaman yang “panas” itu, koalisi Masyumi-PNI pernah terwujud.
Dinamika Koalisi Nasionalis-Islamis
Masyumi dan PNI menjadi dua partai terbesar pada periode 1950-an. Perolehan suara di Pemilu 1955 menempatkan keduanya di urutan nomor satu dan dua. Keduanya benar-benar menjadi pilar keseimbangan politik sepanjang periode genting itu. Namun akibat tidak ada satu pun partai yang meraih suara mayoritas, kestabilan politik sukar sekali dicapai. Kerjasama di antara keduanya pun sering mengalami kegagalan.
Sembari menanti Pemilu 1955 dilaksanakan dan bentuk negara disepakati, PNI dan Masyumi sebenarnya setuju untuk melupakan sejenak perbedaan-perbedaan pokok di antara mereka. Tapi terkadang perbedan-perbedaan yang tidak terlalu substansial masih mewarnai kerjasama politik tersebut. Tiap kali pemerintahan terbentuk, selalu terbuka peluang munculnya kembali ketidaksepahaman.
Perbedaan itu muncul, menurut Madinier, “lebih banyak menyangkut persoalan format daripada prinsip dan tak satu pun di antaranya bisa dianggap jurang perintang bagi kerjasama antarkedua partai” (hlm. 122).
Contoh paling jelas tampak dalam empat pemerintahan yang dibentuk sebelum pemilihan umum dilaksanakan. Perundingan dan kesepakatan awal biasanya selalu membuka kemungkinan kerja sama antara PNI dan Masyumi. Ketika pembicaraan sudah mulai masuk mengenai program kerja dan jatah menteri, dua partai itu sering terantuk jalan buntu.
Dua kabinet awal pada masa Demokrasi Parlementer berturut-turut dipimpin orang Masyumi, yaitu Natsir dan Sukiman. Pada masa Kabinet Natsir, tidak ada satu pun orang PNI masuk menjadi menteri. Baru di masa Perdana Menteri Sukiman, Masyumi mulai merangkul PNI untuk membentuk pemerintahan. Di sinilah untuk pertama kalinya, perbedaan-perbedaan, baik besar maupun kecil, antara kelompok Islam dan nasionalis bisa didamaikan. Tapi ini pun tidak bertahan lama.
Sukiman menyerah akibat desakan dari kelompok oposisi, bahkan dari partainya sendiri. Ia lalu memberikan mandatnya kepada Presiden Sukarno. Kemudian dibentuklah formatur yang lantas menunjuk Wilopo (kader PNI) sebagai kepala pemerintahan pada 1 April 1952. Sebagai Perdana Menteri, Wilopo merangkul Masyumi kembali ke dalam kabinet. Salah satu kader terbaik Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri.
Setelah Pemilu 1955 dilaksanakan, Masyumi dan PNI kembali berkoalisi dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kabinet ini berusaha merangkul empat besar pemenang Pemilu, tapi tidak berhasil. PKI sebagai pemenang keempat menolak ikut serta dalam kabinet.
Meski Kabinet Ali II dianggap paling representatif, nasibnya sama dengan kabinet-kabinet terdahulu yang hanya bertahan singkat. Apalagi krisis politik bertambah panas lantaran Dewan Konstituante selalu gagal merumuskan dasar negara.
Ketika Sukarno mengeluarkan Konsepsi Presiden 1957, yang salah satu isinya menyerukan pembentukan “kabinet kaki empat” (kabinet yang merepresentasikan empat partai pemenang Pemilu), Masyumi sudah semakin jauh dari kekuasaan. Kekecewaannya terhadap garis politik Sukarno dan kelompok nasionalis makin tidak terbendung.
Pada 1958, beberapa tokoh Masyumi memproklamasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Bagi pemerintah pusat, gerakan itu adalah sebuah pemberontakan (Ft/Opini/tirto/SA).
(Diambil dari, tulisan Ivan Aulia Ahsan).
(Tirto/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar