Gempa Lombok-NTB
Gempa besar terjadi di NTB dan sekitarnya. Ini adalah rentetan dari gempa yang sudah terjadi sebelumnya. Seperti biasa, ada saja orang yang menghubungkannya dengan hukuman Tuhan terhadap dosa manusia. Dalam hal NTB ini, dalam situasi menjelang tahun politik, banyak orang mengaitkannya dengan preferensi politik pemimpin NTB, Tuan Guru Bajang, yang saat ini mendekat ke Jokowi.
Ini pola pikir lama, yang dicampur dengan politik kebencian. Manusia menghadapi banyak bencana alam, berupa banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan sebagainya. Bencana ini menimbulkan banyak kerusakan harta benda, juga merenggut banyak nyawa manusia. Dulu bencana ini dikaitkan dengan kemarahan Tuhan atas dosa-dosa manusia. Agar tidak terjadi bencana maka manusia diharuskan menjaga perilakunya, tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat Tuhan murka. Manusia juga diharuskan membuat Tuhan senang dengan memberikan sesaji atau melakukan ritual tertentu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bumi ini terbentuk dari materi panas yang membeku. Bagian yang membeku itu sebenarnya hanya di permukaannya saja. Di bagian dalam perut bumi terdapat cairan yang sangat panas dengan suhu mencapai 1300 derajat. Tentu saja karena panas itu perut bumi juga bertekanan tinggi. Bagian permukaan bumi yang disebut kerak bumi ini tebalnya sekitar 30 km.
Lapisan permukaan bumi ini tidak berupa potongan utuh, melainkan terdiri dari sejumlah potongan atau lempeng. Lempeng-lempeng ini “mengapung” di atas magma tadi. Karena mengapung, posisinya tidak statis, tapi dinamis. Sesekali sesama lempeng saling berbenturan, atau bergesekan. Benturan dan gesekan itulah yang menyebabkan sebagian dari permukaan lempeng itu terguncang. Itulah yang disebut gempa bumi.
Perbatasan lempeng-lempeng itu terletak di bawah laut. Ketika lempeng bergeser atau bertumbukan, gerakan itu mengusik air laut. Energi yang sangat besar dari gesekan itu mengusik air laut dalam volume jutaan bahkan miliaran ton. Usikan bertenaga maha besar itu kemudian muncul di permukaan laut dalam bentuk gelombang yang disebut tsunami. Bila mendarat di permukaan bumi yang berpenduduk, tsunami akan menimbulkan bencana besar, seperti yang terjadi di Aceh pada 2004.
Magma dalam perut bumi bertekanan sangat tinggi. Ia terus bergolak, memberi tekanan pada kulit bumi. Tekanan itu membuat kerak bumi menonjol di banyak tempat, itu yang kita sebut gunung. Pada gunung-gunung itu terdapat lubang tempat keluarnya magma, mengalir sedikit demi sedikit, kemudian membeku dan membentuk bebatuan dan pasir. Ada kalanya saluran itu tersumbat, kemudian menimbulkan letusan dahsyat. Itulah letusan gunung berapi. Aktivitas gunung berapi ini juga menimbulkan gempa.
Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan berbagai bencana lain di muka bumi ini sebenarnya adalah aktivitas alam itu sendiri. Sifatnya sama saja seperti turunnya hujan, mengalirnya air di sungai, tumbuhnya pepohonan, atau hewan yang beranak pinak. Kejadian-kejadian itu tidak secara khusus terkait dengan eksistensi manusia. Ada atau tidaknya manusia hujan turun, hewan-hewan beranak, dan pohon-pohon tumbuh. Ada atau tidaknya manusia, gempa bumi terjadi, demikian pula gunung meletus.
Bahkan sebelum ada manusia di muka bumi, berbagai aktivitas dengan energi dahsyat itu sudah terjadi. Zaman dulu aktivitas gunung berapi jauh lebih tinggi intensitasnya daripada sekarang. Gunung-gunung yang ada sekarang itu terbentuk puluhan juta tahun yang lalu. Bisa kita bayangkan betapa dahsyatnya letusan-letusan yang terjadi pada zaman itu.
Mari kita pikirkan kembali tentang apa itu bencana. Ketika hujan turun dengan sangat lebat menghantam sebuah pulau, menimbulkan banjir dan tanah longsor, apakah kita menyebutnya bencana ketika pulau itu kosong? Tidak. Tanpa manusia di tempat itu, kejadian dahsyat itu tidak disebut bencana. Maka, gempa bumi, letusan gunung, dan sebagainya itu tidak disebut bencana ketika manusia belum ada. Hanya peristiwa alam biasa.
Yang terjadi sekarang bukanlah hal yang berbeda. Sama seperti kejadian-kejadian di masa lalu. Bumi sedang bekerja memproses dirinya. Hanya saja permukaannya kini dipenuhi manusia. Bumi sendiri tidak peduli dengan fakta itu. Ia harus terus bekerja sesuai hukum yang ia patuhi. Jadi berbagai bencana itu bukan dibuat khusus untuk manusia. Kitalah yang salah tempat, berada di tempat kejadian yang tak menyenangkan bagi kita. Itu sesederhana seperti hujan turun, dan kebetulan kita sedang berada di luar rumah. Maka itu adalah kesialan bagi kita. Kalau kita sedang berada di dalam rumah, hujan itu bukan masalah bagi kita.
NTB dan berbagai wilayah di Indonesia bagian selatan memang rawan gempa. Kalau Anda mau memperhatikan, misalnya melalui Google Earth, tak jauh dari garis pantai kepulauan Indonesia yang menghadap ke selatan terdapat “perbatasan” antara lempeng Asia dengan lempeng Australia. Gesekan antara lempeng-lempeng inilah yang menyebabkan seringnya gempa di sepanjang wilayah pantas selatan Indonesia, mulai dari Papua sampai ke Aceh.
Apapun perbuatan manusia di wilayah-wilayah itu, secara rutin gempa akan terus mengguncang. Sebaliknya tempat-tempat di Pulau Kalimantan jarang terkena gempa, karena jauh dari perbatasan lempeng. Soalnya cuma sesederhana itu. Belajarlah sains, dan berpikirlah dengan sains dalam melihat berbagai gejala alam, agar tidak sesat.
Hasanudin Abdurakhman, Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar