Lepas melumat ISIS dan perlahan membersihkan kantong-kantong militan yang masih tersisa di sejumlah provinsi, kekuatan pasukan sekutu Suriah akhirnya berhadap-hadapan dengan sesuatu yang selalu mereka hindari dalam tujuh tahun palagan berdarah dan paling brutal dalam beberapa dekade: militer Amerika Serikat. Pekan lalu, seperti dua garis yang ditakdirkan saling memutus, pertempuran langsung dua kekuatan itu tak terelakkan lagi di Deir Ezzor, kota 450 kilometer di utara Damaskus.
Mengutip sumber dari militer Amerika, laporan Reuters, Selasa 13 Februari, menyebut pasukan Suriah gagal dalam misi mendongkel serdadu Amerika dan milisi Kurdi Syrian Democratic Forces (SDF) yang bercokol di seputaran ladang minyak Al-Isbah, Deir Ezzor, atau di sisi barat Sungai Eufrat, dekat perbatasan Irak. Militer Amerika, yang berada di wilayah itu dengan dalih melancarkan operasi melawan ISIS, menganggap gerak maju pasukan Suriah pada Rabu 7 Februari sebagai “tindakan agresi”.
Maka, mereka pun menyerang dengan kekuatan udara dan tembakan artileri. Hasilnya, serangan pada awal pekan lalu itu menewaskan banyak dari pihak Suriah, termasuk di dalamnya milisi Rusia.
Sebuah footage serangan udara Amerika memperlihatkan bom berjatuhan di antara pasukan sekutu Suriah, menghancurkan sejumlah kendaraan lapis baja pengangkut personel. “Personel dan kendaraan-kendaraan musuh berbalik arah setelahnya dan tak lagi ditarget,” kata Kolonel Thomas F Veale, juru bicara militer Amerika, dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters.
Sepekan berlalu, Rusia masih dingin menanggapi kejadian itu. Dalam sebuah pernyataan pekan lalu, Kremlin membantah serdadu Rusia terlibat dalam operasi merebut ladang minyak Al-Isbah. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, juga enggan bercerita banyak dengan alasan laporan dari pihak Amerika masih perlu diverifikasi.
Di sela-sela kunjungan ke Eropa pada Selasa 13 Februari, Menteri Pertahanan Amerika, Jim Mattis, menyebut tak ada serdadu Rusia yang tewas dalam kejadian itu. Kendati begitu, dia bilang ada milisi Rusia ikut menjadi korban. “Serdadu bayaran dari Rusia termasuk yang tewas,” katanya menyatakan belum bisa bercerita banyak lantaran belum ada laporan dari Pentagon.
Dalam teater perang Suriah, Rusia dan Amerika membuka sebuah kanal komunikasi untuk menghindari tabrakan pesawat dan serdadu dalam medan pertempuran yang begitu kacau. Bila terkonfirmasi bahwa milisi Rusia termasuk yang tewas akibat serangan udara Amerika, ini isyarat kedua negara di ambang konfrontasi militer yang nyata di Suriah.
Kremlin mencoba menghindari isu insiden 7 Februari itu, tapi tetap menyatakan serangan udara Amerika atas kekuatan sekutu Suriah membuktikan Washington hadir di Suriah bukan untuk memerangi ISIS tapi untuk menjarah aset ekonomi Suriah. “Untuk yang kesekian kalinya serangan Amerika menunjukkan Amerika mempertahankan kehadiran ilegalnya di Suriah tidak untuk memerangi ISIS, tapi untuk merebut dan mengangkangi aset ekonomi,” kata Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov awal pekan ini.
Pandangan Lavrov itu senada dengan sikap Kremlin yang kian jengah melihat kehadiran ilegal serdadu Amerika di Suriah. Berbeda dengan serdadu Amerika, Rusia dan sekutu Suriah lainnya — Iran, Hizbullah, milisi-milisi dari Irak, Afghanistan — turun dalam teater perang sejak 2015 atas permintaan resmi Damaskus dalam perang yang diinfuskan oleh militan asing.
Akhir Januari silam, misalnya, Kremlin mengingatkan dunia ihwal kemungkinan Amerika menciptakan sebuah “quasi negara” di wilayah timur Suriah. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, merujuk dugaan itu kepada pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika, Rex Tillerson, di Stanford University seputar masa depan kebijakan Amerika di Suriah.
Sebelumnya, Washington mengumumkan rencana untuk membentuk pasukan “penjaga perbatasan”. Pasukan akan diperkuat oleh 30.000 serdadu, dengan menggandeng kelompok-kelompok militan ‘moderat’ dan SDF.
Tillerson sendiri lebih dari sekali mengisyaratkan rencana Amerika bercokol di Suriah untuk waktu yang tak ditentukan guna memuluskan apa yang digambarkan sebagai “kepergian akhir” Presiden Suriah Bashar Assad. “Agar semuanya jelas: Amerika Serikat akan mempertahankan kehadiran militernya di Suriah,” kata Tillerson.
Bagi Zakharova, sikap Washington itu menabrak hukum internasional. “Amerika masih saja sesumbar soal penggulingan Presiden Suriah yang terpilih secara legal,” katanya. “Ini berlawanan dengan hukum internasional.”
(Reuters/Indo-Press/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar