Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » , » Hukum Setor dan Tarik Uang

Hukum Setor dan Tarik Uang

Written By Unknown on Selasa, 09 Januari 2018 | Januari 09, 2018


Amanat beda dengan pinjaman. Kalau amanat menurut pertimbangan syari, barang amanat harus dijaga dan orang yang diamanati tidak berhak menggunakannya. Jika menggunakannya atas izin pemilik maka bukan amanat lagi, tetapi berubah menjadi pinjaman. Maksud dari penggunaan ini ialah pemanfaatan seperti barang akan diganti atau menjadi modal transaksi atau menjadi hilang. Bukan seperti penggunaan sebatas menggelar alas di bawah kaki.

Penggantian barang bertentangan dengan subtansi amanat. Tidaklah dikatakan misalnya, Karpet ini saya titipkan di sini, lalu sebagai amanat Anda berhak menjualnya atau menukarnya dengan barang. Kalaupun atas izin Saya, hal ini keluar dari sebagai amanat.


Meminjami atau Menyuruh Bank?

(Pertama) Adalah jelas uang yang dititipkan (ditabung atau disetor) ke bank bukan sebagai amanat. Artinya, bank akan menggunakan uang itu dan meminjamkannya kepada orang lain. Jadi, semua uang yang diserahkan ke bank harus disebut sebagai pinjaman yang diterima oleh bank. Tak ada artinya jika hal itu disebut sebagai amanat. Jika orang mengelak dengan mengatakan: Bank tidak menggunakan uang masyarakat, tetapi hanya sebagai penerima amanat, maka akan dikatakan kepadanya bahwa pengendapan uang itu sendiri merugikan. Oleh karena itu, uang yang diterima oleh bank itu merupakan pinjaman.

Mengenai bank memberi keuntungan, misalnya berupa tabungan temporal, apakah keuntungan yang diberikan itu boleh, ataukah tidak?

Jika bank memberi (uang) pinjaman dan keuntungan yang telah ditetapkan, itu adalah riba dan secara syari bermasalah. Tetapi tiada masalah apabila tak ada ketetapan keuntungan, bahwa si penyetor memberi pinjaman dan bank bebas memberi keuntungan. Ialah semacam perjanjian yang tidak memaksa bank. Tanpa ada hak menuntut bagi si peminjam, lalu bank memberi tambahan sejumlah uang ketika sampai batas waktu atas keinginannya sendiri, kepada si pemilik uang. Menjadi bermasalah (syariat tidak membolehkan) apabila pemberian keuntungan sebagai sebuah transaksi dan ketetapan sebelumnya.

Jika orang menginginkan suatu keuntungan dari uang yang dia setorkan ke bank, maka harus dalam bentuk lain. Misalnya, bank melakukan suatu transaksi untuk dia, dalam bentuk bagi hasil (mudharabah) dan lainnya.

(Kedua) Bank memindahkan uang (transfer), hal ini tidak masalah. Ia adalah pusat transfer uang, seperti yang dilakukan oleh pos. Misalnya, menerima uang dari Anda di Jakarta, lalu ditransfer ke seseorang di Surabaya. Dengan pelayanan ini, tidak dipersoalkan jika bank menerima uang sebagai upah jasa pengiriman.


Transaksi Nota

Masalah lainnya ialah transaksi surat berharga dan promes. Kalau yang pertama, tidak masalah jika kontan (tunai). Yakni, seseorang mempunyai tagihan uang kepada orang lain, dan dapat mengambilnya langsung. Ia pergi ke bank untuk mengambil uangnya. Realitasnya adalah nota. Misalnya Saya memiutangi orang sejumlah uang. Saya beri perintah kepada yang lain untuk mengantarkannya. Jika dia menerima imbalan atas pekerjaannya itu, jelas tidak masalah.

Akan tetapi ada perkara lainnya yang biasa berlaku, yang dikatakan sebagai surat berharga atau nota. Yaitu, seseorang di satu tempat menyerahkan uang ke bank untuk akan dia ambil di tempat lain. Seperti yang biasa berlaku di masa dulu, orang-orang pergi ke luar kota tidak membawa uang supaya aman dari gangguan. Mereka telah menyerahkan uang kepada penguasa yang di kota sana dan menerima nota. Lalu di kota itu dia menerima dari satu pihak sejumlah kurang sedikit. Misalnya, di sini dia menyerahkan satu juta lalu di sana menerimanya kurang limapuluh ribu. Nota bank juga demikian itu. Apakah hal ini dibolehkan?

Menurut fuqaha tidak masalah. Sebab, masalahnya terletak pada perkara bahwa si pemberi pinjaman menerima lebih dari si penerimanya. Tidak masalah jika yang berhutang menerima suatu tambahan. Sedangkan yang menghutangi tidak, bahkan menerima kerugian. Mungkin sekarang hal seperti ini tidak ada. Tetapi orang yang melakukan transaksi dengan uang, mungkin dia mau menerima satu juta, lalu beberapa bulan kemudian menyerahkannya (kembali) kurang limapuluh ribu. Karena, dalam selama itu dia bermuamalah atas uang itu. Adalah bermasalah jika ia menambahinya (kepada yang menyerahkan atau meminjamkannya), tetapi tidak bermasalah jika menguranginya (merugikan si peminjam).


Referensi

Mas`ale-e Riba wa Bank/Syahid Mutahari

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: