Awalnya hanya topi. Tapi mereknya “ilahi”. Bayangkan, topinya keramat, bertuliskan kalimat tauhid, bukan kalimat syahadat tauhid. Yang artinya: tiada Tuhan yang disembah kecuali Allah, Muhammad utusan Allah.
Oleh golongan pecinta topi “ilahi” dari Team Ustadz Abdul Somad (UAS) yang akan ke Jepara pada 1 September 2018 itu, saya digugat bila menyebutnya sebagai simbol bendera HTI, ormas terlarang se-jagat kerat.
Tanya sang penggugat manisnya mangku-mateni. Misalnya, “nyuwun sewu niku nopo mboten bendera Rasulullah? Ana hamba bodoh mohon penjelasan”. Setelah itu, pertanyaan lanjutan sudah saya tebak di benak, “artinya apa sih?”. Lalu, dia tanya lagi, kok manusia sok tahu hingga bisa memvonis? Bukannya itu hak Allah?
Kelakuan memberi tanya istidroji (memberi tapi terpaksa/Jawa: nglulu) adalah model giring opini cara hipnotis terkini ala-ala wahabi khilafers, wahabi jihadis atau wahabi takfiri.
Jika Anda jawab bloko sutho, dan ente tak punya daya linuwih hadapi hipnotisnya dengan akal dan rasa, dia tinggal menyimpulkan, “tuh kan, kalau itu bendera Rasulullah dan maknanya saja sangat toyyib begitu, berarti antum menyebut itu bendera ISIS, berarti antum bukan Islam. Islam bukan?”
Ada yang sering dibegitukan? Selamat, Anda pernah bertemu dzurriyah dari penghardik Rasulullah bernama Dzulkhuwaishirah. Nabi saja bisa disebut sesat atau tidak bisa mewujudkan Rahmatan lil alamin kok, apalagi saya dan ancum-ancum yang unyu-unyu itu. Hahaha.
Ngeten nggeh. Zaman Rasulullah masih sugeng, tulisan Arab belum ada titik dan harakah. Tulisan Arab “tamma” (pakai ta’: sempurna) bisa dibaca “tsumma” (pakai tsa’: kemudian) karena tidak ada titik dan harakah. Zaman Nabi semua kosa kata Arab bergundul. Tak ada jenggot, apalagi cingkrang. Haha.
Kalau tidak paham siyaqul kalam (iki bahasa Indonesia bingung, rumit, tak ada yang mewakili dengan pas), ya tersesat di jalan. Andai saya hidup di masa Kanjeng Nabi, mungkin kesasar karena dihipnotis Abu Jahal. Hanya orang Arab yang paham rasa-ne paling pas soal siyaqul kalam. Waktu itu.
Santri jenggot jidat gosong jaman now yang baru gede nembe ngaji, saya jamin kedodoran jika nemu kalimat Arab bergundul. Kitab kuning gundulnya masih ada titik dan koma, lha zaman itu, ya blas tak ada.
Nah, baru pada zaman Syeikh Ad-Du’ali, kalimat Arab menemukan episode bid’ah kreatifnya: diberi titik dan harakat. Artinya, zaman Rasulullah, bendera dengan harakat dan titik seperti dipakai Arab Saudi (dengan simbol pedangnya), jelas tidak ada. Itu font hasil produk bid’ah peradaban, Pak Eko!
Kalau ngaji khat (kaligrafi), Anda akan menemukan varian jenis font Arab berlisensi sanadnya hingga pencipta font-nya. Dan varian font kaligrafi Arab itu hanya ada khat Kufi, yang belum sesempurna sekarang. Adapun jenis khat Tsulutsi yang dipakai dalam bendera HTI, itu dobol kuadrat akut kalau ada di zaman Rasulullah.
Ada banyak jenis khat yang pernah saya pelajari saat nyantri di Kudus. Selain Kufi dan Tsulutsi, ada Diwani, Diwani Jali, Farisi, Naskhi, dan terakhir ada khat berstandar internasional yang disebut Maghribi. Khat Pegon Jawa belum masuk arena varian khat internasional yang dapat lisensi.
Soal makna kalimat yang sangat thoyyib, simbol bendera HTI masuk sebagai kategori “kalimatu haqqin urida bihi al-bathil/kalimat (dan artinya) benar tapi untuk kepentingan bathil”. Laiknya menjadikan Al-Qur’an tapi untuk di-ising-i (nyantet), atau untuk tahkim seperti zaman Umayyah hendak berkuasa.
Saya sebut bathil karena HTI jelas ingin mengubah sistem negara damai (Darussalam) hasil sulh (kesepakatan) atas nama Bangsa Indonesia. Orang Islam yang suka mengingkari mufakat, berarti bathil lakunya dan munafik sifatnya. Naudzubillah.
Jadi, kalau HTI mengklaim bahwa simbolnya adalah bendera Rasulullah saat perang (Liwa’ dan Royah), tidak ada dalilnya, dan, saya nyatakan dobol. Polisi yang masuk satuan khusus da’i (kalau ada), suruh jelasin ke Ansor saja kalau itu betul-betul bendera Rasulullah.
Ini bukan vonis, tapi struktur umum hukum kesimpulan yang aammul balwa, alias cah cuwilik wae paham. Lha wong Al-Husna saja tahu kok kalau ada mobil desain Banser ke sono langsung digoreng renyah di page Facebook. Mosok tingkat Polda tidak paham? Ya wes, kalau ndak paham ayo sinau.
Maka, bawalah bukti bukti dan dalilnya yang lengkap, detail bin tak terbantahkan. Salahkan Ansor Jepara secara langsung yang memiliki sikap kepada polisi dan Al-Husna soal UAS di Jepara, dimana dalam poin pertama sikapnya menyatakan,
“Meminta secara tegas dan ekstra untuk memonitor roadshow Ustadz Abdul Somad (UAS) dan mencegah terjadinya konsolidasi eks HT, tidak boleh ada atribut, kampanye, yel-yel, bendera dan lain sebagainya yang berkaitan dengan HTI”.
Kalau GP Ansor Jepara sudah punya sikap, lalu masih ragu kalau pernyataannya dianggap hanya menduga-duga, asumsi, dan dalil-dalil lainnya, maka mintalah Ketua Ansor ngaji ke polisi yang lebih alim dan allamah ngungguli penghina Rasulullah.
Jangan sampai terhipnotis muslim muallaf yah! Apalagi hanya dihipnotis topi merek “ilahi”. Eh, harganya berapa sih topi merek akhirat itu? Ngomong-ngomong modelnya boleh juga.
Sumber: FB Abdalla Badri
(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar