Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » The Great Theft: Mengurai Cara Pandang Wahabi

The Great Theft: Mengurai Cara Pandang Wahabi

Written By Unknown on Rabu, 29 November 2017 | November 29, 2017


Oleh: Abdul Kadir Jailani

Buku “The Great Theft” karya Khaled M. Abou Al Fadl adalah salah satu buku yang mengambarkan pertentangan antara Islam moderat dan puritan (Salafi/ Wahabi) dengan bahasa populer. Buku ini mengkritisi secara mendalam pandangan kelompok puritan mengenai teologi dan hukum Islam.

Khaled secara khusus menyoroti isu otoritas (authority) sebagai akar persoalan umat Islam saat ini. Bagi Khaled, dunia Islam sedang menghadapi krisis otoritas yang semakin parah setelah era Kolonialisme.

Fenomena orang menjadi ahli hukum Islam dadakan kian membanjiri era digital dan memperburuk keadaan. Khaled secara eksplisit menyebut kecenderungan ini banyak dilakukan oleh sarjana Muslim dengan latar belakang sains seperti seperti insinyur, ahli kimia, dan dokter. Bahkan, Khaled menggarisbawahi, para tokoh ekstrimis Wahabi umummnya memiliki latar belakang pendidikan yang kurang akrab dengan teori hukum.

Kesimpulan Khaled ini memang dipengaruhi oleh latar belakangnya pada bidang ilmu hukum di Amerika Serikat. Advokat ini mendambakan perkembangan diskursus hukum Islam mewarnai fakultas – fakultas hukum di Amerika.

Menurutnya, teori klasik hukum Islam (classical Islamic legal theory) sangat maju karena para yuris (fuqaha) zaman dahulu memahami dan menerapkan teori hukum yang berkembang di dunia saat itu.

Kemajuan ini terjadi karena hukum Islam klasik bukan dikembangkan oleh negara, melainkan oleh fuqaha. Sedemikian, hukum Islam itu bersifat monolitik alias berbeda satu yuris dengan lainnya.

Meskipun perbedaan di antara fuqaha sangat tajam, mereka sepakat bahwa semua “legal opinion” memiliki “validitas” yang sama. Selain itu, fuqaha – kecuali di kalangan Wahabi – memiliki kesadaran penuh bahwa hasil pemikiran mereka tentang hukum Islam tidak bersifat absolut.


Meski analisis kritis tentang pemikiran Wahabi tidak mendalam, menurut saya, buku ini sudah cukup membuktikan persoalan Wahabi. Salah satu kritik utama terhadap Wahabi adalah cara pandang etnosentris.

Khalid mengatakan, Wahabi menilai budaya Badui sebagai satu-satunya praktik Islam yang benar. Di sisi lain, Wahabi sangat alergi dengan sufisme dan filsafat karena kedua bidang tersebut dipengaruhi oleh budaya Persia dan Yunani.

Berbagai inkonsistensi cara pandang Wahabi juga dikupas oleh Khaled secara gamblang. Salah satu bentuk inkonsistensi itu terwujud dalam cara pandang mereka terhadap Al-Qur’an, Hadis dan pendapat fuqaha terdahulu.

Buku ini juga menjelaskan perbedaan antara Wahabi dan Salafi. Menurut Khalid, Salafi (dengan tokohnya Jamaludin Al Afgahani, Muhamad Abduh, Syaltut hingga Maududi) pada awalnya lebih bersifat liberal. Tapi, karena persamaan metode berpikir, Salafi akhirnya dipandang tidak berbeda dengan Wahabi. Kini, sebagian pengikut Wahabi lebih suka disebut “Salafi” dibandingkan “Wahabi”.

Dengan metode perbandingan, Khaled tak lupa mengurai secara rinci cara pandang Islam Moderat dan Wahabi mengenai sifat dasar hukum dan moralitas (nature of law and morality). Salah satu persoalan utama pemabahasan ini dapat ditemukan dalam pemahaman mereka tentang syariah dan fikih.

Ketika banyak pembaca memandang dikotomi antara syariah dan fikih bukan persoalan besar, Khalid justru menegaskan sebaliknya. Hal ini karena umat Islam pada prinsipinya berbeda pendapat mengenai ‘sifat-dasar’ (nature) dan ruang lingkup syariah.

Selain itu, perbedaan pandangan antara Islam Moderat dan Wahabi tentang Tuhan dan tujuan penciptaan juga salah satu pembahasan yang menarik dalam buku ini.

Buku setebal 300 halaman lebih ini terdiri dari dua bab yang diurai lagi dengan ragam pembahasan pada tiap bab. Bab pertama berbicara tengan latar belakang perkembangan kaum puritan yang bersebrangan dengan kaum moderat.

Bab selanjutnya berbicara pemetaan sejumlah isu yang membagi kaum moderat dan puritan. Isu itu seperti pandangan kedua kelompok soal ketuhanan, jihad, dan demokrasi. Menariknya, pemataan ini didahului oleh pembahasan tentang apa saja yang disepakati oleh semua Muslim.

Sepintas, buku ini tidak menyampaikan hal yang baru. Tetapi, setelah membaca analisanya, kita akan menilai buku ini perlu dibaca oleh umat Islam Indonesia. Singkat kata, buku ini mesti segara diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: