Abu Bakar r.a Membakar Kumpulan Hadits
Aisyah r.ha berkata, “Ayahku, Abu Bakar, memiliki catatan berisi 500 Hadits yang telah ia kumpulkan”. Pada suatu malam Aisyah melihat ayahnya sangat gelisah dan berbaing membolak balikan badannya. Aisyah pun bertanya “apakah engkau sakit atau ada sesuatu yang membebani pikiranmu?” Namun pada malam itu Abu BAkar tetap gelisah dan cemas. Keesokan harinya Abu Bakar bertanya kepada Aisyah “Dimanakah catatan haditsku yang pernah aku berikan kepadamu?” Aisyah pun mengambilnya dan memberikan kepadanya. Ternyata dia membakar catatan itu. Aisyah bertanya, “Mengapa dibakar?” Abu Bakar pun menjawab “Aku ragu jika ada kekhilafan lalu aku meninggal, sedangkan catatan ini masih ada padaku. Jika sampai kepada tangan orang lain, lalu mereka menggangapnya dapat dipercaya, dan ternyata dalam catatan ini ada kesalahan, tentu hal itu akan mencelakakanku.” (Tadzkiratul Huffadz).
Dapat dibayangkan betapa banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang diingat oleh Abu Bakar r.a, namun sangat sedikit hadits yang diriwayatkan olehnya.
Prinsip bahawa hadis memiliki kesahihan, seperti yang diperakui al-Quran, tidak dipertikaikan langsung di kalangan syiah mahupun di kalangan semua umat Islam. Tetapi kerana kegagalan beberapa pemerintah awal Islam dalam memelihara dan menjaga hadis, dan sikap tidak berhati-hati beberapa sahabat Nabi dalam penyebaran penulisan hadis, pengumpulan hadis menghadapi beberapa cabaran. Di satu segi ada khalifah masa itu menghalang penulisan dan rakaman hadis seraya mengarahkan mana-mana tulisan hadis dibakar. Seringkali juga sebarang kegiatan penyebaran dan kajian hadis dilarang.[1] Lantaran itu sebilangan hadis telah dilupakan atau hilang dan beberapa yang sempat dirawikan berubah dan menyelewing maksudnya.
Dalam pada itu kecenderungan lain juga wujud di kalangan sekumpulan lain sahabat nabi yang telah diberi penghormatan hidup sezaman dengan beliau dan mendengar sendiri sabda-sabda beliau. Kumpulan yang dihormati oleh beberapa khalifah dan kaum muslimin, memulakan satu usaha yang gigih untuk menyebarkan hadis. Ia menjadi sedemikian rupa sehinggakan kadang-kadang hadis boleh menolak Al-Quran dan ketetapan ayat al-Quran dimansukhkan oleh hadis mereka.[2]
Selalunya perawi hadis akan menjelajah beribu batu dan menanggung semua kesukaran bermusafir hanya untuk mendengar sepotong hadis. Ada juga orang asing yang menyamar sebagai orang Islam dan juga musuh dari kalangan Islam sendiri mula mengubah dan memutar-belitkan beberapa hadis sehingga kebenaran dan kesahihan hadis itu boleh dipertikaikan oleh saksi-saksi hadis itu sendiri. [3]
Di atas sebab itu para ulama Islam mula berfikirkan satu penyelesaian. Mereka mencipta beberapa kaedah memeriksa biografi perawi hadis dan kekuatan perawian untuk kita dapat membezakan antara hadis yang benar dan palsu. [4]
Kaedah Syiah dalam mengesahkan sesuatu hadis, di samping berusaha untuk mengesahkan rantaian perawi hadis yang sah tidak putus , disemak hubung-kait teks hadis dengan al-Quran adalah menjadi sebagai syarat yang perlu dalam menentukan kesahihan. Dari sumber-sumber Syiah walaupun terdapat banyak hadis Nabi dan Imam dengan rantaian perawian yang sah tetapi apabila ia bercanggah dengan al-Quran; ia tidak bernilai apa-apa. Hanya hadis yang menepati semua kriteria di atas boleh dianggap sah.[5]
Lantaran itu, Syiah tidak mengamalkan hadis-hadis yang bercanggahan dengan teks al-Quran. Maka pada hadis yang tidak memenuhi kriteria di atas dan pengesahan mahupun bantahan oleh para Imam belum diperolehi, hadis itu hanya merupakan setakat riwayat atau khabar berita. [6]
Tidak dinafikan juga dalam Syiah sendiri, sama seperti sekumpulan Sunni yang menerima kesemua hadis dari pelbagai sumber. Kaedah Syiah dalam kesahihan hadis. Sebuah hadis yang dinyatakan terus dari mulut Nabi mahupun salah seorang daripada Imam akan diterima sebagaimana al-Quran. Manakala hadis yang disampaikan oleh perawi akan diterima rata-rata syiah jika rantaian rawinya tidak terputus kesahihannya atau jika wujud bukti yang jelas tentang kebenaran hadis itu dan jika mereka peka akan prinsip doktrin yang memerlukan pengetahuan dan kepastian, sesuai dengan teks al-Quran.
Selain daripada dua jenis hadis itu, tiada hadis yang lain mempunyai sebarang kesahihan melalui prinsip pengkhabaran yang sah/mutawatir, maka hadis ini digelar hadis bersumber tunggal. Walau bagaimanapun, dalam menzahirkan syariah dengan kriteria di atas, Syiah menerima juga hadis yang diterima dan dipercayai. Oleh itu, ia boleh dikatakan bahawa untuk Syiah akan menerima hadis mutawatir dan akur dengannya, manakala hadis yang kurang sahih tetapi pada umumnya boleh dipercayai akan digunakan hanya dalam penjelasan pengamatan syariah.
ABU BAKAR DAN UMAR BIN KHATTAB MEMBAKAR HADITS-HADITS NABI? NAUDZUBILLAH SUMMA NAUDZUBILLAH!
Riwayat tentang pembakaran hadits
Riwayat pemabakaran hadits ini adalah riwayat yang terkenal baik di kelompok Muslim Sunni maupun kelompok Muslim Syi’ah. Hanya saja di kalangan Ahlu Sunnah (Sunni) riwayat ini jarang sekali atau hampir tak pernah diberitakan karena mungkin menyangkut kemuliaan Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang bisa saja terganggu karena mereka telah melakukan perbuatan yang mengundang banyak tanya.
Berikut adalah beberapa riwayat dimana Abu Bakar atau (dan) Umar membakar hadits-hadits Nabi. Perbuatan pembakaran hadits ini dampaknya terus terasa hingga sekarang. Umat Islam banyak sekali kehilangan ilmu dari sisi Nabi yang membuat mereka kehilangan petunjuk dan kekuarangan pengetahuan yang sebenarnya bisa mereka dapatkan dengan mudah hanya dengan meneliti apa-apa yang sudah dikatakan atau didiktekan oleh Nabi kepada umat Islam pada masa-masa awal.
Seandainya saja hadits-hadits itu tidak dibakar, maka umat Islam akan mendapatkan warisan yang berharga disamping Al-Qur’an.
LAPORAN PERTAMA
إن الخليفة أبا بكر نفسه كتب بيده خمسمائة حديث أثناء حياة الرسول، وانتقل الرسول إلى جوار ربه وهذه الأحاديث مكتوبة عنده، وبعد وفاة الرسول وعملا بتوجهاته وتوجهات دولة بطون قريش قام الخليفة الأول بإحراق الأحاديث النبوية التي سمعها من الرسول وكتبها بخط يده)
Ad-Dhahabi melaporkan bahwa Abu Bakar sendiri pernah menulis kurang lebih 500 buah hadits dengan tangannya sendiri ketika Rasulullah masih hidup (dan Rasulullah tidak melarangnya!). Akan tetapi ketika Rasulullah meninggal, ia memerintahkan umat Islam dan juga memerintahkan para gubernur dari suku Qurays untuk memerintahkan orang-orang membakar hadits-hadits yang mereka kumpulkan.
Kalau saja hadits yang jumlahnya 500 itu masih ada sampai sekarang, maka itu akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua karena hadits-hadits tersebut kemungkinan jauh lebih shahih ketimbang hadits-hadits yang sekarang karena mata rantai sanadnya langsung tidak melalui rantai sanad yang panjang yang kemungkinan mengurangi esensi dari hadits tersebut. Sayang sekali Abu Bakar sama sekali tidak memiliki visi yang jernih untuk masa depan umat Islam.
LAPORAN KEDUA
Al-Dhahabi, Ibnu Katsir, dan al-Muttaqi menyajikan fakta yang jauh lebih rinci tentang kebijakan Abu Bakar untuk melenyapkan hadits-hadits di awal masa pemerintahannya.
A’isyah melaporkan: “Ayahku mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah, dan jumlahnya kurang lebih ada 500 buah, dan kemudian ia menghabiskan malam itu tanpa tidur hanya berguling-guling di tempat tidur. Aku mengira bahwa ia sedang marah karena seseorang mungkin membuatnya begitu, atau mungkin ia mendengar berita yang tidak mengenakkan. Di keesokan harinya, ia berkata kepadaku, ‘Oh, anakku! Bawakanlah hadits-hadits yang ada padamu itu kepadaku,’ kemudian aku membawakan hadits-hadits itu kepada ayahku dan kemudian ia membakarnya.”.
LAPORAN KETIGA
Ibn Sa’ad melaporkan dalam Thabaqat bahwa pada masa pemerintahan Umar, banyak sekali orang yang menyampaikan hadits-hadits dari sisi Rasulullah. Umar kemudian meminta orang-orang agar membawakan kepadanya semua hadits yang ditulis mereka. Setelah semuanya terkumpul kemudian Umar membakarnya:
إن أحاديث رسول الله قد كثرت على عهد عمر بن الخطاب فناشد الناس أن يأتوه بها، فلما أتوه بها أمر بتحريقها
“INI SEBENARNYA MENYIRATKAN BAHWA PARA SAHABAT SEJAK DULU SUDAH MENULIS HADITS-HADITS DAN MENYIMPANNYA. INI JUGA SEKALIGUS MENYIRATKAN BAHWA RASULULLAH TAK PERNAH MELARANG MEREKA MENULIS HADITS KARENA KALAU RASULULLAH PERNAH MELARANGNYA MAKA HANYA SEDIKIT SEKALI ATAU BAHKAN MUNGKIN TIDAK ADA SAMA SEKALI SAHABAT YANG BERANI MENULIS HADITS.”
LAPORAN KEEMPAT
Al-Muttaqi al-Hindi menulis bahwa setelah Umar membakar semua hadits yang dikumpulkan dari orang-orang, kemudian ia menulis pesan kepada para gubernur untuk memusnahkan semua salinan hadits yang ada di tangan mereka:
أن من كان عنده شئ مكتوب من سنة الرسول فليمحه
LAPORAN KELIMA
Kisah TRAGEDI HARI KAMIS adalah contoh yang paling telanjang bahwa Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk menuliskan Sunnahnya dan menyimpannya supaya mereka bisa belajar darinya dan kemudian menyampaikannya kepada orang-orang di generasi selanjutnya. Kisah TRAGEDI HARI KAMIS itu adalah sebagai berikut:
1. Ibn Abbas melaporkan: “Ketika Rasulllah (SAAW) hendak berangkat ke Rahmatullah, ada sekelompok orang yang mengelilinginya (sebagian ada di luar rumahnya). Umar bin Khattab adalah salah seorang diantaranya. Rasulullah (SAAW) bersabda: ‘Kemarilah, aku akan tuliskan sebuah surat wasiat untuk kalian; supaya kalian tidak akan tersesat setelahnya. Demi mendengar itu Umar berkata dengan keras: ‘Sesungguhnya Rasulullah sedang meracau. Kita memiliki Kitabullah. Kitabullah sudah cukup bagi kita semua.’ Mereka yang ada di rumah Rasulullah saling bertengkar satu sama lainnya. Sebagian dari mereka berkata: ‘Bawakanlah kepadanya (alat tulis—pena dan kertas) supaya Rasulullah bisa menuliskan sebuah surat wasiat untuk kalian dan engkau takkan tersesat lagi sepeninggalnya. Dan beberapa sahabat berkata seperti apa yang dikatakan oleh Umar. Ketika mereka bertikai satu sama lainnya di hadapan Rasulullah, kemudian Rasulullah bangkit dari tidurnya dan berkata: ‘Menyingkirlah dariku!’”.
‘Ubaidullah berkata: Ibn Abbas selalu berkata: ‘Sungguh sebuah kerugian besar; kerugian yang amat besar. Karena orang-orang hiruk pikuk dan kegaduhan bising sekali dimana-mana, maka Rasulullah takbisa menuliskan (mendiktekan) surat wasiat untuk mereka.
“JELAS SEKALI BAHWA RASULULLAH INGIN MENULISKAN SEBUAH SURAT WASIAT UNTUK PARA SAHABAT SUPAYA MEREKA TIDAK TERSESAT SEPENINGGALNYA. KALAU SAJA SURAT WASIAT ITU BENAR-BENAR TERTULISKAN, MAKA ITU ALANGKAH INDAHNYA. PERMINTAAN RASULULLAH INI SEKALIGUS JUGA MEMBUKTIKAN BAHWA PENULISAN HADIT ITU BUKAN SAJA BOLEH, MALAH DICONTOHKAN OLEH NABI LANGSUNG.”. (Bihar al-Anwaar, jilid.1,m/s.117).
2. Persoalan pemansuhan atau penggantian sebahagian ayat-ayat Al-Quran adalah satu cabaran sukar sains perundangan Islam dan setengah ulama Sunni seolah-olah menerima konsep pemansuhan. Perisitwa Fadak merungkaikan pelbagai tanggapan akan tafsir ayat-ayat Al-Quran melalui penggunaan hadis.
3. Kesan tragis persoalan ini apabila terdapat sebilangan besar karya-karya yang ditulis oleh ulama hadith tersohor dari hadis yang direka. Begitu juga tatkala biografi perawi hadis disemak, mereka samada dibuktikan sebagai tidak jujur ataupun perawi lemah.
4. Nota penyunting: Namun penelitian kesusasteraan hadis dan penciptaan kriteria untuk membezakan antara hadis yang benar mahupun palsu tidak boleh disamakan dengan kritikan orientalis Eropah terhadap pengumpulan keseluruhan hadis Islam. Dari pandangan Islam, komentar orientalis itu adalah salah satu dakyah yang paling kejam dibuat terhadap struktur keseluruhan Islam.
5. Bihar al-Anwaar, jilid.1.m/s.139.
6. Bihar al-anwar, jilid.l.m/s.117.-Sumber: petikan dari buku Syiah dikarang oleh Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabatabaei.
Analisis Hadis Kitabullah Dan Sunnah
Tajuk ini merupakan perbicaraan lama, yang pada mulanya, saya tidak mahu disentuh di dalam web ini. Ini kerana saya telah begitu menekankan hadis sebenar yang sahih lagi mutawattir adalah hadis Tsaqalain, yakni, Kitabullah dan itrati Ahlulbait. Bagaimanapun, kebelakangan ini, timbul kembali isu ini, tambahan pula ia ditimbukan oleh orang-orang yang suka-suka mendhaifkan sesuatu hadis, tanpa dalil yang mutlak, atau yang meyakinkan, demi mendhaifkan hadis Tsaqalain. Sia-sia. Ini adalah analisis hadis Kitabullah dan Sunnah, oleh saudara Secondprince. Selamat membaca.
Al Quranul Karim dan Sunnah Rasulullah SAW adalah landasan dan sumber syariat Islam. Hal ini merupakan kebenaran yang sifatnya pasti dan diyakini oleh umat Islam. Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah SAW, diantaranya:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah .Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab 21).
Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah .Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS ; An Nisa 80).
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS ; An Nur 51-52).
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu Ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS ; Al Ahzab 36).
Jadi Sunnah Rasulullah SAW merupakan salah satu pedoman bagi umat islam di seluruh dunia. Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah cukup rasanya untuk membuktikan kebenaran hal ini. Tulisan ini akan membahas hadis “Kitabullah wa Sunnaty” yang sering dijadikan dasar bahwa kita harus berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu:
Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh.”.
Hadis “Kitabullah Wa Sunnaty” ini adalah hadis masyhur yang sering sekali didengar oleh umat Islam sehingga tidak jarang banyak yang beranggapan bahwa hadis ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kita umat Islam harus berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah yang merupakan dua landasan utama dalam agama Islam. Banyak dalil dalil shahih yang menganjurkan kita agar berpegang kepada As Sunnah baik dari Al Quran (seperti yang sudah disebutkan) ataupun dari hadis-hadis yang shahih. Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty” yang seringkali dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang tidak shahih atau dhaif. Berikut adalah analisis terhadap sanad hadis ini.
Analisis Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As Sittah(Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi). Sumber dari Hadis ini adalah Al Muwatta Imam Malik,Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim, At Tamhid Syarh Al Muwatta Ibnu Abdil Barr,Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jami’ As Saghir As Suyuthi. Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam kitab-kitab karya Ulama seperti , Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih, Shawaiq Al Muhriqah Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam, Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al Ihkam Ibnu Hazm danTarikh At Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra, Amr bin Awf ra, dan Abu Said Al Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah jelas kedhaifannya.
1. Hadis ini terbagi menjadi dua yaitu:
2. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal.
3. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab Al Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawaiq Al Muhriqah, danTarikh At Thabari. Berikut adalah contoh hadisnya
Dalam Al Muwatta jilid I hal 899 no 3:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda” Wahai Sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu berpegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunah RasulNya”.
Dalam Al Muwatta hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas adalah generasi tabiit tabiin yang lahir antara tahun 91H-97H. Jadi paling tidak ada dua perawi yang tidak disebutkan di antara Malik bin Anas dan Rasulullah SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.
Dalam Sunan Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya:
Al Baihaqi dengan sanad dari Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda pada haji wada “ Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu dua perkara Kitab Allah dan Sunnah NabiMu, Wahai umat manusia dengarkanlah olehmu apa yang aku sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.
Selain pada Sunan Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam Miftah Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi Urwah belum lahir saat Nabi SAW melakukan haji wada oleh karena itu hadis di atas terputus, dan ada satu orang perawi yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari golongan tabiin. Singkatnya hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.
Al Baihaqi dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata “Aku telah mendengar Malik bin Anas mengatakan berpegang teguhlah pada sabda Rasulullah SAW pada waktu haji wada yang berbunyi ‘Dua hal Aku tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah NabiNya”.
Hadis ini tidak berbeza dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid 4 hal 185 hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda pada haji wada…..,Disini Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW oleh karena itu hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Tarikh At Thabari jilid 2 hal 205 hadis ini juga diriwayatkan secara mursal melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua hadis ini dhaif. Mungkin ada yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur ulama maka adanya hadis itu dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi bukti kebenarannya. Jawaban kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam menjadi pegangan oleh jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini hadis tersebut terputus sanadnya jadi tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.
Sebuah Pembelaan dan Kritik
Hafiz Firdaus dalam bukunya Kaidah Memahami Hadis-hadis yang Bercanggah telah membahas hadis dalam Al Muwatta dan menanggapi pernyataan Syaikh Hasan As Saqqaf dalam karyanya Shahih Sifat shalat An Nabiy (dalam kitab ini As Saqqaf telah menyatakan hadis Kitab Allah dan SunahKu ini sebagai hadis yang dhaif ). Sebelumnya berikut akan dituliskan pendapat Hafiz Firdaus tersebut.
Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”.
Hadis ini sahih: Dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’ – no: 1619 (Kitab al-Jami’, Bab Larangan memastikan Takdir). Berkata Malik apabila mengemukakan riwayat ini: Balghni………bererti “disampaikan kepada aku” (atau dari sudut catatan anak murid beliau sendiri: Dari Malik, disampaikan kepadanya………). Perkataan seperti ini memang khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahawa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh Tartib al-Madarik, jld 1, ms 136; Ibn ‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms 34; al-Zarqani Syarh al Muwattha’, jld 4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd al-’Aziz Sagheir Hadis Mursal baina Maqbul wa Mardud, jld 2, ms 456-470.
Hasan ‘Ali al-Saqqaf dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi terj. dari Sahih Sifat Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini sebenarnya adalah maudhu’. Isnadnya memiliki perawi yang dituduh pendusta manakala maksudnya tidak disokongi oleh mana-mana dalil lain. Beliau menulis: Sebenarnya hadis yang tsabit dan sahih adalah hadis yang berakhir dengan “wa ahli baiti” (sepertimana Khutbah C – penulis). Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata “wa sunnati” (sepertimana Khutbah B) adalah batil dari sisi matan dan sanadnya.
Nampaknya al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana beliau hanya menyimak beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang selainnya, terutamanya apa yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf, Mu’jam dan Tarikh (Sejarah). Yang lebih berat adalah beliau telah menepikan begitu sahaja riwayat yang dibawa oleh Malik di dalam kitab al-Muwattha’nya atas alasan ianya adalah tanpa sanad padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Kritik kami adalah sebagai berikut, tentang kata-kata hadis riwayat Al Muwatta adalah shahih karena pernyataan Balghni atau “disampaikan kepada aku” dalam hadis riwayat Imam Malik ini adalah khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahwa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Maka Kami katakan, Kaidah periwayatan hadis dengan pernyataan Balghni atau “disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub As Sunnah Dirasah Watsiqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal 20, terdapat kata kata Hasan Al Bashri:
“Jika empat shahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi nama shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku berkata hadatsana maka hadis itu saya terima dari fulan seorang tetapi bila aku berkata qala Rasulullah SAW maka hadis itu saya dengar dari 70 orang shahabat atau lebih”.
Tetapi adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya dengan pernyataan “balghni”. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah jumhur ulama tentang persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis yaitu:
Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil (terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.
Dengan kaidah Inilah as Saqqaf telah menepikan hadis al Muwatta tersebut karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan As Saqqaf dengan kata-kata padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Pernyataan Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar 93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah SAW atau Qala Rasulullah SAW tanpa menyebutkan sanadnya maka hadis tersebut adalah shahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama hadis. Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif atau tsiqat, jika tabiin itu tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari tabiin lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan seperti itu tidak akan habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai shahih “Hanya karena terdapat dalam Al Muwatta Imam Malik”.
Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah, Ibnu Hajar berkata:
”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain”.
Lihat baik-baik walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabiin tetap saja dinyatakan dhaif apalagi Malik bin Anas yang seorang tabiit tabiin maka akan jauh lebih banyak kemungkinan dhaifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis mursal Al Muwatta adalah hadis tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang bersambung dan shahih sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di kitab-kitab lain. Jadi adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih hanya karena terdapat dalam Al Muwatta.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah:
1. Jalur Ibnu Abbas ra.
2. Jalur Abu Hurairah ra.
3. Jalur Amr bin Awf ra.
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra.
Jalan Sanad Ibnu Abbas
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.
1. Ibnu Abi Uwais
a. Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong. Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”.
b. Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan lain-lain”.
c. Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.
Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan hujjah. Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.
2. Abu Uwais
a. Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”.Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
b. Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata”Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.
Jalan Sanad Abu Hurairah ra
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan DaruquthniIV hal 245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.
Hadis di atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
a. Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96) berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa. Abu Hatim Ar Razy berkatahadis Shalih bin Musa dhaif. Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).
b. Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.
c. Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus ditinggalkan).
d. Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
e. Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.
Kalau melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif.
Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm. Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak longgar(tasahul) dalam masalah ini.
Mengapa para ulama itu bersikap tasahul dalam penetapan kedudukan hadis ini?. Hal ini mungkin karena matan hadis tersebut adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi menurut kami matan hadis tersebut yang benar dan shahih adalah dengan matan hadis yang sama redaksinya hanya perbedaan pada“Kitab Allah dan SunahKu” menjadi “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”. Hadis dengan matan seperti ini salah satunya terdapat dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3786 & 3788 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.Kalau dibandingkan antara hadis ini dengan hadis Abu Hurairah ra di atas dapat dipastikan bahwa hadis Shahih Sunan Tirmidzi ini jauh lebih shahih kedudukannya karena semua perawinya tsiqat. Sedangkan hadis Abu Hurairah ra di atas terdapat cacat pada salah satu perawinya yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
Adz Dzahabi dalam Al Mizan Al I’tidal jilid II hal 302 berkata bahwa hadis Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemunkaran yang dilakukannya. Selain itu hadis riwayat Abu Hurairah ini dinyatakan dhaif oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy setelah beliau mengkritik Shalih bin Musa salah satu perawi hadis tersebut. Jadi pendapat yang benar dalam masalah ini adalah hadis riwayat Abu Hurairah tersebut adalah dhaif sedangkan pernyataan As Suyuthi, Al Manawi, Al Albani dan yang lain bahwa hadis tersebut shahih adalah keliru karena dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang sangat jelas cacatnya sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.
Jalan Sanad Amr bin Awf ra.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Amr bin Awf terdapat dalam kitab At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Daibaly, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid Al Faridhy, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Awf dari ayahnya dari kakeknya:
Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah.
1. Dalam Mizan Al Itidal (biografi Katsir bin Abdullah no 6943) karya Adz Dzahabi terdapat celaan pada Katsir bin Abdullah. Menurut Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin Abdullah tidak kuat. An Nasa’i menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
2. Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
3. Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
4. Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
5. Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
6. DalamKitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
7. Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin Abdillah berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan tidak seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
8. Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Ibnu Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan pegangan”.
9. Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Abu Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
10. Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”.
Jadi hadis Amr bin Awf ini sangat jelas kedhaifannya karena dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan pendusta.
Jalur Abu Said Al Khudri ra
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Abu Said Al Khudri ra terdapat dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu Ishaq Al Asadi dari Shabbat bin Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri ra.
1. Dalam rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar At Tamimi.
2. Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
3. Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
4. Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh zindiq dan seorang pemalsu hadis.
5. Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau Saif bin Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan bukan apa-apanya.
6. Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif bukan apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni menyatakannya dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh zindiq dan riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal munkar dan tidak diikuti seorangpun.
Jadi jelas sekali kalau hadis Abu Said Al Khudri ra ini adalah hadis yang dhaif karena kedudukan Saif bin Umar yang dhaif di mata para ulama.
Hadis Tersebut Dhaif
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini adalah hadis yang dhaif. Sebelum mengakhiri tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu pernyataan Ali As Salus dalam Al Imamah wal Khilafah yang menyatakan shahihnya hadis “Kitab Allah Dan SunahKu”.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.
Tanggapan Terhadap Ali As Salus
Pernyataan pertama bahwa hadis Malik bin Anas dalam Al Muwatta adalah shahih walaupun mursal adalah tidak benar. Hal ini telah dijelaskan dalam tanggapan kami terhadap Hafiz Firdaus bahwa hadis mursal tidak bisa langsung dinyatakan shahih kecuali terdapat hadis shahih(bersambung sanadnya) lain yang menguatkannya. Dan kenyataannya hadis yang jadi penguat hadis mursal Al Muwatta ini adalah tidak shahih. Pernyataan Ali As Salus selanjutnya bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat karena seperti yang sudah dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra ada Shalih bin Musa yang tidak dapat dijadikan hujjah.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan:
1. Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
2. Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.
Mengenai pernyataan Ibnu Abdil Barr tersebut, jelas itu adalah pendapatnya sendiri dan mengenai hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang mursal dalam Al Muwatta Ibnu Abdil Barr telah mencari sanad hadis ini dan memuatnya dalam kitabnya At Tamhid dan beliau menshahihkannya. Setelah dilihat ternyata hadis dalam At Tamhid tersebut tidaklah shahih karena cacat yang jelas pada perawinya.
Begitu pula pernyataan As Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas itu adalah pendapat beliau sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan hadis Abu Hurairah ra sebagai syahid atau pendukung hadis mursal Al Muwatta seperti yang beliau nyatakan dalam Jami’ As Saghir dan beliau menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu Hurairah ra itu adalah dhaif. Jadi Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab Allah dan SunahKu” adalah hadis yang dhaif.
Salah satu bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih adalah apa yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al Hadits Adh Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908:
Nabi Isa pernah bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa menyebut Allah karena hati kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh dari Allah namun kalian tidak mengetahuinya.Dan janganlah kalian mengamati dosa-dosa orang lain seolah-olah kalian Tuhan,akan tetapi amatilah dosa-dosa kalian seolah kalian itu hamba. Sesungguhnya setiap manusia itu diuji dan selamat maka kasihanilah orang-orang yang tengah tertimpa malapetaka dan bertahmidlah kepada Allah atas keselamatan kalian”.
Riwayat ini dikemukakan Imam Malik dalam Al Muwatta jilid II hal 986 tanpa sanad yang pasti tetapi Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.
Syaikh Al Albani berkata tentang hadis ini:
”Sekali lagi saya tegaskan memarfu’kan riwayat ini sampai kepada Nabi adalah kesalahan yang menyesatkan dan tidak syak lagi merupakan kedustaan yang nyata-nyata dinisbatkan kepada beliau padahal beliau terbebas darinya”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani tidaklah langsung menyatakan bahwa hadis ini shahih hanya karena Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru Syaikh Al Albani menyatakan bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan atau kesalahan yang menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau tidak ada sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis ini.
Yang Aneh adalah pernyataan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah yang menyatakan bahwa hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih adalah hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas sangat tidak benar karena hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”sanad-sanadnya tidak shahih seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah hadis yang diriwayatkan banyak shahabat dan sanadnya jauh lebih kuat dari hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”.
Jadi kalau hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan jadi jauh lebih shahih. Ali As Salus dalam Imamah wal Khilafah telah membandingkan kedua hadis tersebut dengan metod yang tidak berimbang. Untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau mengkritik habis-habisan bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak longgar(tasahul) dan berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga telah memudahkan dalam penshahihan hadis tersebut.
Catatan Kaki:
1. Bihar al-Anwaar, jilid.1,m/s.117.
2. Persoalan pemansuhan atau penggantian sebahagian ayat-ayat Al-Quran adalah satu cabaran sukar sains perundangan Islam dan setengah ulama Sunni seolah-olah menerima konsep pemansuhan. Perisitwa Fadak merungkaikan pelbagai tanggapan akan tafsir ayat-ayat Al-Quran melalui penggunaan hadis.
3. Kesan tragis persoalan ini apabila terdapat sebilangan besar karya-karya yang ditulis oleh ulama hadith tersohor dari hadis yang direka. Begitu juga tatkala biografi perawi hadis disemak, mereka samada dibuktikan sebagai tidak jujur ataupun perawi lemah.
4. Nota penyunting: Namun penelitian kesusasteraan hadis dan penciptaan kriteria untuk membezakan antara hadis yang benar mahupun palsu tidak boleh disamakan dengan kritikan orientalis Eropah terhadap pengumpulan keseluruhan hadis Islam. Dari pandangan Islam, komentar orientalis itu adalah salah satu dakyah yang paling kejam dibuat terhadap struktur keseluruhan Islam.
5. Bihar al-Anwaar, jilid.1.m/s.139.
6. Bihar al-anwar, jilid.l.m/s.117.-Sumber: petikan dari buku Syiah dikarang oleh Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabatabaei.
Lalu, Rumah Fatimah a.s. Diserang dan Paksaan ke Atas Ali a.s. Supaya Memberi Bai'ah
Kemudian Umar memerintahkan orang ramai supaya membawa kayu api. Merekapun membawa kayu api, begitu juga dengan Umar. Kemudian kayu api itu diletakkan di sekeliling rumah Ali, Fatimah dan dua anak lelakinya. Kemudian Umar telah menyeru Ali. dan Fatimah. Demi Allah! kami akan mengeluarkan kalian wahai Ali! Oleh itu, hendaklah anda membai'ah Khalifah Rasulullah.
Jika tidak, aku akan menyalakan api ke atas anda. Maka Fatimah a.s. berkata: Wahai Umar! Apakah pertalian kami dengan anda? Umar berkata: Bukakan pintu, jika tidak kami akan membakar rumah kalian. Fatimah berkata: Wahai Umar! Tidakkah anda bertakwa kepada Allah, anda ingin memasuki rumahku? Namun Umar enggan pulang. Kemudian dia menyeru untuk mendapatkan api lantas menyalakannya di pintu lantas menolaknya dan terus memasuki rumah. Diapun berhadapan dengan Fatimah a.s.
Fatimah a.s. menjerit dan berkata: Wahai bapaku! Wahai Rasulullah!. Tetapi Umar telah mengangkat pedang yang masih tersarung dan meletakkannya di bahu Fatimah a.s. Fatimah melaung: Wahai bapaku! Maka Umarpun mengangkat cemetinya dan terus memukul bahu Fatimah. Fatimah a.s. menyeru lagi: Wahai Rasulullah! Sejahat-jahat manusia selepas anda wafat adalah Abu Bakr dan Umar.
Dalam pada itu, Ali a.s. telah melompat lalu memegang hidung dan tengkuk Umar. Hampir-hampir beliau membunuhnya, namun beliau mengingati kata-kata dan wasiat Rasulullah Saw. Beliaupun berkata: Demi orang yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, wahai Ibn Sahhak (Umar)! Sekiranya tidak ada kitab daripada Allah terdahulu dan janji yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw. kepadaku, nescaya anda mengetahui bahawa anda tidak akan memasuki rumahku.
Umar pun meminta orang ramai supaya memasuki rumah Ali manakala Ali a.s. pula telah menerkam ke arah pedangnya, lantas Qunfudh pulang menemui Abu Bakr kerana takut Ali a.s. akan keluar dengan pedangnya. Dia mengetahui akan kehebatan Ali a.s. Abu Bakr berkata kepada Qunfudh: Kembalilah kepada Ali dan jika dia tidak keluar, cerobohilah rumahnya. Jika dia enggan, nyalakan api ke atas mereka dan rumah mereka sekali.
Lalu Qunfudh al-Mal'un datang semula. Dia dan para sahabatnya telah memasuki rumah Ali a.s. tanpa izin. Ali a.s. telah menerkam kepada pedangnya tetapi mereka mendahuluinya. Mereka datang berpusu-pusu kepadanya dalam jumlah yang ramai. Meskipun begitu Ali a.s. sempat merampas sebahagian daripada pedang mereka. Akhirnya mereka mencampakkan tali ke leher Ali a.s. Fatimah a.s. pada masa itu yang berada di sebalik pintu dipukul oleh Qunfudh dengan cemeti lalu jatuh pengsan. Terdapat kesan di bahunya seperti warna hitam akibat daripada pukulan tersebut, la'natullahi 'alaihi. Kemudian Qunfudh melalui Ali a.s. yang sedang 'digari' dan membawanya ke hadapan Abu Bakr dan Umar yang sedang berdiri sambil memegang pedang di atas kepalanya.
Khalid bin al-Walid, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Salim maula Abi Hudhaifah, Mu'adh bin Jabal, al-Mughirah bin Syu'bah, Usyad bin Hudhair, Basyir bin S'ad dan semua orang di sekitar Abu Bakr lengkap dengan senjata.
Akupun bertanya kepada Salman: Mereka telah memasuki rumah Fatimah tanpa izinnya? Salman menjawab: Ya. Demi Tuhan! Tidak ada di atasnya penutup (khimar), lalu Fatimah a.s. menyeru bapanya wahai bapaku! wahai Rasulullah! Sejahat-jahat manusia selepas anda meninggal adalah Abu Bakr dan Umar. Kedua-dua mata anda belum memejam dengan rapat dalam kuburan anda. Fatimah a.s. telah menyeru dengan suara yang tinggi. Akupun melihat Abu Bakr dan orang di sekelilingnya menangis melainkan Umar, Khalid dan al-Mughirah bin Syu'bah. Umar berkata: Kami bukan perempuan kerana fikiran mereka tertumpu kepada perkara tertentu.
Salman berkata lagi: Mereka menyerahkan Ali a.s. kepada Abu Bakr. Ali a.s. berkata: Demi Allah! jika terhunus pedang ditanganku maka kalian mengetahui bahawa kalian tidak akan sampai ke sini selama-lamanya. Demi Tuhan! aku tidak mencela diriku di dalam perjuangan kalian. Sekiranya aku dapat mengumpulkan empat puluh orang lelaki, nescaya aku dapat memecahkan kumpulan kalian. Tetapi Allah melaknati orang yang telah memberi bai'ah kepadaku kemudian mereka tidak mematuhinya pula.
Manakala Abu Bakr merenung kepadanya dia melaungkan suaranya: Berikan laluan untuknya. Ali a.s. membalas: Alangkah cepatnya kalian menghina Rasulullah Saw.! Di atas hak dan kedudukan manakah anda menyeru orang ramai supaya memberi bai'ah kepada anda? Tidakkah anda telah memberi bai'ah kepadaku kelmarin dengan perintah Allah dan Rasul-Nya? Qunfudh la'natullah, telah memukul Fatimah a.s. dengan cemeti apabila terpisah antaranya dan suaminya. Kemudian menolaknya sambil memukul bahunya. Maka gugurlah janinnya daripada perutnya. Fatimah a.s. sentiasa berada di atas hamparannya sehingga beliau mati syahid.
Salman berkata: Manakala Ali a.s. dibawa kepada Abu Bakr, Umar memekik: Berilah bai'ah dan tinggalkan kebatilan-kebatilan ini. Ali a.s berkata kepadanya: Sekiranya aku tidak melakukannya, apakah yang akan kalian lakukan kepadaku? Mereka berkata: Kami akan membunuh anda (naqtulu-ka) dengan penuh kehinaan. Beliau berkata: Jika begitu kalian membunuh seorang hamba Allah dan saudara Rasulullah? Abu Bakr menjawab: Adapun seorang hamba Allah, itu benar namun saudara Rasulullah, kami tidak mengakuinya. Ali berkata: Adakah kalian mengingkari bahawa Rasulullah Saw. telah mempersaudarakanku dengannya. Abu Bakr berkata: Ya. Maka dia telah mengulangi jawapan yang sama kepadanya.
Lalu, KHULAFAURRASYIDIN ANTARA NAS DAN IJTIHAD
PENDAHULUAN
Bismillahi r-Rahmani r-Rahim
Perkataan “Sunnah Nabi (S.a.w)” sentiasa difahami sama ada sebagai perkataan Nabi (S.a.w), perbuatan atau taqrirnya. Dan perkataan “Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w)” adalah orang yang percaya dan mengamal Sunnah Nabi (S.a.w) sama ada dari segi perkataan, perbuatan atau taqrirnya, tanpa menyalahi al-Qur’an”.
Justeru itu, ia memberi implikasi bahawa sesiapa yang mempercayai dan mengamalkan Sunnah Nabi (S.a.w) adalah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), tanpa mengira aliran mazhab yang dianutinya. Sementara perkataan “Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah” yang dipimpin oleh Abu I-Hasan al-Asy‘ari dan Abu Mansur al-Maturidi mempunyai pengertian yang berbeza pula. Lantaran itu, tajuk buku ini JIKA MEREKA AHLU S-SUNNAH NABI (S.A.W), NESCAYA MEREKA TIDAK MENENTANG SUNNAH NABI S.A.W memberi implikasi umum kepada sesiapa saja yang percaya dan mengamalkan Sunnah Nabi (S.a.w).
Metode kajian ini dilakukan berdasarkan kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w) kemudian catatan para ulama kita Ahlu s- Sunnah wa l-Jamaah di dalam buku-buku mereka mengenai sunnah-sunah Khalifah Abu Bakr, Umar dan Uthman yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w) serta akal yang sejahtera. Dan ianya didasarkan kepada buku saya yang berjodol: Khulafa’ Rasyidin Di antara Nas dan Ijtihad, 1993 dengan sedikit penambahan bahan serta huraian yang paling rengkas tentang perbezaan antara Sunnah Nabi (Saw.) dan sunnah para sahabat.
Lantaran itu sekiranya Ahlu s-Sunnah wa l-Jama’ah berbohong di dalam catatan mereka, maka merekalah yang berdosa dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (swt) dan sekiranya catatan mereka itu betul, kenapa kita menolaknya dan melemparkan kebencian itu kepada orang lain pula?
Buku ini sekali-kali tidak boleh dilihat sebagai merendah atau memandang kecil jasa baik yang dilakukan oleh mereka. Saya menghormati mereka semua, tetapi penghormatan saya pertamanya kepada Allah dan kedua kepada Rasul-Nya adalah mengatasi mereka semua. Kerana Allah SWT adalah sebaik-baik Hakim dan Rasul-Nya pula sebaik-baik rasul yang diutuskan.
Lantaran itu, perbandingan di antara al-Qur’an, Sunnah Nabi (S.A.W) dan sunnah mereka hendaklah dilihat dari perspektif Allah SWT sebagai Pencipta (al-Khaliq) dan Nabi Muhammad (S.a.w) sebagai Nabi yang maksum (al-Ma’sum) sepanjang masa kemudian sunnah-sunnah Khulafa' Rasyidin yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w) serta akal yang sejahtera. Lantaran itu, martabat khulafa’ Rasyidin adalah dibawah martabat Nabi (S.a.w) dan martabat Nabi (S.a.w) adalah di bawah martabat Allah (swt).
Dengan ini tuduhan “mencaci sahabat’ yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) tidak boleh ditimbulkan lagi sekiranya kita meletak al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) lebih tinggi daripada sahabat Dan segala sunnah-sunah mereka yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) pula berada di dalam martabat yang rendah dan dianggap sebagai ijtihad atau pendapat mereka sendiri atau sebagai dosa jika ia menyalahi sunnah Nabi (Saw.).
Ijtihad atau pendapat tersebut hendaklah tidak dipaksa ke atas sesiapa pun sehingga dapat mengatasi al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w). Justeru itu, sebarang penghinaan atau tindakan hendaklah tidak dilakukan kepada sesiapa yang ingin mengikuti al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) secara keseluruhannya. Bagi mereka yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) secara keseluruhannya tidak pula melakukan perkara yang sama terhadap orang yang mengamalkan ijtihad atau pendapat tersebut, jika mereka tidak mampu.
Walau bagaimanapun ijtihad secara umum patut diteruskan selama ia tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w), kerana apa yang telah berlaku di zaman Khulafa' Rasyidin tidak sama dengan apa yang berlaku di zaman kita ini. Malah Islam menggalakkan umatnya supaya berijtihad di setiap masa bagi menyahut seruan globalisasi dan keperluan umat. Lantaran itu, buku ini bertujuan akademik sematamata semoga ianya akan memperjelaskan perbezaan antara hukum al- Qur’an, Sunnah Nabi (S.a.w) dan sunnah atau pendapat Khulafa’ Rasyidin. Di dalam ertikata yang lain, siapakah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w)?
Adakah mereka yang telah memansuh, membatal atau menagguh atau mengubah atau menggantikan sebahagian dari hukum al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) dengan pendapat atau ijtihad mereka dan penyokong-peyokong mereka masih dikira Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w)? Semoga buku ini akan memberi suatu pencerahan kepada insan yang berfikir di kalangan umat Islam di rantau ini. Lantaran itu, mereka tidak harus meninggikan diri dan cepat berpuas hati kerana semata-mata berpegang kepada mazhab Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah (mazhab pemerintah) pimpinan Abu l-Hasan al-Asy‘ari dan Abu Mansur al- Maturidi dari segi Teologi di abad ketiga Hijrah, tanpa menjadikan al- Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) sebagai asas kebenaran yang mutlak dan menyeluruh.
Dengan ini sifat kemanusiaan akan terserlah kepada orang lain yang bukan sealiran pendapat dengan mereka. Apatah lagi menganggap mereka sebagai sesat atau terkeluar dari agama Islam. Lantas mereka disisih, disiksa, diusir, dipenjara, dibunuh dan sebagainya, semata-mata kerana menyalahi sunnah atau ijtihad atau pendapat khalifah Abu Bakr Umar dan Uthman (sunnah pemerintah) atau akidah Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w). Kerana Agama Islam adalah lebih luas dari fahaman “sunnah atau pendapat Khulafa’ Rasyidin dan mazhab Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah itu sendiri.
Oleh itu definisi ajaran sesat adalah wajar jika ia ditujukan kepada mana-mana ajaran yang menyalahi atau bertentangan atau menyeleweng daripada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w). Dan bukan sebaliknya. Di samping itu, kita perlu melakukan muhasabah diri kita sendiri dan bertanya: Adakah kita Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w)? Kerana ‘kebenaran bukan dikenali dengan individu, justeru itu, kenalilah kebenaran dahulu, nescaya anda akan mengenali penganutnya”.
Akhir sekali saya memohon jutaan maaf dari pembaca yang budiman jika terkasar atau sebagainya kerana ia bukanlah yang dimaksudkannya kerana mesej yang sebenar ialah al-Qur’an, Sunnah Nabi (S.a.w) dan sunnah Khulafa’ Rasyidin yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w). Semoga Allah memasukkan kita semua ke dalam syurga-Nya dan saya bertawakal kepada Allah (swt) Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
14hb. Jun, 1996.
BAHAGIAN PERTAMA
JIKA KHALIFAH ABU BAKR DAN PENGIKUTNYA AHLU S- SUNNAH NABI S.A.W, NESCAYA MEREKA TIDAK MENENTANG SUNNAH NABI S.A.W
Khalifah Abu Bakr dianggap contoh yang unggul sebagai pelaku atau pengamal Sunnah Nabi (Sa.w), tetapi para ulama Ahlus Sunnah wa l–Jama‘ah juga mencatat sebaliknya di dalam buku-buku mereka.
Sekiranya mereka berbohong di dalam catatan mereka, maka merekalah yang berdosa, tidak boleh dipercayai lagi dan bertanggungjawab di hadapan Allah (swt). Sekiranya catatan mereka itu betul, kenapa kita menolaknya dan terus memusuhi Sunnah Nabi (S.a.w). yang bertentangan dengan sunnah Abu Bakr? Justeru itu, adakah Abu Bakr dan pengikut-pengikutnya Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w)? Berikut dikemukakan sebahagian daripada sunnah khalifah Abu Bakr yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) serta akal yang sejahtera :
1. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menentang orang ramai dari menulis dan meriwayatkan Sunnah Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakar telah melarang orang ramai dari menulis dan meriwayatkan Sunnah Nabi (S.a.w) (al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3]. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
2. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berpendapat bahawa Sunnah Nabi (S.a.w) akan membawa perpecahan kepada umat, tetapi khalifah Abu Bakr berpendapat Sunnah Nabi (S.a.w) akan membawa perselisihan dan perpecahan kepada umat. Dia berkata: Kalian meriwayatkan daripada Rasulullah (S.a.w) hadis-hadis di mana kalian berselisih faham mengenainya. Orang ramai selepas kalian akan berselisih faham lebih teruk lagi” [Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
3. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi( (S.a.w), nescaya mereka meriwayat dan menyibarkan Sunnah Nabi (S.a.w) di kalangan orang ramai, tetapi khalifah Abu Bakr melarang orang ramai dari meriwayatkannya. Dia berkata: Janganlah kalian meriwayat sesuatupun (syaian) daripada Rasulullah (S.a.w) . "[Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
4. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak akan mengatakan bahawa Kitab Allah adalah cukup untuk menyelesaikan segala masalah tanpa Sunnah Nabi (S.a.w), tetapi khalifah Abu Bakr berkata: Kitab Allah boleh menyelesaikan segala masalah tanpa memerlukan kepada Sunnah Nabi (S.a.w) Dia berkata: Sesiapa yang bertanya kepada kalian, maka katakanlah: Bainana wa baina-kum kitabullah (Kitab Allah di hadapan kita). Maka hukumlah menurut halal dan haramnya" [Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3]
Kata-kata Abu Bakar ini telah diucapkan beberapa hari selepas peristiwa Hari Khamis iaitu bertepatan dengan kata-kata Umar ketika dia berkata:" Rasulullah (S.a.w) sedang meracau dan cukuplah bagi kita Kitab Allah (Hasbuna Kitabullah)." Lantaran itu, sunnah Abu Bakr tadi adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi yang dicatatkan oleh Ahlu s- Sunnah: "Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara sekiranya kalian berpegang kepada kedua-duanya nescaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya ; Kitab Allah dan Sunnahku) Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
5. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membakar Sunnah Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakr telah membakarnya. Oleh itu tidak hairanlah jika Khalifah Abu Bakar tidak pernah senang hati semenjak dia mengumpulkan lima ratus hadis Nabi (S.a.w) semasa pemerintahannya. Kemudian dia membakarnya pula. [al- Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,V,hlm. 237] Dengan ini dia telah menghilangkan Sunnah Rasulullah (S.a.w). Oleh itu kata-kata Abu Bakar: "Janganlah kalian meriwayatkan sesuatupun daripada Rasulullah (S.a.w)" menunjukkan larangan umum terhadap periwayatan dan penulisan hadis Rasulullah (S.a.w). Ianya tidak boleh ditakwilkan sebagai berhati-hati atau mengambil berat atau sebagainya.
6. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka menyebarkan Sunnah Nabi (S.a.w), dan menjaganya, tetapi khalifah Abu Bakr, melarangnya dan memusnahkannya (l-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, V, hlm. 237] Lantaran itu, sunnah khalifah Abu Bakar adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w): "Allah memuliakan seseorang yang mendengar hadisku dan menjaganya, dan menyebarkannya. Kadangkala pembawa ilmu (hadis) membawanya kepada orang yang lebih alim daripanya dan kadangkala pembawa ilmu (hadis) bukanlah seorang yang alim. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad,I, hlm.437; al-Hakim, al-Mustadrak, I, hlm. 78] Dan sabdanya "Siapa yang ditanya tentang ilmu maka dia menyembunyikannya, Allah akan membelenggukannya dengan api neraka." [Ahmad bin Hanbal, al- Musnad, III, hlm. 263] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
7. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka berkata: Kami perlu kepada sunnah Nabi (S.a.w) setiap masa, tetapi khalifah Abu Bakr dan kumpulannya berkata: Kami tidak perlu kepada sunnah Nabi, kerana kitab Allah sudah cukup bagi kita. Dia berkata: Sesiapa yang bertanya kepada kalian, maka katakanlah: Bainana wa bainakum kitabullah (Kitab Allah di hadapan kita). Maka hukumlah menurut halal dan haramnya."[Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
8. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka percaya bahawa taat kepada Nabi (S.a.w) adalah taat kepada Allah sebagaimana firman-Nya di dalam Surah al-Nisa’ (4):80 “ Siapa yang mentaati Rasul, maka dia mentaati Allah” Ini bererti siapa yang menderhakai Rasul, maka dia menderhakai Allah, tetapi khalifah Abu Bakr dan kumpulannya percaya sebaliknya ketika dia berkata: : Sesiapa yang bertanya kepada kalian, maka katakanlah: Bainana wa bainakum kitabullah (Kitab Allah di hadapan kita). Maka hukumlah menurut halal dan haramnya. "[Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3, al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) Baginya menderhakai Nabi (S.a.w) bukan bererti menderhakai Allah. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
9. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengkasari Ahlu l-Bait Nabi (S.a.w), malah mereka harus mempunyai sifat kasih sayang kepada mereka khususnys kepada Fatimah (a.s), tetapi khalifah Abu Bakr tidak mempunyai sifat sedemikian. Kerana orang yang menilai Nabi (S.a.w) dari segi budi pekertinya dan apa yang dikurniakan Allah ke atasnya untuk kebaikan umatnya di mana lidah menjadi lemah untuk melahirkan kesyukuran kepadanya, tidak akan memusuhinya melalui keturunannya dan Ahlu l- Baitnya.
Mereka tidak menjadikan Ahlu l-Baitnya setaraf dengan mereka seperti kedudukan mata di sisi kepala, kerana menjaga hati Nabi (S.a.w) dan kasih sayang kepada anak cucunya. Kenapa tidak, al-Qur'an telah menjelaskannya dan menyeru orang ramai kepadanya. Sunnah-sunnah telah menetapkan bahawa merekalah Ahlu l-Mawaddah. Merekalah orang yang Allah mewajibkan kasih sayang terhadap mereka dan berjanji ganjaran kebaikan ke atas orang yang mencintai Ahlu l-Bait kerana sekiranya seorang melakukan al-Mawaddah terhadap mereka secara ikhlas, dia berhak syurga kerana firman Allah Azza Wa-Jalla:"
Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang soleh [berada] di dalam taman-taman syurga, mereka perolehi apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah kurniaan yang besar." [Surah al-Syu'ara 26:22] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
10. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w) , nescaya mereka tidak bermusuhan dengan Ahlu l-Bait Nabi (S.a.w), apatah lagi mengepung dan cuba membakar rumah anak perempuannya; Fatimah (a.s), tetapi mereka telah mengepung dan cuba membakarnya dengan menyalakan api di pintu rumahnya. Khalifah Abu Bakar dan kumpulannya telah mengepung dan cuba membakar rumah Fatimah al-Zahra' sekalipun Fatimah, Ali, Hasan dan Husain (a.s) berada di dalamnya. Ini disebabkan mereka tidak melakukan bai'ah kepadanya.
Khalifah Abu Bakar adalah di antara orang yang dimarahi Fatimah (a.s). Beliau bersumpah tidak akan bercakap dengan mereka sehingga beliau berjumpa bapanya dan merayu kepadanya. Al-Bukhari di dalam Sahihnya, IV, hlm.196 meriwayatkan daripada Aisyah bahawa Fatimah as tidak bercakap dengan Abu Bakar sehingga beliau meninggal dunia.
Beliau hidup selepas Nabi (S.a.w) wafat selama 6 bulan. [Al-Bukhari, Sahih, VI, hlm.196; Ibn Qutaibah, al-Imamah Wa al-Siyasah, I, hlm.14; Abu l-Fida, Tarikh, I, hlm.159; al-Tabari, Tarikh, III, hlm.159] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
11. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membawa Ali (a.s) di dalam keadaan lehernya terikat, tetapi khalifah Abu Bakr dan kumpulannya telah memaksa Ali a.s memberi baiah kepadanya di dalam keadaan lehernya terikat (Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al- Siyasah, I, hlm.18-20, al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, iii, hlm.139; Abu l-Fida, Tarikh, I, hlm.159; al- Tabari, Tarikh, III, hlm.159].
Perlakuan sedemikian adalah menyalahi Sunnah Nabi (S.a.w) yang bersifat lembut terhadap Ali (a.s) dan melantiknya sebagai khalifah selepasnya: Siapa yang telah menjadikan aku maulanya, maka Ali adalah maulanya” dan ia adalah sejajar dengan tuntutan Ali a.s terhadap jawatan khalifah. (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm.144, al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, vi, hlm. 2180) Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
12. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka diizinkan untuk mengerjakan solat jenazah ke atas Fatimah (a.s), tetapi khalifah Abu Bakr dan kumpulannya tidak diizinkan oleh Fatimah (a.s) untuk mengerjakan solat ke atasnya. Beliau telah berwasiat kepada suaminya Ali (a.s) supaya Abu Bakr dan Umar tidak diizinkan mengerjakan solat ke atasnya. Kerana perbuatan mereka berdua yang menyakitkan hatinya, khususnya mengenai Fadak [Al-Bukhari, Sahih, VI, hlm.196; Ibn Qutaibah, al-Imamah Wa al-Siyasah, I, hlm.14; Abu l-Fida, Tarikh, I, hlm.159; al-Tabari, Tarikh, III, hlm.159]. Nabi (S.a.w) bersabda:" Sesungguhnya Allah marah kepada kemarahanmu (Fatimah) dan reda dengan keredaanmu." [Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm.153; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm.219] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
13. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak dirahsiakan tentang makam Fatimah (a.s), tetapi Abu Bakr dan kumpulannya telah dirahsiakan tentang lokasi makam Fatimah (a.s), kerana Fatimah (a.s) berwasiat kepada suaminya supaya merahsiakan makamnya daripada mereka berdua.
Nabi (S.a.w) bersabda:" Sesungguhnya Allah marah kepada kemarahanmu (Fatimah) dan redha dengan keredhaanmu." [Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 153; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm.219] ] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
14. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mencaci Ali dan Fatimah a.s, tetapi Khalifah Abu Bakar telah mencaci Ali (a.s) dan Fatimah (a.s) sebagai musang dan ekornya. Bahkan beliau mengatakan Ali (a.s) seperti Umm al-Tihal (seorang perempuan pelacur) kerana menimbulkan soal tanah Fadak. Kata-kata ini telah diucapkan oleh Abu Bakar di dalam Masjid Nabi (S.a.w) selepas berlakunya dialog dengan Fatimah (a.s) mengenai tanah Fadak. Ibn Abi al-Hadid telah bertanya gurunya, Yahya Naqib Ja'far bin Yahya bin Abi Zaid al-Hasri, mengenai kata-kata tersebut: "Kepada siapakah ianya ditujukan? "Gurunya menjawab: "Ianya ditujukan kepada Ali a.s. Kemudian dia bertanya lagi: Adakah ia ditujukan kepada Ali? Gurunya menjawab: "Wahai anakku inilah ertinya pemerintahan dan pangkat duniawi tidak mengira kata-kata tersebut. [Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, IV, hlm. 80] .
Kata-kata Abu Bakar adalah bertentangan dengan firman-Nya: "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bayt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. "[Surah al- Ahzab (33):33] Fatimah dan Ali a.s adalah Ahlu l-Bait Rasulullah (S.a.w.) yang telah disucikan oleh Allah SWT dari segala dosa. Rasulullah (S.a.w.) bersabda: "Kami Ahlu l-Bait tidak boleh seorangpun dibandingkan dengan kami . [Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi' al-Mawaddah, hlm.243]
Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
15. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menghentikan pemberian khums kepada keluarga Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakar telah menghentikan pemberian khums kepada keluarga Rasulullah ( S.a.w). Ijttihadnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Anfal (8):41“Ketahuilah,apa yang kamu perolehi seperlima adalah untuk Allah, Rasul-Nya, Kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan orang musafir” dan berlawanan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w) yang memberi khums kepada keluarganya menurut ayat tersebut. [Lihat umpamanya al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, II, hlm. 127] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
16. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengambil kembali Fadak daripada Fatimah (a.s), tetapi Khalifah Abu Bakar dan kumpulannya telah mengambil kembali Fadak daripada Fatimah (a.s) selepas wafatnya Nabi (S.a.w). Khalifah Abu Bakar memberi alasan "Kami para nabi tidak meninggalkan pusaka, tetapi apa yang kami tinggalkan ialah sedekah. Hujah yang diberikan oleh Abu Bakar tidak diterima oleh Fatimah dan Ali (a.s) kerana ianya bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur'an seperti berikut:
a) Firman-Nya yang bermaksud 'Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembahagian pusaka) untuk anak-anakmu."[Surah an-Nisa (4):11] Apa yang dimaksudkan dengan 'anak-anak' ialah termasuk anak-anak Nabi (S.a.w).
b) Firman-Nya yang bermaksud:"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud."(Surah al-Naml:16). Maksudnya Nabi Sulaiman (a.s) mewarisi kerajaan Nabi Daud (a.s) dan menggantikan kenabiannya.
c) Firman-Nya yang bermaksud:"Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisiku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku seorang yang diredhai."(Surah Maryam:5-6). Ketiga-tiga ayat tadi bertentangan dengan dakwaan Abu Bakar yang berpegang dengan hadis tersebut. Dan apabila hadis bertentangan dengan al-Qur'an, maka ianya (hadis) mestilah diketepikan.
d) Kalau hadis tersebut benar, ia bererti Nabi (S.a.w) sendiri telah cuai untuk memberitahu keluarganya mengenai Fadak dan ianya bercanggah dengan firman-Nya yang bermaksud: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."( Surah al-Syua'ra:214)
e) Hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh Abu Bakar sahaja dan ianya tidak boleh menjadi hujah kerana Fatimah dan Ali (a.s) menentangnya. Fatimah (a.s) berkata: Adakah kamu sekarang menyangka bahawa aku tidak boleh menerima pusaka, dan adakah kamu menuntut hukum Jahiliyyah?
Tidakkah hukum Allah lebih baik bagi orang yang yakin. Adakah kamu wahai anak Abi Qahafah mewarisi bapa kamu sedangkan aku tidak mewarisi bapaku? Sesungguhnya kamu telah melakukan perkara keji." (Lihat Ahmad bin Tahir al-Baghdadi, Balaghah al-Nisa’, II, hlm.14; Umar Ridha Kahalah, A'lam al-Nisa', III, hlm. 208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, IV, hlm.79,92)
f) Fatimah dan Ali (a.s) adalah di antara orang yang disucikan Tuhan di dalam Surah al-Ahzab:33, dan dikenali juga dengan nama Ashab al- Kisa'. Dan termasuk orang yang dimubahalahkan bagi menentang orang Nasrani di dalam ayat al-Mubahalah atau Surah Ali Imran: 61. Adakah wajar orang yang disucikan Tuhan dan dimubahalahkan itu menjadi pembohong, penuntut harta Muslimin yang bukan haknya?
g) Jikalau dakwaan Abu Bakar itu betul ianya bermakna Rasulullah (S.a.w) sendiri tidak mempunyai perasaan kasihan belas sebagai seorang bapa terhadap anaknya. Kerana anak-anak para nabi yang terdahulu menerima harta pusaka dari bapa-bapa mereka.
Kajian mendalam terhadap Sirah Nabi (S.a.w) dengan keluarganya menunjukkan betapa kasihnya beliau terhadap mereka khususnya, Fatimah as sebagai ibu dan nenek kepada sebelas Imam as. Beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah marah kerana kemarahanmu (Fatimah AH) dan redha dengan keredhaanmu." [Al-Hakim, al-Mustadrak, III , hlm.153; Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, hlm.522; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,VI, hlm.219; Mahyu al-Din al-Syafi'i al-Tabari, Dhakhair al- Uqba, hlm.39] Khalifah Abu Bakar dan Umar adalah di antara orang yang dimarahi Fatimah (a.s). Beliau bersumpah tidak akan bercakap dengan mereka sehingga beliau berjumpa bapanya dan merayu kepadanya. [Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, I, hlm.14] Beliau berwasiat supaya beliau dikebumikan di waktu malam dan tidak membenarkan seorangpun daripada "mereka berdua" mengerjakan solat jenazahnya. [Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, V, hlm. 542; al-Bukhari, Sahih ,VI, hlm, 177; Ibn Abd al-Birr, al-Isti'ab, II, hlm.75]
Sebenarnya Fatimah a.s menuntut tiga perkara:
1. Jawatan khalifah untuk suaminya Ali a.s kerana dia adalah dari ahlul Bait yang disucikan dan perlantikannya di Ghadir Khum disaksikan oleh 100,000 orang dan ianya diriwayatkan oleh 110 sahabat.
2. Fadak.
3. Al-khums, saham kerabat Rasulullah (S.a.w) tetapi kesemuanya ditolak oleh khalifah Abu Bakar [Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al- Balaghah, V, hlm. 86] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
17. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengenakan hukum had ke atas pelakunya tanpa pilih kasih, tetapi Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan hukum hudud ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin Nuwairah dan kabilahnya. Umar dan Ali (a.s) mahu supaya Khalid dihukum rejam. [Ibn Hajr, al- Isabah , III, hlm. 336]
Umar berkata kepada Khalid: "Kamu telah membunuh seorang Muslim kemudian kamu terus bersetubuh dengan isterinya. Demi Allah aku akan merejam kamu dengan batu. "[Al-Tabari, Tarikh, IV, hlm. 1928]
Kata-kata Umar ini cukup membuktikan bahawa Malik bin Nuwairah adalah seorang Muslim dan Khalid telah berzina dengan isteri Malik sebaik sahaja ia dibunuh. Jika tidak kenapa Umar berkata: "Demi Allah aku akan merejam kamu dengan batu." Umar memahami bahawa isteri Malik bin Nuwairah tidak boleh dijadikan hamba. Oleh itu pembunuhan ke atas Malik bin Nuwairah dan kaumnya tidak patut dilakukan kerana mereka adalah Muslim. Keengganan mereka membayar zakat kepada Abu Bakar tidak boleh menjadi hujah kepada kemurtadan mereka. Pembunuhan ke atas mereka disebabkan salah faham mengenai perkataan 'idfi'u, iaitu mengikut suku Kinanah ia bererti "bunuh" dan dalam bahasa Arab biasa ia bererti "panaskan mereka dengan pakaian" dan tidak menghalalkan darah mereka. Sepatutnya mereka merujuk perkara itu kepada Khalid bagi mengetahui maksudnya yang sebenar.
Walaubagaimanapun mereka terus membunuh kaumnya dan Malik sendiri telah dibunuh oleh Dhirar yang bukan dari suku Kinanah. Oleh itu Dhirar pasti memahami bahawa perkataaan idfi'u bukanlah perkataan untuk mengharuskan pembunuhan, namun ia tetap membunuh Malik. Lantaran itu alasan kekeliruan berlaku di dalam pembunuhan tersebut tidak boleh menjadi hujah dalam jenayah Khalid, apatah lagi perzinaannya dengan isteri Malik bin Nuwairah selepas dia dibunuh. Dengan itu tidak hairanlah jika Ali a.s dan Umar meminta Khalifah Abu Bakar supaya merejam Khalid, tetapi Abu Bakar enggan melakukannya.
Jika tidak membayar zakat djadikan alasan serangan dan pembunuhan, maka Nabi (S.a.w) sendiri tidak memerangi sahabatnya Tha'labah yang enggan membayar zakat kepada beliau (S.a.w). Allah (swt) menurunkan peristiwa ini di dalam Surah al-Taubah (9):75-77.
Semua ahli tafsir Ahlu s-Sunnah menyatakan bahawa ayat itu diturunkan mengenai Tha'labah yang enggan membayar zakat kerana beranggapan bahawa ianya jizyah. Maka Allah (swt) mendedahkan hakikatnya.
Dan Nabi (S.a.w) tidak memeranginya dan tidak pula merampas hartanya sedangkan beliau (S.a.w) mampu melakukannya. Adapun Malik bin Nuwairah dan kaumnya bukanlah mengingkari zakat sebagai satu fardhu agama. Tetapi apa yang mereka ingkar ialah penguasaan Abu Bakar ke atas jawatan khalifah selepas Rasulullah (S.a.w) dengan menggunakan kekuatan dan paksaan. Dan mereka pula benar-benar mengetahui tentang hadis al-Ghadir. Oleh itu tidak hairanlah jika Abu Bakar terus mempertahankan Khalid tanpa mengira jenayah yang dilakukannya terhadap Muslimin kerana Khalid telah melakukan sesuatu untuk kepentingan politik dan dirinya. Malah itulah perintahnya di bawah operasi "enggan membayar zakat dan murtad" sekalipun ianya bertentangan dengan Sunah Nabi (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
18. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melantik Umar menjadi khalifah selepasnya secara wasiat, walhal mereka sendiri menolak wasiat Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakar telah melantik Umar menjadi khalifah selepasnya secara wasiat, walhal dia sendiri menolak wasiat Nabi (S.a.w).
Beliau bersabda: "Ali adalah saudaraku, wasiku, wazirku dan khalifah selepasku" dan sabdanya: "Siapa yang menjadikan aku maulanya maka Ali adalah maulanya."Dan penyerahan jawatan khalifah kepada Umar adalah menyalahi prinsip syura yang diagung-agungkan oleh Ahlu s-Sunnah. Justeru itu, Abu Bakar adalah orang yang pertama merosakkan sistem syura dan memansuhkannya. Pertama, dia menggunakan "syura terhad" bagi mencapai cita-citanya untuk menjadi khalifah tanpa menjemput Bani Hasyim untuk menyertainya. Kedua, apabila kedudukannya menjadi kuat, dia melantik Umar untuk menjadi khalifah selepasnya tanpa syura dengan alasan bahawa Umar adalah orang yang paling baik baginya untuk memegang jawatan khalifah selepasnya. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
19. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka dilantik oleh Nabi (S.a.w) untuk menjalankan mana-mana misi penting, tetapi Khalifah Abu Bakar tidak pernah dilantik oleh Nabi (S.a.w) untuk menjalankan mana-mana misi atau tugasan, malah beliau melantik orang lain. Hanya pada satu masa beliau melantiknya untuk membawa Surah Bara'ah, tetapi beliau mengambil kembali tugas itu dan kemudian meminta Ali (a.s) untuk melaksanakannya. [Al-Tabari, Dhakha'ir al-Uqba hlm.61; al-Turmudhi, Sahih,II, hlm.461; Ibn Hajr, al-Isabah,II, hlm.509] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
20. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui pengertian al-Abb di dalam al-Qur’an, tetapi Khalifah Abu Bakar tidak mengetahui pengertian al-Abb iaitu firman-Nya di dalam Surah 'Abasa (80):31: "Dan buah-buahan (Fakihatun) serta rumputrumputan (abban). "Dia berkata: Langit mana aku akan junjung dan bumi mana aku akan pijak, jika aku berkata sesuatu di dalam Kitab Allah apa yang aku tidak mengetahui? "[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al- Ummal, I, hlm.274] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
21. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak akan melakukan bid'ah-bid'ah selepas Rasulullah (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakar telah mengetahui dia akan melakukan bid'ah-bid'ah selepas Rasulullah (S.a.w). Malik bin Anas di dalam al-Muwatta’ bab "jihad syuhada’ fi sabilillah' telah meriwayatkan daripada hamba Umar bin Ubaidillah bahawa dia menyampaikannya kepadanya bahawa Rasulullah (S.a.w) bersabda kepada para syahid di Uhud: "Aku menjadi saksi kepada mereka semua. Abu Bakar berkata: Tidakkah kami wahai Rasulullah (S.a.w) saudara-saudara mereka. Kami telah masuk Islam sebagaimana mereka masuk Islam dan kami telah berjihad di jalan Allah sebagaimana mereka berjihad? Rasulullah (S.a.w) menjawab: Ya! Tetapi aku tidak mengetahui bid'ah mana yang kalian akan lakukan selepasku. Abu Bakarpun menangis, dan dia terus menangis. Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh para sahabat memang telah diakui oleh mereka sendiri, di antaranya al-Bara' bin Azib.
Al-Bukhari di dalam Sahihnya "Kitabb bad' al-Khalq fi bab Ghuzwah al-Hudaibiyyah" telah meriwayatkan dengan sanadnya daripada al-Ala bin al-Musayyab daripada bapanya bahawa dia berkata: "Aku berjumpa al-Barra bin Azib maka aku berkata kepadanya: Alangkah beruntungnya anda kerana bersahabat dengan Nabi (S.a.w) dan anda telah membai'ah kepadanya di bawah pokok. Maka dia menjawab: Wahai anak saudaraku. Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang kami telah lakukan (Ahdathna) selepasnya."[Al-Bukhari, Sahih, III, hlm.32]
Anas bin Malik meriwayatkan bahawa Nabi (S.a.w) bersabda kepada orang-orang Ansar: "Sesungguhnya kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat selepasku. Oleh itu bersabarlah sehingga kalian bertemu Allah dan Rasul-Nya di Haudh. Anas berkata: Kami tidak sabar. "[Al-Bukhari, Sahih, III, hlm.135] Ibn Sa'd juga telah meriwayatkan di dalam Tabaqatnya, VIII, hlm. 51, dengan sanadnya dari Ismail bin Qais bahawa dia berkata: "Aisyah ketika wafatnya berkata: Sesungguhnya aku telah melakukan bid'ahbid'ah (Ahdathtu) selepas Rasulullah (S.a.w), maka kebumikanlah aku bersama-sama isteri Nabi (S.a.w). " Apa yang dimaksudkan olehnya ialah "Jangan kalian mengkebumikan aku bersama Nabi (S.a.w) kerana aku telah melakukan bid'ah-bid'ah selepasnya.
Lantaran itu, khalifah Abu Bakar, al-Barra bin Azib, Anas bin Malik dan Aisyah telah memberi pengakuan masing-masing bahawa mereka telah melakukan bid'ah-bid'ah dengan mengubah Sunnah Nabi (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
22. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak akan berkata: Syaitan menggodaku, sekiranya aku betul, maka bantulah aku dan sekiranya aku menyeleweng, maka betullah aku, tetapi Khalifah Abu Bakar berkata: Aku digodai Syaitan. sekiranya aku betul, maka bantulah aku dan sekiranya aku menyeleweng ,maka betullah aku "[Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, I, hlm. 6; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm. 126; Ibn Hajr, al-Sawa‘iq al-Muhriqah, hlm. 7; al-Syablanci, Nur al-Absar, hlm. 53] Ini bererti dia tidak mempunyai keyakinan diri, dan bagaimana dia boleh menyakinkan orang lain pula?. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
23. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menyesal menjadi seorang manusia, tetapi Khalifah Abu Bakar menyesal menjadi seorang manusia, malah dia ingin menjadi pokok dimakan oleh binatang kemudian mengeluarkannya. Abu Bakar berkata: "Ketika dia melihat seekor burung hingap di atas suatu kok, di berkata:
Beruntunglah engkau wahai burung. Engkau makan buah-buahan dan hinggap di pokok tanpa hisab dan balasan, tetapi aku lebih suka jika aku ini sebatang pokok yang tumbuh di tepi jalan. Kemudian datang seekor unta lalu memakanku. Kemudian aku dikeluarkan pula dan tidak menjadi seorang manusia. "[al-Muhibb al-Tabari, al-Riyadh al-Nadhirah,I, hlm. 134; Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah, III, hlm. 130]
Kata-kata khalifah Abu Bakar itu adalah bertentangan dengan firman Allah (swt) di dalam Surah al-Tin (95):4: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia di dalam bentuk yang sebaik-baiknya."Dan jika Abu Bakar seorang wali Allah kenapa diaharus takut kepada hari hisab? Sedangkan Allah telah memberi khabar gembira kepada waliwalinya di dalam Surah Yunus(10):62-64, ,"Ingatlah, sesungguhnya walwali Allah ini tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih iaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.Tidak ada perubahan kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." ? Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
24. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mencorobohi rumah Fatimah (a.s) semenjak awal lagi, tetapi khalifah Abu Bakar telah mencorobohinya dan ketika sakit menyesal kerana mencerobohi rumah Fatimah (a.s). Dia berkata: "Sepatutnya akut tidak mencerobohi rumah Fatimah sekalipun beliau mengisytiharkan perang terhadapku. "[Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, I, hlm. 18-19; al- Tabari, Tarikh, IV, hlm. 52; Ibn Abd Rabbih, Iqd al-Farid, II, hlm.254] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
25. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menjatuhkan air muka Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakar telah menjatuhkan air muka Nabi (S.a.w) di hadapan musyrikin yang datang berjumpa dengan Nabi (S.a.w) supaya mengembalikan hamba-hamba mereka yang lari dari mereka. Musyrikun berkata: Hamba-hamba kami telah datang kepada anda bukanlah kerana mereka cinta kepada agama tetapi mereka lari dari milik kami dan harta kami.
Lebih-lebih lagi kami adalah jiran anda dan orang yang membuat perjanjian damai dengan anda, tetapi Nabi (S.a.w) tidak mahu menyerahkan kepada mereka hamba-hamba tersebut kerana khuatir mereka akan menyiksa hambahamba tersebut dan beliau tidak mahu juga mendedahkan hakikat ini kepada mereka. Nabi (S.a.w) bertanya kepada Abu Bakar dengan harapan dia menolak permintaan mereka. Sebaliknya Abu Bakar berkata: Benar kata-kata mereka itu. Lantas berubah muka Nabi (S.a.w) kerana jawapannya menyalahi apa yang dikehendaki Allah dan Rasul Nya. [al-Nasa'i, al-Khasa'is, hlm. 11; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad I, hlm. 155]
Sepatutunya khalifah Abu Bakar dapat memahami apa yang dimaksudkan, tetapi dia tidak dapat memahaminya, malah dia memihak kepada Musyrikun berdasarkan ijtihadnya. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi ( S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
26. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka telah membunuh Dhu al-Thadyah (seorang lelaki yang mempunyai payudara, akhirnya menentang khalifah Ali (a.s ), tetapi khalifah Abu Bakar tidak membunuh Dhu al-Thadyah sedangkan Rasulullah (S.a.w.) telah memerintahkan Abu Bakar supaya membunuh Dhu al-Thadyah. Abu Bakar mendapati lelaki itu sedang mengerjakan solat. Lalu dia berkata kepada Rasulullah (S.a.w): "Subhanallah! Bagaimana aku membunuh lelaki yang sedang mengerjakan solat?" (Ahmad b.Hanbal,al-Musnad, III, hlm.14-150)
Sepatutnya dia membunuh lelaki itu tanpa mengira keadaan kerana Nabi (S.a.w) telah memerintahkannya, tetapi dia tidak membunuhnya, malah dia menggunakan ijtihadnya bagi menyalahi Sunnah Nabi (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
27. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengatakan bahawa saham jiddah (nenek) tidak ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakar mengatakan bahawa saham jiddah (nenek) tidak ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah (S.a.w). Seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pusakanya. Abu Bakar menjawab: Tidak ada saham untuk anda di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w).
Oleh itu kembalilah. "Lalu al-Mughirah bin Syu‘bah berkata: "Aku berada di sisi Nabi (S.a.w) bahawa beliau memberikannya (nenek) seperenam saham. "Abu Bakar berkata: "Adakah orang lain bersama anda?" Muhammad bin Muslimah al-Ansari bangun dan berkata sebagaimana al-Mughirah. Maka Abu Bakar memberikannya seperenam. [Malik, al-Muwatta, I, hlm. 335; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, IV, hlm. 224; Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II, hlm. 334] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
28. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui hukum had ke atas pencuri yang kudung satu tangan dan satu kakinya, tetapi Khalifah Abu Bakar tidak mengetahui hukum had ke atas pencuri yang kudung satu tangan dan satu kakinya. Daripada Safiyyah binti Abi Ubaid, Seorang lelaki kudung satu tangan dan satu kakinya telah mencuri pada masa pemerintahan Abu Bakar. Lalu Abu Bakar mahu memotong kakinya dan bukan tangannya supaya dia dapat bermunafaat dengan tangannya. Maka Umar berkata: Demi yang diriku di tangan-Nya, anda mesti memotong tangannya yang satu itu." Lalu Abu Bakar memerintahkan supaya tangannya dipotong. [al-Baihaqi, Sunan, VIII, hlm.273-4] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
29. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berpendapat bahawa seorang khalifah bukan semestinya orang yang paling alim, tetapi Khalifah Abu Bakar berpendapat bahawa seorang khalifah bukan semestinya orang yang paling alim (afdhal). [Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, I,hlm. 16; al-Baqillani, al- Tamhid,hlm. 195; al-Halabi, Sirah Nabawiyyah, III, hlm. 386] Ijtihadnya adalah bertentangan dengan firman Tuhan di dalam Surah al-Zumar (39):9 "Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran" dan firman-Nya di dalam Surah Yunuss (10):35: Maka apakah orang-orang yang menunjuki jalan kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang-orang yang tidka dapat memberi petujuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?" Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
30. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka melakukan korban (penyembelihan) sekali di dalam hidupnya. Tetapi Khalifah Abu Bakar tidak pernah melakukan korban (penyembelihan) kerana khuatir kaum Muslimin akan menganggapnya wajib. Sunnahnya adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) yang menggalakkannya. [Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, IX, hlm. 265; al- Syafi'i, al-Umm, II, hlm.189] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
31. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengatakan maksiat yang dilakukan oleh seseorang itu telah ditakdirkan oleh Allah sejak azali lagi, tetapi Khalifah Abu Bakar mengatakan maksiat yang dilakukan oleh seseorang itu telah ditakdirkan oleh Allah sejak azali lagi, kemudian Dia menyeksanya di atas perbuatan maksiatnya. Seorang lelaki bertanya kepadanya: Adakah anda fikir zina juga takdir-Nya? Lelaki itu bertanya lagi: "Allah mentakdirkannya ke atasku kemudian menyiksa aku?" Khalifah Abu Bakar menjawab: Ya, demi Tuhan sekiranya aku dapati seseorang masih berada di sisiku, nescaya aku menyuruhnya memukul hidung anda. [al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, hlm. 65]
Oleh itu, ijtihad Abu Bakar itu adalah bertentangan dengan firmanfirman Tuhan di antaranya:
a. Firman-Nya di dalam Surah al-Insan (76):3 "Sesungguhnya kami telah menunjukkinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."
b. Firman-Nya di dalam Surah al-Balad (90):10:"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan."
c. Firman-Nya di dalam Surah al-Naml (27):40:"Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia’”. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
32. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berkata: Jika pendapat kami betul, maka ianya daripada Allah dan jika ianya salah maka ia adalah daripada kami dan daripada syaitan Tetapi Khalifah Abu Bakar berkata: Jika pendapatku betul, maka ianya daripada Allah dan jika ianya salah maka ia adalah daripada aku dan daripada syaitan. [Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VI, hlm. 223; al-Tabari, Tafsir, VI hlm. 30; Ibn Kathir, Tafsir, I, hlm.260] Kata-kata Abu Bakar menunjukkan bahawa dia sendiri tidak yakin kepada pendapatnya. Dan dia memerlukan bimbingan orang lain untuk menentukan kesalahannya.
Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
33. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka akur kepada Sunnah Nabi (S.a.w) apabila mengetahui kesannya dengan mengelakkan dirinya dari kilauan dunia, tetapi Khalifah Abu Bakar mengetahui bahawa dia tidak terlepas dari kilauan dunia, lantaran itu dia menangis. Al-Hakim di dalam Mustadrak, IV, hlm. 309 meriwayatkan dengan sanadnya daripada Zaid bin Arqam, dia berkata:"Kami pada suatu masa telah berada bersama Abu Bakar, dia meminta minuman, lalu diberikan air dan madu. Manakala dia mendekatkannya ke mulutnya dia menangis sehingga membuatkan sahabat-sahabatnya menangis.
Akhirnya merekapun berhenti menangis, tetapi dia terus menangis. Kemudian dia kembali dan menangis lagi sehingga mereka menyangka bahawa mereka tidak mampu lagi menyelesaikan masalahnya. Dia berkata: Kemudian dia menyapu dua matanya. Mereka berkata: Wahai khalifah Rasulullah! Apakah yang sedang ditolak oleh anda? Beliau menjawab: Dunia ini (di hadapanku) telah "memperlihatkan"nya kepadaku, maka aku berkata kepadanya: Pergilah dariku maka ianya pergi kemudian dia kembali lagi dan berkata:
Sekiranya anda terlepas dariku, orang selepas anda tidak akan terlepas dariku. Hadis ini diriwayatkan juga oleh ak-Khatib di dalam Tarikh Baghdad, X, hlm. 268 dan Abu Nu'aim di dalam Hilyah al-Auliya', I, hlm.30] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
34. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mempunyai kata pemutus ke atas pemerintahan mereka, tetapi Khalifah Abu Bakar tidak mempunyai kata pemutus ke atas pemerintahannya melainkan ianya dipersetujui oleh Umar. Adalah diriwayatkan bahawa "Uyainah bin Hasin dan al-Aqra bin Habis datang kepada Abu Bakar dan berkata: Wahai khalifah Rasulullah, izinkan kami menanam di sebidang tanah yang terbiar berhampiran kami.Kami akan membajak dan menanamnya. Mudah-mudahan Allah akan memberikan manfaat kepada kami dengannya. Lalu Abu Bakar menulis surat tentang persetujuannya.
Maka kedua-duanya berjumpa Umar untuk mempersaksikan kandungan surat tersebut. Apabila kedua-duanya membacakan kandungannya kepadanya, Umar merebutnya dari tangan mereka berdua dan meludahnya. Kemudian memadamkannya. Lalu kedua-duanya mendatangi Abu Bakar dan berkata: "Kami tidak mengetahui adakah anda khalifah atau Umar." Kemudian mereka berdua menceritakan kepadanya. Lalu Abu Bakar berkata: "Kami tidak melaksanakan sesuatu melainkannya dipersetujui oleh Umar."[al- Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VI, hlm. 335; Ibn Hajr, al-Isabah, I, hlm.56] . Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
35. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak dicaci oleh seorang lelaki di hadapan Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Abu Bakar telah dicaci oleh seorang lelaki di hadapan Rasulullah (S.a.w.).
Tetapi Nabi (S.a.w) tidak melarangnya sebaliknya beliau tersenyum pula, Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahawa seorang lelaki telah mencaci Abu Bakr dan Nabi (S.a.w) sedang duduk, maka Nabi (S.a.w) kagum dan tersenyum. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, VI, hlm.436] . Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
36. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak bertengkar sehingga meninggikan suara mereka di hadapan Nabi (S.a.w) khalifah Abu Bakar dan Umar telah bertengkar sehingga meninggikan suara mereka di hadapan Rasulullah (S.a.w) . Abu Bakar berkata: Wahai Rasulullah lantiklah al-Aqra‘ bin Habis bagi mengetuai kaumnya." Umar berkata: "Wahai Rasulullah janganlah anda melantiknya sehingga mereka menengking dan meninggikan suara mereka di hadapan Rasulullah (S.a.w). Lalu diturunkan ayat di dalam Surah al- Hujurat(49):2, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus pahala amalanmu, sedangkan kamu tidak menyedari." Sepatutnya mereka berdua bertanya dan merujuk kepada Rasulullah (S.a.w) mengenainya. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, IV, hlm. 6; al-Tahawi, Musykil al-Athar, I, hlm. 14-42] . Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
37. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak banyak membuat pengakuan-pengakuan dimana mereka sepatutnya melakukan sesuatu, tetapi Khalifah Abu Bakar banyak membuat pengakuan-pengakuan dimana dia sepatutnya melakukan sesuatu, tetapi tidak melakukannya dan sebaliknya. Ibn Qutaibah mencatatkan dalam bukunya al-Imamah wa al-Siyasah, I, hlm. 18-19, 9 perkara yang disesali oleh Abu Bakar seperti berikut:
"Tiga perkara yang aku telah lakukan sepatutnya aku tidak melakukannya dan tiga perkara yang aku tidak lakukannya sepatutnya aku melakukannya dan tiga perkara yang sepatutnya aku bertanya Rasulullah (S.a.w) mengenainya. Adapun tiga perkara yang aku telah melakukannya sepatutnya aku tidak melakukannya:
1. Sepatutnya aku tinggalkan rumah Ali (Fatimah) sekalipun mereka mengisytiharkan perang ke atasku.
2. Sepatutnya aku membai'ah sama Umar atau Abu Ubadah di Saqifah Bani Saidah, iaitu salah seorang mereka menjadi amir dan aku menjadi wazir.
3. Sepatutnya aku menyembelih Fuja'ah al-Silmi atau melepaskannya dari tawanan dan aku tidak membakarnya hidup-hidup.
Adapun tiga perkara yang aku tidak melakukannya sepatutnya aku melakukannya:
1. Sepatutnya ketika al-Asy'ath bin Qais dibawa kepadaku sebagai tawanan, aku membunuhnya dan tidak memberinya peluang untuk hidup, kerana aku telah mendengar tentangnya bahawa ia bersifat sentiasa menolong segala kejahatan.
2. Sepatutnya ketika aku mengutus Khalid bin al-Walid kepada orangorang murtad, aku mesti berada di Dhi al-Qissah, dengan itu sekiranya mereka menang, mereka boleh bergembira dan sekiranya mereka kalah aku boleh menghulurkan bantuan. Adapun tiga perkara yang sepatutnya aku bertanya Rasulullah (S.a.w) ialah:
1. Kepada siapakan jawatan khalifah patut diberikan sesudah beliau wafat, dengan demikian tidaklah jawatan itu menjadi rebutan.
2. Sepatutnya aku bertanya kepada beliau, adakah orang Ansar mempunyai hak menjadi khalifah.
3. Sepatutnya aku bertanya beliau tentang pembahagian harta pusaka anak saudara perempuan sebelah lelaki dan ibu saudara sebelah lelaki kerana aku tida puas hati tentang hukumnya dan memerlukan penyelesaian."
Kenyataan di atas telah disebut juga oleh al-Tabari dalam Tarikhnya, IV, hlm. 52; Ibn Abd Rabbih, ‘Iqd Farid, II, hlm. 254;Abu Ubaid, al-Amwal, hlm. 131] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
38. Jika mereka Ahl al-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengundurkan diri dari tentera Usamah yang telah dilantik oleh Nabi (S.a.w) menjadi penglima perang di dalam usianya yang muda, tetapi Khalifah Abu Bakar telah mengundurkan diri dari menyertai tentera di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sedangkan Nabi (S.a.w) bersabda:
"Perlengkapkan tentera Usamah, Allah melaknati orang yang mengundur diri dari tentera Usamah. "[Al-Syarastani, al-Milal, hlm.21; Ibn Sa'd, Tabaqat,II,hlm.249 dan lain-lain lagi]. Jesteru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
39. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menamakan dirinya (Abu Bakr) "Khalifah Rasulullah", tetapi Khalifah Abu Bakar telah menamakan dirinya "Khalifah Rasulullah".[Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, I, hlm.13]; al-Suyuti, Tarikh al- Khulafa', hlm. 78] Penamaannya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w.) kerana beliau tidak menamakannya dan melantiknya, malah beliau menamakan Ali dan melantiknya. Beliau bersabda: "Siapa yang aku menjadimaulanya maka Ali adalah maulanya. Dan hadis-hadis yang lain tentang perlantikan Ali (a.s) sebagai khalifah selepas Rasulullah (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
40. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membakar manusia hidup-hidup, tetapi Khalifah Abu Bakar telah membakar Fuja'ah al-Silmi hidup-hidup, kemudian dia menyesali perbuatannya. [al-Tabari, Tarikh, IV, hlm.52] Dan ianya bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) "Tidak boleh disiksa dengan api melainkan dari Tuannya."(Al-Bukhari, Sahih, X, hlm.83] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
41. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak lari di dalam peperangan, tetapi Khalifah Abu Bakar telah lari di dalam peperangan Uhud dan Hunain. Sepatutnya dia mempunyai sifat keberanian melawan musuh. Tindakannya itu menyalahi ayat-ayat jihad di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w) [al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 37; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VI, hlm. 394; al-Dhahabi, al-Talkhis, III, hlm. 37] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
42. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak meragui jawatan khalifah, tetapi Khalifah Abu Bakar telah meragui jawatan khalifahnya. Dia berkata: "Sepatutnya aku bertanya Rasulullah (S.a.w), adalah orang-orang Ansar mempunyai hak yang sama di dalam jawatan khalifah?" Ini adalah keraguan tentang kesahihan atau kebatilannya. Dialah orang yang menentang orang-orang Ansar manakala mereka mengatakan bahawa Amir mestilah dari golongan Quraisy." Sekiranya apa yang diriwayatkan olehnya itu benar, bagaimana dia meragui"nya" pula. Dan jikalau tidak, dia telah menentang orang-orang Ansar dengan "hujah palsu. "[Al-Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, II, hlm.127; Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, I,hlm.18, 19; al-Masudi, Muruj al-Dhahab, I, hlm.302] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
43. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikemukakan kepada mereka, tetapi Khalifah Abu Bakar tidak dapat menyelesaikan persoalanpersoalan yang dikemukakan kepadanya oleh orang Yahudi. Anas bin Malik berkata: "Seorang Yahudi datang selepas kewafatan Rasulullah (S.a.w). Maka kaum Muslimin menunjukkannya kepada Abu Bakar. Dia berdiri di hadapan Abu Bakar dan berkata: Aku akan kemukakan soalan-soalan yang tidak akan dijawab melainkan oleh Nabi atau wasi Nabi. Abu Bakar berkata: "Tanyalah apa yang anda mahu. Yahudi berkata: Beritahukan kepadaku perkara yang tidak ada pada Allah, tidak ada di sisi Allah, dan tidak diketahui oleh Allah? Abu Bakar berkata: Ini adalah soalan-soalan orang zindiq wahai Yahudi! Abu Bakar dan kaum Muslimin mulai marah dengan Yahudi tersebut.
Ibn Abbas berkata: Khalifah Abu Bakr tidak dapat memberikan jawapan kepada lelaki itu. Abu Bakar berkata: Tidakkah anda mendengar apa yang diperkatakan oleh lelaki itu? Ibn Abbas menjawab:
Sekirannya kalian tidak dapat menjawabnya, maka kalian pergilah bersamanya menemui Ali a.s, nescaya dia akan menjawabnya kerana aku mendengar Rasulullah (S.a.w) bersabda kepada Ali bin Abi Talib "Wahai Tuhanku! Sinarilah hatinya, dan perkuatkanlah lidahnya." Dia berkata: Abu Bakar dan orang-orang yang hadir bersamanya datang kepada Ali bin Abi Talib, mereka meminta izin daripadanya. Abu Bakar berkata: Wahai Abu l-Hasan, sesungguhnya lelaki ini telah bertanya kepadaku beberapa soalan (zindiq).
Ali berkata: Apakah yang anda perkatakan wahai Yahudi? Dia menjawab: Aku akan bertanya kepada anda perkara-perkara yang tidak diketahui melainkan oleh Nabi atau wasi Nabi. Yahudi mengemukakan soalan-soalan kepadanya. Ali berkata: Adapun perkara-perkara yang tidak diketahui oleh Allah ialah kata-kata anda bahwa Uzair adalah anak lelaki Tuhan, dan Allah tidak mengetahui bahawa Dia mempunyai anak lelaki. Adapun kata-kata anda apa yang tidak ada di sisi Allah, maka jawapannya perkara yang tidak ada di sisi Allah ialah kezaliman. Adapun kata-kata anda: Apa yang tidak ada bagi Allah maka jawapannya tidak ada bagi Allah syirik. Yahudi menjawab: Aku naik saksi tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah pesuruh Allah dan sesungguhnya anda adalah wasinya."[Ibn Duraid, al-Mujtana, hlm.35] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
44. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mempersendakan Nabi (S.a.w) di masa hidupnya, apatah lagi pada masa Nabi (S.aw) sakit dan selepas kematiannya, tetapi khalifah Abu Bakr dan kumpulannya telah mempersendakan Nabi (S.a.w) dengan menolak Sunnah Nabi (S.a.w) di hadapannya ketika Nabi (S.a.w) sedang sakit “ dia sedang meracau” (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69),kemudian menghahalang penyibarannya. (Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
45. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berkata: "Pecatlah aku kerana aku bukanlah orang yang baik di kalangan kalian, tetapi Khalifah Abu Bakar berkata: "Pecatlah aku kerana aku bukanlah orang yang baik di kalangan kalian. Di dalam riwayat lain, Ali di kalangan kalian [Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al- Siyasah,I, hlm. 14; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm.132] Jikalau kata-katanya benar, bererti dia tidak layak untuk menjadi khalifah Rasulullah (S.a.w), berdasarkan pengakuannya sendiri. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
46. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membenci orang yang mencitai dan mengamalkan Sunnah Nabi (S.a.w), tetapi mereka membenci orang yang mencitai Sunnah Nabi (S.a.w) dan mengamalkanya sekiranya Sunnah Nabi (S.a.w) bertentangan dengan sunnah Abu Bakr. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
BAHAGIAN KEDUA
JIKA KHALIFAH UMAR DAN PENGIKUTNYA AHLU S-SUNNAH NABI S.A.W, NESCAYA MEREKA TIDAK MENENTANG SUNNAH NABI S.A.W
Khalifah Umar dianggap contoh yang unggul sebagai pelaku atau pengamal Sunnah Nabi (Sa.w) selepas Abu Bakr, tetapi para ulama Ahlus Sunnah wa l–Jama‘ah juga mencatat sebaliknya di dalam bukubuku mereka. Sekiranya mereka berbohong di dalam catatan mereka, maka merekalah yang berdosa dan bertanggungjawab di hadapan Allah (swt). Dan sekiranya catatan mereka itu betul, kenapa kita menolaknya dan terus memusuhi Sunnah Nabi (S.a.w) yang bertentangan dengan sunnah Umar? Justeru itu, adakah Umar dan pengikut-pengikutnya Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w)? Berikut dikemukakan sebahagian daripada sunnah khalifah Umar yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) serta akal yang sejahtera:
1. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menghalang Nabi (S.a.w) dari menulis sunnahnya yang terakhir, tetapi khalifah Umar telah menghalang Nabi (S.a.w) dari menulis sunnahnya yang terakhir. Lantas Nabi (S.a.w) mengusir Umar dan kumpulannya supaya keluar dari rumahnya. (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
2. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w).), nescaya mereka tidak bertengkar di hadapan Nabi (S.a.w) bagi menentang sunnahnya supaya dibawa kepadanya pensel dan kertas untuk menulis wasiatnya (sunnahnya), tetapi khalifah Umar dan kumpulannya telah melakukan perkara tersebut.( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar serta kumpulannya atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
3. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w).), nescaya mereka tidak memisahkan Kitab Allah (al-Qur’an) daripada Nabi (S.a.w), tetapi khalifah Umar telah memisahkan Kitab Allah daripada Nabi (S.a.w) ketika dia berkata di hadapan Nabi (S.a.w): Kitab Allah adalah cukup bagi kita”. Kata-kata Umar adalah secara langsung merendah martabat Nabi (S.a.w). ( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w).), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar dan kumpulannya atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
4. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi(S.a.w), nescaya mereka percaya kemaksuman Nabi (S.a.w) setiap masa, kerana segala perkataan, perbuatan dan taqrirnya merupakan sunnahnya, tetapi khalifah Umar tidak mempercayai kemaksuman Nabi (S.a.w) ketika dia berkata : “cukuplah bagi kita Kitab Allah” Kata-katanya itu ditentang oleh Nabi (S.a.w) sendiri . Lalu beliau (S.a.w) menjadi marah dan terus mengusir khalifah Umar serta kumpulannya supaya keluar .( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
5. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w).), nescaya mereka tidak mengatakan bahawa Nabi (S.a.w) "sedang meracau” tetapi Khalifah Umar telah mengatakan bahawa Nabi (S.a.w) sedang meracau (yahjuru). Oleh itu permintaan beliau (S.a.w) supaya dibawa pensel dan kertas untuk beliau menulis perkara-perkara yang tidak akan menyesatkan ummatnya selama-lamanya tidak perlu dilayani lagi. [Muslim, Sahih, III, hlm. 69; al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36] Justeru itu sunnah Umar adalah bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah al-Najm (53):3-4: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemahuan hawa nafsunya." Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
6. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang orang ramai dari meriwayat dan menulis Sunnah Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Umar telah melarang orang ramai dari meriwayat dan menulis Sunnah Nabi (S.a.w). Umar berkata: "Hasbuna Kitabullah (Kitab Allah adalah cukup bagi kita). [Al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36] Sunnahnya adalah bertentangan dengan sunnah yang dipopularkan oleh Ahlu s- Sunnah: Aku tinggalkan pada kalian dua perkara selama kalian berpegang kepada kedua-duanyaKitab Allah dan Sunnahku." Lantaran itu, khalifah Umar bertegas bahawa dia tidak perlu kepada sunnah Nabi (S.a.w) di hadapan Nabi (S.a.w) sendiri. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
7. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membakar sunnah atau hadis Nabi (S.a.w), tetapi khalifah Umar telah membakar sunnah Nabi (S.a.w) Ibn Sa'd dalam Tabaqatnya, V hlm. 140 meriwayatkan bahawa apabila hadis atau Sunnah Nabi (S.a.w) banyak diriwayat dan dituliskan pada masa Umar bin al-Khattab, maka dia menyeru orang ramai supaya membawa kepadanya semua hadis-hadis yang ditulis, kemudian dia memerintahkan supaya ianya dibakar. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
8. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menahan sahabat yang banyak meriwayatkan sunnah Nabi (S.a.w) di Madinah, tetapi khalifah Umar telah menahan tiga orang sahabat di Madinah sehingga mati, kerana meriwayatkan banyak hadis Rasulullah (S.a.w). Mereka ialah Ibn Mas'ud, Abu Darda' dan Abu Mas'ud al- Ansari.[al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm. 8; al-Haithami, Majma al-Zawaid, I, hlm. 149; al-Hakim, al-Mustadrak, I, hlm. 110] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
9. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berkata: "Apa itu hadis daripada Rasulullah?", tetapi Khalifah Umar berkata kepada Abu Darda: "Apa itu hadis daripada Rasulullah? "Abu Salmah bertanya kepada Abu Hurairah: "Adakah anda meriwayatkan hadis atau sunnah semacam ini pada masa Umar? Abu Hurairah menjawab: Sekiranya aku meriwayatkan hadis atau sunnah (semacam ini) pada masa Umar, nescaya dia memukul aku dengan cemetinya"[al- Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm. 7] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
10. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka berkata: Kami perlu kepada sunnah Nabi (S.a.w) setiap masa, tetapi khalifah Umar berkata: Kami tidak perlu kepada sunnah Nabi, kerana kitab Allah sudah cukup bagi kita” .( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
11. Jika mereka Ahl al-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka menyibar Sunnah Nabi (S.a.w), dan menjaganya, tetapi khalifah Umar, melarangnya dan memusnahkannya (Ibn Sa'd dalam Tabaqat, V hlm. 140; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, V, hlm. 237]. Lantaran itu sunnah khalifah Umar adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w): "Allah memuliakan seseorang yang mendengar hadisku dan menjaganya, dan menyebarkannya. Kadangkala pembawa ilmu (hadis) membawanya kepada orang yang lebih alim darinya dan kadangkala pembawa ilmu (hadis) bukanlah seorang yang alim. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm.437; al-Hakim, al-Mustadrak, I, hlm.78] Dan sabdanya "Siapa yang ditanya tentang ilmu maka dia menyembunyikannya, Allah akan membelenggukannya dengan api neraka." [Ahmad bin Hanbal, al- Musnad, III, hlm. 263] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
12. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka percaya dan mengamalkan sunnah Nabi (S.a.w) daripada sunnah Umar, tetapi khalifah Umar percaya bahawa sunnahnya adalah lebih baik daripada sunnah Nabi (S.a.w) umpamanya menambahkan hukum sebat bagi peminum arak dari 40 sebatan kepada 80 kali sebatan. [al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 137]. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
13. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka percaya bahawa taat kepada Nabi (S.a.w) adalah taat kepada Allah sebagaimana firman-Nya di dalam Surah al-Nisa’ (4):80 “Siapa yang mentaati Rasul, maka dia mentaati Allah”. Ini bererti siapa yang mendurhakai Rasul, maka dia menderhakai Allah, tetapi khalifah Umar percaya sebaliknya ketika dia berkata: Kitab Allah adalah cukup bagi kita” “Nabi sedang meracau” . ( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) Baginya menderhakai Nabi (Sa.w) bukan bererti menderhakai Allah. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
14. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memusuhi orang yang menghidupkan Sunnah Nabi (S.a.w), tetapi khalifah Umar memusuhinya dan membakar sunnahnya (Ibn Sa'd Tabaqat, V hlm. 140) . Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
15. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengesyaki Nabi (S.a.w) dan kaum Muslimin sama ada berada di dalam kebenaran ataupun kebatilan, tetepi Khalifah Umar mengesyaki Nabi (S.a.w) dan kaum Muslimin sama ada berada di dalam kebenaran ataupun kebatilan. Ia bertanya Nabi (S.a.w): Adakah kita berada di dalam kebenaran dan mereka (kafir) berada dai dalam kebatilan? Adakah orang yang terbunuh di pihak kita akan memasuki syurga? Dan orang yang terbunuh di pihak mereka ke neraka? Nabi (S.a.w) menjawab: Ya, dan akhirnya Nabi (S.a.w) menegaskan kepadanya: "Wahai Ibn al- Khattab, sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah dan Allah tidak akan mengabaikan aku. Umar beredar dari Nabi (S.a.w) dengan marah (muthaghayyizan), kemudian dia berjumpa Abu Bakar lalu ia mengemukakan persoalan yang sama, lantas Abu Bakar menyakinkan dia bahawa Muhammad itu adalah Rasulullah dan Allah tidak akan mengabaikannya. [Muslim, Sahih, IV, hlm.12, 14; al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
16. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengkasari Ahlu l-Bait Nabi (S.a.w), malah mereka harus mempunyai sifat kasih sayang kepada mereka khususnys terhadap Fatimah (a.s), tetapi khalifah Umar tidak mempunyai sifat sedemikain, Kerana orang yang menilai Nabi (S.a.w) dari segi budi pekertinya dan apa yang dikurniakan Allah ke atasnya untuk kebaikan umatnya, lidah akan menjadi lemah untuk melahirkan kesyukuran kepadanya, tidak akan memusuhinya melalui keturunannya dan Ahlu l -Baitnya. Mereka tidak menjadikan Ahlu l-Baitnya setaraf dengan mereka seperti kedudukan mata di sisi kepala, kerana menjaga hati Nabi (S.a.w) dan kasih sayang kepada anak cucunya. Kenapa tidak, al-Qur'an telah menjelaskannya dan menyeru orang ramai kepadanya.
Sunnah-sunnah menetapkan bahawa merekalah Ahlu l-Mawaddah. Merekalah orang yang Allah mewajibkan kasih sayang terhadap mereka dan berjanji ganjaran kebaikan ke atas orang yang mencintai Ahlu l-Bait kerana sekiranya seorang melakukan al-Mawaddah terhadap mereka secara ikhlas, dia berhak syurga kerana firman Allah Azza Wa-Jalla:" Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang soleh [berada] di dalam tamanataman syurga, mereka perolehi apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah kurniaan yang besar." [Surah al- Syu'ara 26:22] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
17. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memusuhi Ahlu l-Bait Nabi (S.a.w), apatah lagi mengepung dan cuba membakar rumah anak perempuannya; Fatimah (a.s) kerana memaksa Ali (a.s) supaya memberi bai'ah kepada Abu Bakar, tetapi Khalifah Umar adalah perencana utama dalam cubaan membakar rumah Fatimah (a.s) kerana memaksa Ali (a.s) supaya memberi bai'ah kepada Abu Bakar. Sunnahnya itu adalah membelakangi firman Tuhan Surah al-Ahzab (33):33 "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Fatimah (a.s) adalah di kalangan Ashab al-Kisa' yang disucikan oleh Allah (swt). Umar berkata:"Aku akan membakar kalian sehingga kalian keluar untuk memberi bai'ah kepada Abu Bakar. [Al-Tabari, Tarikh, III, hlm. 198; Abu-l-Fida, Tarikh, I, hlm. 156] . Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
18. Jika mereka Ahl al-Sunnah Nabi(S.a.w), nescaya mereka tidak membawa Ali (a.s) di dalam keadaan lehernya terikat, tetapi khalifah Umar dan kumpulannya telah memaksa Ali a.s memberi baiah kepada Abu Bakr di dalam keadaan lehernya terikat (Ibn Qutaibah,al-Imamah wa al-Siyasah, I, hlm.18-20, al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, iii, hlm.139; Abul-Fida, Tarikh,I, hlm. 159; al- Tabari, Tarikh ,III , hlm.159].
Perlakuan sedemikian adalah menyalahi Sunnah Nabi (S.a.w) yang bersifat lembut terhadap Ali a.s dan melantiknya sebagai khalifah selepasnya: Siapa yang telah menjadikan aku maulanya, maka Ali adalah maulanya” dan ia adalah sejajar dengan tuntutan Ali a.s terhadap jawatan khalifah. (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’al-Mawaddah, hlm.144, al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, vi, hlm.2180) Justeru itu,mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlus Sunnah Umar dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
19. Jika mereka Ahl al-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka diizinkan untuk mengerjakan solat jenazah ke atas Fatimah (a.s), tetapi khalifah Umar dan kumpulannya tidak diizinkan oleh Fatimah (a.s) untuk mengerjakan solat ke atasnya. Dia berwasiat kepada suaminya Ali a.s supaya Abu Bakr dan Umar tidak diizinkan mengerjakan solat ke atasnya. Kerana perbuatan mereka berdua yang menyakitkan hatinya,khususnys mengenai Fadak [Al-Bukhari, Sahih, VI, hlm.196; Ibn Qutaibah, al-Imamah Wa al-Siyasah, I, hlm.14; Abu l-Fida, Tarikh, I, hlm.159; al-Tabari, Tarikh, III, hlm.159]. Nabi (S.a.w) bersabda:" Sesungguhnya Allah marah kepada kemarahanmu (Fatimah) dan redha dengan keredhaanmu." [Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm.153; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm.219] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Abu Bakr dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
20. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengingkari kematian Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Umar telah mengingkari kematian Nabi (S.a.w). Dia tidak mengetahui bahawa kematian adalah harus bagi Nabi (S.a.w). Dia berkata: "Siapa yang mengatakan bahawa Nabi telah mati, aku akan membunuhnya dengan pedangku." Abu Bakar datang dan berkata kepadanya: "Tidakkah anda mendengar firman Allah (swt)(di dalam Surah al-Zumar (39):30, "Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)" dan firman-Nya (di dalam Surah Ali Imran (3):144), "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sesungguhnya telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Maka Umar pun berkata: "Aku yakin dengan kematiannya seolah-olah aku tidak mendengar ayat-ayat tersebut."[al-Syarastani, al-Milal, I, hlm. 23; al-Bukhari, Sahih, VII, hlm. 17]
Bagaimana khalifah Umar berkata: "Kitab Allah adalah cukup bagi kita" ketika dia menegah Nabi (S.a.w) dari menulis wasiatnya di mana ummat tidak akan sesat selama-lamanya, sedangkan dia tidak mengetahui ayat-ayat tersebut sehingga Abu Bakar datang dan membacakan kepadanya? Dan tindakan Umar yang tidak mempercayai kewafatan Nabi (S.a.w) tidak boleh difahami sebagai kasihnya yang teramat sangat kepada Nabi (S.a.w). Kerana dia telah berkata bahawa Nabi (S.a.w) sedang meracau dan Kitab Allah adalah cukup bagi kita. Lalu dia menegah Nabi (S.a.w) dari melaksanakan apa yang dikehendakinya. [al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, II, hlm. 69]
Dan kata-kata Abu Bakar pula menyokong pendapat Umar. Dia berkata:"Siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati." Ini bererti wahai orang yang bermegah ke atas kami dengan Muhammad, habislah mereka kerana peranannya sudah selesai. Kitab Allah adalah cukup bagi kita kerana ianya hidup. Persoalan yang timbul "Adakah kaum Muslimin pada masa itu menyembah Muhammad?" Tidak, mungkin ini adalah satu sindiran kepada Bani Hashim secara umum dan Ali bin Abi Talib secara khusus.
Kerana mereka bermegah dengan Muhammad. Nabi (S.a.w), dari kalangan mereka. Dan merekalah keluarganya, dan orang yang paling berhak daripada orang lain, kerana mereka lebih mengetahuikedudukan Nabi (S.a.w). Atau adakah tindakan Umar yang ingin membunuh siapa sahaja yang berkata Muhammad telah mati itu merupakan tindakan politik sehingga dia dapat melambat-lambatkan kepercayaan kaum Muslimin bahawa Nabi (S.a.w) telah mati. Dan dengan ini perancanaannya dapat dilaksanakan sehingga segala-galanya diatur dengan baik. Sejurus kemudian dia diberitahu secara sulit bahawa perdebatan di Saqifah sedang berlaku. Lantas dia, Abu Bakar dan Abu Ubaidah meninggalkan jenazah Nabi (S.a.w) menuju Saqifah tanpa diketahui oleh Bani Hasyim. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
21. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang mahar (mas kahwin) yang tinggi, tetapi Khalifah Umar telah melarang mahar (mas kahwin) yang tinggi. Dia berkata: Sesiapa yang menaikkan mahar anak perempuannya, aku akan mengambilnya dan menjadikannya milik Baitulmal. Sunnah Umar telah ditentang oleh seorang wanita lalu dia membaca firman Tuhan di dalam Surah al-Nisa' (4):20 "Sekiranya kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali barang sedikitpun. Umar menjawab: "Orang ramai lebih alim daripada Umar sehingga gadis-gadis sunti di rumah-rumah. "[Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, II, hlm. 175; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm. 133) Kata-kata Umar itu tidak boleh difahami sebagai tawaduk, kerana ia melibatkan hukum Allah SWT. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
22. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengharamkan haji tamattu', tetapi Khalifah Umar telah mengharamkan haji tamattu'. Ianya bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) yang tidak pernah mengharamkannya [Ibn Kathir, Tafsir, I, hlm. 233; al-Bukhari, Sahih, VII, hlm. 33] . Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
23. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka melaksanakan hukum had ke atas Mughirah bin Syu'bah yang dituduh berzina dengan Umm Jamil, tetapi Khalifah Umar tidak melaksanakan hukum had ke atas Mughirah bin Syu'bah yang dituduh berzina dengan Umm Jamil isteri kepada Hajaj bin Atiq bin al-Harith bin Wahab al- Jusyami dengan berkata: Aku sedang melihat muka seorang lelaki di mana Allah tidak akan mencemarkan lelaki Muslim dengannya." Maka saksi tersebut tidak memberikan penyaksiannya yang tepat kerana mengikut kehendak Umar. Di dalam riwayat yang lain Umar memberi isyarat kepada saksi yang keempat supaya tidak memberika keterangan yang tepat. Keempat orang saksi tersebut telah memberi penyaksian yang tepat semasa mereka di Basrah.
Tetapi Umar mengadakan pengadilan yang kedua di Madinah. Apabila saja saksi yang keempat tidak memberikan penyaksian yang tepat sebagaimana diberikannya di Basrah, maka Umar pun melakukan had ke atas tiga saksi tersebut. Seorang saksi bernama Abu Bakar berkata: Demi Allah, Mughirah telah melakukannya. Umar ingin mengenakan had ke atasnya kali kedua. Ali a.s berkata: Jika anda melakukannya maka rejamlah al-Mughirah bin Syu'bah tetapi dia enggan melakukannya. "[Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 448; Ibn Hajr, al-Isabah, III, hlm. 452; Ibn Athir, Usd al-Ghabah, IV, hlm. 407; al- Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm. 88] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
24. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengintai satu kumpulan di rumah mereka di waktu malam dengan memasukinya melalui pintu belakang tanpa salam, tetapi Khalifah Umar mengintai satu kumpulan di rumah mereka di waktu malam dengan memasukinya melalui pintu belakang tanpa salam. Kelakuannya itu adalah menyalahi firman-Nya di dalam Surah al-Hujurat (49):12: "Dan janganlah kamu mengintai-intai atau mencari-cari kesalahan orang lain."Dan firmanNya di dalam Surah al-Baqarah (2):189:"Dan masukilah rumah-rumah itu melalui pintu-pintunya." Dan firmanNya di dalam Surah al-Nur (24):27: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya."
Lantaran itu tindakannya adalah bertentangan dengan ayat-ayat tersebut.[al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, VI, hlm.93; al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VIII, hlm. 334] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
25. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memerintahkan supaya di rejam seorang wanita gila, tetapi Khalifah Umar telah memerintahkan supaya di rejam seorang wanita gila (yang berzina). Maka Ali (a.s) memperingatkannya dan berkata:"Qalam diangkat daripada orang gila sehingga dia sembuh."Umar pun berkata:"Sekiranya tidak ada Ali, nescaya binasalah Umar. "[Ibn Abd al- Birr, al-Isti'ab, III, hlm. 39; al-Tabari, Dhakhair al-Uqba, hlm. 80] Justeru itu. mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
26. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka membenarkan orang Islam yang bukan Arab mewarisi pusaka keluarga mereka melainkan mereka dilahirkan di negeri Arab, tetapi Khalifah Umar tidak membenarkan orang Islam yang bukan Arab mewarisi pusaka keluarga mereka melainkan mereka dilahirkan di negeri Arab.
[Malik, al-Muwatta, II, hlm.12] Oleh itu ijtihad Umar adalah bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w) yang tidak membezakan seseorang melainkan dengan takwa dan ianya juga mengandungi sifat asabiyah sebagaimana firman-Nya di dalam Surah al-Hujurat (49):10: "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara." Dan Nabi (S.a.w) bersabda: "Tidak ada kelebihan orang Arab ke atas bukan Arab melainkan dengan taqwa." [Al-Haithami, Majma'al-Zawa'id, III, hlm. 226]
Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
27. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengadakan korban (penyembelihan), tetapi Khalifah Umar tidak pernah mengadakan korban (penyembelihan) kerana khuatir kaum Muslimin akan menganggapnya wajib. [al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, IX, hlm. 265; Syafi'i, al-Umm, II, hlm. 189] Sunnahnya adalah bertentangan dengan al- Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w)yang menggalakkan amalan tersebut.
Dan kaum Muslimin sehingga hari ini mengetahui ianya adalah sunat. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
28. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui tentang al-Qur'an, hukum halal-haram dan masalah pusaka, tetapi Khalifah Umar mengakui bahawa dia tidak mengetahui tentang al-Qur'an, hukum halal-haram dan masalah pusaka. Dia berkata: "Siapa yang ingin bertanya tentang al-Qur'an, maka hendaklah dia bertanya kepada Ubayy bin Ka'ab. Sesiapa yang ingin mengetahui halal dan haram, maka hendakah dia bertanya kepada Muadh bin Jabal.
Sesiapa yang ingin mengetahui tentang ilmu faraidh, hendaklah dia bertanya kepada Zaid bin Thabit. Dan siapa yang ingin meminta harta maka hendaklah dia datang kepadaku kerana akulah penjaganya. [al- Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 271; Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, hlm. 223; al-Baihaqi, al-Sunan, VI, hlm. 210] Ketiga-tiga ilmu tersebut dikuasai oleh orang lain. Dia hanya penjaga harta. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
29. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang kaum Muslimin memakan daging dua hari berturut-turut, tetapi Khalifah Umar melarang kaum Muslimin memakan daging dua hari berturut-turut. Dan dia telah memukul seorang lelaki yang melakukannya dengan cemeti. [al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, V, hlm. 161; Ibn al-Jauzi, Sirah Umar, hlm. 68] Tindakan khalifah Umar adalah bertentangan dengan firman Tuhan di dalam Surah al-A'raf (7):32; "Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
30. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menakut-nakut dan menggertak seorang wanita supaya membuat pengakuan tentang perzinaannya, tetapi Khalifah Umar telah menakutnakut dan menggertak seorang wanita supaya membuat pengakuan tentang perzinaannya. Lalu wanita tersebut membuat pengakuannya.
Maka khalifah Umar memerintahkan supaya ia direjam. Lalu Ali (a.s) bertanya kepadanya: Tidakkah anda mendengar Rasulullah (S.a.w) bersabda: "Tidak dikenakan hukum had ke atas orang yang membuat pengakuan selepas ujian (bala') sama ada ia diikat, ditahan atau diugut? Oleh itu lepaskanlah dia.Maka Umar berkata: Wanita-wanita tidak terdaya untuk melahirkan seorang seperti Ali. Sekiranya Ali tidak ada nescaya binasalah Umar. [Fakhruddin al-Razi, al-Araba'ain, hlm. 466; al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 48; al-Tabari Dhakha'ir al- 'Uqba, hlm. 80] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
31. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui tempat untuk memulakan umrah, tetapi Khalifah Umar tidak mengetahui tempat untuk memulakan umrah. Kemudian dia berkata:"Tanyalah Ali."[al-Tabari di dalam Dhakha'ir al-Uqba, hlm. 89; al- Muhibb al-Tabari, al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm. 195] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
32. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membakar perpustakaan, tetapi Khalifah Umar telah memerintahkan supaya perpustakaan-perpustakaan di Iran dan Iskandariah dibakar atau dicampakkan buku-bukunya ke laut. Ditanya kenapa dia memerintahkannya. Dia menjawab: Allah telah memberikan kepada kita hidayah yang lebih baik daripada itu.
Perpustakaan-perpustakaan tersebut mengandungi banyak bukubuku ilmiah di dalam berbagai-bagai bidang ilmu pengetahuan seperti ilmu hisab, falak, hikmah, kedoktoran, dan lain-lain, tetapi khalifah Umar tidak menghargainya. [Ibn al-Nadim, al-Fihrist, hlm. 334; Ibn Khaldun, Tarikh, I, hlm. 32; Ibn al-Jauzi, Sirah al-Umar, hlm. 107] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
33. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memerintahkan supaya dipotong pokok bai'ah Ridhwan, tetapi Khalifah Umar memerintahkan supaya dipotong pokok bai'ah Ridhwan, kerana kaum Muslimin mengerjakan solat di bawah pokok tersebut bagi mengambil berkat. Apabila berita ini sampai kepada Umar dia memerintahkan supaya ianya dipotong. [Ibn Sa'd, Tabaqat al-Kubra, hlm.608; Ibn Jauzi, Sirah Umar, hlm. 107] Sepatutnya khalifah Umar menjaga pokok tersebut dengan baik sebagai satu peninggalan sejarah yang berharga. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
34. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengenakan zakat kuda, tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama mengenakan zakat kuda. Sunnhnya adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) : "Aku memaafkan kalian zakat kuda dan hamba." [al-Baladhuri, Ansab al-Asyraf, V, hlm.26; al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 30; Ahmad bin Hanbal; al-Musnad, I, hlm. 62; al-Sayuti, Tarikh al- Khulafa', I, hlm. 137]. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
35. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui hukum orang yang syak tentang rakaat solatnya, tetapi Khalifah Umar tidak mengetahui hukum orang yang syak tentang rakaat solatnya bagaimana hendak dilakukannya. Dia bertanya kepada seorang budak: Apabila seorang itu syak bilangan solatnya, apakah ia harus lakukan? Sepatutnya dia telah bertanya kepada Nabi (S.a.w) mengenainya. [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 190; al-Baihaqi, Sunan, II, hlm. 332]. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
36. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengharamkan memakai bauan (perfume) bagi orang yang mengerjakan haji sehingga mereka melakukan tawaf ifadhah, tetapi Khalifah Umar telah mengharamkan memakai bauan (perfume) bagi orang yang mengerjakan haji sehingga mereka melakukan tawaf ifadhah. Ijtihadnya adalah menyalahi Sunnah Rasulullah di mana Aisyah berkata: Aku meletakkan bauan ke atas Rasulullah (S.a.w) sebelum beliau mengerjakan tawaf ifadhah. [Malik, al-Muwatta', I, hlm. 285; al- Turmudhi, Sahih, I, hlm. 173; al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 58; Muslim, Sahih, I, hlm. 330]. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
37. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui faedah Hajr al-Aswad, tetapi Khalifah Umar tidak mengetahui faedah Hajr al-Aswad. Dia berkata: Hajr al-Aswad tidak memberi sebarang faedah dan kemudharatan." Sekiranya dia tidak melihat Rasulullah (S.a.w) mengucupnya, nescaya dia tidak mengucupnya. Kata-kata Khalifah Umar tersebut adalah menyalahi Sunnah Rasulullah (S.a.w), beliau bersabda: "Hajr al-Aswad diturunkan dari Syurga warnanya putih seperti susu. Tetapi ianya bertukar menjadi hitam disebabkan dosa manusia." Dan sabdanya lagi: "Demi Allah.Dia akan membangkitkannya di Hari Kiamat, ianya mempunyai dua mata dan satu lidah yang akan bercakap dan memberi penyaksian kepada orang yang telah mengucupnya". [al-Turmudhi, Sahih, I, hlm. 180; al-Nasa'i, Sahih, II, hlm. 37; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, II, hlm. 3]. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
38. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka memberi khums kepada kerabat Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Umar tidak memberi khums kepada kerabat Nabi (S.a.w) . Sunnah Umar adalah menyalahi firman-Nya dalam Surah al-Anfal 8:41 dan berlawanan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) [al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, II, hlm. 127; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 248]. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
39. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berkata bahawa memukul isteri tidak akan dikenakan dosa, tetapi Khalifah Umar berkata bahawa memukul isteri tidak akan dikenakan dosa. Dia mengaitkan kata-kata ini dengan Rasulullah(S.a.w). [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 20], sebenarnya ianya bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah an-Nahl 16:90: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allahmelarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan". Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
40. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang hadis "khabar gembira" bahawa setiap orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat dengan yakin, akan masuk syurga. Tetapi Khalifah Umar melarang hadis "khabar gembira" bahawa setiap orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat dengan yakin, akan masuk syurga. Kerana dia khuatir kaum Muslim hanya mengucap dua kalimah syahadat kemudian meninggalkan amalan lain. Dia berkata kepada Rasulullah (S.a.w) : Adakah anda mengutuskan Abu Hurairah dengan khabar tersebut? Rasulullah menjawab:Ya. Umar berkata kepada Rasulullah (S.a.w): "Janganlah anda melakukannya". [Ibn al- Jauzi, Sirah Umar, hlm. 38; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, III, hlm. 108]. Sepatutnya dia tidak melarang Nabi (S.a.w) untuk melakukannya. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
41. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui apakah bacaan Nabi (S.a.w) di dalam solat Hari Raya, tetapi Khalifah Umar tidak mengetahui apakah bacaan Nabi (S.a.w) di dalam solat Hari Raya. [Muslim, Sahih, I, hlm, 242; Abu Daud, Sunan, I, hlm. 180; Malik, al-Muwatta', I, hlm. 147; Ibn Majah, Sunan, I, hlm. 388; al- Turmudhi, Sahih, I, hlm. 106; al-Nisa'i, Sahih, III, hlm. 184]. Sepatutnya dia mengetahui surah-surah yang dibaca oleh Nabi (S.a.w) di dalam solat Hari Raya. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
42. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang kaum Muslimin berpuasa pada bulan Rajab, tetapi Khalifah Umar melarang kaum Muslimin berpuasa pada bulan Rajab. Dia berkata: "Apa itu bulan Rajab? Bulan Rajab hanya bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Jahiliyah. Dan apabila datang agama Islam, ianya ditinggalkan. Sebenarnya Khalifah Umar tidak mengetahui kelebihan bulan Rajab. Ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulllah (S.a.w) yang menggalakkan setiap Muslim supaya berpuasa tiga hari pada setiap bulan, termasuk bulan Rajab. [al- Bukhari, Sahih, III, hlm. 215; Muslim, Sahih, I, hlm. 318; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 326; Abu Daud, Sunan, I, hlm. 381] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
43. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka telah membunuh Dzu al-Thadyah (ketua Khawarij), tetapi Khalifah Umar tidak membunuh Dzu al-Thadyah (ketua Khawarij) sedangkan Rasulullah (S.a.w) telah memerintahkannya supaya membunuhnya. Dia berkata: Bagaimana aku membunuh lelaki yang sedang sujud?" Kemudian Rasulullah (S.a.w) bertanya lagi: Siapa lagi yang akan membunuhnya? Ali menjawab: Aku." Nabi (S.a.w) bersabda: "Sekiranya anda mendapatinya.
Ali pun pergi tetapi tidak mendapatinya. Nabi (S.a.w) bersabda: "Sekiranya lelaki itu dibunuh, tidak akan ada dua lelaki yang berselisih faham." [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, III, hlm. 15] Sepatutnya Khalifah Umar membunuhnya tanpa mengambil kira keadaannya kerana Rasulullah (S.a.w) telah memerintahkannya, tetapi dia menggunakan ijtihadnya bagi menyalahi Sunnah Rasulullah (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
44. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka boleh memahami ungkapan-ungkapan yang tinggi, tetapi Khalifah Umar tidak boleh memahami ungkapan-ungkapan yang tinggi. Dia bertanya kepada seorang lelaki: Bagaimana keadaan anda? Lelaki itu menjawab: Aku adalah di kalangan orang yang mencintai fitnah, membenci al-Haqq dan memberi penyaksian kepada orang yang tidak dilihat."Lalu dia memerintahkan supaya lelaki itu ditahan. Maka Ali a.s menyuruh supaya ianya dilepaskan seraya berkata: Apa yang diucapkan oleh lelaki itu adalah benar. Umar berkata: Bagaimana anda dapat mengatakan ianya benar? Ali (a.s) menjawab: Dia mencintai harta dan anak sebagaimana firman-Nya di dalam Surah al-Anfal(8):28: "Dan ketahuilah, bahawa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah." Dan dia membenci kematian maka ia adalah al-haqq. Dan dia memberi penyaksian bahawa Muhammad adalah Rasulullah sekalipun dia tidak melihatnya.Kemudian Umar memerintahkan supaya ia dilepaskan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah, hlm.46].
Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
45. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menjatuhkan airmuka Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Umar telah menjatuhkan airmuka Nabi (S.a.w) di hadapan Musyrikin yang datang berjumpa Nabi (S.a.w) supaya mengembalikan hamba-hamba mereka yang lari dari mereka. Musyrikin berkata: Hamba-hamba kami telah datang kepada anda bukanlah kerana mereka cinta kepada agama, tetapi mereka lari dari menjadi milik kami dan harta kami. Justeru itu, kembalilah mereka kepada kami. Lebih-lebih lagi kami adalah jiran anda dan orang yang membuat perjanjian damai dengan anda.Walau bagaimanapun Rasulullah (S.a.w) tidak mahu menyerahkan hambahamba tersebut kepada mereka kerana khuatir mereka akan menyiksa hamba-hamba tersebut, tetapi beliau tidak mahu mendedahkan hakikat ini kepada mereka. Lalu Rasulullah (S.a.w) bertanya kepada Umar. Maka Umar menjawab: Benar kata-kata mereka itu wahai Rasulullah. Mereka itu adalah jiran kita dan mereka telah membuat perjanjian damai dengan kita. Maka muka Nabi (S.a.w) berubah kerana jawapannya menyalahi apa yang dikehendaki oleh Nabi (S.a.w). [Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm.155; al-Nasa'i, al-Khasa'is, hlm. 11] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
46. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menjadikan mahar wanita berkahwin sebelum tamat iddahnya untuk Baitulmal, tetapi Khalifah Umar menjadikan mahar wanita berkahwin sebelum tamat iddahnya untuk Baitulmal. Kemudian dia memisahkan pasangan tersebut dan berkata: Nikah adalah haram, mahar adalah haram dan kedua-duanya tidak boleh berkahwin lagi. Ali berkata: Sekiranya lelaki itu tidak mengetahuinya, wanita tersebut berhak mengambil maharnya dan dipisahkan pasangan tersebut. Dan apabila tamat ‘iddahnya dia menjadi peminangnya. Di dalam ertikata yang lain dia hendaklah menyempurnakan iddahnya yang pertama kemudian menyempurnakan pula iddahnya yang kedua. Lalu Umar berkata: Kembalikan" "kejahilan" kepada Sunnah. [Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 441; al-Tabari, Dhakha'ir al-'Uqba, hlm. 81]
Persoalan yang timbul ialah kenapakah dia menjadikan mahar hal Baitulmal dan bukan hak wanita tersebut dan kenapakah dia mengharamkan wanita tersebut ke atas lelaki tersebut? Manakah ayat atau Sunnah yang membolehkan khalifah Umar melakukan sedemikian? Oleh itu ijtihadnya adalah menyalahi al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
47. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mempelajari Surah al-Baqarah di dalam masa yang singkat,apatah lagi jika seorang itu seorang pemimpin, tetapi Khalifah Umar telah mempelajari Surah al-Baqarah selama dua belas tahun. Dan apabila dia selesai mempelajarinya (khatam), dia menyembelih beberapa ekor unta.[al-Qurtubi, Ahkam al-Qur'an, I, hlm. 34; al-Durr al-Manthur, I, hlm. 21] Oleh itu untuk mempelajari kesemua al-Qur'an dia memerlukan kepada masa yang lebih lama. Ini sebelum khalifah Umar menjadi seorang yang pelupa, kadangkala dia melupai bilangan raka'at sembahyang, lalu dia menyuruh seorang lelaki berdiri di hadapannya bagi memberikan isyarat kepadanya supaya dia berdiri ataupun rukuk, kemudian dia melakukannya. [Ibn Jauzi, Sirah Umar , hlm. 135; Ibn Abi l-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, III, hlm. 110] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w). malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
48. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menjadikan "enam jengkal" sebagai ukuran baligh, tetapi Khalifah Umar telah menjadikan "enam jengkal" sebagai ukuran baligh. Dia berkata: Sekiranya kalian mendapati budak lelaki yang mencuri itu setinggi enam jengkal (sittah asybar) genap, maka kalian potonglah tangannnya, jika tidak tinggallah dia."
Di riwayatkan daripada Sulaiman bin Yasar, Sesungguhnya Umar mendatangi seorang budak lelaki yang telah mencuri, lalu dia mengukur budak tersebut, tetapi ianya tidak mencukupi enam jengkal tepat lalu ditinggalkannya."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, I, hlm. 116] Oleh itu sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w) yang menetapkan baligh melalui ihtilam (mimpi) dan tumbuh bulu di kemaluan.[al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, V, hlm. 54- 55].Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
49. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menyesali menjadi seorang manusia, tetapi Khalifah Umar telah menyesali menjadi seorang manusia.Dia berkata:"Alangkah beruntungnya jika aku menjadi seekor kambing keluargaku. Mereka menggemukkan aku seperti yang mereka suka. Kemudian aku menjadi makanan kepada orang yang menyukainya. Mereka menghiris sebahagian dariku dan memanggang sebahagian yang lain. Kemudian mereka memakan aku dan mereka mengeluarkan aku sebagai najis dan aku tidak menjadi manusia lagi."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VI,hlm. 345; Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah, III, hlm. 131; Abu Nu'im, Hilyah al-Auliya', I, hlm. 52]
Sepatutnya khalifah Umar tidak mengeluarkan kata-kata tersebut kerana ianya bertentangan dengan Surah al-Tin (95):4: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."Dan jika dia benar seorang wali Allah kenapa dia menyesal menjadi manusia, sedangkan Allah telah memberi jaminan di dalam Surah Yunus (10):62: "Ingatlah, sesungguhnya walil-wali Allah itu tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati." Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
50. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mehentikan pemberian zakat kepada muallaf, tetapi Khalifah Umar telah mehentikan pemberian zakat kepada muallaf.[al-Suyuti, Tarikh al- Khulafa, hlm. 137 dan lain-lain. Tindakan ini adalah bertentangan dengan al-Qur'an Surah al-Taubah (4):60, "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untukorang-orang faqir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya...." Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w) malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
51. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memohon keizinan 'Aisyah supaya ianya disemadikan di sisi Rasulullah (S.a.w), tetapi Khalifah Umar memohon keizinan 'Aisyah supaya ianya disemadikan di sisi Rasulullah (S.a.w), lalu 'Aisyah menyetujui permohonannya.[al-Bukhari, Sahih, V, hlm. 266] Persoalannya kenapakah dia memohon izin daripada 'Aisyah? Adakah 'Aisyah menerima pusaka Rasulullah (S.a.w)? Dimana kata-kata "Kami para Nabi tidak meninggalkan pusaka? Jika beliau meninggalkan pusakanya tidakkah pewaris-pewaris anak perempuannya lebih berhak daripada 'Aisyah kerana saham 'Aisyah hanya sepersembilan daripada seperlapan? Nampaknya khalifah Umar sudah tidak mempercayai katakata" Kami para Nabi tidak meninggalkan pusaka." Lantas dia memohon izin daripada 'Aisyah. Sepatutnya dia memohon izin dari pewaris-pewaris Fatimah (a.s) yang mempunyai hak yang lebih banyak daripadanya. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
52. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak gelisah dan takut bagi menghadapi Allah (swt), tetapi Khalifah Umar mengakui kegelisahan dan ketakutannya bagi menghadapi Allah (swt). Ibn Abbas berkata kepadanya selepas dia ditikam Wahai Amiru l - Mukminin tidakkah anda telah bersahabat dengan Rasulullah dan persahabatan anda dengannya adalah baik. Kemudian beliau meninggalkan anda di dalam keadaan redha terhadap anda. Kemudian anda bersabahat pula dengan Abu Bakar, maka persahabatan anda dengannya adalah baik, dia meninggalkan anda di dalam keadaan reda terhadap anda.
Kemudian anda bersahabat dengan sahabat-sahabat mereka, maka persahabatan anda adalahbaik dan sekiranya anda meninggalkan mereka, maka mereka meredhai anda."Umar menjawab: "Adapun apa yang andasebutkan tadi tentang persahabatan dengan Rasulullah dan keredhaannya, ianya merupakan satu kurniaan daripada Allah (swt) yang dilimpahkan kepadaku. Adapun apa yang anda sebutkan tentang persahabatan dengan Abu Bakar dan keredhaannya, maka ianya juga satu kurniaan daripada Allah (swt) yang dilimpahkan kepadaku. Tetapi apa yang anda lihat tentang kegelisahan dan ketakutanku adalah kerana anda dan para sahabat anda. Demi Allah sekiranya aku mempunyai segunung emas, nescaya aku menebus diriku dengannya dari azab Allah sebelum aku menemui-Nya." [al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 201] Sikap sedemikian telah diterangkan oleh Allah SWT di dalam Surah Yunus (10):54:"Dan kalau setiap diri yang zalim itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu..."
Dan sekiranya dia seorang wali Allah, dia tidak perlu khuatir dengan azab Allah (swt). Kerana Dia berfirman di dalam Surah Yunus (10): 62: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati iaitu orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimatkalimat Allah yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."
Pengakuan sedemikian telah dilakukan juga oleh khalifah Abu Bakar, al-Barra bin 'Azib, 'Aisyah dan Anas bin Malik. Al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 74 meriwayatkan bahawa Anas bin Malik berkata: Tidak ada suatupun yang aku ketahui di zaman Nabi (S.a.w) lebih baik dari sembahyang (solat). Dia berkata: Tidakkah kalian telah menghilangkan sesuatu padanya? Dan al- zuhuri berkata: Aku berjumpa Anas bin Malik di Damsyik ketika itu dia sedang menangis.
Aku bertanya kepadanya: Apakah yang menyebabkan anda menangis? Dia menjawab: Aku tidak mengetahui sesuatupun selain dari sembahyang (solat) itupun telah dihilangkan." Al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 154 dan Muslim, Sahih, I, hlm. 260, meriwayatkan bahawa khalifah Uthman dan 'Aisyah telah mengubah Sunnah Rasulullah (S.a.w) mengenai sembahyang. Kerana mereka mengerjakan sembahyang empat rakaat (itmam) di Mina sedangkan Rasulullah (S.a.w) mengerjakan sembahyang dua rakaat (qasr) di Mina. Al-Bukhari juga di dalam Sahihnya,I, hlm. 122 meriwayatkan daripada Abi Sa'id al-Khudri, dia berkata: "Rasulullah (S.a.w) keluar sembahyang di hari Aidilfitri dan Aidiladha ke masjid, kemudian beliau berjumpa dengan orang-orang di barisan depan. Kemudian beliau mulai berkhutbah menasihati mereka, menyuruh mereka atau menyelesaikan isu-isu semasa. Dan selepas itu beliaupun pergi. "Abu Sa'id berkata: "Cara demikian berterusan sehingga pada suatu hari aku keluar bersama Marwan gabenor Madinah pada masa itu, ke masjid yang mempunyai mimbar yang dibina oleh Kathir bin al-Salt.
Marwan terus menuju ke mimbar tersebut sebelum bersembahyang. Kemudian aku menarik kainnya, tetapi dia menolakku dan terus ke mimbar dan memberi khutbah kepada orang ramai sebelum dia bersembahyang. Maka akupun berkata kepadanya: Demi Allah, kalian telah mengubah Sunnah Rasulullah. Dia menjawab: Wahai Abu Sa'id, apa yang anda ketahui telah hilang begitu sahaja.Aku menjawab:Apa yang aku ketahui adalah lebih baik, demi Allah, daripada apa yang aku tidak mengetahuinya. Marwan berkata: Orang ramai tidak akan duduk mendengar khutbah kita selepas sembahyang. Justeru itu, aku jadikannya (khutbah) sebelum sembahyang."
Oleh itu pengakuan-pengakuan tersebut membuktikan bahawa sahabat bukan semuanya adil. Malah ada yang mengubah Sunnah Rasulullah (S.a.w). Dan mungkin inilah yang membuatkan mereka merasa khuatir terhadap azab Allah (swt). Dan mereka mengakui bahawa tidak ada keistimewaan menjadi sahabat Rasulullah (S.a.w) jika mereka mengubah Sunnahnya pula. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
53. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berhasrat untuk melantik Salim hamba Abu Huzaifah, tetapi Khalifah Umar berhasrat untuk melantik Salim hamba Abu Huzaifah menjadi khalifah sekiranya ia masih hidup. Oleh itu kata-katanya adalah bertentangan dengan kata-katanya yang menyokong Abu Bakar di Saqifah. Para imam mestilah daripada Quraisy kerana Salim adalah seorang hamba dan dia bukanlah daripada Quraisy.[Ibn Qutaibah, al- Imamah wal-Siyasah, I, hlm.19]. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
54. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w) nescaya mereka tidak menghukum rejam ke atas wanita yang mengandung selama enam bulan, tetapi Khalifah Umar telah menghukum rejam ke atas wanita yang mengandung selama enam bulan, kemudian melahirkan anak.Lalu Ali (a.s) membantahnya dan membacakan firman Allah (swt) di dalam Surah al-Ahqaf (46):15: Ibunya mengandungkannya sampai menyusunya adalah tiga puluh bulan" dan firmanNya di dalam Surah Luqman (31):14:"Penyusuannya selama dua tahun."
Oleh itu "mengandung" sekurang-kurangnya ialah enam bulan dan penyusuannya ialah selama dua tahun. Kemudian Umar menarik balik hukumannya dan berkata: "Sekiranya tidak ada Ali, nescaya binasalah Umar. [al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, I, hlm. 288; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm. 96; al-Tabari, Dhakha'ir al-Uqba, hlm. 82, dan lain-lain]. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
55. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengenakan hukum had ke atas Ja'dah dari Bani Sulaim tanpa saksi yang mencukupi, tetapi Khalifah Umar telah mengenakan hukum had ke atas Ja'dah dari Bani Sulaim tanpa saksi yang mencukupi. Dia memadai dengan sepucuk surat yang mengandungi syair mengenai perzinaannya yang dihantar oleh Buraid. [Ibn Sa'd, Tabaqat, III, hlm. 205] Lantaran itu ijtihadnya adalah bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah (S.a.w) yang memerlukan empat orang saksi atau pengakuan secara sukarela. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
56. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mempunya sifat keberanian yang unggul dan tidak lari di dalam peperangan, tetapi Khalifah Umar telah lari di dalam peperangan Uhud, Hunain, dan Khaibar.[al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 46; al-Hakim, al- Mustadrak, III, hlm.37; al-Dhahabi, al-Talkhis, III, hlm. 37 dan lain-lain] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
57. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengambil separuh dari harta kekayaan gabenor-gabenornya kerana dia mengesyaki mereka melakukan pecah amanah terhadap Baitulmal, tetapi Khalifah Umar telah mengambil separuh dari harta kekayaan gabenor-gabenornya kerana dia mengesyaki mereka melakukan pecah amanah terhadap Baitulmal. Persoalan yang timbul, sekiranya harta tersebut adalah hasil dari kecurian dari Baitulmal, maka ianya wajib dikembalikan kesemuanya, dan bukan dengan cara membahagi dua.
Dan mereka pula wajib dipecat daripada jawatan tersebut kerana mereka telah melakukan pecah amanah, tetapi khalifah Umar tidak memecat kesemua mereka. Dan sekiranya harta tersebut diusahakan oleh mereka melalui jalan yang halal seperti perniagaan atau seumpamanya, maka dia tidak harus mengambil daripada mereka. Kerana tidak halal mengambil harta seorang Muslim melainkan dengan keredaannya.
Malah dia telah mengambilnya daripada mereka secara paksaan.[Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjal-Balaghah, III, hlm. 163] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
58. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memaafkan gabenornya Muawiyah di Syam dari membahagi dua hartanya, tetapi Khalifah Umar telah memaafkan gabenornya Muawiyah di Syam dari membahagi dua hartanya. Sedangkan Muawiyah dikenali sebagai seorang yang mengambil harta Baitulmal Muslimin, tetapi sebaliknya mempertahankan kedudukannya dengan mengatakan bahawa dia adalah kisra Arab. Sedangkan Nabi (S.a.w) telah memarahinya dan bapanya. Sepatutnya dia tidak melantiknya sebagai gabenor di Syam kerana orang lain lebih layak daripadanya. [al-Tabari, Tarikh, XI, hlm. 357] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
59. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memerintahkan rejam wantia yang sedang hamil kerana melakukan zina, tetapi Khalifah Umar telah memerintahkan rejam wantia yang sedang hamil kerana melakukan zina. Ali (a.s) membantahnya dan berkata: Sekiranya anda mempunyai kuasa ke atasnya tetapi anda tidak mempunyai kuasa ke atas janinnya. Kemudian Umar berkata: Setiap orang adalah lebih alim daripadaku. [al-Tabari, Dhakha'ir al-Uqba, hlm. 81] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
60. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menjalankan hukum had kali kedua ke atas satu kesalahan yang yang dilakukannya, tetapi Khalifah Umar telah menjalankan hukum had ke atas Abdu r-Rahman pada kali kedua kerana meminum arak. Sebenarnya Umru bin al-'As telah menjalankan hukum had keatasnya di Mesir dan disaksikan oleh anaknya, Abdullah bin Umar, tetapi khalifah Umar tidak mengindahkannya. Kemudian dia memukulnya pada kali kedua: Abdu r-Rahman melaung meminta tolong sambil berkata: "Aku sedang sakit, demi Tuhan, anda (Umar) adalah pembunuhku." Dan selepas dia menjalankan had keatasnya dia menahannya pula selama sebulan, kemudian dia meninggal dunia. Sepatutnya dia tidak mengenakan had keatasnya pada kali kedua dan menunggu sehingga dia sembuh dari sakitnya serta tidak menahannya pula.[Ibn Abd Rabbih, al Aqd al-Farid, III, hlm. 470; al-Khatib, Tarikh Baghdad, VI, hlm. 450; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, III, hlm. 127] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
61. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui ilmu faraidh. Tetapi Khalifah Umar mengetahui ilmu faraidh. Dia berkata: Sesiapa yang ingin bertanya tentang ilmu faraidh, maka hendaklah dia bertanya kepada Zaid bin Thabit. Dan sesiapa yang ingin harta, hendaklah dia memohon kepadaku kerana aku adalah penjaganya."[al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 271; Abu Ubaid, Kitab al- Amwal, hlm. 223] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
62. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengharamkan nikah mut'ah, tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama mengharamkan nikah mut'ah.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 137] Kenyataanal-Suyuti bererti:
a) Nikah mut'ah adalah halal menurut Islam.
b) Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut'ah yang telah dihalalkan pada masa Rasulullah (S.a.w) khalifah Abu Bakar dan pada masa permulaan zaman khalifah Umar.
c) Umar mempunyai kuasa veto yang boleh memansuhkan atau membatalkan hukum nikah mut'ah sekalipun ianya halal di sisi Allah dan Rasul-Nya. Al-Suyuti seorang Mujaddid Ahlu s-Sunnah abad ke-6 Hijrah mempercayai bahawa nikah mut'ah adalah halal, kerana pengharamannya adalah dilakukan oleh Umar dan bukan oleh Allah dan RasulNya. Kenyataan al-Suyuti adalah berdasarkan kepada al-Qur'an dan kata-kata Umar sendiri.
Sebenarnya para ulama Ahlu s-Sunnah sendiri telah mencatat bahawa Umarlah yang telah mengharamkan nikah mut'ah sepertiberikut:
a) Al-Baihaqi di dalam al-Sunan, V, hlm. 206, meriwayatkan kata-kata Umar, Dua mut'ah yang dilakukan pada masaRasulullah (S.a.w), tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut'ahperempuan dan mut'ah haji.
b) Al-Raghib di dalam al-Mahadarat, II, hlm. 94 meriwayatkan bahwa Yahya bin Aktam berkata kepada seorang syaikh di Basrah: Siapakah orang yang anda ikuti tentang harusnya nikah mut'ah. Dia menjawab:
Umar al-Khatab. "Dia bertanya lagi, Bagaimana sedangkan Umarlah orang yang melarangnya. Dia menjawab: Mengikut riwayat yang sahih bahawa dia menaiki mimbar masjid dan berkata:Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah menghalalkan untuk kalian dua mut'ah tetapi aku aku mengharamkan kedua-duanya (mut'ah perempuan dan mut'ah haji). Maka kami menerima kesaksiannya tetapi kami tidak menerima pengharamannya."
c) Daripada Jabir bin Abdullah, dia berkata: "Kami telah melakukan nikah mut'ah dengan segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarang dan mengharamkannya dalam kes Umru bin Harith. [Muslim, Sahih, I, hlm. 395; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hlm.41; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al- Ummal, VIII, hlm.294]
d) Daripada Urwah bin al-Zubair, Sesungguhnya Khaulah bt. Hakim berjumpa Umar al-Khattab dan berkata: Sesungguhnya Rabiah bin Umaiyyah telah melakukan nikah mut'ah dengan seorang perempuan, kemudian perempuan itu mengandung, maka Umar keluar dengan marah dan berkata: "Sekiranya aku telah memberitahukan kalian mengenainya awal-awal lagi nescaya aku merejamnya."Isnad hadis ini adalah tsiqah, dikeluarkan oleh Malik di dalam al-Muwatta', II, hlm. 30; al-Syafi'i, al-Umm, VII, hlm. 219; al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 206]
e) Kata-kata Ali (a.s), "Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut'ah nescaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka."[al- Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140] Kata-kata Ali (a.s) ini menolak dakwaan orang yang mengatakan bahawa Ali telah melarang nikah mut'ah kerana beliau tidak memansuhkan ayat di dalam Surah al-Nisa' (4):24.
f) Daripada Ibn Juraij, daripada 'Ata' dia berkata: Aku mendengar Ibn Abbas berkata: Semoga Allah merahmati Umar, mut'ah adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad dan jika ia tidak dilarang (oleh Umar) nescaya seorang itu tidak perlu berzina melainkan orang yang celaka."[al-Jassas, al-Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 179; al-Zamakhshari, al- Fa'iq, I, hlm. 331;al-Qurtubi, Tafsir, V, hlm. 130]
Riwayat Ibn Abbas tersebut menafikan dakwaan orang yang mengatakan Ibn Abbas telah menarik balik kata-katanya mengenai mut'ah. Walau bagaimanapun halalnya mut'ah tidak berpandu kepada pendapat Ibn Abbas tetapi berpandu kepada Surah al-Nisa (4): 24 yang tidak dimansuhkan.
Di sini disebutkan nama-nama sahabat dan tabi'in yang telah mengamalkan nikah mut'ah atau mempercayai ia halal sepertiberikut:
1. Umran b. al-Hasin.
2. Jabir b. Abdullah.
3. Abdullah b. Mas'ud.
4. Abdullah b. Umar.
5. Muawiyah b. Abi Sufyan.
6. Abu Said al-Khudri.
7. Salman b. Umaiyyah b, Khalf
8. Ma'bad b. Umaiyyah.
9. al-Zubair bin al-Awwam yang mengahwini Asma' bt khalifah Abu Bakar secara mut'ah selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak lelaki bernama Abdullah da Urwah.
10. Khalid b. Muhajir.
11. Umru b. Harith.
12. Ubayy b. Ka'ab.
13. Rabi'ah b. Umaiyyah.
14. Said b. Jubair.
15. Tawwus al-Yamani.
16. 'Ata' Abu Muhammad al-Madani.
17. al-Sudi.
18. Mujahid.
19. Zufar b. Aus al-Madani.
20. Ibn Juraij.
21. Ali bin Abi Talib.
22. Umar b. al-Khattab sebelum dia mengharamkannya dan diakui lah anaknya Abdullah bin Umar.
Nama-nama tersebut adalah diambil dari buku-buku Hadis Ahlu s- Sunnah dan lain-lain di mana saya tidak memberi rujukan lengkap kerana kesempitan ruang, lihatlah umpamanya buku-buku sahih bab nikah mut'ah dan lain-lain.
Di sini diperturunkan pendapat-pendapat Ahlu s-Sunnah yang mengatakan nikah mut'ah telah dimansuhkan, kemudian, diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kembali. Ia mempunyai 15 pendapat yang berbeza-beza sepertiberikut:
1. Nikah mut'ah diharuskan pada permulaan Islam, kemudian Rasulullah (S.a.w) menegahnya di dalam Peperangan Khaibar.
2. Ia boleh dilakukan ketika darurat di masa-masa tertentu kemudian diharamkan pada akhir tahun Haji Wida'.
3. Ia diharuskan selama 3 hari sahaja.
4. Diharuskan pada tahun al-Autas kemudian diharamkan.
5. Diharuskan pada Haji Wida' kemudian ditegah semula.
6. Diharuskan, kemudian diharamkan pada masa pembukaan Mekah.
7. Ia harus, kemudiannya ditegah dalam Perang Tabuk.
8. Diharuskan pada pembukaan Mekah dan diharamkan pada hari itu juga.
9. Ia dihalalkan pada Umrah al-Qadha'.
10. Ia tidak pernah diharuskan di dalam Islam. Pendapat ini bertentangan dengan al-Qur'an, Sunnah Nabi (S.a.w), Ahlul Baytnya dan sahabat-sahabat.
11. Ia diharuskan kemudian dilarang pada Perang Khaibar kemudian diizin kembali pada masa pembukaan Mekah kemudian diharamkannya selepas tiga hari.
12. Diharuskan pada permulaan Islam kemudian diharuskan pada Perang Khaibar kemudian diharuskan pada Perang Autas, kemudian diharamkan.
13. Diharuskan pada permulaan Islam pada tahun Autas, pembukaan Mekah dan Umrah al-Qadha' dan diharamkan pada Peperangan Khaibar dan Tabuk.
14. Ia telah diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kemudian dimansuhkan.
15. Diharuskan 7 kali, dimansuhkan 7 kali, dimansuhkan pada Peperangan Khaibar, Hunain, 'Umra al-Qadha', tahun pembukaan Mekah, tahun Autas, Peperangan Tabuk dan semasa Haji Wida'.[al- Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 183; Muslim, Sahih, I, hlm. 394;Ibn Hajr, Fath al-Bari, IX, hlm. 138; al-Zurqani, Syarh al-Muwatta', hlm. 24]
Lihatlah bagaimana perselisihan pendapat telah berlaku tentang nikah mut'ah di mana mereka sendiri tidak yakin bilakah ia dimansuhkan atau sebaliknya. Walau bagaimanapun pendapatpendapat tersebut memberi erti bahawa hukum nikah mut'ah boleh dipermainkan-mainkan kerana ia mengandungi beberapa proses pengharusan dan pengharaman, oleh itu ianya tidak mungkin dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ianya telah dilakukan oleh al-Zubair bin al- Awwam dengan Asma' bt. khalifah Abu Bakar selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak mut'ah.
Sebenarnya pengharusan nikah mut'ah itu berasal daripada al- Qur'an, firman-Nya (Surah al-Nisa (4):24: "Maka isteri-isteri kamu yang kamu nikmati (mut'ah) di atas mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajipan." Menurut al-Zamakhsyari, ayat ini adalah Muhkamah, iaitu tidak dimansuhkan [al-Kasysyaf, I, hlm. 190] iaitu nikah mut'ah adalah halal.
Al-Qurtubi menyatakan, penduduk Mekah banyak melakukan nikah mut'ah [Tafsir,V, hlm. 132]. Fakhruddin al-Razi berkata:"Mereka berselisih pendapat tentang ayat ini, sama ada ia dimansuhkan ataupun tidak, tetapi sebahagian besar berpendapat ayat ini tidak dimansuhkan dan nikah mut'ah adalah harus. [Mafatih al-Ghaib, III, hlm. 200] Abu Hayyan berkata: Selepas menukilkan hadis yang mengharuskan nikah mut'ah, sekumpulan daripada Ahlu l- Bait dan Tabi'in berpendapat nikah mut'ah adalah halal. Ibn Juraij (w.150H)pula berpendapat bahawa nikah mut'ah adalah harus. Imam Syafi'I menegaskan bahawa Ibn Juraij telah bernikah mut'ah dengan 72 orang perempuan, sementara al- Dhahabi pula menyatakan Ibn Juraij telah bermut'ah dengan 90 orang perempuan.[Tadhib al-Tahdhib, VI, hlm. 408]
Perhatikanlah bahawa Ibn Juraij adalah seorang daripada Tabi'in dan imam masjid Mekah, telah berkahwin secara mut'ah dengan 90 orang perempuan dan dia juga telah meriwayatkan hadis yang banyak di dalam sahih-sahih Ahlu s-Sunnah seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain. Ini bererti kitab-kitab sahih tersebut telah dikotori (mengikut bahawa lawan) dan ia tidak menjadisahih lagi sekiranya orang yang melakukan nikah mut'ah itu dianggap penzina.
Ayat tersebut tidak dimansuhkan oleh Surah al-Mukminun ayat 6 dan Surah al-Ma'arij ayat 30, kerana kedua-dua ayat tersebut adalah Makkiyyah dan ayat Makkiyyah tidak boleh memansuhkan ayat Madaniyyah, begitu juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat al- Mirath (pusaka) kerana dalam nikah biasa sekalipun mirath tidak boleh berlaku jika si isteri melakukan nusyuz terhadap suaminya atau isterinya seorang kitabiyah. Sebagaimana juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat Talaq, kerana nikah mut'ah dapat ditalak (dapat dibatalkan) dengan berakhirnya masa. Ia juga tidak boleh dimansuhkan dengan hadis mengiku jumhur ulama.
Imam Zulfar berpendapat walaupun ditetapkan, tetapi ia tidak membatalkan akad nikah. Imam Malik pula mengatakan nikah mut'ah adalah harus hingga terdapatnya dalil yang memansuhkannya. Imam Muhammad al-Syaibani mengatakan nikah mut'ah adalah makruh. [al- Sarkhasi, al-Mabsut, V, hlm. 160] Demikianlah beberapa pendapat yang menunjukkan nikah mut'ah adalahharus tetapi ia diharamkan oleh khalifah Umar al-Khattab. Adapun syarat-syarat nikah mut'ah menurut Islam adalah sepertiberikut:
i. Mahar.
ii. Ajal (tempoh)
iii. Akad yang mengandungi ijab dan kabul dan ianya sah dilakukan secara wakil
iv. Perceraian selepas tamatnya tempoh
v. Iddah
vi. Sabitnya nasab (keturunan)
vii. Tidak sabitnya pusaka di antara suami dan isteri jika ia tidak syaratkan.
Inilah syarat-syarat nikah mut'ah mengikut Ahlu s-Sunnah dan Syiah dan inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabi'in. Adapun kata-kata bahawa 'nikah mut'ah boleh dilakukan dengan isteri orang' adalah satu pembohongan yang besar dan ianya menyalahi nas. Oleh itu para Imam Ahlul Bait (a.s) dan para ulama Syiah mengharamkannya. Disebabkan ijab sebarang nikah, sama ada nikah mut'ah ataupun da'im (biasa) adalah dipihak perempuan atau wakilnya, maka perempuan tersebut atau wakilnya mestilah mengetahui bahawa 'dia' bukanlah isteri orang, jika tidak, ia tidak boleh melafazkan ijab, "aku nikahkan diriku akan dikau dengan mas kahwinnya sebanyak satu ribu ringgit selama tiga tahun."Umpamanya lelaki menjawab: Aku terimalah nikah.
Imam Baqir dan Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) berkata bahawa pihak lelaki tidak wajib bertanya adakah si perempuan itu isteri orang atau tidak, kerana sudah pasti mengikut hukum syarak perempuan yang akan berkahwin mestilah bukan isteri orang. Jika didapati ia isteri orang maka nikah mut'ah atau nikah biasa itu adalah tidak sah. Walau bagaimanapun adalah disunatkan seorang itu bertanya keadaan perempuan itu sama ada masih isteri orang atau sebagainya.
Mengenai wali Ahlu s-Sunnah tidak sependapat sama ada wali adalah wajib bagi perempuan yang ingin berkahwin. Abu Hanifah umpamanya menyatakan wali adalah tidak wajib bagi janda dan anak dara yang sudah akil baligh dengan syarat ia berkahwin dengan seorang yang sekufu dengannya. [Malik, al-Muwatta', I, hlm. 183] Abu Yusuf dan al-Syaibani pula berpendapat wali adalah peru tetapi bapa tidak ada hak untuk memaksa anak perempuannya melainkan ia di bawah umur.[Ibn Hazm, al-Muhalla, hlm. 145]
Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) berpendapat wali tidak wajib dalam nikah kecuali bagi anak dara. Tetapi ia adalah digalakkan di dalam semua keadaan bagi penentuan harta dan keturunan.[al-Tusi, Tahdbib al- Ahkam, VII, hlm. 262]
Sebenarnya idea wali nikah menurut Imam Malik adalah dikaitkan dengan khalifah Umar al-Khattab yang diriwayatkan oleh Sa'id bin al-Musayyab, bahawa seorang tidak dibenarkan berkahwin tanpa kebenaran walinya atau keluarganya yang baik atau pemerintah [Sahnun, al-Mudawwannah al-Kubra, IV, hlm. 16] Mengenai saksi di dalam nikah, Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) tidak mewajibkan saksi di dalam nikah mut'ah atau nikah biasa, tetapi ia disunatkan berbuat demikian bagi pengurusan harta dan penentuan nasab keturunan.[al-Tusi, al-Istibsar, III, hlm. 148]
Tidak terdapat di dalam al-Qur'an ayat yang mewajibkan wali dan saksi di dalam nikah, umpamanya firman Allah dalam Surah al-Nisa (4):3....."maka kahwinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga dan empat." Ini bererti Allah tidak mewajibkan saksi dan wali di dalam perkahwinan kerana untuk memberi kemudahan kepada umat manusia tetapi Dia mewajibkan saksi di dalam perceraian, firman-Nya dalam Surah al-Talaq (65):2...."Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu."
Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) mengatakan bahawa dua saksi di dalam talak adalah wajib. Walau bagaimanapun beliau tidak menafikan bahawa saksi adalah digalakkan, lantaran itu hadis "Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi" adalah hadis yang lemah. Itulah nikah mut'ah yang dipercayai oleh mazhab Ja'fari dan ia adalah sama seperti yang dilakukan pada zaman Nabi (S.a.w) dan zaman sahabatnya, dengan penjelasan ini, semoga ianya dapat dibezakan di antara pelacuran dan nikah mut'ah.
Kesimpulannya, nikah mut'ah adalah halal sehingga Hari Kiamat berdasarkan Surah al-Nisa (4):24. Ia adalah ayat muhkamah yang tidak dimansuhkan, hanya khalifah Umar sahaja yang memansuhkan nikah mut'ah pada masa pemerintahannya. Oleh ituijtihadnya adalah menyalahi nas, dengan itu kata-kata al-Suyuti bahawa khalifah Umar adalah orang yang pertama mengharamkan nikah mut'ah adalah wajar dan menepati nas. Walau bagaimanapun saya sekali-kali tidak menggalakkan sesiapa pun untuk melakukannya walau di mana sekalipun. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
63. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengenakan had ke atas lelaki Badwi yang mabuk kerana meminum minuman Umar, tetapi Khalifah Umar mengenakan had ke atas lelaki Badwi yang mabuk kerana meminum minuman Umar. Lelaki itu berkata: Sesungguhnya aku minum dari minuman anda."Umar menjawab: Aku kenakan had ke atas anda kerana mabuk dan bukan kerana minuman (ku)." Kemudian dia menambahkan air ke dalam minuman tersebut lalu dia meminumnya selepas mengenakan had ke atas lelaki tersebut.[Ibn Abd Rabbih, al-Aqd al-Farid, III, hlm. 416; al- Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 565; al-Nasai, al-Sunan, VIII, hlm. 326] Dan sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w): Aku menegah kalian meminum minuman yang sedikit apabila banyaknya memabukkan."[al-Darimi, al-Sunan, II, hlm. 113; al-Nasai, al- Sunan, VIII, hlm. 301] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
64. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menghalalkan minuman keras al-Tala', tetapi Khalifah Umar menghalalkan minuman keras al-Tala' (jenis anggur yang diperah) apabila ianya direbus dan dihilangkan dua pertiganya.[al-Baihaqi, al- Sunan, VIII, hlm. 300; al-Nasai, al-Sunan, VIII, hlm. 329; al-Muttaqi al- Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm. 109; Malik, al-Muwatta',II, hlm. 180] Oleh itu ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w), "Setiap yang memabukkan adalah haram. [al-Turmidhi, Sahih, I, hlm. 324; al-Nasai, al-Sunan, VIII, hlm.300] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
65. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak meneruskan mengambil minuman keras (arak) setelah diterangkan Allah (swt) tentang kemudharatannya, tetapi Khalifah Umar masih meminum minuman keras (arak) pada masa Rasulullah (S.a.w) sehingga turunnya ayat di dalam Surah al-Maidah (5):91, "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)." Di dalam keseronokan mabuknya dia membaca beberapa bait syair antaranya: Katakan kepada Allah, adakah Dia menegahku dari minumanku? Katakan kepada Allah, adakah Dia akan menegahku dari makananku? Apabila sampai berita ini kepada Rasulullah ( S.a.w), beliau keluar di dalam keadaan marah lalu memukul Umar. Dan Umar berkata: "Aku mohon dengan Allah dari kemurkaan-Nya dan kemurkaan Rasul-Nya." Kemudian turunlah ayat di dalam Surah al-Maidah (5):91,"Umar berkata: "Kami telah menghentikannya, kami telah menghentikannya." Sepatutnya dia telah menghentikan amalan tersebut apabila ayat kedua dalam Surah al-Baqarah (2):219 tentang khamr (arak) diturunkan. Kerana ianya sudah cukup sebagai peringatan kepadanya sekalipun ianya bukanlah pengharaman sepenuhnya. Riwayat yang lain pula mengatakan bahawa Umar masih berada di dalam majlis arak, tiba-tiba seorang lelaki memberitahukan kepadanya bahawa ayat pengharaman arak secara Qat'i telah diturunkan. Lalu dia berkata: Kami telah menghentikannya. kami telah menghentikannya!" Sebenarnya majlis arak itu berlaku di kelab Abu Talhah. Ibn Hajr di dalam Fath al-Bari, X, hlm. 30, telah menyenaraikan nama-nama para sahabat yang terlibat di dalam majlis arak di kelab Abu Talhah seperti berikut:
1. Abu Bakar bin Abi Qahafah pada masa itu berumur 58 tahun.
2. Umar bin al-Khattab pada masa itu berumur 45 tahun.
3. Abu Ubaidah al-Jarrah pada masa itu berumur 48 tahun.
4. Abu Talhah Zaid bin Sahal, tuan kelab pada masa itu berumur 44 tahun.
5. Suhail bin Baidha', wafat setahun selepas peristiwa tersebut,kerana sakit tua.
6. Ubayy bin Ka'ab.
7. Abu Dujanah Samak bin Kharsyah.
8. Abu Ayyub al-Ansari.
9. Abu Bakar bin Syaghub.
10. Anas bin Malik sebagai pelayan mereka ( saqi al-Qaum) pada masa itu berumur 18 tahun.[al-Tabari, Tafsir, II, hlm. 203; Abu Daud,al- Sunan, II, hlm. 128; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 53; al-Nasa'i, al-Sunan, VIII, hlm. 287; al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 245; al- Hakim, al-Mustadrak, II, hlm. 278; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, I. hlm. 252; Ibn Hajr, fath al-Bari, X, hlm.30 dan lain-lain] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
66. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengenakan had tanpa menurut hukum syarak. Tetapi Khalifah Umar telah mengenakan had tanpa menurut hukum syarak. Seorang peminum arak dibawa kepadanya, lalu dia memerintahkan Muti' bin al-Aswad supaya melakukan hukuman had ke atasnya. Kemudian dia melihatnya memukulnya dengan pukulan yang kuat lalu dia berkata kepadanya: "Anda telah membunuh lelaki itu. Berapa kalikah anda telah memukulnya? Dia menjawab:" Enam puluh kali. Lalu Umar berkata: Jadikan dua puluh pukulan yang belum dilaksanakan itu sebagai menepati pukulan anda "yang kuat," maka jumlahnya cukup 80."Keduadua hukumannya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) yang menghukum peminum arak sebanyak 40 kali sebat.[al-Baihaqi, al- Sunan al-Kubra, VIII, hlm.317; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 137] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
67. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berkata: Sesiapa berkata aku seorang yang alim, maka dia adalah jahil , tetapi Khalifah Umar berkata: Sesiapa berkata aku seorang yang alim, maka dia adalah jahil dan sesiapa yang mengatakan dia mukmin maka dia adalah kafir."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, I, hlm. 103]
Kata-katanya yang pertama bertentangan dengan firman Tuhan di dalam Surah al-Zumar (39): 9: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui”{ (orang-orang jahil)?" Dan kedua, ianya bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah Ali Imran (3): 52: "Hawariyyun berkata: Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman (ammana) kepada Allah." Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
68. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka menggalakkan kaum Muslimin menziarahi Baitul Maqdis, tetapi Khalifah Umar tidak menggalakkan kaum Muslimin menziarahi Baitul Maqdis kerana khuatir mereka akan membuat Haji seperti di Mekah. Beliau memukul dua lelaki yang melintasi Baitul Maqdis.[al-Muttaqi al- Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm. 157], sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w) yang menggalakkan kaum Muslimin menziarahi atau beribadat pada tiga masjid. Rasulullah (S.a.w) bersabda:"Pengembaraan diharuskan pada tiga masjid, Masjid Haram, Masjid aku ini dan Masjid al-Aqsa'.[Ahmad bin Hanbal, al- Musnad, II, hlm. 234; Muslim, Sahih, I, hlm. 392; al-Nasai, al-Sunan, II,hlm. 37] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
69. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membentuk majlis syura yang aneh dan menakutkan, tetapi Khalifah Umar telah membentuk majlis syura yang aneh dan menakutkan. Dan ianya mesti ditamatkan dalam masa tiga hari dan dikawal oleh 50 orang tentera yang lengkap dengan senjata. Dia melantik enam orang; Sa'd bin Abu Waqas, Abdul Rahman bun Auf, Ali bin Abi Talib, Talhah bin Ubaidillah, al-Zubair bin al-Awwam dan Uthman bin Affan. Kemudian dia mencaci mereka dengan cacian-cacian yang tidak melayakkan mereka menjadi khalifah. Kemudian dia berkata: Jika seorang daripada mereka menentang dan lima bersetuju, maka bunuhlah dia. Jika dua menentang dan empat bersetuju maka bunuhlah kedua-duanya. Dan jika tiga menentang dan tiga tiga bersetuju maka pilihlah pihak yang ada Abdul Rahman bin Auf.[IbnQutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 24]
Perhatikanlah bagaimana Khalifah Umar menghalalkan darah Muslimin di dalam keadaan tersebut? Ini bererti jika Ali menentang, dia akan dibunuh. Oleh itu hukumannya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w). Tidak halal darah Muslim melainkan tiga perkara: Lelaki kafir selepas Islamnya, lelaki berzina selepas Ihsannya, membunuh tanpa hak.[Ibn Majah, al-Sunan, II, hlm. 110] Sistem syura yang diciptakan oleh Umar itu adalah untuk menjauhkan Ali (a.s) daripada menjadi khalifah seperti berikut:
1. Syura ini telah melahirkan permusuhan terhadap Ali (a.s). Talhah al- Tamimi adalah dari keluarga Abu Bakar yang telah memindahkan khalifah dari Ali (a.s). Abdul Rahman bin Auf adalah ipar Uthman, adalah di antara orang yang menentang Ali (a.s). Dan dia di antara orang yang cuba membakar rumah Ali (a.s) kerana keengganannya memberi bai'ah kepada Abu Bakar.Sa'd bin Abu Waqas adalah di antara orang yang dendam terhadap Ali (a.s) kerana ramai daripada bapa-bapa saudaranya telah dibunuh oleh Ali (a.s) kerana penyibaran Islam. Lantaran itu dia lewat memberi bai'ah kepada Ali (a.s). Dan Uthman ketua Bani Umaiyyah yang dikenali dengan permusuhan dan penentangan terhadap Bani Hasyim dan keluarga Rasul-Nya. Justeru itu syura telah diciptakan begitu rupa adalah semata-mata untuk menjauhkan Ali daripada jawatan khalifah.
2. Syura ini menjaukhkan Ali dari anasir-anasir yang membantunya di dalam pemilihan, kerana tidak seorang pun orang Ansar dipilih di dalam majlis syura tersebut. Perhatikanlah bagaimana khalifah Umar menjalankan politiknya yang halus supaya Ali tidak terpilih di dalam syura tersebut.
3. Syura menjadikan Abdu r-Rahman sebagai penentu apabila tiga bersetuju dan tiga lagi menentang. Apakah kelebihan Abdul Rahman bin Auf? Tidakkah dia berkata kepadanya: Ada adalah firaun umat ini?"[Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I,hlm. 24]
4. Syura melahirkan perebutan dan penentangan di kalangan anggotaanggotanya. Sa'ad bin Abu Waqas dan Abdul Rahman patuh kepada Uthman. Dan berlakulah sebagaimana yang berlaku. Justeru itu, mereka bukanlah Sunnah (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
70. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berhasrat untuk melantik Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai khalifah, tetapi Khalifah Umar berhasrat untuk melantik Abu Ubaidah bin al- Jarrah sebagai khalifah. Dia berkata: "Sekiranya Abu Ubaidah bin al- Jarrah masih hidup, nescaya aku melantiknya menjadi khalifah."[Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 23]
Kata-kata Khalifah Umar itu adalah bertentangan dengan hadishadis Rasulullah (S.a.w), di antaranya,"Ini Ali saudaraku, khalifahku, pewaris ilmuku."[al-Turmudhi al-Hanafi, al-Kaukab al-Duriyy, hlm. 134] Perhatikanlah bagaimana khalifah Umar tidak pernah terlintas di hatinya untuk melantik Ali (a.s) sebagai khalifah. Malah majlis syura yang dibentuk olehnya adalah semata-mata untuk menjauhkan Ali (a.s) dari jawatan tersebut dengan cara yang paling halus. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
71. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengubah nama kinayah "Abu Isa", tetapi Khalifah Umar telah mengubah nama kinayah "Abu Isa" (bapa Isa) yang diberikan oleh Rasulullah (S.a.w) kepada al-Mughirah bin Syu'bah. Dan dia memanggilnya Abu Abdillah (bapa hamba Allah). Dia berkata: Adakah Isa mempunyai bapa?
Cukup anda dipanggil Abu "Abdillah." Sebahagian sahabatnya berkata: "Sesungguhnya Rasulullah (S.a.w) telah memanggilnya Abu Isa."Dia menjawab: "Rasulullah (S.a.w) telah diampuni dosanya. Tetapi kita tidak mengetahui apakah akan dilakukan kita."Umar telah memanggilnya Abu Abdillah sehingga dia mati.[Ibn Hajr, al-Isabah, II, hlm. 413; al-Baihaqi, al-Sunan, IX, hlm. 310; Abu Daud, al-Sunan, II, hlm. 309]
Sepatutnya khalifah Umar tidak mengubah panggilan tersebut. Tetapi dia telah mengubahnya kerana Isa tidak mempunyai bapa. Lantaran itu nama Abu Isa (bapa Isa) tidak boleh dipanggil dan ianya suatu dosa sekalipun iannya dipanggil oleh Rasulullah (S.a.w) sendiri.. Tetapi perbezaannya dosa beliau diampuni dan dosanya belum tentu diampuni atau tidak. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
72. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang menamakan anak-anak mereka dengan nama Nabi. Tetapi Khalifah Umar telah menulis surat kepada penduduk Kufah supaya tidak menamakan anak-anak mereka dengan nama Nabi. Dan memerintahkan sebahagian penduduk Madinah supaya mengubah nama-nama mereka yang dinamakan dengan nama Muhammad.
Ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w) yang mengizinkannya. Di antaranya Rasulullah (S.a.w) bersabda: Siapa yang mempunyai tiga orang anak lelaki dan dia tidak menamakan seorang daripada mereka dengan nama Muhammad, maka dia adalah orang seorang jahil."[al-Haithami, Majma' al-Zawaid, VIII, hlm. 49] Dan apabila sebahagian sahabat memberitahukan kepadanya bahawa Rasulullah (S.a.w) telah membenarkannya, lalu dia menarik balik perintahnya. [Umdah al-Qari, VII, 143] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
73. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengenakan had ke atas seorang yang berpuasa yang berada di dalam majlis minuman arak, tetapi Khalifah Umar telah mengenakan had ke atas seorang yang berpuasa yang berada di dalam majlis minuman arak. Mereka berkata: "Dia itu berpuasa." Umar menjawab: "Kenapa dia berada bersama mereka."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummar, III, hlm. 101] Sepatutnya dia menyelidik kenapa lelaki itu berada di tempat itu. Dan kenapa dia tidak mengenakan hukum ta'zir ke atasnya? Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
74. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang kaum Muslimin menamakan anak-anak mereka dengan namanama malaikat, tetapi Khalifah Umar telah melarang kaum Muslimin menamakan anak-anak mereka dengan nama-nama malaikat. Diamendengar seorang lelaki memanggil kawanya bernama Dhu l- Qarnain. Umar berkata: Kalian sudah selesai menggunakan nama-nama para Nabi maka sekarang kalian mengguna nama-nama malaikat pula?[Ibn Hajr, Fath al-Bari, VI, hlm. 295]
Persoalannya apakah yang menghalang seseorang itu menamakan anak-anak mereka dengan nama-nama malaikat seperti al-Jibra'il, Mika'il, dan Israfil? Kerana terjemahan nama-nama tersebut di dalam bahasa Arab ialah Abdullah, Ubaidillah dan Abdul Rahman. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
75. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui tentang hukum seorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak dua di masa Jahiliyah, tetapi Khalifah tidak mengetahui tentang hukum seorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak dua di masa Jahiliyah dan satu talak pada masa Islam. Dia hanya berkata:"Aku tidak menyuruh anda dan aku tidak pula melarang anda." Tetapi Abdul Rahman menjawab: Aku menyuruh anda bahawa talak anda pada masa Jahiliyah tidak dikira."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al- Ummal, V, hlm. 161] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
76. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w) nescaya mereka tidak mengharamkan perkahwinan selama-lamanya ke atas seorang perempuan yang melakukan hubungan jenis dengan hamba lelakinya, tetapi Khalifah Umar telah mengharamkan perkahwinan selamalamanya ke atas seorang perempuan yang melakukan hubungan jenis dengan hamba lelakinya kerana penakwilannya terhadap Surah al- Mukminun (23):6,".....atau hamba-hamba yang mereka miliki." Umar bermesyuarat dengan beberapa orang sahabatnya mengenainya. Mereka berkata: Ianya tidak boleh direjam kerana dia telah menakwilkan ayat tersebut. Umar berkata: Tidak mengapa! Demi Allah, aku mengharamkan ke atas anda perkahwinan selama-lamanya, sebagai gantian kepada hukum had." Dan dia memerintahkan hamba lelaki tersebut supaya "tidak menghampirinya." Oleh itu ijtihad Umar adalah bertentangan dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.[al-Tabari, Tafsir, VI, hlm. 68; al-Baihaqi, al-Sunan, VII, hlm. 127; Ibn Kathir, Tafsir, III, hlm.239] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
77. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memukul seorang anak lelakinya yang memakai pakaian yang cantik dengan cemeti, tetapi Khalifah Umar telah memukul seorang anak lelakinya yang memakai pakaian yang cantik dengan cemeti sehingga dia menangis. Hafsah bertanya: Kenapa anda memukulnya? Dia menjawab: Aku melihat dia bermegah dengan pakaiannya, lalu aku memukulnya kerana aku suka membuatkan merasa rendah diri kepada-Nya."[al- Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 96] Jikalau itulah tujuan khalifah Umar kenapa dia menyalahi banyak hukum-hukum Allah dan Sunnah-sunnah Rasul-Nya dengan menggunakan ijtihadnya? Dan adakah penggunaan ijtihadnya itu bagi menambahkan perasaan rendah dirinya terhadap Allahdan Rasul-Nya? Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
78. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memukul al-Jarud al-Amiri dengan cemeti, tetapi Khalifah Umar telah memukul al-Jarud al-Amiri dengan cemeti apabila seorang daripada sahabatnya berkata kepada al-Jarud:"Ini adalah penghulu kabilah Rabi'ah." Al-Jarud berkata, "Kenapa anda memukulku wahai Amirul Mukminin? "Dia menjawab: "Aku mendengar mereka berkata:Anda adalah penghulu kabilah Rabi'ah. Aku khuatir ianya membuatkan anda merasa megah. [Ibn al-Jauzi, Sirah al-Umar, hlm. 178; al-Muttaqi al- Hindi, Kanz, al-Ummal, hlm. 167] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
79. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengambil jizyah daripada orang-orang Majusi, tetapi Khalifah Umat tidak mengambil jizyah daripada orang-orang Majusi kerana dia tidak mengetahui bahawa mereka daripada Ahlu l-Kitab sehingga dia diberitahu oleh Abdul Rahman bin Auf bahawa dia mendengar Rasulullah (S.a.w) bersabda: Laksanakanlah hukum ke atas "mereka" sebagaimana hukum Ahlu l-Kitab." Kemudian dia melaksanakannya setahun sebelum dia wafat. Sepatutnya dia telah mengetahuinya dan mengambil jizyah daripada mereka.[al-Khatib al-Tabrizi, Misykat-al- Masabih, hlm. 334; Malik, al-Muwatta', hlm. 207; Ahmad bin Hanbal, al- Musnad, I, hlm. 190; al-Baihaqi, al-Sunan, VIII, hlm. 234; Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, hlm. 32] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
80. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka memahami doa seorang lelaki "Allahumma Ij'alni mina l-Qalil (Wahai Tuhanku jadikanlah aku di kalangan orang yang sedikit), tetapi Khalifah Umar tidak memahami doa seorang lelaki "Allahumma Ij'alni mina l-Qalil (Wahai Tuhanku jadikanlah aku di kalangan orang yang sedikit)." Umar bertanya kepada lelaki itu: "Apakah doa ini?" Lelaki itu menjawab:"Aku mendengar Allah berfirman di dalam Surah al-Saba'(34):12 "Dan sedikit sekali (qalilun) dari hamba-hambaku yang berterima kasih." Maka kau berdoa agar Dia menjadikan aku di kalangan yang sedikit itu." Umar berkata: "Semua orang lebih alim daripada Umar." [al-Suyuti, al-Durr al- Manthur, V, hlm. 229; al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, II, hlm. 445 dan lain-lain] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
81. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berhasrat melantik Mu’adh bin Jabal sebagai khalifah, tetapi Khalifah Umar berhasrat melantik Muadh bin Jabal sebagai khalifah. Dia berkata: "Sekiranya Muadh bin Jabal masih hidup, nescaya aku melantiknya menjadi khalifah. "[Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 23] Kata-katanya itu adalah bertentangan dengan ucapanya di hari Saqifah, bahawa Quraisy tidak akan meredhai selain dari Quraisy. Muadh bin Jabal bukanlah Quraisy dan dia adalah orang Ansar. Dan ianya bertentangan dengan 'hadis' para Imam adalah dari Quraisy. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
82. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak meludah surat persetujuan khalifah Abu Bakar, tetapi Khalifah Umar telah meludah surat persetujuan khalifah Abu Bakar tentang penanaman tanah terbiar oleh Uyainah bin Hasin dan al-Aqra' bin Habis kerana tidak bersetuju dengan rancangan tersebut. Kemudian memadamkannya pula. Akhirnya khalifah Abu Bakar mengakui bahawa kuasa yang sebenar berada di tangan Umar.[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al- Ummal, VI, hlm. 335; Ibn Hajr, al-Isabah, V, hlm. 56] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
83. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengatakan bahawa menjadi kerabat Rasulullah (S.a.w) tidak ada guna, tetapi Khalifah Umar mengatakan bahawa menjadi kerabat Rasulullah (S.a.w) tidak ada guna dan tidak terlepas dari Allah (swt). Lalu Rasulullah (S.a.w) memarahinya. Ibn Abbas meriwayatkan bahawa apabila wafatnya anak lelaki Safiyyah, ibu saudara Rasulullah (S.a.w) menangis dengan suara yang kuat. Maka Nabi (S.a.w) pun datang dan bertanya: "Wahai ibu saudaraku! Apakah yang membuatkan anda menangis? Dia menjawab: "Anak lelakiku telah mati. Rasulullah (S.a.w) bersabda: Wahai ibu saudaraku! Sesiapa yang mati walaupun seorang anak di dalam Islam, dan dia bersabar, Allah akan membina sebuah rumah di syurga. Kemudian dia keluar dan berjumpa Umar.
Maka Umar berkata kepadanya:Kekerabatan anda dengan Rasulullah (S.a.w) tidak akan terlepas dari Allah (swt). Lalu Safiyyah menangis lagi. Dan ianya didengari oleh Nabi (S.a.w) Nabi (S.a.w) memarahinya (Umar). Kemudian Nabi (S.a.w) memerintahkan supaya dilakukan azan dan Nabi (S.a.w) lalu berkhutbah: "Apakah gerangan orang-orang yang menyangkakan bahawa kerabatku tidak ada guna?" Beliau bersabda lagi, "Setiap nasab terputus pada hari Kiamat melainkan nasab keturunanku kerana ianya terjalin di dunia dan di akhirat."[al-Haithami, Majma' al-Zawa'id] Lantaran itu, ijtihad Umar itu menyalahi Sunnah Rasulullah (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
84. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menyanyi kerana ia mengurangkan kewarakan seorang pemimpin, tetapi Khalifah Umar menyanyi dan sahabatnya menyuruhnya menyanyi. Harith bin Abdullah bin Abbas daripada bapanya berkata bahawa dia berjalan bersama Umar di suatu jalan di Makkah di dalam masa pemerintahannya, bersamanya Muhajirin dan Ansar. Umar menyanyikan satu nyanyian, lalu seorang lelaki dari Iraq berkata kepadanya: Teruskan nyanyian itu wahai Amirul Mukminin."Maka Umarpun menjadi malu kemudian memecutkan untanya dengan laju.[al- Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,VII, hlm. 336; al-Baihaqi, al-Sunan,V, hlm. 69] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
85. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mempunyai latar belakang keperibadian yang baik serta dihormati, tetapi Khalifah Umar pada masa jahiliyyah dikenali dengan Umair, "penternak kambing". Khalid bin Du'laj meriwayatkan daripada Qatadah bahawa dia berkata suatu hari Umar keluar bersama al-Jarud al-Abdi dari masjid, tiba-tiba dia terserempak dengan seorang wanita di tengah jalan. Lalu Umar memberi salam kepadanya. Maka dia pun menjawab salamnya dan berkata: "Wahai Umar! Pada masa dahulu anda dinamakan Umair di pasar Ukkaz menternak kambing dengan tongkat anda. Kemudian beberapa hari sahaja berlalu anda menamakan Umar pula kemudian beberapa hari sahaja berlalu sehingga anda menamakan Amirul Mukminin. Lantaran itu, bertakwalah kepada Allah wahai Umar."[Ibn Abd Birr, al-Isti'ab, II, hlm. 723; Ibn Hajr, al-Isabah, VIII (1), hlm. 69]
86. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak bertengkar sehingga meninggikan suara mereka di hadapan Nabi (S.a.w), tetapi Khalifah Umar dan Abu Bakar telah bertengkar sehingga meninggikan suara mereka di hadapan Rasulullah (S.a.w). Abu Bakar berkata:"Wahai Rasulullah lantiklah al-Aqra' bin Habis bagi mengetuai kaumnya." Umar berkata: Wahai Rasulullah! Janganlah anda melantiknya sehingga mereka menengking dan meninggikan suara mereka di hadapan Rasulullah (S.a.w)." Lalu diturunkan ayat di dalam Surah al-Hujurat (49):2, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus pahala amalanmu, sedangkan kamu tidak menyedari." Sepatutnya mereka berdua bertanya dan merujuk kepada Rasulullah (S.a.w) mengenai.[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, IV, hlm. 6; al-Tahawi, Musykil al-Athar, I, hlm. 14-42] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Abu Bakr atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
87. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memukul dengan cemeti seorang lelaki bernama Sabigh sehingga berdarah di belakangnya kerana dia bertanya tentang huruf-huruf al- Qur'an,tetapi Khalifah Umar telah memukul dengan cemeti seorang lelaki bernama Sabigh sehingga berdarah di belakangnya kerana dia bertanya tentang huruf-huruf al-Qur'an (Mutasyabih al-Qur'an). Beberapa hari kemudian dia berkata kepada khalifah Umar: Jika anda mahu membunuhku, bunuhlah dengan baik. Dan jika anda mahu mengubatiku, aku sekarang sudah sembuh." Kemudian Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Asy'ari supaya tidak membenarkan orang ramai bergaul dengannya. Tindakan itu menyulitkan kehidupannya. Lalu Abu Musa al-Asy'ari menulis surat kepada khalifah Umar supaya membenarkan orang ramai bergaul dengannya kerana dia sudah bertaubat. Kemudian khalifah Umar membenarkannya.[al-Darimi,al- Sunan, I, hlm. 54; Ibn Asakir, Tarikh, VI, hlm. 384; Ibn al-Jauzi, Sirah Umar, hlm. 109] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
88. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w).), nescaya mereka mengetahui ilmu Qira'at al-Qur'an, tetapi Khalifah Umar tidak mengetahui ilmu Qira'at al-Qur'an. Diriwayatkan daripada Ibn Mujaz dia berkata: Ubayy meriwayatkan daripada Ibn Mujaz dia berkata:"Ubayy membaca ayat 107 di dalam Surah al-Maidah, "Mani Iladhina Istahaqqa 'Alaihim al-Aulayyan. Umar berkata kepada Ubayy: Anda telah berbohong. Ubayy menjawab: Anda lebih banyak berbohong "Seorang lelaki berkata kepada Ubayy: Anda membohongi Amirul Mukminin? Dia menjawab: Aku lebih memuliakan Amirul Mukminin daripada anda. tetapi aku membohonginya kerana membenarkan Kitab Allah dan aku tidak membenarkan Amirul Mukminin untuk membohongi Kitab Allah.
Umar menjawab:"Ya, betul."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, I, hlm, 285; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm. 344] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
89. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka membaca surah al-Fatihah pada rakaat pertama, tetapi Khalifah Umar pernah tidak membaca surah al-Fatihah pada rakaat pertama. Manakala rakaat kedua dia membaca Surah al-Fatihah dua kali. Apabila dia selesai sembahyang dan salam dia sujud dua sujud sahwi.[Ibn Hajar, Fath al- Bari, III, hlm. 69; al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, II,hlm. 382] Ibrahim al- Nakh'i berkata: "Umar bin al-Khattab sembahyang Maghrib tanpa membaca sesuatupun sehingga dia memberi salam. Apabila selesai dia bertanya: Adakah anda tidak membaca sesuatupun? Umar menjawab:
Aku menyediakan tentera ke Syam....Maka Umarpun mengulangi sembayangnya dan orang lainpun mengulanginya. Daripada Sya'bi bahawa Abu Musa al-Asy'ari berkata kepada Umar, Wahai Amirul Mukminin! Adakah anda membaca di dalam hati anda sesuatu."Dia menjawab: Tidak. Maka dia menyuruh diazan dan diiqamatkan, lalu Umar mengulangi sembahyang dan merekapun mengulanginya.[al- Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, IV, hlm. 213; al-Baihaqi, al-Sunan, II, hlm. 342]
90. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menyetubuhi hamba mereka pada siang hari bulan Ramadhan, tetapi Khalifah Umar telah menyetubuhi seorang hamba (nya) pada siang hari bulan Ramadhan. Al-Dar al-Qutni di dalam Sunannya Kitab al-Siyam, bab al-Qublah Li s-Siam (Perbahasan Mengenai Puasa dan Bab Kucupan Bagi Orang yang Berpuasa) telah meriwayatkan dengan sanadnya daripada Sa'id bin al-Musayyab bahawa Umar telah datang kepada para sahabatnya dan berkata: Apakah pendapat kalian tentang perkara yang aku telah melakukannya hari ini? Pada mulanya aku berpuasa, tiba-tiba seorang hamba wanita melintasiku, dia mempersonakanku, maka aku pun menyetubuhinya. Orang ramai menjadi riuh dengan kelakuannya itu sedangkan Ali (a.s) berdiam sahaja. Lalu Umar bertanya kepada Ali (a.s): Apa pendapat anda? Beliau menjawab: Anda telah melakukan perkara yang halal tetapi pada siang hari Ramadhan. Lalu Umar berkata: Fatwa anda adalah lebih baik dari fatwa mereka. [Ibn Sa'd, Tabaqat, II, Bhg. II, hlm. 102]
Persoalannya: Sekiranya khalifah Umar mengetahui hukumnya, apakah yang mendorongnya bertanya kepada para sahabatnya dan kemudian kepada Ali (a.s)? Sekiranya dia tidak mengetahuinya, apakah yang menyebabkan dia berani melakukannya sebelum dia mengetahui halalnya dengan bertanyakan hukumnya? Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
91. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak bercakap di dalam sembahyang, tetapi Khalifah Umar ketika sembahyang bersama Nabi (S.a.w) telah menyeru Badwi penjual susu supaya berhenti di tempatnya. Al-Haithami di dalam Majma' al-Zawa'id, II, hlm. 62, meriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri bahawa Nabi (S.a.w) sedang sembahyang tiba-tiba seorang Badwi datang dengan susunya. Kemudian Nabi (S.a.w) memberikan isyarat kepadanya, tetapi dia (Badwi) tidak memahaminya. Lalu Umar memanggilnya: Wahai Badwi! Berhentilah di situ." Apabila Nabi (S.a.w) memberi salam, beliau bertanya: Siapakah yang bercakap tadi? Orang ramai menjawab: Umar." Lalu Nabi (S.a.w) bersabda: Ilmu fikah mana yang diikutinya! (sehingga dia boleh bercakap di dalam sembahyang)." Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
92. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui pengertian al-Abb di dalam Surah Abasa (80):32...." , tetapi Khalifah Umar tidak mengetahui pengertian al-Abb di dalam Surah Abasa (80):32...."dan buah-buahan serta rumput-rumputan (Abban)." Sepatutnya dia mengetahui pengertian tersebut. [al-Hakim, al- Mustadrak, II, hlm. 514] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
93. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka dapat memahami pengertian al-Haraj di dalam Surah al-Hajj (22): 78," tetapi Khalifah Umar tidak dapat memahami pengertian al-Haraj di dalam Surah al-Hajj (22): 78, "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Lalu dia bertanya kepada seorang lelaki dari Bani Madlaj: Apakah pengertian al-Haraj (suatu kesempitan)? Lelaki itu menjawab: "al-Dhaiq (kesempitan)."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al- Ummal, I, hlm. 257] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
94. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka membawa berkat dan rahmat kepada semua makhluk, tetapi Khalifah Umar telah menyiram satu pokok kurma tetapi ianya tidak berbuah sementara Nabi (S.a.w) menyiram pokok-pokok kurma yang banyak, kesemuanya berbuah. al-Baihaqi di dalam Sunannya, IX, hlm. 321 telah meriwayatkan sanadnya daripada Abdullah bin Baridah daripada bapanya bahawa Salman al-Farisi berkata: Rasulullah (S.a.w) menyiram pokok-pokok kurma selain satu pokok yang disiramkan oleh Umar.
Kesemua pokok yang disiramkan oleh Nabi (S.a.w) pada tahun itu berbuah, hanya satu pokok yang disiramkan oleh Umar yang tidak berbuah. Maka Rasulullah (S.a.w) bertanya: Siapakah yang menyiramkan pokok kurma yang tidak berbuah itu? Mereka menjawab: Umar. Lalu Rasulullah (S.a.w) menyiramkan pokok tersebut dan mengeluarkan buah pada akhir tahunnya. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
95. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mampu memahami ungkapan seorang wanita yang merayu mengenai suaminya, tetapi Khalifah Umar tidak mampu memahami ungkapan seorang wanita yang merayu kepada Umar mengenai suaminya. Dia berkata: Sesungguhnya suamiku berpuasa di siang hari dan beribadat di waktu malam." Umar tidak memahami ungkapan tersebut, malah dia berkata:"Anda mempunyai suami yang baik. Lalu seorang lelaki di majlis itu memberitahukan kepadanya maksud ungkapannya, Dia merayu mengenai suaminya yang tidak menidurinya. Kemudian Umar meminta lelaki tersebut supaya memberi hukuman di antara mereka berdua.[al- Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 96 dan lain-lain] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
96. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka memahami pengertian "kezaliman" di dalam Surah al-An'am (6): 82," tetapi Khalifah Umar tidak memahami pengertian "kezaliman" di dalam Surah al-An'am (6):82, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan iman mereka dengan kezaliman."Dia bertanya kepada Ubayy bin Ka'ab tentang pengertian tersebut. Ubayy bin Ka'ab berkata: Maksud kezaliman di dalam ayat tersebut ialah Syirk. Tidakkah anda pernah mendengar ucapan Luqman kepada anak lelakinya di dalam firman-Nya Surah Luqman (31):13, "Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya Syirk itu adalah benar-benar kezaliman yang besar. [al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 305] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
98. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka menjalankan pemerintahan dengan lembut dan hikmah, tetapi Khalifah Umar telah menjalankan pemerintahannya agak kasar dan aggresif dan menakutkan kebanyakan rakyat biasa sehingga seorang wanita yang sedang hamil, gugur kandungannya kerana takutkan Umar, tetapi aneh sekali di dalam peperangan dia merupakan seorang yang selalu melarikan diri.[al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 46; al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 37] Talhah berkata kepada Abu Bakar:"Kenapa anda melantik ke atas kami seorang yang kasar? [Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 26] Tindakannya itu telah menambahkan kemarahan orang ramai. Lantaran itu, ianya bertentangan dengan Rasulullah (S.a.w) yang telah menjalankan pemerintahannya dengan lembut dan berbudi pekerti yang tinggi dan bersifat defensif. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
99. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membantah Nabi (S.a.w) melakukan sembahyang ke atas jenazah Abdullah bin Ubayy, tetapi Khalifah Umar telah membantah Nabi (S.a.w) supaya tidak melakukan sembahyang ke atas jenazah Abdullah bin Ubayy dan menarik beliau dengan kuat. Al-Bukhari di dalam Sahihnya, bab al-Jana'iz, bab al-Kafn Fi al-Qamis telah meriwayatkan dengan sanadnya daripada Abdullah bin Umar bahawa apabila Abdullah bin Ubayy meninggal dunia, anak lelakinya berjumpa Nabi (S.a.w) dan meminta baju Rasulullah (S.a.w) untuk dikapankan bersama bapanya. Lantas Rasulullah (S.a.w) memberikan kepadanya. Apabila Rasulullah (S.a.w) mahu mengerjakan sembahyang ke atasnya, Umarpun menariknya dengan kuat dan berkata: Tidakkah Allah telah melarang anda dari mengerjakan sembahyang ke atas Munafiqin? Beliau menjawab: Aku diberi pilihan di antara dua perkara tersebut. Maka Nabi (S.a.w) meneruskan sembahyangnya. [al-Turmudhi, Sahih, II, hlm. 185] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
100. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak meninggikan suaranya terhadap Rasulullah (S.a.w), tetapi Khalifah Umar telah meninggikan suaranya terhadap Rasulullah (S.a.w). Muslim di dalam Sahihnya, Bab Waqt al-Isya' wa ta'khiruha meriwayatkan dengan sanadnya daripada Ibn Syihab daripada Urwah bin al-Zubair bahawa Aisyah berkata: Pada suatu malam Rasulullah (S.a.w) telah melambatkan sembahyang 'Isya'(atamah), lalu beliau tidak keluar dari rumahnya sehingga Umar melaung:
Wanita-wanita dan kanak-kanak telah tidur! Lantas Rasulullah (S.a.w) bersabda kepada orang-orang di masjid ketika beliau keluar...Sehingga Ibn Syihab memberitahukan kepadaku bahawa Rasulullah (S.a.w) bersabda: Janganlah kalian mendesak Rasul supaya menyegerakan sembahyang. Ini berlaku apabila Umar melaungkan kepada beliau supaya mengerjakan sembahyang dengan segera. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
101. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membelakangi perintah Rasulullah (S.a.w), tetapi Khalifah Umar membelakangi perintah Rasulullah (S.a.w) sebaliknya mematuhi permintaan ketua Musyrikin, Abu Sufian. Rasulullah (S.a.w) melarang para sahabatnya menjawab pertanyaan Abu Sufyan di dalam Perang Uhud kerana khuatir kaum Musyrikin mengetahui bahawa beliau masih hidup dan menyerang balas dengan cepat. Abu Sufyan ingin mendapatkan kepastian tersebut. Lalu dia bertanya: Adakah Muhammad masih hidup? Rasulullah (S.a.w) bersabda: Janganlah kalian menjawab pertanyaannya. Kemudian dia bertanya kepada Umar secara khusus:
Wahai Umar, aku merayu kepada anda supaya anda memberitahukan kepadaku, adakah kami telah membunuh Muhammad? Lantas Umar menjawab: Tidak! Beliau sedang mendengar percakapan anda. [Ibn Jarir, Ibn al-Athir di dalam Tarikh-tarikh mereka bab "Peperangan Uhud"] Sepatutnya khalifah Umar mematuhi perintah Rasulullah (S.a.w) dengan tidak membocorkan maklumat tersebut. Lantaran itu, ijtihadnya adalah menyalahi Sunnah Rasulullah (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
102. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memanggil seorang wanita yang hamil kerana ingin bertanya kepadanya sesuatu yang menakutkannya, tetapi Khalifah Umar telah memanggil seorang wanita yang hamil kerana ingin bertanya kepadanya sesuatu yang menangkutkannya, tetapi disebabkan ketakutannya kepada khalifah Umar kandungannya menjadi gugur. Dia meminta fatwa para sahabat mengenainya. Mereka berkata: Anda tidak wajib membayar apa-apapun kepadanya. Lalu Ali berkata: Sekiranya mereka ingin menjaga hati anda, bererti mereka telah menipu anda. Dan sekiranya ini adalah ijtihad mereka, maka mereka telah bersalah. Oleh itu anda bersalah dan wajib memerdekakan seorang hamba. [Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, I, hlm. 58] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
103. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mencaci Abu Hurairah kemudian memukulnya sehingga berdarah Tetapi Khalifah Umar mencaci Abu Hurairah kemudian memukulnya sehingga berdarah dan berkata: Semasa aku melantik anda ke Bahrain anda tidak mempunyai apa-apapun, meskipun sepasang kasut. Kini anda mempunyai ternakan kuda dan dinar yang banyak. Umar berkata lagi, Wahai musuh Allah dan musuh kitabNya! Anda telah mencuri harta Allah! [Ibn Abd Rabbih, al-Aqd al-Fariq, I, hlm. 26] Khalifah Umar memandang Abu Hurairah sebagai seorang yang tidak boleh diharapkan, dan tidak mempunyai amanah lalu memukulnya sehingga berdarah.
Perhatikanlah bagaimana sikap khalifah Umar terhadap Abu Hurairah. Kenapa kita Ahlu s-Sunnah memarahi Syi'ah kerana menolak Abu Hurairah? Sepatutnya kita lebih memarahi khalifah Umar kerana sikap dan perbuatannya terhadap Abu Hurairah. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
104. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengkritik (lamiza) Nabi (S.a.w), dan cara beliau membahagi-bahagikan harta sadaqah, tetapi Khalifah Umar mengkritik (lamiza) Nabi ((S.a.w)dan cara beliau membahagi-bahagikan harta sadaqah. Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 20 meriwayatkan daripada Salman bin Rabi'ah, dia berkata:"Aku mendengar Umar berkata: Rasulullah (S.a.w) membahagi-bahagikan sesuatu, maka aku berkata: Wahai Rasulullah, Ahlu s-Suffah adalah lebih berhak daripada mereka. Dia berkata: Rasulullah (S.a.w) bersabda: Anda bertanya kepadaku tentang perkaraperkara yang keji dan anda menyangka aku seorang yang bakhil sedangkan aku bukanlah seorang yang bakhil. Aku berkata: Beliau meneruskan pembahagian tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Diriwayatkan daripada Abu Musa bahawa Umar telah bertanya kepada Rasulullah perkara-perkara yang dibenci oleh Rasulullah, lantas beliau marah sehingga Umar melihat mukanya berubah. Al-Bukhari juga telah meriwayatkannya di dalam Sahihnya, I, hlm. 19, bab al-'Ilm, dan bab al-Ghadhab fi al-Mau'izah wa al-Ta'lim idha Ra'a ma yakrahu. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
105. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memaksa Jabalah bin al-Aiham supaya mengikat dirinya sendiri atau membiarkan dirinya diikat kerana dia telah menampar seorang lelaki dari Zararah, tetapi Khalifah Umar telah memaksa Jabalah bin al-Aiham supaya mengikat dirinya sendiri atau membiarkan dirinya diikat kerana dia telah menampar seorang lelaki dari Zararah yang telah memijak kainnya ketika dia sedang melakukan tawaf. Apabila tiba waktu malam, Jabalah dan kaumnya seramai lima ratus orang keluar dari Makkah menuju Istanbul. Kemudian mengisytiharkan menganuti ugama Kristian kerana menentang tindakan Umar. Walau bagaimanpun Jabalah berdukacita di atas apa yang berlaku kerana perasaan kasih kepada Islam masih wujud di hatinya tetapi kemarahan kepada tindakan Umar tetap membara.[Ibn Abd Rabbih, al-Aqd al-Farid, I, hlm. 187] Lantaran itu, tindakan Umar yang terburu-buru tanpa kebijaksanaan telah membuat Jabalah dan kaumnya seramai lima ratus orang meninggalkan ugama Islam dan memeluk ugama Kristian. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
106. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengenakan 'Aul di dalam ilmu Faraidh, tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama mengenakan 'Aul di dalam ilmu Faraidh. [al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 137] Sunnahnya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w) yang tidak mengenakan 'Aul. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
107. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memindahkan maqam Ibrahim dari tempat yang diletakkan oleh Nabi (S.a.w) Tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama memindahkan maqam Ibrahim dari tempat yang diletakkan oleh Nabi (S.a.w) iaitu dekat dengan Ka'bah, ke tempat yang ada sekarang iaitu tempat di masa jahiliyyah.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, hlm. 137] . Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
108. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengurangkan takbir solat jenazah kepada empat takbir, tetapi khalifah Umar adalah orang yang pertama mengurangkan takbir solat jenazah kepada empat takbir.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, hlm. 137] Memang tidak dinafikan bahawa terdapat riwayat yang lemah yang menyatakan Nabi (S.a.w) melakukan empat takbir bagi sembahyang jenazah, tetapi apa yang anehnya khalifah Umar telah memerintahkan supaya melakukan empat takbir sahaja. [AbuYusuf, Kitab al-Athar, hlm. 39] Ini bererti dia memansuhkan riwayat yang mencatatkan bahwa Nabi (S.a.w) melakukan sembahyang jenazah dengan lima takbir. Apa yang menghairankan ialah mengapa para sahabat berselisih pendapat tentang bilangan takbir ini.
Mengikut Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) daripada bapa dan datuknya bahawa Nabi (S.a.w) melakukan sembahyang jenazah dengan lima takbir.[al-Tusi, Tahdhib al-Ahkam, III, hlm. 3-5] Daripada Abu al-A'la, ia berkata: Aku telah sembahyang di belakang Zaid bin al-Arqam (sembahyang jenazah) maka ia melakukan lima takbir, maka Abu Isa Abdu r-Rahman bin Abi Laila berkata kepadanya sambil memegang tangannya: Adakah anda lupa? Dia menjawab: Tidak, tetapi aku sembahyang di belakang Nabi (S.a.w) dan beliau mentakbirkan lima takbir dan aku tidak meninggalkannya selama-lamanya. [Ibn Hanbal, al- Musnad, I, hlm. 370] Al-Tahawi meriwayatkan daripada Yahya bin Abdullah al-Taimi, ia berkata: Aku sembahyang bersama Isa, hamba Huzaifah bin al- Yaman, maka ia melakukan takbir lima kali, kemudian dia berpaling kepada kami dan berkata: Aku tidak keliru dan tidak lupa tetapi aku telah mentakbirkan mengikut cara tuan aku Huzaifah al-Yaman, dia sembahyang jenazah dengan lima takbir: Kemudian dia berpaling kepada kami dan berkata: Aku tidak keliru dan tidak lupa tetapi aku telah takbir lima takbir sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah (S.a.w) [Umadah al-Qari, IV, hlm. 129]
Berdasarkan hadis-hadis tersebut dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para Imam Ahlu l-Bait, maka tetaplah bahawa Nabi (S.a.w) melakukan lima takbir bagi sembahyang jenazah. Oleh itu sunnah Umar mengurangkan kepada empat takbir adalah bertentangan dengan kebiasaan perbuatan Rasulullah (S.a.w). Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
109. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memberi hukuman bahawa talak tiga jatuh sekaligus, tetapi Khalifah Umar telah memberi hukuman bahawa talak tiga jatuh sekaligus. Sedangkan talak pada masa Rasulullah (S.a.w) dan khalifah Abu Bakar ialah tiga kali sebagaimana terdapat di dalam al-Qur'an.[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 314; Muslim, Sahih, I, hlm. 574] Sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w)dan firman Tuhan di dalam Surah al-Baqarah (2): 229: "Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
Setelah itu boleh dirujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik." Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
110. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang dan mengharamkan seorang itu "menangis" ke atas mayat, tetapi Khalifah Umar melarang dan mengharamkan seorang itu "menangis" ke atas mayat, sedangkan ia adalah harus dan dilakukan oleh Rasulullah (S.a.w) ke atas Hamzah (r.a). Oleh itu sunnah Umar yang menyatakan "mayat diazab dengan tangisan orang yang hidup" adalah bertentangan dengan hadis Rasulullah (S.a.w) yang melarang Umar dari menegah wanita-wanita menangis ke atas mayat. Rasulullah (S.a.w) bersabda: Wahai Umar biarkan mereka menangis, kerana jiwa berdukacita, mata mengalirkan air mata [Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 481; al-Hakim, al-Mustadrak, I, hlm. 381; Ibn Hanbal, al-Musnad, II, hlm. 408] Dan ianya juga bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah al- an-An'am (6): 164: "Dan seseorang yang membuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain." Lantaran itu, kenapa simati disiksa kerana tangisan orang yang hidup? Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
111. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menambahkan hukum sebat bagi peminum arak dari 40 sebatan kepada 80 kali sebatan, tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama menambahkan hukum sebat bagi peminum arak dari 40 sebatan kepada 80 kali sebatan.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 137] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
112. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menciptakan solat Tarawih pada bulan Ramadhan, tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama menciptakan solat Tarawih pada bulan Ramadhan. Ianya tidak pernah dilakukan oleh Nabi (S.a.w) [al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 136] ] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
113. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membuangkan perkataan "Hayya 'ala Khairul 'Amal" di dalam azan dan iqamah, tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama membuangkan perkataan "Hayya 'ala Khairul 'Amal" di dalam azan dan iqamah.
Sedangkan ianya adalah sebahagian daripada azan Rasulullah (S.a.w) [al-Halabi, al-Sirah, II, hlm. 110] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
114. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menambahkan perkataan "al-Solah Khairun mina n-Naum" di dalam azan subuh, tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama yang menambahkan perkataan "al-Solah Khairun mina n-Naum" di dalam azan subuh. Ianya tidak dilakukan oleh Rasulullah (S.a.w) [al-Halabi, al-Sirah, hlm.110] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
115. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melakukan kesalahan dalam masalah pusaka "datuk" dengan saudara lelaki, tetapi Khalifah Umar telah melakukan kesalahan dalam masalah pusaka "datuk" dengan "saudara lelaki." Umar telah bertanya Rasulullah (S.a.w) mengenainya, maka Rasulullah (S.a.w) menjawab: "Aku fikir sampai matipun kamu tidak akan memahaminya." Ubaidah al-Salmani berkata: Aku telah menghafaz untuk Umar mengenai "datuk" lebih dari 100 masalah. [al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,VI, hlm. 15] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
116. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka dapat menyelesaikan masalah al-Kalalah, tetapi Khalifah Umar tidak dapat menyelesaikan masalah al-Kalalah yang diakuinya sendiri, dia berkata:
Jika aku mengetahui al-Kalalah, adalah lebih baik bagiku dari istanaistana di Syam."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VI, hlm.20. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
117. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mempunya keilmuan yang tinggi, apatah lagi jika seorang itu menjadi pemimpin, tetapai Khalifah Umar mengakui kekurangan ilmunya terutamannya jika dibandingkan dengan Ali (a.s). Pengakuanpengakuannya telah dicatat di dalam buku-buku Ahlu s-Sunnah. Di antaranya Umar berkata:
(a) Sekiranya tidak ada Ali nescaya binasalah Umar."
(b) Wahai Tuhanku! Jangan tinggalkan aku di dalam permasalahan di mana Abu l-Hassan tidak ada."
c) "Wanita telah lemah melahirkan orang seperti Ali bin Abi Talib dan sekiranya tidak ada Ali nescaya binasalah Umar."
d) "Anak lelaki al-Khattab binasa sekiranya tidak ada Ali bin Abi Talib."
e) "Kembalikan percakapan Umar kepada Ali. Sekiranya tidak ada Ali nescaya binasalah Umar."
f)"Aku memohon perlindungan dengan Allah dari sebarang permasalahan di mana Abu l-Hassan tidak ada."[Lihat umpamanya al-Tabari, Dhakai'r al-Uqba, hlm. 81; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, I, hlm. 288] Pengakuanpengakuan Umar di atas menunjukkan dengan jelas bahawa :
a) Ali adalah lebih alim dan lebih mulia daripada Umar. Dan pengakuannya tidak boleh difahami sebagai tawaduknya. Kerana pengakuan tersebut dilakukan selepas permasalahan hukum tidak dapat diselesaikan olehnya. Malah Umar juga mengakui bahawa orang ramai lebih alim daripadanya. "Setiap orang itu lebih alim daripada Umar."
b) "Orang ramai lebih mengetahui ilmu Fiqh daripada Umar ."
c) "Setiap orang lebih mengetahui ilmu Fiqh daripada Umar sehingga anak-anak dara sunti di khemah-khemah."
d) "Setiap orang lebih mengetahui daripada anda wahai Umar."
e) "Setiap orang lebih mengetahui daripada Umar sehingga anak-anak dara sunti di rumah-rumah." Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri, malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
118. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mencintai sunnah Nabi (S.a.w) daripada sunnah Umar, tetapi khalifah Umar berpendapat bahawa sunnahnya adalah lebih baik daripada Sunnah Nabi (S.a.w), umpamanya memindahkan maqam Ibrahim dari tempat yang diletakkan oleh Nabi (S.a.w) iaitu dekat dengan Ka'bah, ke tempat yang ada sekarang iaitu tempat di masa jahiliyyah.[al-Suyuti, Tarikh- al-Khulafa, hlm. 137] . Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
119. Jika mereka Ahl al-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka diizinkan untuk mengerjakan solat jenazah ke atas Fatimah (a.s), tetapi khalifah Umar dan kumpulannya tidak diizinkan oleh Fatimah AH untuk mengerjakan solat ke atasnya. Dia berwasiat kepada suaminya Ali (a.s) supaya Abu Bakr dan Umar tidak diizinkan mengerjakan solat ke atasnya. Kerana perbuatan mereka berdua yang menyakitkan hatinya, khususnys mengenai Fadak [Al-Bukhari, Sahih, VI,hlm. 196; Ibn Qutaibah, al-Imamah Wa al-Siyasah, I, hlm.14; Abu l-Fida, Tarikh,I, hlm.159; al-Tabari, Tarikh, III, hlm.159]. Nabi (S.a.w) bersabda:" Sesungguhnya Allah marah kepada kemarahanmu (Fatimah) dan redha dengan keredhaanmu." [Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm.153; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm.219] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
120. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang mengerjakan sembahyang sunat selepas fardhu 'Asar, tetapi Khalifah Umar melarang mengerjakan sembahyang sunat selepas fardhu 'Asar, sedangkan Nabi (S.a.w) tidak pernah meninggalkan sembahyang dua rakaat sunat selepas sembahyang 'Asar. 'Urwah bin al-Zubair daripada bapanya, daripada 'Aisyah dia berkata: Rasulullah (S.a.w) tidak pernah meninggalkan dua rakaat sembahyang sunat selepas fardhu 'Asar.[Muslim, Sahih,I, hlm.50] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
121. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengatakan tidak wajib sembahyang(solat) bagi orang yang berjunub ketika tidak ada air, tetapi Khalifah Umar mengatakan tidak wajib sembahyang (solat) bagi orang yang berjunub ketika tidak ada air.[Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 200; al-Nasai, al-Sunan, I,hlm. 59] Oleh itu sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Maidah (5):6"…maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah...." Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
121. Jika mereka Ahl al-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak dirahsiakan tentang makam Fatimah a.s, tetapi khalifah Umar dan kumpulannya telah dirahsiakan tentang lokasi makam Fatimah A.H, kerana Fatimah a.s berwasiat kepada suaminya supaya merahsiakan makamnya daripada mereka berdua. Nabi (S.a.w) bersabda: Sesungguhnya Allah marah kepada kemarahanmu (Fatimah) dan redha dengan keredhaanmu. [Al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm.153; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII, hlm.219] ] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
122. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menambahkan perkataan "al-Solah Khairun mina n-Naum" di dalam azan subuh,tetapi Khalifah Umar adalah orang yang pertama yang menambahkan perkataan "al-Solah Khairun mina n-Naum" di dalam azan subuh. Ianya tidak dilakukan oleh Rasulullah (S.a.w). [al-Halabi, al- Sirah, hlm.110] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
123. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melakukan kesalahan dalam masalah pusaka "datuk" dengan "saudara lelaki, tetapi Khalifah Umar telah melakukan kesalahan dalam masalah pusaka "datuk" dengan "saudara lelaki." Umar telah bertanya Rasulullah (S.a.w) mengenainya, maka Rasulullah (S.a.w) menjawab: Aku fikir sampai matipun kamu tidak akan memahaminya." Ubaidah al-Salmani berkata: Aku telah menghafaz untuk Umar mengenai "datuk" lebih dari 100 masalah."[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VI, hlm. 15] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
124. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menyamakan bayaran jizyah, tetapi Khalifah Umar telah menyamakan bayaran jizyah. Ianya bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) bahawa satu dinar adalah jizyah bagi setiap (zimmi) yang akil baligh sahaja. [Ibn Abd al-Birr, al-Isti'ab, II,hlm. 460; Ibn Abil Hadid, Syarh, Nahj al-Balaghah, III, hlm. 178] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
125. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka dapat menjawab soalan-soalan yang dikemukan kepada mereka, apatah lagi jika seorang itu menjadi pemimpin, tetapi Khalifah Umar tidak dapat menjawab soalan-solan yang dikemukakan kepadanya oleh Raja Rome. Kemudian dia meminta Ali (a.s) supaya menjawabnya. Ibn Musayyab berkata:"Raja Rome menulis surat kepada khalifah Umar supaya memberikan jawapan kepada beberapa soalan yang dikemukakannya. Amma Ba'd. Sesungguhnya aku bertanya kepada anda beberapa soalan, oleh itu beritahukan kepadaku jawapannya:
1. Apakah perkara yang tidak dijadikan Allah?
2. Apakah perkara yang tidak diketahui Allah?
3. Apakah perkara yang tidak ada di sisi Allah?
4. Apakah perkara yang semuanya mulut?
5. Apakah perkara yang semuanya kaki?
6. Apakah perkara yang semuanya mata?
7. Apakah perkara yang semuanya sayap?
8. Siapakah lelaki yang tida ada keluarga?
9. Apakah perkara yang tidak dikandung oleh rahim?
10. Apakah perkara yang bernafas tetapi tidak ada roh?
11. Apakah yang dikatakan oleh suara loceng gereja?
12. Apakah perkara yang terangkat sekali sahaja?
13. Apakah pokok di mana orang yang berjalan dibayangannya selama seratus tahun belum dapat melintasinya dan apakah seumpamannya di dunia ini?
14. Apakah tempat yang tidak pernah terkena cahaya matahari melainkan sekali sahaja?
15. Apakah pokok yang tumbuh tanpa air?
16. Beritahukan kepadaku tentang Ahli Syurga; mereka makan, minum tanpa kencing dan berak dan apakah seumpama mereka di dunia ini?
17. Di antara hiasan di syurga ialah mangkuk-mangkuk yang cantik dan setiap mangkuk mempunyai berbagai-bagai warna yang tidak bercampur di antara satu sama lain, apakah seumpamannya di dunia ini?
18. Beritahukan kepadaku tentang seorang hamba wanita yang keluar dari buah epal di syurga tanpa sebarang kekurangan?
19. Beritahukan kepadaku tentang seorang hamba wanita di dunia untuk dua orang lelaki dan di akhirat hanya untuk seorang lelaki sahaja?
20. Beritahukan kepadaku tentang anak-anak kunci syurga apakah ia? Ali (a.s) membaca surat tersebut dan menjawabnya serta merta.
Bismi llahi r-Rahman r-Rahim. Amma ba'd. Sesungguhnya aku telah membaca surat anda wahai Raja Rome dan aku menyeru anda dengan pertolongan Allah, keberkatan-Nya dan keberkatan Nabi kami Muhammad (S.a.w).
1. Adapun perkara yang tidak "dijadikan" Allah ialah “al-Qur'an” kerana ia adalah kalam-Nya dan sifat-Nya begitu juga kitab-kitab-Nya yang lain. Allah SWT adalah qadim dan "sifat-sifat"Nya juga qadim.
2. Adapun perkara yang tidak diketahui oleh Allah ialah kata-kata anda,"Dia mempunyai anak lelaki, teman wanita dan rakankongsi."Allah tidak sekali-kali mempunyai anak dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) bersertaNya."[Surah al-Mukminun (23): 91] dan "Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan."[Surah al- Ikhlas(112):3]
3. Adapun perkara yang tidak ada di sisi Allah ialah kezaliman,"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya."[Surah Fussilat(41):46]
4. Adapun perkara yang semuanya mulut ialah api. Api menjilat apa yang dicampakkan kepadanya.
5. Adapun perkara yang semuanya kaki ialah air.
6. Adapun perkara yang semuanya mata ialah matahari.
7. Adapun perkara yang semuanya sayap ialah angin.
8. Adapun lelaki yang tidak ada keluarga ialah Adam (a.s).
9. Adapun perkara yang tidak dikandung oleh rahim ialah tongkat Musa, berbiri Ibrahim, Adam dan Hawa.
10. Adapun perkara yang bernafas tetapi tidak mempunyai roh ialah "Subuh apabila fajarnya mulai menyingsing [Surah al-Takwir(81):18]
11. Adapun apa yang dikatakan oleh loceng gereja:Taqqan, haqqan, haqqan, mahlan, mahlan, 'adlan, 'adlan, sidqan,sidqan, taqqan, sesungguhnya dunia telah memperdaya dan mempesonakan kita. Dunia berlalu abad demi abad. Setiap hari yang berlalu, melemahkan kedudukan kita. Sesungguhnya kematian memberitahukan kita bahawa sesungguhnya kita sedang berada di dalam suatu perjalanan. Lantaran itu tempatkanlah kami di mana-mana.
12. Adapun perkara yang terangkat sekali sahaja ialah bukit Tursina manakala Banu Isra'il menderhaka kepada Tuhan. Jarak di antaranya dengan Baitul Maqdis adalah beberapa hari perjalanan. Allah SWT telah mencabutkan satu bahagian kecil darinya dan dijadikannya dua sayap dari cahaya. Lalu Dia mengangkatnya di atas mereka sebagaimana firmanNya di dalam Surah al-'Araf (7): 171: "Dan (ingatlah) ketika kami mengangkat bukit ke atas mereka, seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahawa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. "Dan Dia berfirman kepada Bani Isra'il sekiranya mereka tidak beriman Dia akan menjatuhkannya ke atas mereka dan manakala mereka beriman, Dia kembalikannya di tempatnya yang asal.
13. Adapun pokok di mana orang yang berjalan di bayangannya selama seratus tahun belum dapat melintasinya ialah Pokok Tuba iaitu di Sidrah al-Muntaha di langit yang ketujuh. Di situlah berakhirnya amalan manusia, ianya dari pokok-pokok syurga. Tidak ada istana atau rumah di syurga melainkan ianya ditutupi oleh dahan-dahannya, seumpamanya di dunia ini ialah matahari, puncanya satu dan cahayanya di setiap tempat.
14. Adapun tempat yang tidak terkena cahaya matahari melainkan sekali sahaja ialah tanah laut di mana Allah membelahkan laut untuk Nabi Musa AS. Lalu air melambung tinggi seperti bukit dan tanah itu menjadi kering kerana terkena cahaya matahari ke atasnya kemudian air laut kembali ke tempatnya.
15. Adapun pokok yang tumbuh tanpa air ialah Pokok Yunus. Ianya merupakan satu mukjizat baginya sebagaimana firman-Nya di dalam Surah al-Saffat (37): 146: "Dan kami tumbuhkan untuk dia sebatang pokok dari jenis labu."
16. Adapun makanan ahli syurga seumpama mereka di dunia ini ialah janin di perut ibunya, menghisap makanan dari pusatibunya, tanpa kencing dan berak.
17. Adapun warna-warna yang bermacam-macam di satu mangkuk seumpamanya di dunia ini ialah sebiji telur yang mempunyai dua warna; putih dan kuning dan kedua-duanya tidak akan bercampur.
18. Adapun hamba wanita yang keluar dari epal seumpamanya di dunia ini ialah ulat yang keluar dari epal dan tidak berubah.
19. Adapun hamba wanita yang dimiliki oleh dua lelaki ialah seperti satu pokok kurma yang dimiliki di dunia ini oleh Mukmin sepertiku dan oleh orang kafir seperti anda. Dan ianya menjadi milikku sahaja di akhirat kerana ia berada di syurga sedangkan anda tidak memasukinya.
20. Adapun anak-anak kunci syurga ialah Lailaha illa llah Muhammadan Rasulullah. Ibn al-Musayyab berkata: "Apabila raja Rome membacanya dia berkata:"Percakapan seperti ini tidak dapat diucapkan melainkan oleh seorang yang datang dari "rumah kenabian."[al-Hafiz al-'Asimi di dalam Zain al-Fata, di dalam penerangannya mengenai Surah Hal Ata, Sibt Ibn al-Jauzi di dalam Tadhkirah al-Khawwas, hlm. 87] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w),malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
126. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mempersendakan Nabi (S.a.w) di masa hidupnya, apatah lagi di masa sakitnya dan selepas kematinyanya, tetapi khalifah Umar dan kumpulannya telah mempersendakan Nabi (S.a.w) dengan menolak Sunnah Nabi (S.a.w) di hadapannya ketika beliau sedang sakit “ dia sedang meracau” (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69), kemudian menghahalang penyibarannya. (Ibn Sa'd, Tabaqat, V hlm. 140; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, V, hlm. 237, al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm.3] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
127. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengubah Sunnah Nabi (S.a.w),tetapi khalifah Umar telah mengubah sebahagian daripada Sunnah Nabi (S.a.w) (Lihat umpamanya, al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm.137), “kemudian datang kaum selepasnya menjadikan sunnah umar sebagai agama. Lalu mereka beribadat dengannya bagi menghampiri diri mereka kepada Allah SWT”.Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar dan kumpulannya atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
128. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memberikan harta dari Baitulmal melebihi apa yang sepatutnya. Tetapi Khalifah Umar telah memberikan harta dari Baitulmal melebihi apa yang sepatutnya. Dia telah memberikan 'Aisyah dan Hafsah sepuluh ribu dirham setiap tahun.[Ibn al-Athir, al-Kamil, II, hlm. 35] Sedang dia menahan khums Ahlul Bait (a.s) [al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, III, hlm. 61] Dia juga telah menarik balik Fadak dari Fatimah as yang telah diberikan kepadanya oleh ayahandanya Rasulullah (S.a.w). Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Umar atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
BAHAGIAN KETIGA
JIKA KHALIFAH UTHMAN DAN PENGIKUTNYA AHLU S-SUNNAH NABI S.A.W, NESCAYA MEREKA TIDAK MENENTANG SUNNAH NABI S.A.W
Khalifah Uthman dianggap contoh yang unggul sebagai pelaku atau pengamal Sunnah Nabi (Sa.w) selepas khalifah Umar, tetapi para ulama Ahlu s -Sunnah wa l-Jama‘ah juga mencatat sebaliknya di dalam buku-buku mereka. Sekiranya mereka berbohong di dalam catatan mereka, maka mereka tidak boleh dipercayai lagi dan bertanggungjawab di hadapan Allah (swt). Dan sekiranya catatan mereka itu betul, kenapa kita menolaknya dan terus memusuhi Sunnah Nabi (S.a.w) yang bertentangan dengan sunnah Uthman? Justeru itu, adakah khalifah Uthman dan pengikut-pengikutnya Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w)? Berikut di kemukakan sebahagian daripada sunnah khalifah Uthman yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (S.a.w) serta akal yang sejahtera:
1. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melarang kaum Muslimin dari meriwayat dan menulis Sunnah Nabi (S.a.w) dengan sepenuhnya. Tetapi Khalifah Uthman telah melarang kaum Muslimin dari meriwayat dan menulis Sunnah Nabi (S.a.w) dengan sepenuhnya. Dia berkata: "Tidak boleh bagi seseorang meriwayatkan hadis yang tidak diriwayatkan pada masa Abu Bakar dan Umar.( Muntakhab al-Kanz fi Hamisy Musnad Ahmad, IV, hlm. 64; al-Darimi, al- Sunan, I, hlm. 132; Ibn Sa'd, Tabaqat, II, hlm.354] Persoalannya: Jika Sunnah Nabi pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar telah dilarang dari diriwayat dan dituliskan, apa lagi yang tinggal pada masa khalifah Uthman? Malah khalifah Uthman hanya menuruti Sunnah dua khalifah yang terdahulu. Justeru itu ketiga-tiga khalifah tersebut telah melarang atau sekurang-kurangnya tidak memberi kebebasan kepada kaum Muslimin untuk meriwayat atau menulis Sunnah Rasulullah (S.a.w) yang menjadi sumber kedua pentingnya selepas al-Qur'an.
Oleh itu ianya bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w), "Allah memuliakan seseorang yang mendengar hadisku. Kemudian dia menjaganya dan menyebarkannya pula. Kadangkala pembawa ilmu (hadis) membawanya kepada orang yang lebih alim daripadanya dan kadangkala pembawa ilmu (hadis) bukanlah seorang yang alim."[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 437; al-Hakim, al-Mustadrak, I, hlm. 78]. Dan sabdanya, "Siapa yang ditanya tentang ilmu, maka dia menyembunyikannya, Allah akan membelenggukannya dengan api neraka."[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, III, hlm. 263]. Lantaran itu tidak hairanlah jika hadis atau Sunnah Nabi (S.a.w) mulai ditulis secara resminya pada maspemerintahan Umar bin Abdu l-Aziz." Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
2. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mendahulukan khutbah Hari Raya di dalam solat Hari Raya, tetapi Khalifah Uthman adalah orang pertama yang mendahulukan khutbah Hari Raya di dalam solat Hari Raya. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w).[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 137] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
3. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka menjalankan hukum Qisas ke atas pembunuh dengan sengaja, tetapi Khalifah Uthman tidak menjalankan hukum Qisas ke atas Ubaidullah bin Umar al-Khattab kerana membunuh Hurmuzan dan Jufainah.
Sebaliknya membawanya ke Kufah dan membenarkannya menetap di sana. Kaum Muslimin menentang Sunnahnya.[Ibn Hajr, al-Isabah, I, hlm. 619; Ibn Sa'd, Tabaqat, V, hlm. 8-10] Oleh itu pembekuan khalifah Uthman terhadap hukum bunuh Ubaidullah bin Umar yang telah membunuh Hurmuzan dan Jufainah adalah satu perbuatan yang menyalahi nas seperti berikut:
a). Pembunuhan yang dilakukan oleh Ubaidullah hanya berpegang kepada kata-kata Abdur Rahman bin Abu Bakar yang berkata: "Aku lalu di hadapan Abu Lu'luah petang semalam bersama Jufaifah dan Hurmuzan," ini bererti Abdu r-Rahman bin Abu Bakar tidak benar-benar menyaksikan peristiwa itu, dan ini bererti dia bukanlah seorang saksi yang melihat peristiwa tersebut, sedangkan pembunuhan memerlukan dua saksi.
b) Khalifah Uthman berkata: "Hurmuzan tidak mempunyai wali, oleh itu walinya ialah orang-orang Islam, aku adalah khalifah kamu dan aku telah mengampunkannya."[al-Ya'qubi, Tarikh, II, hlm. 141; Ibn Sa'd, Tabaqat, V, hlm. 10]
c) Ali berkata: "Bunuhlah fasiq ini (Ubaidullah bin Umar) kerana dia telah melakukan perkara yang besar, iaitu membunuh seorang Muslim tanpa kesalahan, " lalu dia berkata kepada Ubaidullah, "Wahai si fasiq, jika aku menang dengan kamu pada suatu hari, aku mesti membunuh kamu kerana kamu telah membunuh Hurmuzan."Kata-kata Ali menunjukkan beliau mempercayai bahawa Ubaidullah telah melakukan pembunuhan yang tidak patut dilakukan terhadap Hurmuzan dan Jufainah (Ibid).
d) Mengemukakan Qamazaban sebagai wali Hurmuzan adalah bertentangan dengan kenyataan khalifah Uthman sendiri bahawa Hurmuzan tidak mempunyai wali dan beliau sendiri mengakui bahawa beliaulah yang mengampunkan Ubaidullah dan bukan Qamazaban. Oleh itu riwayat yang mengatakan Qamazaban sebagai wali Hurmuzan dan mengampunkan Ubaidullah adalah riwayat maudhuk (palsu), kerana ia telah diriwayatkan oleh al-Surriy yang meriwayatkan daripada Syu'aib daripada Saifbin Umar daripada Abi al-Mansur. Saif bin Umar adalah "seorang khayalan" yang menciptakan seorang khayalan yang lain bernama Abdullah bin Saba' di mana kedua-dua orang tersebut tidak pernah wujud dan ianya ditulis oleh penulis yang tidak diketahui bagi membenarkan apa yang dilakukan oleh sahabat-sahabat tertentu seperti Uthman dan lain-lain, lantaran itu riwayat tersebut mesti ditolak.
e) Hurmuzan dan Jufainah keduanya adalah Muslim, berasal dari Farsi. Ali sendiri menyatakan bahawa Hurmuzan adalah seorang Muslim, "Bunuhlah fasiq itu (Ubaidullah) kerana ia telah melakukan perkara yang besar, iaitu membunuh seorang Islam tanpa dosa. "[al-Ya'qubi, Tarikh, II, hlm. 141; Ibn Sa'd, Tabaqat, V, hlm. 10] Dengan itu alasan bahawa Hurmuzan dan Jufainah adalah kafir adalah bertentangan dengan kata-kata Ali (a.s) dan pembunuh mereka mestilah dibunuh balas.
f) Khalifah Umar bin al-Khattab sendiri berkata selepas ia ditikam: Aku tidak tahu apa yang sebenarnya berlaku, buatlah penelitian apabila aku mati dan dapatkan saksi yang menyatakan Hurmuzan adalah pembunuhku, jika ada saksi, maka darahnya adalah menepati darahku dan sekiranya tidak ada saksi maka bunuhlah Ubaidullah kerana dia telah membunuh Hurmuzan sdan Jufainah." Oleh itu saksi dalam kespembunuhan tersebut adalah tidak jelas dan tidak mencukupi dua orang saksi lantaran itu tidak hairanlah apabila Ali a.s menjadi khalifah ia menuntut Ubaidullah supaya ia dibalas bunuh, lalu Ubaidullah berlindung di bawah jagaan Muawiyah di Syam dan akhirnya ia terbunuh di Siffin.
Oleh itu pembekuan hukum qisas oleh khalifah Uthman terhadap Ubaidullah bin Umar yang telah membunuh Hurmuzan dan Jufainah adalah menyalahi nas. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
4. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w).), nescaya mereka tidak memberikan khums Afrika Utara kepada Marwan bin Hakam, tetapi Khalifah Uthman telah memberikan khums Afrika Utara kepada Marwan bin Hakam, kemudian Marwan membelanjakannya untuk membina istana. Justeru itu perbuatannya adalah bertentangan dengan nas.[Surah al-Anfal (8): 41] sebagaimana juga ia telah dinyatakan oleh Ibn Abd Rabbih: "Di antara kebencian orang ramai terhadap Uthman ialah memberi fadak kepada Marwan, dan apabila dia membuka Afrika Utara ia mengambil khums dan memberikannya kepada Marwan."[Ibn Abd Rabbih, al-Iqd al-Farid, II, hlm. 261; Ibn Qutaibah, al-Imamah wal- Siyasah, I, hlm. 32] Oleh itu terbukti bahawa ijtihad Uthman memberi fadak dan khums Afrika kepada Marwan adalah bertentangan dengan nas. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
5. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengharamkan Haji Tamattu', sedangkan ia adalah halal. Tetapi Khalifah Uthman mengharamkan Haji Tamattu', sedangkan ia adalah halal. Ali a.s menentang ijtihadnya itu kerana ia menyalahi nas.[al- Bukhari, Sahih, III, hlm. 69; Muslim, Sahih, I, hlm. 349] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
6. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memerintahkan supaya direjam seorang perempuan bersuami yang mengandung 6 bulan, tetapi Khalifah Uthman memerintahkan supaya direjam seorang perempuan bersuami yang mengandung 6 bulan.
Apabila Ali (a.s) mengetahuinya, beliau menentang hukum tersebut kerana ia bertentangan dengan Surah al-Ahqaf (46): 15 dan Surah al- Baqarah (2): 233. Kedua-dua ayat tersebut bererti masa penyusuan ialah 24 bulan dan masa mengandung yang paling kurang ialah 6 bulan. Sepatutnya khalifah Uthman menangguhkan hukuman tersebut dan menyelamatkan kandungan yang tidak berdosa itu.[Malik, al-Muwatta', II, hlm. 176; al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 42] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
7. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak melakukan solat 4 rakaat di Mina, sedangkan Rasulullah (S.a.w) melakukan solat di Mina 2 rakaat, tetapi Khalifah Uthman melakukan solat 4 rakaat di Mina, sedangkan Rasulullah (S.a.w) melakukan solat di Mina 2 rakaat. Daripada Abdullah bin Umar berkata: "Rasulullah (S.a.w) melakukan solat dengan kami di Mina 2 rakaat begitu juga Abu Bakar, Umar dan Uthman di masa awal pemerintahannya. Kemudian Uthman sembahyang 4 rakaat. "Abdullah bin Umar apabila melakukan solat bersama khalifah Uthman di Mina beliau melakukan solat 4 rakaat, tetapi apabila melakukan solat seorang diri, dia melakukan 2 rakaat. [al- Bukhari, Sahih, II, hlm. 154; Muslim, Sahih, II, hlm. 260] Sepatutnya khalifah Uthman mengikut Sunnah Nabi (S.a.w) yang melakukan 2 rakaat Qasar zuhur, Asar dan Isyak di Mina. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
8. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak lari di dalam Perang, tetapi Khalifah Uthman telah lari di dalam Perang Uhud kemudian kembali ke rumahnya selepas tiga hari. Perbuatan ini adalah bertentangan dengan prinsip jihad di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi (S.a.w). [Ibn Hajr, al-Isabah, II, hlm. 190] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
9. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memukul Abu Dhar kemudian mengusirnya ke Rabzah, tetapi Khalifah Uthman telah memukul Abu Dhar kemudian mengusirnya ke Rabzah. Tindakannya itu ialah disebabkan Abu Dhar mengkritiknya kerana menggunakan harta Baitulmal untuk keluarganya.[Ibn Abd al-Birr, al- Isti'ab, I, hlm. 114; al-Ya'qubi, Tarikh, II, hlm. 162; al-Syahrastani, al-Milal, I, hlm. 26] Abu Dhar berkata: Sesungguhnya anda telah melakukan perkara yang tidak ada di dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Demi Tuhan, aku melihat kebenaran dipadamkan,kebatilan dihidupkan, kebenaran dibohongi, cintakan kebendaan tanpa ketakwaan.[al-Ya'qubi, Tarikh, II, hlm. 16] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
10. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memanggil pulang al-Hakam bin al-As dari Taif ke Madinah, tetapi Khalifah Uthman telah memanggil pulang al-Hakam bin al-As dari Taif ke Madinah, sedangkan al-Hakam adalah seorang yang dilaknati dan diusir oleh Rasulullah (S.a.w). Oleh itu tindakannya itu adalah bertentangan dengan nas.[al-Tabari, Tarikh, V, hlm. 60] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
11. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka melaksanakan hukum had ke atas al-Walid bin Uqbah kerana meminum arak, tetapi Khalifah Uthman tidak melaksanakan hukum hudud ke atas al-Walid bin Uqbah kerana meminum arak. Dia mengerjakan solat Subuh empat rakaat di dalam keadaan mabuk dan bertanya: Adakah aku perlu menambah lagi rakaatnya? Mereka menjawab: Tidak, kami telah mengerjakan solat kami. "Mereka memberitahu khalifah Uthman mengenainya, lantas khalifah Uthman memarahi mereka, lalu memukul saksi-saksi tersebut. Kemudian mereka memberitahu Aisyah mengenainya.
Aisyah berkata: "Uthman telah membatalkan hudud dan memukul saksi-saksi. [Ibn Hajr, al-Isabah, III, hlm. 638; Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, V, hlm. 91-92; al-Tabari, Tarikh, V, hlm. 60; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 144] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s- Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
12. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak berpendapat bahawa tidak wajib mandi janabah bagi seorang yang menyetubuhi isterinya tanpa keluar mani, tetapi Khalifah Uthman berpendapat bahawa tidak wajib mandi janabah bagi seorang yang menyetubuhi isterinya tanpa keluar mani. [Muslim, Sahih, I, hlm. 142. Sunnahnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w), "Apabila bertemu dua khatan, maka wajiblah mandi janabah."[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, VI, hlm. 47; al-Turmudhi, Sahih, I, hlm. 16] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
13. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mewajibkan zakat kuda sedangkan Rasulullah (S.a.w) tidak mewajibkannya, tetapi Khalifah Uthman mewajibkan zakat kuda sedangkan Rasulullah (S.a.w), tidak mewajibkannya. Rasulullah (S.a.w) bersabda, "Aku memaafkan kalian zakat kuda dan hamba. "[al- Buladhuri, Ansab al-Asyraf, V, hlm. 26; al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 30; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 62; al-Syafi'i, al-Umm, II, hlm. 22; Muslim, Sahih, I, hlm. 136] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
14. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memerintahkan orang lain supaya tidak mengqasarkan solat melainkan orang yang benar-benar di dalam kesusahan atau kehadiran musuh, tetapi Khalifah Uthman telah memerintahkan gabenor-gabenor-nya supaya tidak mengqasarkan solat melainkan orang yang benar-benar di dalam kesusahan atau kehadiran musuh.[al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 312; al-Baihaqi, Sunan, III, hlm. 137; Ibn Rusyd, Bidayah al- Mujtahid, I, hlm. 163] Tindakannya itu adalah bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah al-Nisa' (4):10:"Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasarkan solat(mu)."
Sebagaimana ianya bertentangan dengan Sunnah Nabi (S.a.w) yang mutlak. Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
15. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memukul seorang sehingga patah tulang rusuknya tanpa sebab yang munasabah,tetapi Khalifah Uthman telah memukul Abdullah bin Mas'ud sehingga patah tulang rusuknya,kerana tidak mahu menyerahkan mushapnya kepada Uthman. Abdullah bin Mas'ud memberitahu kepada Ammar supaya Uthman tidak melakukan solat jenazah ke atasnya nanti.
Uthman meminta maaf, tetapi Abdullah bin Mas'ud berkata:"Aku memohon kepada Allah supaya mengambil hak aku ke atas anda."[Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, III, hlm. 259; Ibn Kathir, Tarikh, VII, hlm. 163; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 157] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
16. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka melantik orang Muhajirin dan Ansar di dalam mengendalikan urusan pemerintahan, tetapi Khalifah Uthman tidak melantik orang Muhajirin dan Ansar di dalam mengendalikan urusan pemerintahannya, dan tidak bermesyuarat dengan mereka pula. Malah melantik kerabat-kerabatnya dari Banu Umaiyyah. [al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 32], sedangkan mereka terdiri daripada orang-orang yang layak untuk memegang jawatan penting seperti gabenor-gabenor dan lain-lain. Tetapi Uthman melantik keluarganya al-Walid bin Uqbah sebagai gabenor di Basrah yang terkenal dengan pemabuk. [al-Tabari, Tarikh, V, hm. 60] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
17. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengambil tempat khas (hima) untuknya dan kerabat-kerabatnya, tetapi Khalifah Uthman telah mengambil tempat khas (hima) untuknya dan kerabat-kerabatnya. Dia melarang kaum Muslimin menggunakan tempat-tempat tersebut yang mengandungi rumput-rumput dan lainlain, sedangkan Rasulullah (S.a.w) menjadikan tempat-tempat tersebut milik bebas kaum Muslimin iaitu mereka bebas memiliki air, rumput, dan api secara saksama. Rasulullah (S.a.w) bersabda: "Kaum Muslimin berkongsi di dalam tiga perkara, rumput-rumputan, air dan api."[al-Halabi, Sirah Nabawiyyah, II, hlm. 78; Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 32] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
18. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membina rumah-rumah mewah untuk isterinya Na'ilah dan anak perempuannya Aisyah dengan menggunakan wang Baitulmal, tetapi Khalifah Uthman telah membina rumah-rumah mewah untuk isterinya Na'ilah dan anak perempuannya Aisyah dengan menggunakan wang Baitulmal. Oleh itu perbuatannya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w), dan tidakhairanlah jika kaum Muslimin mengkritiknya.[Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 32] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
19. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memberikan pungutan zakat melainkan kepada yang berhak sahaja, tetapi Khalifah Uthman telah memberikan pungutan zakat Qadha'ah (di Yaman) kepada al-Hakam bin al-As sebanyak 300,000 Dirham.[al- Baladhuri, Ansab al-Asyraf, V, hlm. 28]. Sedangkan al-Hakam adalah orang yang telah diusir dan dilaknati oleh Rasulullah (S.a.w). [al-Ya'qubi, Tarikh, II, hlm. 145] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
20. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memberikan wang Baitulmal melainkan kepada yang berhak sahaja, tetapi Khalifah Uthman telah memberikan wang Baitulmal kepada Sa'id bin al-As bin Umaiyyah sebanyak 100,000 Dirham. Lantaran itu, Ali, al- Zubair, Talhah, dan Abdur Rahman bin Auf menentangnya.[al- Baladhuri, Ansab al-Asyraf, V, hlm. 28] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
21. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengambil hukum Allah daripada orang yang tidak sepatutnya sedangkan dia seorang khalifah, sepatutnya dia lebih mengetahui sunnah Nabi (S.a.w) daripada orang lain, tetapi Khalifah Uthman telah mengambil hukum Allah daripada Ubayy bin Ka'ab. Dia bertanya Ubayy tentang seorang lelaki mencerai isterinya kemudian merujukkan isterinya di dalam haidh ketiga. Ubayy berkata: "Aku berpendapat dia lebih berhak ke atas isterinya selama isterinya belum "mandi" daripada haidh ketiga." Lalu khalifah Uthman mengambil pendapatnya.[al- Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 417] Riwayat ini menunjukkan bahawa khalifah Uthman tidak mengetahui hukum tersebut sehingga dia belajar daripada Ubayy dan mengambil fatwanya. Dan tidak syak lagi bahawa orang yang mengajarnya adalah lebih baik daripadanya. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
22. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak menghalalkan pengumpulan dua hamba perempuan yang bersaudara untuk disetubuhi oleh pemiliknya secara berasingan, tetapi Khalifah Uthman menghalalkan pengumpulan dua hamba perempuan yang bersaudara untuk disetubuhi oleh pemiliknya secara berasingan dengan firman Tuhan Surah al-Nisa' (4): 23, "Diharamkan atas kamu (mengahwini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan....dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara."Ali (a.s) mengatakan pengumpulan dua perempuan yang bersaudara sama ada di dalam perkahwinan atau perhambaan adalah haram.
Kerana di dalam Surah al-Mukminun (23): 6, "Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hambahamba (perempuan) yang mereka miliki" tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalalkan "pengumpulan dua hamba perempuan yang bersaudara" untuk disetubuhi kerana pengharaman mereka berdua di dalam perkahwinan dan perhambaan adalah sama. Oleh itu semua imam-imam mazhab empat mengharamkannya. [Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm. 193; al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, I, hlm. 359; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, III, hlm. 72; al-Baidhawi, Anwar al- Tanzil, I, hlm. 269; Muslim, Sahih, I, hlm. 416] Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
23. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak membahagikan sepertiga bahagian pusaka kepada ibu simati dengan adanya dua saudara lelakinya (simati), tetapi Khalifah Uthman membahagikan sepertiga bahagian pusaka kepada ibu simati dengan adanya dua saudara lelakinya (si mati) kerana dia memahami dua saudara lelaki (akhwan) bukanlah saudara-saudara (ikhwah).
Tindakannya adalah bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah al-Nisa'(4): 11: "Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara (ikhwah), maka ibunya mendapat seperenam." Apabila khalifah Uthman ditanya: Tidakkah (akhawan) dua saudara termasuk ikhwah (saudarasaudara)? "Dia menjawab:"Apakah aku mampu menentang perkara yang telah berlaku? "Ini bermaksud dia tidak mampu mengubahnya kerana dua orang khalifah sebelumnya telah menetapkan hukuman itu walaupun ianya bertentangan dengan al-Qur'an.[al-Hakim, al-Mustadrak, IV, hlm. 335; al-Sunan al-Kubra, VI, hlm. 227; al-Durr al-Manthur, II, hlm. 126; Ibn Kathir, Tafsir, I, hlm. 459] . Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
24. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memberikan harta Baitulmal kepada orang yang tidak berhak,tetapi Khalifah Uthman telah memberikan kepada Abdullah bin Khalid bin Usyad bin Abi l-As sebanyak 300,000 Dirham dan setiap orang dari kaumnya sebanyak 1,000 Dirham daripada harta Baitulmal kaum Muslimin. [Ibn Abd Rabbih, Iqd al-Fariq, II, hlm. 261; Ibn Qutaibah, Kitab al-Ma'arif, hlm. 84; Ibn Abi l-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, I, hlm. 66]
Dia memberikan kepada Abdullah 400,000 Dirham. Persoalan yang timbul: Kenapakah khalifah Uthman tidak memberikan wang Baitulmal kepada orang-orang seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Dhar, Ammar dan lain-lain? Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
25. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka mengetahui Sunnah Nabi (S.a.w), apatah lagi jika dia seorang pemimpin. Tetapi Khalifah Uthman tidak mengetahui Sunnah Nabi (S.a.w), lalu dia mengambil Sunnah daripada seorang wanita. Seorang wanita datang berjumpa Rasulullah (S.a.w) tentang iddahnya kerana suaminya telah mati dibunuh di dalam misi khas. Dia bertanya Rasulullah (S.a.w) sama ada dia kembali kepada keluarganya Bani Khudrah walaupun suaminya tidak meninggalkan rumah untuknya? Dia berkata: "Rasulullah (S.a.w) bersabda:Ya, aku pun kembali dan apabila aku sampai di masjid beliau memanggilku lantas aku menyahuti panggilannya. Dia bertanya:
"Bagaimana anda berkata? Akupun menerangkan kisah suamiku kepadanya. Maka beliaupun bersabda: "Tinggallah di rumah anda sehingga tamat "iddah." Dia berkata: "Akupun menangguhkan iddahku selama empat bulan sepuluh hari. Khalifah Uthman datang kepadaku dan bertanya mengenainya. Lalu dia mengambilnya dan melaksanakan hukuman tersebut ke atas orang ramai.[Syafi'i, al-Umm, V, hlm. 208; al- Baihaqi, al-Sunan, VII, hlm. 434; Ibn Hajr, al-Isabah, IV, hlm. 346; Malik, al-Muwatta', II, hlm. 86] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s- Sunnah ciptaan mereka sendiri.
26. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak mengatakan bahawa perempuan yang bercerai secara khal' iddahnya ialah satu haidh, tetapi Khalifah Uthman mengatakan bahawa perempuan yang bercerai secara khal' iddahnya ialah satu haidh itupun kerana khuatir ianya hamil. [Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 634; Ibn Kathir, Tafsir, I, hlm. 276; Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, III, hlm. 223] Tindakan khalifah Uthman itu adalah bertentangan dengan Surah al-Baqarah (2): 228,"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Kerana bercerai secara khal' termasuk di dalam al-Muttalaqat(wanita-wanita yang ditalak). Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s- Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
27. Jika mereka Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), nescaya mereka tidak memerintahkan azan (pertama) dilakukan sebelum azan (kedua) khutbah. Tetapi Khalifah Uthman adalah orang yang pertama memerintahkan azan (pertama) dilakukan sebelum azan (kedua) khutbah. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah (S.a.w). [al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa', hlm. 136] Justeru itu mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w), malah mereka adalah Ahlu s-Sunnah Uthman atau Ahlu s-Sunnah ciptaan mereka sendiri.
KESIMPULAN
Khalifah Abu Bakr, Umar dan Uthman telah memeperlihatkan penentangan mereka terhadap (sebahagian) sunnah Nabi (s.a.w) sementara pengikut-pengikut mereka pula mentaati sunnah-sunnah mereka bertiga yang bertentangan dengan sunnah Nabi (S.a.w) berdasarkan catatan para ulama Ahlus Sunnah wa l-Jama‘ah. Justeru itu, mereka bukanlah Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w) di dalam pengertian yang sebenar, malah mereka adalah Ahli Anti Sunnah Nabi (S.a.w) secara sedar ataupun tidak.
Lantaran itu tidak hairanlah, jika Amir al-Mukminin Ali a.s berjuang dengan keras untuk mengembalikan sunnah nabi (s.a.w) ke tempat asalnya, tetapi beliau ditentang oleh Ahlu s-Sunnah wa l- Jama‘ah. Beliau as berkata:
"Khalifah-khalifah sebelumku telah melakukan perbuatanperbuatan yang menyalahi Rasulullah (S.a.w) dengan sengaja. Mereka melanggar janji mereka dengan beliau dengan mengubah sunnahsunnah beliau. Sekarang jika aku memaksa mereka supaya meninggalkannya dan mengembalikan keadaan sebagaimana di zaman Rasulullah (S.a.w), nescaya tenteraku akan bertaburan lari dariku, meninggalkanku bersendirian atau hanya sedikit sahaja di kalangan Syi'ahku yang mengetahui kelebihanku, dan imamahku melalui Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah (S.a.w) akan tinggal bersamaku.
Apa pendapat kalian, sekiranya aku menempatkan Maqam Ibrahim pada tempat yang telah ditempatkan oleh Rasulullah (S.a.w), mengembalikan Fadak kepada pewaris-pewaris Fatimah (a.s), mengembalikan timbangan dan ukuran seperti yang lazim di zaman Rasulullah (S.a.w), mengembalikan tanah kepada orang yang telah diberikan oleh Rasulullah (S.a.w), mengembalikan rumah Ja'far kepada pewarispewarisnya dan memisahkannya dari masjid (kerana mereka telah merampasnya dan memasukkannya ke dalam masjid); mengembalikan hukum-hukum yang kejam yang dipaksa oleh khalifah-khalifah yang terdahulu ke atas wanita-wanita yang secara tidak sah telah dipisahkan dari suami mereka, mengembalikan jizyah kepada Bani Taghlab, mengembalikantanah Khaibar yang telah dibahagikan-bahagikan, memansuhkan dewan-dewan pemberian dengan meneruskan pemberiankepada semua orang sebagaimana dilakukan pada masa Rasulullah (S.a.w) tanpa menjadikannya tertumpu di kalanganorangorang kaya, memulihkan pajak bumi, menyamakan kaum Muslimin di dalam masalah nikah kahwin, melaksanakan khums sebagaimana difardhukan Allah (swt).
Memulihkan Masjid Nabi seperti bentuknya yang asal pada zaman Nabi (S.a.w), menutup pintu-pintu yang dibuka (selepas kewafatan Rasul) dan membuka pintu-pintu yang ditutup (selepas kewafatan Rasul), mengharamkan penyapuan di atas al-Khuffain, mengenakan hukum had ke atas peminum nabidh, memerintahkan halal mut'ah wanita dan mut'ah haji sebagaimana pada zaman Nabi (S.a.w), memerintahkan takbir lima kali dalam solat jenazah, mewajibkan kaum Muslimin membaca Bismillahi r-Rahmani r-Rahim dengan suara yang nyaring pada masa solat, mengeluarkan orang yang dimasukkan bersama Rasulullah (S.a.w) di dalam masjidnya, di mana Rasulullah (S.a.w) telah mengeluarkannya, memasukkan orang yang dikeluarkan selepas Rasulullah (S.a.w) (beliau sendiri) di mana Rasulullah (S.a.w) telah memasukkannya, memaksa kaum Muslimin dengan hukum al- Qur'an dan talak menuruti Sunnah, mengambil zakat menurut jenisjenisnya yang sembilan, mengembalikan wuduk basuh dan solat kepada waktunya, syariatnya dan tempatnya, mengembalikan ahli Najran ke tempat-tempat mereka, mengembalikan layanan terhadap tawanan perang Farsi dan bangsa-bangsa lain kepada kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
Sekiranya aku melaksanakan semua ini, nescaya mereka mengembara meninggalkanku. Demi Allah ketika aku perintahkan orang-orang supaya tidak melakukan solat jama'ah di masjid pada bulan Ramadhan kecuali solat-solat fardhu dan memberitahukan kepada mereka bahawa solat sunat berjama'ah (Tarawih) adalah bid'ah, sekelompok tenteraku yang pernah berperang di pihakku mulai berteriak: "Wahai kaum Muslimin! Ali ingin mengubah sunnah Umar dan bermaksud menghentikan kita dari melakukan solat-solat sunat Tarawih pada bulan Ramadhan sehingga aku khuatir mereka akan memberontak. Pada masa yang sama aku sedang menghadapi perpecahan di kalangan umat dan ketaatan mereka kepada pemimpinpemimpin mereka yang sesat (a’immah dhalalah wa al-Du‘ati ila al-Nar) yang hanya menyeru mereka ke neraka. "[al-Kulaini, al-Raudhah al -Kafi, (vii), hadis 21, hlm. 51-52]
Khalifah Ali (a.s) begitu berdukacita di atas sikap negatif kaum Muslimin terhadap seruannya untuk kembali kepada Sunnah Nabi (S.a.w). Malah mereka pula memarahi beliau. Khalifah Ali (a.s) berkata lagi, "Aneh! Hati ummat ini telah dimabukkan oleh cinta kepada Abu Bakr dan Umar dan menerima segala bid'ah mereka. Kemudian beliau berkata lagi, Aneh! Mereka melihat Sunnah Nabi mereka bertukar-tukar dan berubah-ubah sedikit demi sedikit, bab demi bab.
Kemudian mereka meredhainya tanpa mengingkarinya. Malah mereka memarahi (orang lain) bagi mempertahankannya, mencaci pengkritik-pengkritiknya dan penentang-penentangnya. Kemudian datang kaum selepas kita, lalu mengikuti pula bid'ah-bid'ah tersebut. Lantas mereka mengambil bid'ahbid'ah tersebut sebagai Sunnah dan agama bagi mendekatkan diri kepada Allah (swt)."[Sulaim, Kitab Sulaim, hlm. 134-135 dan selepasnya] Oleh itu Ahlu s-Sunnah Nabi (S.a.w) Adalah para Imam Dua Belas daripada Ahlu l-Bait Nabi (S.a.w) dan pengikut-pengikut mereka yang memepertahankan sunnah Nabi (S.a.w) di sepanjang zaman meskipun mereka menghadapi berbagai-bagai tekanan dan rintangan daripada Ahlu s-Sunnah wa l-Jama‘ah Abu Bakr, Umar dan Uthman yang menjadi penguasa di sepanjang masa.
LAMPIRAN
Surat Ibn Di’bin Tentang Tujuh Puluh Kelebihan Amir al-Mukminin A.S Oleh Syeikh Mufid (m.413 H) Di Dalam Al-Ikhtisas. Bismillahi r-Rahmani r-Rahim. Abdullah-Rahimahu l-Lah- telah memberitahu kami, berkata: Ahmad bin Ali bin al-Hasan bin Syazan telah memberitahu kami, berkata: Abu al-Husain Muhammad bin Ali bin al-Fadhl bin ‘Amir al-Kufi telah meriwayatkan kepada kami, berkata: Abu Abdullah al-Husain bin al-Farazdaq al-Fazari al-Bazzaz telah memberitahu kami, berkata: Abu Isa Muhammad bin Ali bin ‘Umaraih al-Tahan iaitu al-Qarraq telah memberitahu kami, berkata: Abu Muhammad al-Hasan bin Musa telah memberitahu kami, berkata: Ali bin Asbat telah memberitahu kami daripada beberapa orang sahabat Ibn Di’bin1 berkata: Aku telah berjumpa dengan orang ramai sedang bercakap-cakap tentang sifat-sifat keistimewaan Arab.
Mereka berkata: Jika Allah mengutus kepada kita seorang nabi, nescaya sebahagian para sahabatnya mempunyai tujuh puluh sifat terpuji, dunia dan akhirat, maka mereka telah memikir dan mencari-cari adakah akan terkumpul sepuluh sifat yang terpuji pada seorang lelaki, apatah lagi tujuh puluh sifat. Mereka tidak dapat mencari sifat-sifat yang terkumpul untuk dunia dan akhirat. Mereka hanya dapat mencari sepuluh sifat yang terkumpul untuk dunia sahaja, dan bukan untuk akhirat, mereka telah mendapati Zuhair bin Hubab al-Kalbi, mereka telah mendapatinya sebagai penyair, doktor di dalam perubatan, pahlawan, ahli nujum, seorang yang dihormati (syarif), perkasa, tukang tilik, orang yang arif tentang nasab, tukang tenung nasib dengan menggunakan burung, dan penghalang (zajir). Mereka telah menyebut bahawa beliau telah hidup selama tiga ratus tahun.
Ibn Di’bin berkata: Kemudian mereka telah memikir dan mencaricari di kalangan orang Arab yang mengetahui ilmu pemikiran (ahli al- Nazar), maka sifat-sifat tersebut tidak juga terkumpul pada seorang untuk agama dan dunia melainkan pada Ali bin Abu Talib a.s sama ada mereka suka ataupun tidak, lantaran itu, mereka telah mendengkinya sehingga merosakkan hati dan amalan mereka, beliau adalah orang yang lebih berhak dan lebih aula daripada mereka, kerana Allah a.w telah memusnahkan rumah-rumah musyrikin dengannya, menolong Rasul s.a.w dengannya, agama telah menjadi kuat dengan pembunuhan musyrikin olehnya di dalam peperangan Nabi s.a.w.
Ibn Di’bin berkata: Kami telah bertanya kepada mereka: Apakah sifat-sifat tersebut (al-Khisal )? Mereka menjawab: keakraban kepada Rasulullah s.a.w dan menemaninya (al-Mu’asat li-al-Rasul), mengorbankan dirinya kerananya, menjaga kehormatannya (al-Hafizah), menolak kesusahan daripadanya, membenarkan Rasul s.a.w dengan janji, zuhud dan meninggalkan angan-angan, pemalu, murah hati, kefasihan bercakap, kepimpinan, lemah lembut, keilmuan, keputusan yang tepat, keberanian, meninggalkan kegembiraan ketika menang, tidak melahirkan kesukaan, meninggalkan penipuan, dan kelicikan, idak mengudungkan anggota badan musuh (al-Muthlah) sedangkan beliau mampu melakukannya. Kecintaan yang ikhlas kepada Allah s.w.t, memberi makan kepada orang miskin kerana mencintai-Nya, memandang rendah kemenangan yang dicapai di dunia,tidak melebihkan dirinya dan anak-anaknya di atas seorang pun rakyatnya.
Makanannya adalah yang paling rendah yang dimakan oleh rakyatnya, pakaiannya adalah yang paling murah yang dipakai oleh seorang Islam, pembahagiannya adalah saksama, keadilannya pada semua rakyat, maju di dalam peperangannya, orang ramai pernah menghinanya, tetapi beliau menganggapnya sebagai ujian bagi mentaati Allah,mempunyai kekuatan menghafaz di mana orang Arab menamakannya sebagai akal sehingga dinamakan dengan telinga yang jaga (uzunun wa‘iyah), bersifat pemaaf, menyebarkan hikmat, mengeluarkan kalimat, menyampaikan nasihat, keperluan orang ramai apabila beliau berada di hadapan mereka.
Percakapannya diambil, menjelaskan kesamaran kepada orang ramai, mempertahankan mereka yang dizalimi, menolong mereka di dalam kecemasan, mempunyai maruah, menjaga kehormatan perut dan kemaluan, menjaga hartanya dengan baik supaya beliau tidak mengguna harta orang lain, tidak menunjukkan kelemahan dan penyerahan kepada musuh (al-Wahn wa al-Istikanah), tidak mengadu kesakitan kerana lukaluka yang dialaminya, menyembunyikan kelukaannya dari kepala hingga ke kakinya hampir seribu luka pada jalan Allah, menyuruh melakukan kebaikan.
Melarang melakukan keburukan, melaksanakan hukuman sekalipun ke atas dirinya sendiri, tidak menyembunyikan keredaan Allah ke atas anak-anaknya, memberi pengakuan kepada orang ramai tentang kelebihannya yang diturunkan di dalam al-Qur’an, dan manaqibnya yang diceritakan oleh orang ramai mengenainya daripada Rasulullah s.a.w, tidak pernah membantah Rasulullah s.a.w walaupun satu perkataan, tidak pernah meninggalkan sebarang fardu, penyaksian orang ramai bahawa beliau melaksanakan tugasnya untuk mereka dan menahan dirinya daripada dunia mereka, tidak menerima rasuah di dalam menghukum mereka, mempunyai hati yang cerdik, cekal menghadapi hukuman Khawarij ke atasnya, tinggal seorang diri di atas mimbar masjid sedangkan orang ramai telah melarikan diri.
Orang ramai bercakap-cakap bahawa burung telah menangis ke atasnya, riwayat Ibn Syihab al- zuhuri mengatakan bahawa batu Bait al- Maqdis telah bertukar tempat ketika pembunuhannya dan mendapati darah di bawahnya, perkara ini adalah besar sehingga paderi-paderi bercakap-cakap mengenainya, penyeruannya kepada orang ramai supaya bertanya kepadanya tentang fitnah yang menyesatkan seratus orang dan memberi hidayat kepada seratus orang, riwayat orang ramai tentang keajaibannya menceritakan tentang Khawarij dan pembunuhan mereka, tidak melahirkan kemampuannya yang luar biasa, malah melahirkan tangisan, menunjukkan kelemahan diri kepada Allah s.w.t sehingga Rasulullah s.a.w bersabda: Apakah tangisan ini wahai Ali? Beliau menjawab: Aku menangis kerana keredaan Rasulullah terhadap aku.
Maka Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya dan Rasul-Nya telah meredai anda, beliau tidak merasai kesejukan pada hari sejuk, tidak merasai kepanasan pada hari panas, tidak merasai panas dan sejuk, menghunus pedang pada jalan Allah, memberi penerangan kepada orang ramai tentang hukum makhluk-Nya, mempunyai bonggol seperti lembu jantan jauh dari dua bahunya, mempunyai dua lengannya yang kuat di mana tidak seorang pun dapat menguasainya, melainkan beliau menahannya atau membunuhnya.
Ibn Di’bin berkata: Kami berkata: Apakah pengertian al-Mu’asat lial- Rasul (keakraban kepada Rasulullah s.a.w dan menemaninya)? Mereka berkata: Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya: Sesungguhnya Quraisy telah bersepakat untuk membunuh aku, maka anda tidurlah di atas hamparan aku, Ali a.s berkata: dengan nama bapa aku, anda dan ibu aku, aku mendengar dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, lalu beliau telah tidur di atas hamparan Rasulullah s.a.w. Rasulullah s.a.w telah meninggalkan tempatnya dengan perlahan-lahan, Ali a.s telah tidur di atas hamparannya dan Quraisy mengawalnya.
Kemudian mereka mengambilnya, dan berkata: Andalah yang telah menipu kami sejak awal malam; mereka memotong sebatang kayu, lalu memukulnya hampir mereka membinasakannya, kemudian beliau telah melepaskan dirinya daripada tangan mereka, dan Rasulullah s.a.w telah mengutus kepadanya ketika berada di dalam gua supaya beliau menghantarkan kepadanya tiga ekor unta: “Seekor untuk aku, seekor untuk Abu Bakr, dan seekor untuk pemandu jalan. Anda bawalah anakanak perempuan aku sehingga anda datang kepada aku”. Maka Ali a.s telah melaksanakan apa yang diperintahkannya.
Beliau berkata: Apakah maksud menjaga kehormatan(al-Hafizah )? Mereka berkata: Beliau a.s berjalan kaki, dan membawa anak-anak perempuan Rasulullah s.a.w di atas belakangnya. Beliau telah menyembunyikan dirinya pada siang hari dan berjalan kaki dengan mereka sehingga sampai ke tempat Rasulullah s.a.w di mana dua kakinya berdarah beberapa ketika, Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya: Adakah anda mengetahui apakah yang telah diturunkan kepada anda? Maka beliau s.a.w telah memberitahunya apa yang tidak boleh ditukar ganti sekiranya beliau kekal di dunia, tetapi dunia tidaklah kekal.
Beliau bersabda: Telah turun kepada anda Surah Ali Imran (3):195 “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya: Sesungguhnya aku tidak akan menghilangkan amal di antara kamu, baik lelaki (min zakarin) atau perempuan (untha) sebahagian kamu adalah keturunan sebahagian lain. Maka orang-orang yang berhijrah dari kampung halamannya dan diseksa pada jalanKu yang berperang dan dibunuh, pastilah akan Ku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku akan memasukkan mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik” Zakarin (lelaki) di dalam ayat tersebut adalah anda sendiri, dan untha (perempuan) adalah anak-anak perempuan Rasulullah s.a.w. Beliau berkata: Apakah maksud menolak kesusahan daripadanya (daf‘ al-Dhaim)? Mereka berkata: Apabila Rasulullah s.a.w dikepong di lorong bukit,maka Abu Talib telah membelanjakan hartanya dan menghalangnya daripada beberapa kabilah Quraisy, Abu Talib telah berkata sedemikian kepada Ali yang berada bersama-sama Rasulullah s.a.w di dalam urusannya, khidmatnya, membantunya dan menjaganya.
Beliau berkata: Apakah maksud “membenarkannya dengan janjinya” (al-Tasdiq bi l-Wa‘di) Mereka berkata: Rasulullah sendiri telah berkata kepada Ali a.s sedemikian, beliau telah memberitahunya tentang pahala yang banyak bagi mereka yang berjihad dengan baik dengan hartanya, dirinya, dan niatnya. Maka beliau tidak cepat untuk mendapatkan sesuatu daripada pahala dunia sebagai ganti kepada pahala di akhirat. Beliau tidak melebihkan dirinya ke atas seseorang di sisinya. Beliau telah meninggalkan pahalanya di dunia bagi mengambil sepenuhnya di akhirat Beliau telah berjanji kepada Allah bahawa beliau tidak akan mendapati dunia melainkan kadar yang paling minimum, beliau tidak melebihkan dirinya di atas kepenatan badannya dan keringatnya melainkan beliau kemukakannya untuk Allah, maka Allah berfirman di dalam Surah al-Baqarah (2) : 110 “Dan kebaikan apa saja yang kamu lakukan, kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah “
Beliau berkata: Ada orang telah bertanya kepada mereka: Apakah maksud zuhud di dunia (al-Zuhdu fi al-Dunia)? Mereka berkata: Beliau a.s telah memakai kain daripada kapas, dan memotongnya apabila melebihi anak jarinya, memendekkan bahannya yang panjang, menyempitkan di bawahnya sehingga jumlahnya tiga jengkal, di bawahnya dua belas jengkal, dan panjang badannya enam jengkal.
Beliau berkata: Kami telah berkata: Apakah maksud “meninggalkan angan-angan” (tark al-Amal )?
Beliau berkata: Ada orang berkata kepadanya: Ini adalah apa yang anda telah memotongnya di belakang anak jari anda, kenapa anda tidak menutup semuanya? Beliau berkata: Perkara ini lebih cepat daripada itu, Bani Hasyim berkumpul kepadanya secara langsung bertanya kepadanya, meminta supaya beliau memberi pakaiannya kepada mereka, dan beliau telah memakai pakaian orang ramai. Lantaran itu, jawapannya kepada mereka adalah tangisan dan beliau berkata: Dengan nama bapa aku dan ibu aku, siapa pun tidak akan kenyang daripada roti gandum sehingga beliau berjumpa dengan Allah dan beliau berkata:Ini adalah pakaian sederhana di mana orang miskin akan memadai dengannya dan orang mukmin pula boleh menutup dengannya.
Beliau berkata: Apakah yang di maksudkan dengan pemalu (al- Haya’)? Mereka berkata: Beliau tidak pernah menyerang sesiapapun yang mahu membunuhnya, kemudian mendedahkan auratnya melainkan beliau a.s meninggalkannya kerana malu. Beliau berkata: Apakah al-Karam (kemuliaan) ? Mereka berkata: Sa‘d bin Abu Waqqas berkata kepada Ali a.s ketika beliau bermalam bersamanya di al-‘Azzab pada permulaan hijrah: Apakah yang telah menghalang anda untuk meminang anak perempuan Rasulullah s.a.w? Beliau a.s berkata: Aku berani untuk meminang anak perempuan Rasulullah s.a.w? Demi Allah, jika Rasulullah s.a.w mempunyai hamba perempuan pun aku tidak berani. Sa‘d telah menceritakan kata-kata Ali kepada Rasulullah s.a.w, maka Rasulullah s.a.w berkata kepadanya:
Katakan kepadanya beliau akan melakukannya, sesungguhnya aku akan melakukannya. Apabila Sa‘d memberitahunya, beliau menangis. Kemudian beliau berkata: Aku bergembira kerana Allah telah mengumpulkan menantunya bersama kerabatnya. Justeru itu, al-karam adalah orang yang merendahkan dirinya dan meninggalkan kemuliaan ke atas orang lain, kemuliaan Abu Talib telah diketahui umum, Ali a.s adalah sepupu Rasulullah s.a.w di sebelah bapanya dan sebelah ibunya. Bapanya adalah Abu Talib bin Abd al- Muttalib bin Hasyim dan ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hasyim yang didoakan oleh Rasulullah s.a.w pada liang kuburnya. Beliau s.a.w telah mengapankannya dengan bajunya, dan membalutnya dengan kainnya, dan memohon kepada Tuhan supaya tidak luntur kapannya, dan tidak mendedahkan auratnya, malaikat kubur tidak menguasainya, memujinya ketika kematiannya, menyebut kebaikannya dan pendidikannya untuknya iaitu di sisi bapa saudaranya Abu Talib dan bersabda: Seorang pun tidak boleh memberi manfaat kepada aku selain daripadanya.
Kemudian tentang kefasihan bercakap (al-Balaghah). Orang ramai datang kepadanya ketika beliau turun daripada mimbar dan berkata: Kami tidak pernah mendengar seorang pun wahai Amir al-Mukminin, yang lebih fasih daripada anda, maka beliau tersenyum dan berkata: Apa yang menghalang aku? Aku adalah kelahiran Makkah, dan beliau tidak menambahkan mereka selain dua perkataan tersebut.
Kemudian tentang khutbahnya, tidak terdapat daripada orangorang terdahulu dan orang-orang terkemudian yang pernah mendengar khutbah dan percakapannya seumpamanya. Sebahagian ahli dewan menyangka bahawa jika tidak ada percakapan Ali bin Abu Talib a.s dan khutbahnya, serta balaghahnya, nescaya seorang pun tidak dapat menulis surat kepada panglima tentera atau kepada rakyat dengan baik.
Kemudian tentang kepimpinan (al-Ri’asah ), maka semua mereka yang telah memerangi dan menentangnya adalah di atas kejahilan dan kesesatan, mereka berkata: Kami menuntut darah Uthman, dan tidak ada pada diri mereka - tidak mampu- untuk menuntut kepimpinannya bersamanya, beliau a.s berkata: Aku menyeru kamu kepada Allah, kepada Rasul-Nya supaya melaksanakan ikrar kamu dengan Allah dan Rasul-Nya yang mewajibkan ketaatan, dan menyahuti Rasulullah s.a.w kepada ikrar dengan kitab dan Sunnah.
Kemudian tentang lemah lembut (al-Hilmu), Safiyyah binti Abdullah bin Khalaf al-Khaza‘i berkata kepadanya: Semoga Allah menjadikan perempuan-perempuan anda yatim kerana anda sebagaimana anda telah menjadikan perempuan-perempuan kami yatim, semoga Allah menjadikan anak-anak lelaki anda yatim kerana anda sebagaimana anda telah menjadikan anak-anak lelaki kami yatim daripada bapa-bapa mereka, maka orang ramai datang kepadanya dengan cepat, Ali a.s berkata: Tahankan diri kamu daripada perempuan itu, lalu mereka menahan diri mereka daripadanya, lantas perempuan itu berkata kepada keluarganya:
Celakalah kamu yang telah berkata sedemikian; mereka telah mendengar percakapan Ali a.s dengan kagum kerana lemah lembutnya (hilmu-hu) terhadapnya. Kemudian tentang ilmu (al-‘Ilm), berapa banyak perkataan yang telah dikatakan ‘Umar kepadanya: Jika tidak ada Ali, nescaya binasalah ‘Umar (Laula ‘Ali la-halaka ‘Umar). Kemudian tentang mesyuarat (al-Musywarah) pada setiap perkara yang telah berlaku di antara mereka sehingga beliau menunjukkan kepada mereka jalan keluar.
Kemudian tentang penghakiman (al-Qadha’) di mana beliau tidak pernah berkata kepada seorang pun yang datang kepadanya: Datanglah besok, atau menolaknya. Sesungguhnya beliau telah menyelesaikan penghakiman pada tempat itu juga. Kemudian apabila lelaki itu datang kembali, maka beliaulah yang memulakannya.
Kemudian tentang keberanian (al-Syaja‘ah) di mana tidak terdapat orang-orang terdahulu atau orang-orang yang terkemudian yang mempunyai keberanian sepertinya; beliau tidak pernah berpaling belakang kepada musuhnya, membunuh sesiapa yang bertarung (yabruzu ilai-hi) dengannya, tidak pernah menjadi pengecut kepada sesiapa yang mencabarnya (da‘a-hu ila mubarazati-hi). Beliau tidak memukul atau menikam seseorang secara panjang, malah beliau mengeratnya (qudda-hu), beliau tidak memukul atau menikam seseorang secara melintang melainkan beliau memotongnya kepada dua bahagian (qata‘a-hu bi-nisfaini). Mereka telah menyebut bahawa Rasulullah s.a.w telah membawanya di atas kuda, maka beliau berkata: Demi bapa aku, anda, dan ibu aku, apakah perlu aku kepada kuda, aku tidak mengikut sesiapapun, aku tidak lari daripada seseorang pun (wa-la afirru)Dan apabila aku menghunus pedang aku, aku tidak akan meletakkannya melainkan (wa idha artadai-tu saifi lam adha‘-hu illa li l-Ladhi artadi lahu) kepada orang yang aku hunus untuknya.
Kemudian beliau telah meninggalkan kegembiraan (tark al-Farah) dan meninggalkan kesukaannya (tark al-Marah) ketika sampai berita gembira kepada Rasulullah s.a.w tentang pembunuhan mereka yang terbunuh di Uhud daripada tentera musuh, tetapi beliau a.s tidak bergembira dan bermegah dengannya, tetapi Abu Dujanah telah bermegah dan berjalan di antara dua saf dalam keadaan bermegah diri, maka Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya: Sesungguhnya perjalanan anda sedemikian dimurkai Allah melainkan pada tempat ini ”
Kemudian apabila beliau melakukan di Khaibar apa yang telah dilakukannya, dan larilah mereka yang telah lari, Rasulullah s.a w bersabda: Aku akan memberi bendera kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya (la a‘tiyanna al-Rayata rajulan yuhibbu l- Laha wa rasula-hu). Sementara Allah dan Rasul-Nya mencintainya pula, dan bukan lari (wa yuhibbu-hu l-Lahu wa rassulu-hu laisa bi-farrar) di dalam peperangan.
Sabdanya bahawa ‘beliau tidak lari” adalah sebagai satu sindiran kepada mereka yang telah lari di dalam peperangan sebelumnya, beliau telah membukanya dan membunuh musuhnya, membawa pintu kota Khaibar seorang diri, ianya tidak mampu dibawa oleh empat puluh orang lelaki, berita itu sampai kepada Rasulullah s.a.w, maka beliau telah bangun di dalam keadaan gembira. Apabila sampai berita kepada Ali a.s bahawa Rasulullah s.a.w datang kepadanya, beliau a.s pergi kepadanya.
Rasulullah s.a.w berkata kepadanya: Telah sampai kepada aku ujian anda, maka aku meredai anda. Lantas Ali a.s menangis pada masa itu juga.
Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya: Tahankan diri anda, apakah yang membuatkan anda menangis? Beliau berkata: Kenapa aku tidak menangis sedangkan Rasulullah s.a.w meredai aku? Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, dan Rasul-Nya meredai anda, dan bersabda lagi: Jika aku tidak takut sebahagian umat aku akan berkata sebagaimana telah berkata orang-orang Kristian tentang Isa bin Maryam, nescaya aku akan berkata kepada anda pada hari ini perkataan di mana orang-orang Islam sama ada sedikit ataupun ramai, akan mengambil tanah di bawah dua tapak kaki anda kerana mendapatkan berkat.
Kemudian beliau telah meninggalkan penipuan, tipu helah, dan kelicikan, orang ramai telah berkumpul, lalu mereka berkata kepadanya: Tuliskan, wahai Amir al-Mukminin, kepada orang yang menyalahi anda tentang wilayahnya, kemudian pecatlah dia. Lantas beliau berkata: Penipuan, tipu helah, dan kelicikan adalah di neraka. Kemudian beliau telah meninggalkan perbuatan mengudungkan anggota badan musuh (al-Muthlah). Beliau telah berkata kepada anak lelakinya al-Hasan a.s: Wahai anak lelakiku, bunuhlah pembunuh aku, dan jauhilah dari mengudungkan anggota badan aku, kerana Rasulullah s.a.w membencinya sekalipun terhadap anjing yang ganas.
Kemudian cinta mendekatkan diri kepada Allah dengan bersedekah, Rasulullah s.a.w bersabda kepada Ali a.s: Apakah anda telah lakukan pada malam anda? Beliau berkata: Kenapa wahai Rasulullah s.a.w? Beliau bersabda: Telah diturunkan kepada anda empat ayat, beliau a.s berkata: Dengan nama bapa aku, anda dan ibu aku, bahawa bersama aku empat dirham, aku telah bersedekah satu dirham pada waktu malam, satu dirham pada siang hari, satu dirham secara rahsia dan satu dirham secara terang-terangan, beliau s.a.w bersabda:
Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada anda Surah al-Baqarah (2):274 “Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada waktu malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka.Tidak ada ketakutan kepada mereka dan mereka tidak (pula) bersedih”
Kemudian beliau s.a.w bersabda kepadanya: Adakah anda telah melakukan sesuatu selain daripada ini? Sesungguhnya Allah telah menurunkan ke atas anda tujuh belas ayat; Surah al-Insan (76) :5-22 “ Sesungguhnya orang-orang yang membuat kebaikan minum dari gelas yang campurannya adalah air kafur” sehingga firman-Nya “ Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu,dan usahamu adalah disyukuri ” Dan firman-Nya “Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin anak yatim, dan orang yang ditawan” Al-‘Alim berkata: Walaupun Ali tidak menyebut “kerana Allah” di dalam ayat di atas, tetapi di dalam ayat berikutnya perkataan “ kerana Allah” di sebut. “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharap Allah, kami tidak menghendaki balasan daripada kamu dan tidak (pula) terima kasih” kerana Allah telah mengetahui di hati Ali a.s bahawa beliau a.s telah memberi makanan kerana Allah, lantaran itu, Dia telah memberitahunya apa yang Dia mengetahui daripada hatinya tanpa memperkatakannya.
Kemudian tentang hinanya habuan dunia yang didapatinya, beliau telah mengumpul harta kemudian memasukinya dan berkata: Inilah jenayahku dan pilihannya padanya Kerana setiap buah,tangannya ke mulut jua Beliau berkata: Aku adalah ketua mukminin, harta adalah ketua orang-orang yang zalim, kemudian beliau tidak menunjukkan kelebihan dirinya (taraka al-Tafdhil), dan anak-anaknya ke atas seorang pun ahli Islam, adik perempuannya bernama Ummu Hani’ bin Abu Talib datang kepadanya, lalu beliau a.s memberi kepadanya dua puluh dirham, kemudian Ummu Hani’ telah bertanya hamba perempuannya yang bukan Arab berkata: Berapakah Amir al-Mukminin a.s telah memberi kepada anda? Beliau berakta: Dua puluh dirham, maka Ummi Hani’ kembali ke rumah di dalam keadaan marah, maka Beliau a.s berkata kepadanya: Pulanglah anda, semoga dirahmati Allah, kami tidak dapati di dalam kitab Allah kelebihan Ismail ke atas Ishaq.
Diutus kepadanya anak-anak perempuan Kaisar, beliau berkata kepada mereka: Aku akan mengahwini kamu? Mereka berkata kepadanya: Kami tidak berhajat untuk berkahwin dengan anda, kerana tiada kufu bagi kami melainkan anak-anak lelaki anda, jika anda mengahwinkan kami dengan mereka, maka kami reda.
Beliau a.s tidak suka mengutamakan anak-anaknya daripada orang lain. Diutus kepadanya dari Basrah hadiah dari kapal karam yang tidak diketahui nilainya, anak perempuannya Umm Kalthum berkata kepadanya: Wahai Amir al-Mukminin! Bolehkah aku memakainya? Ia akan berada di leher aku? Beliau a.s berkata: Wahai Abu Rafi‘, Masukkannya ke dalam Baitulmal.
Beliau telah berdiri memberi khutbah di Madinah manakala beliau dilantik dan berkata: Wahai kaum muhajirin dan ansar! Wahai kaum Quraisy! Ketahuilah, demi Tuhan, aku tidak membezakan di kalangan kamu selama aku ada kaitan di Yathrib, adakah kamu melihat aku menegah diri aku dan anak-anak aku, tetapi memberi kepada kamu, aku akan menyamakan di antara si hitam dan si merah? ‘Aqil bin Abu Talib berdiri dan berkata:Anda akan menjadikan aku dan si hitam di bandar Sudan itu sama? Beliau a.s berkata kepadanya: Duduklah anda,semoga dirahmati Allah, adakah orang lain akan bercakap? Tidak ada kelebihan anda ke atas mereka melainkan orang pertama memeluk Islam (sabiqah) atau takwa.
Kemudian tentang pakaian (al-Libas) Ziad bin Siddad al-Harithi sahabat Rasulullah s.a.w telah meminta tolong ke atas saudaranya Ubaidillah bin Siddad dan berkata: Wahai Amir al-Muminin! Saudaraku telah pergi beribadat dan beliau enggan tinggal bersama aku di rumahku, dan memakai pakaian yang paling murah, beliau berkata: Wahai Amir al-Mukminin, aku telah menghiaskan diri aku dengan hiasan anda, dan aku telah memakai pakaian anda, Amir al-Mukminin a.s berkata: Anda janganlah berbuat demikian, kerana imam muslimin apabila mengendalikan urusan mereka, memakai pakaian yang paling murah yang pernah dipakai oleh orang-orang fakir mereka supaya orang fakir tidak memberontak dengan kefakirannya, lalu membunuhnya. Justeru itu, aku memberitahu anda bahawa anda pakailah pakaian kaum anda yang paling baik. Surah al-Dhuha (93):11“Dan terhadap nikmat Tuhanmu,maka hendaklah kamu menyebutnyebutnya” Beramal dengan nikmat adalah lebih aku sukai dari bercakap mengenainya.
Kemudian tentang pembahagian sama rata (al-Qasm), dan keadilan kepada rakyat, beliau telah melantik Ammar bin Yasir, dan Abu al- Haitham al-Taihan menjaga Baitulmal, lalu menulis: Arab, Quraisy, Ansar dan bukan Arab, malah setiap orang Islam yang terdiri daripada kabilah Arab atau bukan Arab adalah sama di dalam pembahagian, Sahal bin Hanif dan hambanya yang berkulit hitam datang kepadanya:
Berapakah anda akan memberi kepadanya? Amir al-Mukminin a.s berkata kepadanya: Berapakah anda akan mengambilnya untuk anda? Beliau berkata: Tiga dinar, orang ramai telah mengambil tiga dinar.
Beliau berkata: Mereka telah memberi kepada hambanya jumlah yang telah diambil olehnya iaitu sebanyak tiga dinar, manakala orang ramai mengetahui bahawa tidak ada kelebihan sesama mereka melainkan dengan takwa kepada Allah, maka Talhah dan al-Zubair telah mendatangi Ammar bin Yasir dan Abu al-Haitham bin al-Taihan ,lalu mereka berdua berkata: Wahai Abu Yaqzan, benarkan kami berjumpa dengan sahabat anda. Beliau berkata: Sahabat aku telah membenarkannya. Beliau a.s telah mengambil bakulnya dan peralatannya, lalu pergi bekerja di kebun kurma di Bi’r al-Malik menanam pokok kurma. Ini sebahagian keadilannya terhadap rakyat dan pembahagiannya yang sama rata.
Ibn Di’bin berkata: Kami bertanya: Apakah makanan rakyat yang paling rendah? Beliau berkata: Orang ramai bercakap-cakap bahawa makanannya adalah roti dan daging,beliau memakan gandum dan minyak zaitun. Beliau cepat menamatkan makanannya supaya tidak ditambah pada makanannya. Beliau telah mendengar kuali di rumahnya, lantas beliau bangun sambil berkata: Pada zimmah Ali bin Abu Talib kuali yang menggerodak, ada orang memberitahunya tentangnya, lalu keluarganya menjadi takut. Mereka berkata: Wahai Amir al-Mukminin! Sesungguhnya beliau adalah isteri anda telah menyembelih unta di kampungnya, lalu diambil sebahagian daripadanya untuknya. Keluarganya telah menghadiahkannya kepadanya. Beliau a.s berkata: Makanlah dengan baik.
Ada orang berkata: Amir al-Mukminin a.s tidak pernah mengadu kesakitannya melainkan ketika saat kematiannya. Beliau takut menerima hadiah daripada rakyatnya, kerana penerimaan hadiah oleh pemerintah adalah suatu pengkhianatan kepada kaum muslimin.
Ada orang berkata: Apakah ketahanan (al-Saramah)? Beliau menjawab: Beliau a.s telah pulang daripada peperangannya,maka beliau telah berkhemah di kebun kurma, orang ramai kembali ke rumah mereka, dan meminta kebenarannya, mereka berkata: Pedang-pedang kami telah menjadi tumpul, dan mata lembing kami telah hilang kesannya, lantaran itu, izinlah kami pulang, kami akan kembali lagi dengan semangat baru, tetapi beliau telah tinggal di kemnya di kebun kurma dan berkata: Sesungguhnya panglima perang berjaga malam, dahaga air pada siangnya, tidak bersama-sama perempuanperempuannya dan anak-anaknya, beliau bukanlah pulang ke rumah, dan kembali kepadanya.
Beliau bukanlah orang yang bermukim, kemudian tinggal di kemnya, apabila beliau melihat semuanya ini, beliau memasuki Kufah dan menaiki mimbar, lantas berkata: Kamu adalah singa yang garang ketika kelaparan,dan serigala yang pantas, tetapi kamu bukanlah menentang musuh dengan kekuatan kamu. Wahai mereka di mana badan –badan mereka bersatu, tetapi nafsu-nafsu mereka berbeza, tiada kekuatan dakwah mereka bagi menyeru kamu, tiada rehat bagi hati mereka yang menentang kamu bersama mana-mana imam selepas aku, di negeri manakah selepas ini kamu mengelak dari berperang? Beliau a.s pada peperangannya yang terakhir amat berdukacita, dan marah sehingga orang ramai menghinanya.
Beliau berkata: Apakah itu penghafazan (al-Hifz)? Beliau berkata: Orang Arab menamakannya al-‘Aql, apa yang telah diberitahu oleh Rasulullah s.a.w kepadanya beliau menghafaznya, beliau menyedari apa yang diturunkan kepada Nabi-Nya, tidak sesuatu yang pelik turun dari langit melainkan beliau bertanya kepadanya tentangnya sehingga turun ayat dalam Surah al-Haqah (69):12 “agar diperhatikan oleh telinga yang mahu mendengar” Beliaulah telinga yang mendengar, pada suatu hari beliau a.s datang ke pintu Rasulullah s.a.w, dan para malaikat telah memberi salam kepadanya di dalam keadaan beliau berdiri sehingga mereka selesai memberi salam kepadanya. Kemudian beliau memasuki rumah Rasulullah s.a.w dan berkata kepadanya: Wahai Rasulullah! Lebih empat ratus malaikat telah memberi salam kepada anda, beliau s.a.w bersabda: Apakah yang membuatkan anda mengetahuinya? Ali a.s berkata: Aku telah menghafaz bahasa-bahasa mereka (hafaztu lughaatahum).
Setiap Malaikat telah memberi salam kepadanya dengan bahasa yang berbeza daripada yang lain. Al-Sayyid Ismail al-Humairi berkata: Beliau terus memasukkan dua tapak tangannya mendengar Seolah-olah beliau menghitungnya dari ahli kampung kami Membawa kepadanya barang berharga Bahtera India membawa nakhoda di kalangan kami Ibn Di’bin berkata: Ahli kampung kami adalah dari negeri Syam di mana ahlinya sebaik-baik kaum.
Ibn Di’bin berkata: Aku telah mendapati orang ramai memandang rendah mana-mana percakapan yang tidak dapat menyerupai percakapannya. Mereka berkata : Ali a.s berdiri dan bercakap dari gelincir matahari sehingga jatuh matahari, mereka mendengarnya berkata: Demi Tuhan, aku tidak datang kepada kamu secara sukarela, tetapi aku telah mendatangi kamu kerana cintakan kamu…. Kemudian tentang hikmat, dan pengeluaran kalimat dengan bijaksana di mana mereka tidak pernah mendengarnya daripada orang lain seumpamanya, beliau a.s telah berkata kepada seorang lelaki: Beliau dilarang, tetapi tidak berhenti, menyuruh manusia apa yang tidak memberi faedah, menuntut lebihan apa yang ada, dan menghilangkan apa yang diberikan, beliau mencintai orang-orang yang soleh, tetapi tidak beramal dengan amalan mereka, beliau memarahi orang-orang yang jahat, tetapi beliau adalah seorang daripada mereka, menyegerakan perkara dunia yang binasa,meninggalkan perkara akhirat yang kekal, membenci kematian kerana dosa-dosanya, dan tidak meninggalkan dosa-dosanya di dalam hidupnya.
Kemudian orang lain berhajat kepadanya sedangkan beliau tidak berhajat kepada mereka, beliau sentiasa mempunyai tempat di kalangan manusia seperti kedatangan Yahudi bertanyakan kepadanya secara degil, kemudian beliau memberitahu mereka apa yang ada di Taurat tentang mereka, berapa ramai Yahudi telah memeluk Islam kerananya!.
Adapun tidak berhajatnya beliau kepada orang ramai, kerana beliau tidak pernah berada di pintu seorang daripada mereka bertanyakan kepadanya walaupun satu kalimat, dan beliau tidak mengambil faedah sekalipun satu huruf daripadanya.
Kemudian mempertahankan orang yang dizalimi dan menolong orang di dalam kesusahan, orang-orang Kufah mengatakan bahawa Sa‘id bin al-Qais al-Hamdani telah melihatnya pada suatu hari di dalam keadaan cuaca panas terik di suatu kawasan, lalu beliau berkata: Wahai Amir al-Mukminin, di saat ini anda berada di sini? Beliau a.s berkata:
Aku telah keluar kerana ingin menolong orang yang dizalimi,atau menolong orang di dalam kesusahan, tiba-tiba seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: Wahai Amir al-Mukminin! Suami aku telah menzalimi aku dengan menyerang ke atas aku, dan bersumpah untuk memukul aku, maka pergilah kepadanya bersama-sama aku, beliau a.s menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatnya sambil berkata: Tidak, demi Tuhan, sehingga diambil daripada orang yang dizalimi akan haknya tanpa teragak-agak lagi, di manakah rumah anda? Beliau berkata: Di tempat itu dan itu. Beliau berlepas bersamasamanya sehingga sampai di rumahnya, dan beliau berkata:Inilah rumah aku, lalu beliau a.s memberi salam, kemudian seorang pemuda keluar dengan memakai kain yang berwarna-warni, lalu beliau a.s berkata: Bertakwalah anda kepada Allah. Sesungguhnya anda telah menakut-nakutkan isteri anda, pemuda itu menjawab: Apakah kaitan anda di dalam perkara ini? Demi Tuhan, aku akan membakarnya dengan api kerana kata-kata anda, beliau a.s berkata: Aku memerintahkan anda perkara yang baik dan melarang anda perkara yang mungkar, sekarang anda menolak perkara yang baik, maka bertaubatlah anda, jika tidak, aku akan membunuh anda. Orang ramai datang untuk bertanya Amir al-Mukminin a.s tentang apa yang berlaku.
Kemudian pemuda itu menyesal di atas perbuatannya dan berkata: Wahai Amir al-Mukminin, maafkan kami, semoga Allah memaafkan anda.
Demi Tuhan, aku akan menjadikan bumi tempat anda berpijak sebagai ingatan, lantas beliau menyuruh isterinya masuk ke dalam rumah, beliau membaca “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikbisikan mereka, kecuali bisikan daripada orang yang menyuruh memberi sedekah atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia ” Segala puji bagi Allah yang telah membaiki aku dan isteri aku, Allah berfirman Surah al-Nisa’ (4):114 “Tidak ada kebaikan pada kebanyaakan bisik-bisikan mereka,kecuali bisikan daripada orang yang menyuruh memberi sedekah atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia.Dan barangsiapa yang berbuat demikian kerana mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar”
Kemudian tentang maruah, menjaga perut, kemaluan, dan pembaikan harta. Adakah kamu telah melihat seorang yang telah memukul bukit dengan tukul, kemudian keluar darinya longgokan emas seperti tengkuk unta yang disembelih, setiap kali ia keluar, beliau berkata: Beritahu berita gembira kepada pewaris, kemudian beliau menjadikannya sebagai sedekah secara ketulan sehingga Allah mewariskan bumi ini kepada siapa di atasnya bagi memalingkan neraka dari mukanya, dan memalingkan mukanya dari neraka.
Ibn Di’bin berkata: Beliau a.s telah membawa karung yang mengandungi tiga ratus ribu biji kurma, ada orang bertanya beliau mengenainya, beliau telah menanam semua biji tersebut, dan kesemuanya telah tumbuh.
Kemudian beliau tidak menunjukkan kelemahan dan penyerahan kepada musuh (al-Wahn wa al-Istikanah). Beliau telah kembali dari peperangan Uhud dengan lapan puluh luka-luka, beliau telah memasukkan pembalut di satu tempat dan mengeluarkannya dari tempat yang lain, maka Rasulullah s.a.w telah datang melawatnya di mana beliau a.s pada masa itu sepertilah seketul daging di atas hamparan, manakala Rasulullah s.a.w melihatnya, beliau s.a.w terus menangis dan bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki yang ditimpa begini kerana Allah, maka berhak bagi Allah melakukan sesuatu untuknya dan beliau juga melakukan sesuatu untuk Allah.
Maka Ali a.s berkata kepadanya: Dengan nama bapa aku, anda dan ibu aku, segala puji bagi Allah yang tidak melihat aku lari daripada anda dan aku tidak melarikan diri aku,dengan nama bapa aku, anda dan ibu aku kenapakah aku telah dihalang untuk menjadi syahid? Beliau bersabda: Sesungguhnya ia akan berlaku kepada anda Insya’ Allah, kemudian Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya Abu Sufyan telah menghantar perjanjian di antara kita dan kamu “singa merah”. Beliau a.s berkata: Dengan nama bapa aku, anda dan ibu aku, demi Allah, jika aku dibawa oleh beberapa orang lelaki berhadapan musuh, nescaya aku tidak akan lari daripada anda.
Kemudian turun ayat di dalam Surah Ali Imran (3):146 “ Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah kerana bencana menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu,dan tidak pula menyerah (kepada musuh).Allah menyukai orang-orang yang sabar ” dan turun ayat sebelumnya kepadanya a.s Surah Ali Imran (3) : 145 “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya .Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia, nescaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat, maka kami berikan kepadanya pahala akhirat.Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”
Kemudian beliau tidak mengadu (al-Syikayah) tentang kesakitan lukanya, dua orang perempuan telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w mengenai kesakitan lukanya dan berkata: Wahai Rasulullah s.a.w ! Kami khuatir tentang bahaya lukanya dan kesakitan yang dialaminya, kesan lukanya ketika beliau mati adalah seribu luka dari kepala sehingga kepada kakinya.
Kemudian tentang menyuruh melakukan kebaikan dan melarang melakukan kemungkaran, beliau a.s berkhutbah: Wahai manusia! Perintahkan manusia melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan kemungkaran, kerana kedua-duanya tidak akan mendekatkan ajal, dan tidak melewatkan rezeki. Mereka menyebutkan bahawa beliau a.s telah mengambil wuduk bersama-sama orang ramai. Tiba-tiba seorang lelaki menghimpitkannya.
Lalu beliau memukulnya dengan cemeti sambil berkata:Ini bukan caranya anda melakukan kepada aku. Jika orang yang lebih lemah daripada aku datang, dan anda melakukan kepadanya perkara yang sama, maka anda bertanggung jawab. Pada suatu hari beliau telah berteduh di sebuah kedai daripada hujan, lalu beliau diusir oleh tuan kedai tersebut yang tidak mengenalinya. Kemudian beliau telah menjalankan hudud sekalipun ke atas dirinya dan anak-anaknya.
Sementara orang ramai tidak menjalankannya ke atas orang-orang kenamaan. Adakah seorang pernah mendengar bahawa seorang kenamaan telah dijalankan had ke atasnya oleh seseorang selain daripadanya? Di antaranya adalah ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin al-Khattab, Qudamah bin Maz‘un, dan al-Walid bin ‘Uqbah bin Abu Mu‘it telah meminum arak, orang ramai telah menahan diri mereka dari menjalankan had ke atas mereka dan terus pulang ke rumah mereka, tetapi beliau a.s telah memukul mereka dengan tangannya, kerana khuatir hukum hudud dibekukan.
Kemudian beliau tidak menyembunyikan apa yang telah berlaku terhadap anak perempuannya Ummi Kalthum manakala seorang gabenor telah menghadiahkan minyak wangi kepadanya. Beliau a.s menaiki mimbar dan berkata: Wahai manusia! Sesungguhnya Ummi Kalthum binti Ali telah mengkhianati kamu dengan minyak wangi, demi Tuhan, jika beliau mencurinya, nescaya aku akan memotong tangannya sebagaimana aku memotong tangan perempuan-perempuan kamu.
Kemudian tentang ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan tentang kelebihannya adalah tidak terkira banyaknya, kemudian mereka bersepakat bahawa beliau a.s tidak pernah membantah Rasulullah s.a w sekalipun satu kalimah, tidak pernah berganjak dari tempat yang diutusnya, beliau memberi khidmat kepada Rasulullah s.a.w pada masa musafirnya, memenuhi bekas airnya, mengupas kulit gandum, mengawal di hadapannya dengan pedang sehingga beliau s.a.w memerintahnya supaya duduk atau pulang.
Beliau telah diutus beberapa kali untuk mendapat air dari Juhfah, orang lain tidak membawa air pulang kerana kesukaran mendapatkannya. Kemudian beliau datang dan membawa air pulang dengan banyak sehingga dialu-alukan oleh para malaikat, Rasulullah s.a.w telah memberitahunya tentang perkara tersebut dan bersabda: Itulah Jibrail dengan seribu malaikat, Mikail dengan seribu malaikat, dan Israfil dengan seribu malaikat. Sayyid Ismail al-Humairi berkata:
Itulah dia orang yang telah diberi salam pada suatu malam Ke atasnya Mikail,dan Jibrail Mikail dengan seribu dan Jibrail dengan Seribu kemudian diikuti Israfil Kemudian orang ramai memasuki rumahnya satu hari sebelum kesyahidannya bahawa mereka naik saksi sesungguhnya beliau telah melaksanakan tugasnya terhadap mereka dengan saksama,tidak menerima rasuah di dalam penghakiman mereka, tidak mengambil harta dari Baitulmal walaupun seberat tali unta, beliau tidak makan melainkan sekadar mencukupi dirinya, mereka juga telah memberi penyaksian bahawa sesungguhnya mereka yang paling jauh kedudukannya adalah mereka yang paling hampir kepadanya.
Catatan kaki:
1. Namanya Abu al-Walid Isa bin Yazid bin Bakr ibn Di’bin, tinggal di Hijaz semasa pemerintahan Musa al-Hadi al-‘Abbasi. Al-Ikhtisas, hlm.144-160, Qum tt.
BIBLIOGRAFI
1. Abu l-Fida’, Tarikh, Cairo, 1384 H.
2. Abu “Ubaid, Kitab al-Amwal, Baghdad 1958.
3. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Bairut, 1382 H.
4. Al-Asy”ari,Abu l-Hasan Ali bin Ismail, al-Ibanah ‘an Usul al-
5. Diyanah, Cairo, 1385 H.
6. Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, Baghdad, 1959.
7. Al-Baladhuri, Ansab al-Asyraf, Tunis 1384 H.
8. Al-Baqillqni, al-Tamhid, Baghdad,1960.
9. Al-Bukhari, Sahih, Bairut , 1377 H.
10. Al-Darimi, al-Sunan, Cairo, 1385 H.
11. Al-Dhahabi, al-Talkhis, Cair o,1969.
12. Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Cairo 1967.
13. Al-Haitaham, Majma’ al-Zawaid, Baghdad, 1378 H.
14. Al-Hakim, al-Mustadrak, Cairo, 1969.
15. Al-Halabi, Sirah al-Nabawiyyah, Cairo, 1362 H.
16. Ibn ‘Abd al-Birr, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Sahabah ,Cairo, 1365.
17. Ibn ‘Abd Rabbih, ’Iqd al-Farid,Tunis, 1378H.
18. Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah , Baghdad, 1382 H.
19. Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah ,1959.
20. Ibn Hajr, al-Isabah fi Ma’rifah al-Sahabah ,Bairut, 1953.
21. ________Fath al-Bari, Cairo, 1958.
22. Ibn Hajr al-Naithami, al-(S.a.w’iq al-Muhriqah , Cairo, 1383 H.
23. Ibn Kathir ,Tafsir, Cairo,1381 H.
24. Ibn Majah ,al-Sunan, Baghdad, 1367 H.
25. Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, Cairo, 1959.
26. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Baghdad, 1959.
27. Ibn Sa’d, Tabaqat, Cairo, 1375 H.
28. Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah, Baghdad, 1369 H.
29. Al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, Baghdad, 1959.
30. Al-Kulaini, al-Raudhah min al-Kafi, Tehran, tt.
31. Mahyu al-Din al-Syafi’I al-Tabari, Dhakha’I al-‘Uqba, Cairo, tt.
32. Malik, al-Muwatta’, Tunis, 1384H.
33. Al-Muhibb al-Tabari, al-Riyadh al-Nadhirah, Baghdad,tt.
34. Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, Hyderabad, 1374 H.
35. Al-Nasa’i, al-Khasais, Bairut, 1959.
36. Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, Baghdad, 1395 H.
37. Sahnun, al-Mudawwanah al-Kubra, Cairo, 1380 H.
38. Sulaim bin Qais al-Hilali al-Kufi, Kitab Sulaim, Bairut, 1980.
39. Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, Cairo, 1961.
40. _________, Tarikh al-Khulafa’, Cairo, 1368H.
41. Al-Syafi’I, al-Umm, Cairo, 1958.
42. Al-Syahrastani, Milal wa al-Nihal, Cairo, 1968.
43. Syarafuddin al-Musawi, Abu Hurairah, Pakistan, 1959.
44. Al-Tabari, Tarikh, Bairut, 1968.
45. _______, Tafsir, Cairo, 1349 H.
46. Al-Tahawi, Musykil al-Athar, Hyederabad, 1372 H.
47. Al-Turmudhi, Sahih, Cairo, 1382 H.
48. Al-Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, Bairut, 1379 H.
49. Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq wa Ghawamidh al-
50. Al-Tanzil, Cairo, tt.
(Muhrikaizi/Tour-Mazhab/Syiah-Ali/Scondprince/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar