Politikus berdarah Arab,ZouheirBahloul, mengundurkan diri dari badan legislatif menyusul pengesahan undang-undang yang menyatakan Israel merupakan negara bangsa bagi orang Yahudi.
Bahloul menuding pengesahan beleid itu menunjukkan sikap rasis parlemen Israel. Undang-undang yang dikritik Bahloul juga menempatkan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi Israel, di atas bahasa Arab.
"Peraturan itu menyingkirkan populasi keturunan Arab dari kesetaraan di Israel," ujarnya kepada jaringan televisi lokal, Israeli TV.
Ketentuan tersebut disahkan 19 Juli lalu dan memantik kemarahan warga keturunan Arab yang dianggap minoritas di Israel.
Anggota Knesset atau parlemen Israel yang berdarah Arab merobek salinan beleid itu dan meneriakkan kejengkelan mereka. Beberapa dari mereka diusir dari ruang paripurna.
"Saya mengundurkan diri dari Knesset," kata Bahloul, anggota partai oposisi pemerintah, Partai Persatuan Zionis, Sabtu (28/07).
"Haruskah saya bertahan dalam posisi yang tak dapat memutuskan apapun ini? Apakah saya harus melegitimasi parlemen yang merusak, rasis, dan ekstremis ini?" ujarnya.
Bahloul mengatakan, dia tak sanggup memberitahu anak-cucunya bahwa dia mempertahankan kedudukan di parlemen yang dinilainya tidak adil.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut pengesahan undang-undang itu merupakan peristiwa yang menentukan bagi sejarah negaranya.
"Setelah 122 tahun Theodore Herzl mempublikasikan visinya, melalui undang-undang ini kita meneguhkan prinsip dasar eksistensi negara kita," tuturnya.
Theodore Herzl yang disebut Netanyahu adalah penggagas zionisme modern.
Ketentuan yang baru saja disahkan itu disebut sebagai Undang-Undang Dasar: Israel sebagai Negara Bangsa Yahudi.
Legislasi itu secara umumnya menegaskan Israel sebagai negara bangsa Yahudi.
Beleid itu dibuat karena sejumlah politikus Yahudi menilai prinsip dasar pendirian Israel--negara untuk kelompok Yahudi di tanah kelahiran mereka--saat ini tengah terancam.
Namun warga Israel keturunan Arab, yang jumlahnya berkisar 20% dari total populasi, memandang peraturan itu sebagai bukti negara telah merendahkan status mereka.
Berdasarkan ketentuan, komunitas berdarah Arab ini sejajar dengan kelompok masyarakat lainnya. Walau begitu, mereka sejak lama mengeluh diperlakukan sebagai warga kelas dua.
Mereka mengklaim menghadapi diskriminasi dan aturan yang lebih tidak adil dibandingkan warga keturunan Yahudi.
(Detik/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar