Aung San Suu Kyi dianggap tak berbuat banyak guna mencegah gelombang kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. (Foto: Reuters)
Pemerintah kota Aberdeen, Skotlandia, memutuskan untuk membongkar tanda penghargaan bagi Aung San Suu Kyi, di tengah kecaman keras bahwa ia 'membisu' soal kekejaman terhadap warga minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Pembongkaran dilakukan setelah dewan kota setuju untuk mengambil langkah tersebut.
Pembongkaran penghargaan untuk Aung San Suu Kyi diusulkan oleh anggota dewan kota Barney Crockett, yang mengatakan, "Saya kira tanda penghargaan ini diganti saja dengan penghargaan yang menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia."
Pemerintah kota Aberdeen membuat tanda penghargaan bagi Aung San Suu Kyi atas permintaan organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, sepuluh tahun silam.
Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 ketika menjalani tahanan rumah di Rangoon.
Hadiah diberikan kepadanya sebagai penghargaan atas upayanya mendorong demokratisasi dan penghormataan terhadap hak asasi manusia.
Setelah pemilihan umum di Myanmar pada 2015 ia diangkatkan menjadi penasehat negara, yang pada praktiknya adalah kepala pemerintahan sipil.
Dua tahun kemudian pecah gelombang kekerasan di negara bagian Rakhine setelah milisi Rohingya menyerang pos-pos polisi, menewaskan 12 aparat keamanan.
Merespons insiden ini, militer Myanmar menggelar operasi dengan dalih menumpas milisi Rohingya.
Aksi-aksi kekerasan pecah yang membuat masyarakat internasional menuduh aparat keamanan Myanmar membunuh warga Muslim dan membakar desa-desa mereka.
Ratusan ribu warga Muslim Rohingya menyelamatkan diri ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari gelombang kekerasan.
Hadiah Nobel Perdamaian dicabut?
Jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh mencapai sekitar 700.000 orang.
Pejabat PBB menggambarkan apa yang dilakukan militer Myanmar sebagai "jelas-jelas pembersihan etnik", tuduhan yang ditolak oleh pemerintah dan militer Myanmar.
Tim penyelidik PBB mengatakan kuat diduga telah terjadi pembantaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan merekomendasikan agar jenderal-jenderal Myanmar diadili.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengatakan mereka membuka kemungkinan mengadili jenderal-jenderal Myanmar, meski Myanmar bukan negara anggota ICC, tapi krisis ini telah berdampak ke Bangladesh, yang merupakan negara anggota ICC.
Di saat kebrutalan dan kekejaman terhadap warga minoritas Muslim Rohingya terjadi, Aung San Suu Kyi tidak mengutuk atau mengevam keras tindakan militer Myanmar, sikap yang sangat disayangkan masyarakat internasional.
Bulan lalu, penghargaan Freedom of Edinburgh bagi Aung Saan Suu Kyi dibatalkan.
Kota-kota lain seperti Glasgow, Newcastle, dan Oxford, juga mencabut tanda penghormatan untuk Suu Kyi.
Di luar itu, masyarakat dari berbagai negara mengajukan petisi agar hadiah Nobel Perdamaian baginya dibatalkan saja, tapi Komite Nobel mengatakan hadiah tersebut tidak akan dicabut.
(BBC-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar