Oleh: Eko Kuntadhi
Jadi partai politik pendukung Prabowo itu memang makan hati. Coba bayangkan. Capresnya Prabowo, ketua Partai Gerindra. Cawapresnya Sandiaga Uno, Wakil ketua Dewan Pembina Gerindra. Meskipun, untuk akal-akalan Prabowo meminta Sandiaga mundur sebagai kader Gerindra agar bisa diterima partai pendukung lain.
Eh, ketika memilih ketua tim pemenangan jatuhnya pada kader Gerindra juga. Jenderal Djoko Santoso yang selama ini duduk sebagai anggota Dewan Pembina Gerindra ditunjuk sebagai ketua tim.
Posisi PKS, PAN dan Demokrat memang hanya ditempatkan sebagai tim hula-hula. Barangkali pada saat deal dengan partai-partai pendukung itu, transaksinya berbentuk gelondongan. Sekali ‘bayar’ dapat semua. Artinya mereka gak bisa cawe-cawe lagi untuk minta jatah jabatan dan peran. Semuanya sudah dilepas satu paket.
Wajar sih. Barang yang sudah dibeli akan menjadi hak pembelinya. Mau digunakan atau dibuang ke tong sampah, gak boleh protes.
PAN dan PKS tampaknya menikmati kondisi seperti itu. Lihat saja ulah para petingginya. Meski semua posisi paling strategis diborong Gerindra, mereka asyik saja gak protes.
Kalau para pemimpi partainya bersikap pasrah begitu, mungkin wajar. Kepada merekalah proses deal tersebut terjadi. Hitung-hitunganya hanya di kalangan petinggi. Tapi apakah hasil deal itu merembes ke pengurus di bawahnya? Ini yang kita gak tahu.
Jika saya anggota partai yang ‘tergadai’ itu, saya pasti akan protes. Partai adalah organisasi. Punya wujud. Punya marwah dan harga diri. Bagi politisi parpol adalah rumahnya. Ketika parpol yang saya diami sama sekali gak direken dalam proses politik yang sepenting ini, pasti saya tersinggung.
Untung saya bukan anggota PAN atau PKS. Sehingga saya gak merasa jadi barang jualan.
Masih lebih bagus beberapa kader Demokrat. Mereka gak rela partainya dibeli dengan cara murah. Masih ada harga diri kepertaian dalam diri sebagian kadernya untuk bersuara. Partai Demokrat bukan barang yang bisa dibeli dengan murah seperti sebungkus kripik tempe.
Jadi meskipun partainya secara resmi mendukung Prabowo-Sandi, tapi kader-kadernya di berbagai daerah dibiarkan menyuarakan pikirannya sendiri.
Lihat saja Soekarwo, ketua DPD Demokrat Jawa Timur, atau TGB kader Demokrat di NTB yang lebih memilih mendukung Jokowi-Maruf ketimbang ikut pilihan partainya. Yang lebih keren Lukas Enembe, Gubernur Papua dan ketua DPD Demokrat Papua, menjanjikan 3 juta suara rakyat Papua untuk Jokowi.
Bukan hanya kepala daerah yang ego kepartaiannya terganggu seolah partainya diakuisisi oleh Gerindra. Deddy Mizwar, kader Demokrat mantan Wagub Jabar, juga bergabung dalam tim pemenangan Jokowi. Artinya kader-kader Demokrat yang punya basis masa dibiarkan menyuarakan aspirasinya sendiri. Tidak harus sepaket dengan suara DPP.
Dengan kondisi ini, setidaknya Demokrat ingin menyampaikan pesan kepada publik bahwa partainya belum ‘dijual’ dengan harga murah. Bahkan sejak Prabowo mendepak AHY, kita tidak pernah lagi melihat SBY bergaya di depan kamera menunjukan dukungannya kepada Prabowo.
Berbeda dengan PAN dan PKS, yang mau diapain saja terlihat pasrah. Capres dari Gerindra, mereka dukung. Cawapres dari Gerindra, mereka ikut. Ketua Tim Sukses kader Gerindra lagi, mereka nurut. Wong, transaksinya paket gelondongan.
Yang ngenes adalah nasib PBB. Mereka jelas menunjukan dukungannya kepada Prabowo. Saat Intima Ulama yang merekomendasikan dukungan pada Prabowo, Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra tampak hadir dan aktif. Itu adalah kode keras penawaran partainya langsung kepada Prabowo.
Tapi apa yang didapat PBB? Boro-boro dibeli. Ditawar aja, kagak. Apalagi diajak bergabung dengan koalisi Prabowo. Wong gak ditoleh sama sekali. Artinya meski sudah diobral, Prabowo-Sandi tidak juga mau ‘menawar’ PBB.
Padahal meski tidak lolos elektoral treshold pada Pemilu lalu, PBB tetap punya basis pendukung. Punya suara yang bisa dikonversi jadi dukungan kepada Prabowo. Tapi, mungkin saja ‘budgetnya’ sudah habis untuk ngeborong PKS dan PAN.
Bandingkan dengan PSI dan Perindo di kubu Jokowi. Sebagai partai baru, PSI dan Perindo tetap diberi peran signifikan. Direken. Dihargai. Bukan dilepeh seperti PBB di kubu Prabowo.
Kondisi itu terjadi mungkin karena budget transaksi semua dari Sandi. Sebagai ahli investasi, Sandi terbiasa berfikir efisien. Dia hanya mau keluarkan budget yang sesuai dengan targetnya.
Sandi pasti rasional. Kondisi sekarang agak sulit baginya untuk memenangkan pertarungan Pilpres. Tujuannya berinvestasi saat ini bukan untuk pertempuran Pilpres 2019. Tapi targetnya 2024 nanti. Dengan menjadi Cawapres Prabowo dia seolah menempati orang kedua di partai Gerindra setelah Prabowo, menyingkirkan elit partai lainnya.
Dan dia tahu pasti, pada 2024 nanti peluang Prabowo maju lagi semakin menipis. Kecuali kalau gak tahu malu seumur hidup jadi Capres. Jadi anggap saja biaya politik yang dikeluarkan Sandi sekarang semacam ijon untuk Pilpres 2024.
Semua partai koalisi Prabowo-Sandi juga sadar kondisi ini. PKS dan PAN memilih menjual grosiran, dari pada gak dapat sama sekali. Demokrat memilih jalan asal memenuhi prasyarat saja. Aturannya Parpol memang wajib mendukung salah satu Capres. Kebijakan PD sesungguhnya sama seperti Pilpres 2014 lalu yaitu membiarkan kadernya mendukung siapa saja.
Semua partai itu kompak bernyanyi, “Partai-partai penggembira, penggembira semua…”
Yang sial adalah para Caleg PAN dan PKS. Mereka berfikir sedang berjuang untuk membesarkan partainya nanti. Mengeluarkan duit untuk biaya kampanye. Padahal partainya sudah diobral ke Sandiaga.
Apalagi Caleg PKS, belum apa-apa sudah dipaksa menandatangani surat pengunduran diri yang tanggalnya dikosongkan. Artinya nanti DPP PKS berhak memberhentikan anggotanya yang duduk di legislatif.
“Mas, bu Lia saja berantem sama suaminya gara-gara duit Rp100 ribu. Apalagi kalau Rp500 milyar ya?,” ujar Abu Kumkum.
(Eko-Kuntadhi/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar