Ketika merencanakan pendidikan dan masa depan anak, hampir sebagian besar orangtua akan memilih mengirim buah hatinya ke sekolah. Kita berharap sekolah dapat menjadi sarana bagi anak dalam menuntut ilmu dan mempelajari banyak hal lainnya termasuk adab. Ironisnya, institusi pendidikan tidak lagi nyaman dan ramah terhadap anak. Alih-alih menjadi rumah kedua untuk berlindung dari bahaya, sekolah justru menjadi tempat terjadinya tindakan kekerasan dan perundungan.
Berdasarkan paparan Mendikbud pada tanggal 25 Januari 2016, 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah. Secara lebih detail 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah dan 50% anak melaporkan pernah mengalami perundungan di sekolah (blog anti perundungan: https://bigloveadagio.wordpress.com/).
Pemerintah telah menyetujui untuk mengeluarkan Perpres (Peraturan Presiden) berkaitan dengan berbagai peristiwa perundungan di sekolah. Dibutuhkan kepedulian semua pihak terhadap masalah perundungan yang merupakan proses kelompok antara pelaku, korban dan saksi. Orangtua memiliki akses penuh terhadap ketiga aktor (pelaku, korban dan saksi) yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Bagaimana jika perundungan tidak dihentikan?
Perundungan (bullying) berarti tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti secara fisik/verbal/psikologis oleh seseorang/sekelompok orang yang merasa tidak berdaya. Perundungan juga dapat dilakukan dalam bentuk sosial misalnya menyebarkan rumor atau gosip yang menyakiti perasaan. Sebagai catatan, perundungan dilakukan “berulang” dan “tanpa provokasi” (Panggabean dkk, 2015).
Perundungan pada anak dan remaja banyak terjadi di sekolah. Pada praktiknya perundungan melibatkan beberapa pihak. Tidak hanya terhadap korban, perundungan juga berpengaruh negatif kepada pelaku, saksi (bystander) dan sekolah.
Korban yang mengalami perundungan akan menghadapi masalah kesehatan fisik akibat tekanan psikologis, depresi, dan menurunnya prestasi akademik. Korban yang terus-menerus menerima perilaku kekerasan, akan memendam rasa tidak berdaya. Dalam situasi tertentu, rasa ketidakberdayaan tersebut akan dilampiaskan dengan menjadi pelaku perundungan berikutnya. Pada kasus yang lebih ekstrem korban meninggal dunia dengan tragis, dapat melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain. Masih tertinggal rasa sesal atas kasus kasus bully terhadap siswi kelas X SMAN 1 Bangkinang, Riau Elva Lestari (16) yang berujung bunuh diri (detik.com, 01 Agustus 2017). Beberapa hari lalu anak usia SD menjadi korban perundungan di lingkungan sekolahnya dan tewas pada saat itu juga.
Selain prestasi menurun, pelaku perundungan menjadi mudah terlibat dalam perkelahian atau tawuran di sekolah. Pelaku juga dapat mencuri, merusak dan membawa senjata. Tanpa penanganan, perilaku kekerasan ini dapat berlanjut hingga dewasa dalam bentuk kriminalitas atau kekerasan dalam rumah tangga.
Perundungan dapat terjadi karena tidak ada saksi yang menolong korban atau melaporkan kepada yang berwenang. Saksi perundungan akan merasa ketakutan dan mengalami konflik batin yang berkepanjangan atas rasa bersalah. Dalam waktunya yang lama, ia akan merasa tidak berdaya karena tidak mampu berbuat. Padahal ia sendiri tidak menyetujui perbuatan itu dan kasihan pada korban. Pada beberapa kondisi, saksi cenderung untuk menjadi pelaku perundungan berikutnya.
Bagaimana orangtua dapat menghentikan perundungan?
Meskipun tidak hadir langsung di lingkungan sekolah, orang tua memiliki peranan penting dalam penanganan tragedi perundungan yang terus memakan korban. Peran yang dapat dilakukan orang tua berupa pencegahan primer sebelum terjadinya dan intervensi awal sebelum konflik meluas.
1. Cegah anak agar tak menjadi menjadi korban perundungan
Anak-anak yang teridentifikasi memiliki self-esteem rendah, pemalu dan selalu merasa tidak aman cenderung menjadi korban perundungan. Agar tidak menjadi sasaran tindakan perundungan, bantu anak untuk:
- Menumbuhkan self-esteem/harga diri yang baik. Anak dengan self-esteem baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis dan berani menyuarakan haknya.
2. endiskusikan pemahaman tentang perundungan dengan anak dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan jika menghadapinya. Melawan pelaku akan menambah tindakan kekerasan, sebaiknya anak melapor kepada orang dewasa.
3. enghindari membawa benda berharga ke sekolah. Seringnya pelaku perundungan bertujuan mengambil milik korban.
2. Cegah anak agar tak menjadi pelaku perundungan
Pelaku perundungan memiliki ciri tidak mau menerima perubahan dan perbedaan serta merasa terganggu dengan perbedaan itu. Keluarga perlu memberi dukungan kepada anak untuk mengembangkan sikap menghargai perbedaan dan toleransi sejak dini, misalnya:
1. Menghargai pendapat dan pilihan anak.
2. Berempati terhadap anak, mengembangkan dan melatih sikap empati terhadap semua orang.
3. Melebarkan wilayah “tembok diri” dari melindungi dan mencintai diri menjadi mencintai beberapa figur tertentu hingga mencintai semua makhluk.
3. Bantu anak agar peduli dan berani menolong korban perundungan
Perundungan bukan hanya masalah yang terjadi antara pelaku dan korban, karena pelaku biasanya ingin perbuatan dilihat orang lain. Pada perundungan saksi merupakan jumlah yang terbanyak, karenanya penurunan/pencegahan perundungan tergantung pada peranan saksi. Kunci pencegahan perundungan adalah kepedulian, empati dan keberanian saksi untuk menolong korban secara langsung maupun tidak langsung. Orangtua dpat mengembangkan empati anak sejalan dengan tahap perkembangan psikologisnya. Sikap heroik pada anak dapat dikembangkan melalui kisah teladan sehingga membangkitkan keberaniannya menolong orang lain.
Efikasi diri dan efikasi kelompok dapat meningkatkan kemauan saksi untuk menolong ( tentang efikasi diri telah dibahas pada edisi Itrah sebelumnya). Penelitian terbaru dari pakar Psikologi Sosial Universitas Indonesia menyatakan bahwa efikasi diri berkorelasi positif dengan kebahagiaan psikologis. Makin tinggi kebahagiaan saksi, makin tinggi efikasi dirinya dan makin tinggi kesediaannya menolong korban perundungan. Orang tua dan keluarga dapat memberi kebahagiaan psikologis terbesar bagi anak sehingga kemampuannya untuk menghadapi masalah berkembang maksimal.
Saatnya orangtua bergandeng tangan dengan semua pihak untuk melakukan intervensi dengan pendekatan terhadap putra dan putrinya sendiri. Anak-anak kita berpotensi menjadi korban, pelaku dan saksi perundungan. Intervensi dilakukan dengan pendekatan komprehensif meliputi aspek kognitif, afeksi/psikologis, motorik, sosial dan budaya. Kepedulian kita dapat menghentikan jatuhnya korban perundungan yang selalu bertambah dan menyedihkan.
(Artikel dimuat di Kolom Psikologi Keluarga, Majalah Itrah Edisi 38 Juli-September)
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar