Oleh: Kajitow Elkayeni
Kemarin mau mengulik akun Facebook Arumi Fadilah, orang yang mengaku santriwati NU dari Cirebon. Ia yang siap berdebat dengan Mamah Dedeh soal Islam Nusantara. Namun ternyata akun itu telah tumbang. Ada banyak nama yang mirip, tapi bukan dia.
Arumi sesuai keterangan dari berbagai sumber adalah santriwati NU. Konon ia keluarga ningrat dari Cirebon. Maka panggilannya Ning. Karena termasuk keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon, otomatis dia juga seorang syarifah. Nasabnya tersambung ke Sunan Gunung Jati dan naik terus ke Rasulullah.
Meskipun kemudian ada sanggahan dari akun Nura Asiyah yang mengatakan, itu foto dirinya yang digunakan orang lain. Sampai sekarang belum ada tanggapan atas klarifikasi penulis kepadanya.
Mamah Dedeh atau yang bernama asli Dedeh Rosyidah adalah seorang pendakwah perempuan. Namanya cukup populer di televisi sejak tahun 2007 saat dikontrak Indosiar. Namun jauh sebelum itu, tahun 1994, Benyamin Sueb telah mempopulerkannya melalui Bens Radio.
Persoalan Mamah Dedeh adalah persoalan dai pada umumnya. Maka ketika ia memprotes istilah Islam Nusantara, dia melakukannya dengan argumen yang tidak tepat. Pokoknya begini, maka tak boleh begitu.
Sebenarnya kualitas pemahaman agama Mamah Dedeh sedikit lebih baik dibanding Aa Gym. Ia dibesarkan dalam keluarga agamis, pernah kuliah di IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, jurusan Tarbiyah (pendidikan).
Meskipun untuk bisa disebut ulama, mestinya ada takhasus. Perlu pendalaman untuk setiap cabang ilmu pengetahuan agama yang dimilikinya.
Namun, televisi kita terbiasa menyajikan casing belaka. Orang-orang yang hanya tahu Quran dan Hadits terjemahan sudah jadi ustadz, dai, pemberi fatwa. Ketika menafsirkan ayat Quran belepotan, mengkaji Hadits tak paham asababul wurud dan kelas hadits.
Yang paling kacau ketika masuk kajian fiqih. Persoalan fiqih yang kompleks diselesaikan hanya dengan kira-kira.
Padahal ahli fiqih sekalipun harus menelaah kitab-kitab besar, untuk menyelesaikan satu masalah. Ustad televisi cukup menyitir ayat general atau hadits yang tak menyambung dengan bahasan. Ayatnya itu-itu saja. Haditsnya itu-itu juga. Hafalan.
Bagi orang awam itu sudah wah. Hebat. Karena mereka juga tak paham. Namun ketika misalnya mereka menafsirkan ayat, “Alfitnatu asyaddu minalqotl” secara literal, yang paham tafsirnya mengurut dada. Sedih dengan kualitas sang dai. Karena ayat itu bukan tentang fitnah secara harfiah.
Padahal itu hal elementer. Sesuatu yang dikaji anak-anak kecil di pesantren. Namun kelas dai televisi kebanyakan di bawah itu. Mereka hanya tahu terjemahan, boro-boro almuthowalat, kitab-kitab besar yang mengkaji persoalan agama secara panjang-lebar. Dengan kualitas yang sekadarnya itu, mereka sudah berani sok tahu di depan khalayak.
Krisis ini sudah terjadi sejak lama. Semua elemen di negara ini turut membentuknya. Mulai dari Pemerintah, media, para jamaah yang fanatik dan ulama yang tak mau turun gunung meluruskannya. Semua dapat bagian kesalahan.
Borok keagamaan ini semakin meningkat, ketika dai karbitan bisa terkoneksi langsung dengan jamaah melalui media sosial. Maka hasilnya, intoleransi makin marak. Gampang sekali orang mengkafirkan yang lain. Menyesat-nyesatkan ulama sungguhan. Pendek kata, mereka memberikan informasi yang keliru, sehingga mengaplikasikannya juga keliru.
Mamah Dedeh juga sering melakukan kesalahan semacam itu. Ketika ada yang mengkritiknya, muncullah orang-orang sok bijak dengan lantang berteriak, “Jangan mau diadu domba!” Padahal kritik itu bagian dari dakwah yang sesungguhnya. Itu adalah kontrol supaya kalian tidak masuk neraka sebagai korban pembodohan massal.
Kita memang harus menghargai jasa Mamah Dedeh berdakwah. Apalagi konon ia melakukan itu sejak kecil. Tapi bukan berarti harus menjadi fanatik buta. Lagipula dakwah para dai televisi itu tidak gratis. Kelas Mamah Dedeh sudah berkisar 30-50 juta rupiah sekali manggung.
Sebagian dari mereka bahkan tanpa malu memasang tarif. Bayangkan rusaknya akibat kekacauan ini. Dakwah minta bayaran itu haram hukumnya. Sama seperti Imam masjid atau Muazin yang memasang tarif. Bedakan dengan guru. Mereka memang melakukan profesi pendidikan, sama seperti pekerjaan lain.
Namun Dai, Khatib, Imam, Muadzin, mereka sedang melakukan prosesi peribadatan. Ibadah minta dibayar?
Dai-dai itu boleh menerima bayaran, sebagai bisyaroh (kabar gembira), tapi tak etis bila mereka memasang tarif. Sebagian dai bahkan tak mau datang ketika bayarannya di bawah tarif. Mereka tak boleh melakukan itu. Karena dakwah itu ibadah. Memangnya mau jualan agama, pakai tarif?
Maka pembauran antara Dai dan Artis ini berbahaya. Artis boleh minta dibayar untuk jadi bintang iklan, ulama bagaimana? Artis boleh pasang tarif, pedakwah bagaimana? Artis biasa digosipkan, ustadz bagaimana?
Orang-orang yang mengaku dai di televisi itu mengacaukan banyak tatanan. Mereka menurunkan maqom seorang ulama. Padahal derajat ulama itu sangat tinggi dalam Islam. Sampai-sampai ada fatwa, orang yang memfitnah ulama, otomatis istrinya tertalak tiga.
Masalahnya, sebagian dai-dai itu bukan ulama, mereka belum cukup ilmu untuk disebut demikian. Namun akting mereka sudah seperti ulama. Kelakuan mereka jauh sekali untuk disebut ulama. Apalagi ilmu mereka.
Publik memukul rata semua itu. Ulama sungguhan mendapat getahnya. Mereka dilecehkan, karena dianggap sederajat dengan dai-dai karbitan televisi. Ini bencana keagamaan.
Persoalan dai belum matang ilmu agamanya ini mestinya jadi keperihatinan Kementerian Agama dan MUI. Tangan merekalah yang sebenarnya berlumuran dosa. Dai-dai itu mestinya dibina, diberi bekal yang cukup. Bukan melepaskan orang buta untuk mengenali gajah.
Maka ketika muncul sosok seperti Arumi Fadilah, siapapun dia, mestinya fans Mamah Dedeh tidak kelimpungan. Kritik itu persoalan biasa. Bahkan sangat penting jika berkaitan dengan agama. Sekali dai itu salah, jutaan orang disesatkan. Namun fans garis keras Mamah Dedeh menganggapnya musuh. Akun Facebooknya dibikin tiarap.
Banalisme seperti ini mencerminkan tingkat kedewasaan pemuja Mamah Dedeh. Mereka hanyalah sekumpulan orang yang takut imannya yang “tak seberapa” itu goyah. Mereka takut “berhala” yang mereka sembah itu terlihat celanya. Mereka merasa insecure, ringkih, guyah.
Persoalan elementer ini memang harus segera diselesaikan. Jangan sampai nanti orang-orang waras yang sedang melakukan kritik, dikatakan berupaya mengadu domba. Padahal itu demi menyelamatkan agama dari pengrusakan.
(Seword/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar