Selamat malam wahai para pembaca yang ciamik,
Setelah sekian lama berhibernasi, kilat akhirnya menyambar juga, meskipun hujan tak turun-turun. Apa musabab? Rupanya sudah banyak oknum-oknum penjaja agama yang berkelit, berdalih dan seolah-olah menjadi korban yang terdzolimi. Meskipun demikian ada juga, yang syukur Alhamdulillah, menyadari praktik politisasi agama ini dan akhirnya memutuskan untuk kembali menggunakan akal sehat.
Kembali ke orang-orang yang tak juga menginsyafi dirinya tersebut. Contohlah Rizieq Shihab yang di masa pelariannya ia menulis sebuah surat cinta untuk jemaah Islam Nusantara (Surat Cinta untuk JIN).
Surat cinta untuk JIN (Jemaat Islam Nusantara)
By : Habib Rizieq Syihab.
Nukilkan 8 Alasan Habib Riziq sihab menolak konsep Islam Nusantara yang di posting oleh Suara Islam dengan judul “Jemaat Islam Nusantara (JIN) Paham Sesat Menyesatkan”
1.. Islam Pendatang.
Bagi JIN bahwa Islam di Indonesia adalah “pendatang” dari Arab yang “numpang”, bukan agama “asli” bangsa Indonesia.
Tanggapan :
Islam adalah agama asli yang turun dari langit untuk seluruh penduduk bumi, karena Islam datang dari Allah SWT sang pemilik alam semesta, sehingga Islam di mana saja di atas bumi Allah Swt akan selalu menjadi agama “asli” yang “pribumi”, dan tidak akan pernah jadi “pendatang”.
Jadi, Islam bukan dari Arab, tapi dari langit yang diturunkan pertama kali di tengah orang Arab, kemudian disebarkan ke seluruh dunia.
2. Pribumisasi Islam.
Islam sebagai pendatang dari Arab harus tunduk dan patuh kepada Indonesia selaku pribumi, sehingga Islam harus siap “dipribumisasikan” agar tunduk kepada budaya setempat.
Karenanya, tidak boleh lagi ada istilah “Islamisasi Indonesia”, tapi yang mesti dilaksanakan adalah “Indonesia-isasi Islam”. Jadi, jangan pernah katakan “Indonesia negara Islam”, tapi katakanlah “Islam ada di Indonesia”.
Tanggapan :
jika pola pikir ini benar, maka Islam di China mesti di-China-isasi, dan Islam di India mesti di-India-isasi, serta Islam di Amerika juga mesti di-Amerika-isasi, dan seterusnya, sehingga Islam di dunia jadi bermacam-macam dan berjenis-jenis sesuai negerinya.
Jika mundur lagi ke belakang, mestinya saat Islam ada di tengah masyarakat jahiliyyah, maka Islam harus di-jahiliyyah-isasi.
Jelas, pola pikir di atas ngawur dan tidak ilmiah, bahkan sesat menyesatkan.
3. Tolak Arabisasi.
Islam yang ada di Indonesia selama ini adalah “Islam Arab”, sehingga budaya Nusantara terancam dan tergerus oleh Arabisasi.
Karenanya, di Indonesia semua budaya Arab yang menyusup dalam Islam harus diganti dengan budaya Nusantara, sehingga ke depan terwujud “Islam Nusantara” yang khas bagi bangsa Indonesia.
Intinya, JIN menolak semua budaya Islam yang beraroma Arab, karena dalam pandangan mereka semua itu adalah “Arabisasi Islam”, sehingga perlu ada gerakan “Indonesia-isasi Islam” di Nusantara.
Tanggapan :
Rasulullah Saw diutus di tengah bangsa Arab untuk meng-Islam-kan Arab, bukan meng-Arab-kan Islam. Bahkan untuk meng-Islam-kan seluruh bangsa-bangsa di dunia, bukan untuk meng-Arab-kan mereka.
Jadi, tidak ada Arabisasi dalam Islam, yang ada adalah Islamisasi segenap umat manusia.
4. Ambil Islam Buang Arab.
Islam sebagai pendatang dari Arab tidak boleh mengatur apalagi menjajah Indonesia, tapi Islam harus tunduk dan patuh kepada Indonesia selaku pribumi.
Karenanya, bangsa Indonesia boleh ambil budaya Islam, tapi wajib tolak budaya Arab, agar supaya budaya Nusantara tidak terjajah dan tidak pula tergerus oleh budaya Arab.
Tanggapan :
ini adalah propaganda busuk JIN yang ingin menolak budaya Islam dengan “dalih” budaya Arab. Pada akhirnya nanti, semua ajaran Islam yang ditolak dan tidak disukai JIN, akan dikatakan sebagai “budaya Arab”.
Dan propaganda ini sangat berbahaya, karena menumbuh-suburkan sikap rasis dan fasis, serta melahirkan sikap anti Arab, yang pada akhirnya mengkristal jadi anti Islam.
5. Ambil Islam Buang jilbab.
Menurut JIN bahwa jilbab adalah budaya Arab karena merupakan pakaian wanita Arab, sehingga harus diganti dengan pakaian adat Nusantara.
Tanggapan :
JIN buta sejarah, karena di zaman jahiliyyah, masyarakat Arab tidak kenal jilbab, dan wanita Arab tidak berjilbab. Bahkan wanita Arab saat itu terkenal dengan pakaian yang umbar aurat dan pamer kecantikan, serta tradisi tari perut yang buka puser dan paha.
Lalu datang Islam mewajibkan wanita muslimah untuk berjilbab menutup aurat, sehingga wanita muslimah jadi berbeda dengan wanita musyrikah. Dengan demikian, jilbab adalah busana Islam bukan busana Arab, dan jilbab adalah kewajiban agama bukan tradisi dan budaya.
6. Ambil Islam Buang Salam.
Ucapan “Assalaamu ‘alaikum” adalah budaya Arab, sehingga harus diganti dengan “salam sejahtera” agar bernuansa Nusantara dan lebih menunjukkan jatidiri bangsa Indonesia.
Tanggapan :
lagi-lagi JIN buta sejarah, karena di zaman jahiliyyah, salam masyarakat Arab adalah “wa shobaahaah”, bukan “Assalaamu ‘alaikum”.
Lalu datang Islam yang mengajarkan umatnya salam syar’i antar kaum muslimin, yaitu “Assalaamu ‘alaikum wa rohmatullaahi wa barokaatuh”. Jadi, “Assalaamu ‘alaikum” adalah “tahiyyatul Islam” bukan “tahiyyatul ‘Arab.”
7. Ambil tilawah Quran buang langgam Arabnya.
Termasuk baca Alquran tidak perlu lagi dengan langgam Arab, tapi sudah saatnya diganti dengan langgam Nusantara seperti langgam Jawa dan Sunda atau lainnya, agar supaya lebih Indonesia.
Tanggapan :
membaca Alquran dengan langgam Arab bukan kemauan orang Arab, akan tetapi perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw.
Dan karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, tentu membacanya harus dengan langgam Arab, agar sesuai dengan intonasi makna dan arti. Dan itu pun tidak tiap langgam Arab boleh untuk tilawah Alquran.
Langgam gambus dan langgam qashidah berasal dari Arab, tapi tidak boleh digunakan untuk tilawah Alquran, karena keduanya adalah langgam seni dan budaya serta musik dan hiburan.
Apalagi langgam tari perut yang merupakan langgam seni dan budaya Arab untuk pertunjukan maksiat, lebih tidak boleh digunakan untuk tilawah Alquran.
Karenanya, membaca Alquran dengan langgam selain Arab tidak diperkenankan, karena memang tidak sesuai dengan pakem bahasa Arab, sehingga tidak akan sesuai dengan intonasi makna dan arti.
Apalagi dengan langgam seni dan budaya selain Arab yang digunakan untuk hiburan dan pertunjukan, seperti langgam dalang pewayangan, langgam sinden jaipongan, langgam gambang kromong, dan sebagainya, tentu lebih tidak boleh lagi.
Allah Swt telah menganugerahkan bangsa Indonesia kefasihan dalam lisan Arab, sehingga dari Sabang sampai Merauke, orang dewasa maupun anak-anak, sangat fasih dalam mengucapkan lafzhul jalalah “Allah” dan aneka dzikir seperti “Subhanallah wal hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar.” dan mereka pun sangat fasih juga dalam membaca Alquran.
Bahkan bangsa Indonesia sangat ahli dalam ilmu tajwid dan amat piawai dalam tilawatil Alquran dengan langgam Arab, sehingga di hampir setiap Musabaqah Tilawatil Qur’an internasional, para qori Indonesia banyak sukses dan berhasil keluar jadi juara dunia tilawah.
Karenanya, pembacaan Alquran dengan langgam dalang pewayangan adalah “kemunduran”, di mana bangsa Indonesia yang sudah sangat maju dalam tilawatil Qur’an, hingga mengungguli bangsa Arab sekali pun, lalu dibawa mundur jauh ke alam mitos pewayangan di zaman semar dan petruk.
8. Ambil Alquran buang bahasa Arabnya.
Baca Alquran tidak mesti dengan bahasa Arab, tapi cukup dengan terjemah Indonesianya saja, agar umat Islam Indonesia bisa langsung menyimak dan memahami makna dan arti ayat-ayat yang dibaca.
Tanggapan :
inilah tujuan sebenarnya dari propaganda JIN yaitu menjauhkan Alquran dari umat Islam, karena mereka paham betul bahwa ruh dan jiwa Islam adalah Alquran.
Bagi JIN, siapa ingin hancurkan dan lenyapkan Islam, hancurkan dan lenyapkanlah Alqurannya. Jadi jelas sudah, bahwa yang diserang JIN sebenarnya bukan Arab, tapi Islam.
Karenanya, selain yang sudah disebutkan di atas, JIN juga melakukan aneka ragam propaganda anti Arabisasi untuk merealisasikan tujuan busuknya, antara lain :
Pertama,
menolak istilah-istilah yang diambil dari bahasa Arab, hingga sebutan abi dan ummi pun mereka kritisi, sehingga harus diganti dengan istilah-istilah Indonesia, tapi lucunya mereka alergi dengan istilah Arab namun sangat suka dan amat fasih menggunakan istilah-istilah Barat.
Kedua,
menolak penamaan anak dengan nama-nama Islam yang diambil daribahasa Arab, sehingga anak Indonesia harus diberi nama Indonesia. Tapi lucunya mereka senang dan bangga dengan penamaan anak Indonesia dengan nama-nama barat dengan dalih lebih modern, walau pun bukan nama Indonesia.
Ketiga,
bahkan mulai ada rumor penolakan terhadap pengafanan mayit dengan kain putih karena beraroma tradisi Arab, sehingga perlu diganti dengan kain batik agar kental aroma Indonesia.
Bahkan mereka mulai tertarik dengan pakaian jas dan dasi barat buat mayit sebagaimana pengurusan jenazah non-Islam, dengan dalih jauh lebih keren dan rapih ketimbang “pocong”, walau bukan budaya Indonesia.
Demikian cuplikan dari tulisan beliau, semoga membuka wacana kaum muslimin Indonesia untuk lebih waspada menerima sebuah konsep yang digelontorkan seorang tokoh.
Mungkin surat inilah yang juga mendasari banyak kesalahpahaman di antara umat Islam di Indonesia mengenai makna Islam yang nusantarais, yang disebarluaskan oleh Nadhlatul Ulama dan para penganut yang moderat. Judulnya saja sudah begitu menggiring dan memposisikan siapapun yang mengiyakan Islam nusantarais sebagai kelompok JIN.
Di dalam surat tersebut Rizieq Shihab mendata “kesalahan” Islam nusantarais dalam perspektifnya sendiri dan cenderung menimbulkan kesalahpahaman. Ia menyebutkan/memposisikan Islam nusantarais sebagai pihak yang telah mengatakan bahwa:
1. Islam adalah pendatang: Islam adalah agama yang numpang, bukan agama asli Indonesia
2. Pribumisasi Islam: Islam disesuaikan dengan budaya setempat. Menurut Rizieq ini berarti kemunduran; Islam bisa jadi di jahiliyahisasi bila dibawa ke budaya jahiliyah.
3. Tolak Arabisasi: Islam dianggap masuk dengan budaya Arab sehingga harus diganti. Sedangkan Rasul mengIslamkan Arab, bukan mengArabkan Islam.
4. Ambil Islam, Buang Arab: Islam harus diambil, tapi bukan budaya Arabnya. Menurut Rizieq ini bisa menumbuhkan sikap anti Arab yang berkembang menjadi anti Islam.
5. Ambil Islam buang jilbab: pakaian jilbab adalah budaya Arab, sehingga diganti menjadi pakaian adat nusantara
6. Ambil Islam buang salam: Assalamualaikum harus diganti menjadi Salam Sejahtera
Ambil tilawah Quran buang langgam Arab
7. Ambil Quran, buang bahasa Arab, termasuk pemanggilan “Abi-Umi”, penamaan anak dengan nama Arab, pengafanan menggunakan batik, bahkan menjurus ke pemakaian jas sebagaimana pengurusan jenazah ala non muslim.
Dari tempat persembunyiannya nun jauh di sana, Rizieq Shihab yang tak berani pulang meski beberapa kasusnya sudah di SP3, masih mampu menebarkan kekisruhan di antara umat. Mungkin ini adalah “krisis pesanan” untuk menciptakan ketidaknyamanan di tengah masyarakat sehingga timbul percekcokan, ketidakstabilan, dan pada akhirnya perang saudara. Sebagaimana kita tahu, beberapa negara Islam di Timur Tengah sana sudah saling membunuh, meskipun mereka sama-sama penganut Islam. Permasalahannya itu tadi, bahwasanya ada rumor-rumor yang berkembang tentang Islam, khususnya mengenai PENISTAAN.
Rumor yang berkembang ini bisa menjurus ke arah peperangan karena MEMANG ada yang mendanai seseorang untuk senantiasa memelihara konflik di tengah masyarakat, contohnya Rizieq Shihab ini. Tanpa memahami, atau bertabayyun dengan para ulama Nadhlatul Ulama, ia menciptakan tafsiran sendiri yang begitu liar. Padahal kalau ditelaah satu demi satu kedelapan nukilan pernyataannya maka kita akan melihat ketidaksetimbangan informasi yang disampaikan, alias HOAX!
Sejak kapan di nusantara ini menggunakan jilbab, mengucapkan salam, tilawah AlQuran dengan langgam tertentu menjadi masalah? Siapa yang menyebutkan bahwa mayit harus dikafani dengan menggunakan batik atau jas? Apakah ini bukan hanya halusinasi Rizieq Shihab sendiri, yang sebagai keturunan Arab memainkan peranan terdiskriminasi? Siapa yang mendiskriminasi?
Indonesia sejak berpuluh tahun lalu, bahkan sebelum merdeka adalah sebuah kuali besar yang menjadi tempat Sang Maha mencampurkan berbagai cita rasa di dunia. Meski terkadang kacau, karena beberapa “bumbu” mungkin berupaya untuk lebih mencolok dari “bumbu lain, Indonesia tak pernah tersandung perang tiada akhir. Nusantara kita yang kaya sejarah tak pernah luput dari percekcokan, banjir darah, tapi daerah yang gemah ripah loh jinawi ini senantiasa ada utuh di bawah naungan NKRI.
Islam sendiri diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, pelengkap dari agama-agama dan kehidupan sebelumnya, termasuk adat istiadat dan tradisi yang ada. Jadi, bukan berarti ketika Islam diperkenalkan maka semua masyarakat Indonesia harus mengubah total kehidupan mereka sebagaimana bangsa yang memperkenalkan Islam itu sendiri. Perlu diketahui, bahwa Islam masuk ke Indonesiapun BUKAN HANYA dibawa oleh Arab, tetapi juga oleh orang India dan China bersama dengan kebudayaan mereka dalam bentuk pakaian dan masakan.
Apakah kebudayaan India dan China dipaksakan untuk diikuti oleh orang Indonesia? Tidak, budaya masing-masing tetap menjadi budaya. Tetapi inti dari setiap ayat dalam AlQuran dipelajari dan diaplikasikan dalam wujud kerukunan hidup. Begitupun orang-orang Arab yang masuk sebelum masa kemerdekaan; bahkan sebagai bentuk penghormatan “di mana bumi dipijak, langit dijunjung”, mereka juga berpakaian selayaknya orang Indonesia. Yang penting sopan dan tertutup.
Jadi, jangan sampai kita termakan provokasi murahan yang menambah-nambahi kekisruhan di dalam negara ini. Ingat saja, Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan dalam beragama, apalagi sampai menjajakannya. Islam seharusnya menjadi pedoman untuk hidup di antara manusia, bukan malah menjadi alat untuk tampak paling suci, lantas kemudian merasa pantas untuk mengambil hak Tuhan untuk menilai ibadah orang lain.
Kilat Menyambar
Judul Asli: Mereka yang Memutar Balik Fakta
(Ojo-Kepo/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar