Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Narasi Terorisme dan Standar Ganda Media

Narasi Terorisme dan Standar Ganda Media

Written By Unknown on Selasa, 02 Januari 2018 | Januari 02, 2018


Beberapa jam setelah Akayed Ullah, seorang imigran asal Bangladesh, diduga meledakkan sebuah bom pipa di New York City pada tanggal 11 Desember, yang melukai dirinya sendiri dan empat lainnya, sebuah narasi resmi pemerintah dan media muncul.

Perumusan narasi tentang motif Ullah, tentang radikalisasi dan kebencian terhadap AS disusun dengan sangat rapi. Mungkin orang akan mengira bahwa butuh waktu berbulan-bulan, bukan jam, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang sulit tersebut.

Anehnya, keluarga Ullah sendiri terkejut dengan tuduhan yang dialamatkan kepada anak mereka. Namun, apa yang sebenarnya terjadi tidak begitu penting. Tidak hanya Ullah yang langsung didakwa bersalah oleh media, semua Muslim dan imigran juga mengalami hal serupa.

Setiap kali ada serangan semacam ini, umat Islam di AS dimobilisasi untuk menangkis tuduhan tentang iman mereka, nilai dan kesetiaan mereka kepada negara tempat mereka tinggal.

Tapi, ini bukan pertarungan yang mudah untuk dimenangkan. Ketika Presiden Donald Trump terus-menerus men-tweet propaganda anti-Muslim, sementara pemerintahannya memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengajukan peraturan anti-imigran, komunitas Muslim yang terkepung di AS tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan gelombang Islamophobia yang sedang berlangsung.

Media memainkan peran yang sangat penting dalam menyebarkan sikap negatif terhadap Muslim dan Islam, yang pada gilirannya, memberikan dukungan publik yang sangat dibutuhkan bagi pemerintah untuk melanjutkan tindakan anti-Muslimnya.

Perlakuan serupa tidak kita dapatkan jika terjadi penembakan massal yang dilakukan oleh pria kulit putih Amerika. Media dan pemerintah AS membuat narasi yang sama.

Meskipun pembunuhan massal oleh laki-laki kulit putih telah terbukti sebagai kriminal paling mematikan di AS, narasi yang dimunculkan di media dan pernyataan resmi pemerintah sebagian besar berpusat pada penyakit mental pelakunya. Dengan kata lain, ada konsensus bahwa kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat kulit putih tidak melekat pada ras, budaya atau agama mereka.

Lima tahun setelah Adam Lazna membunuh 20 anak kelas satu dan enam orang dewasa di Sekolah Dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut, masih banyak yang berusaha menganalisis penyakit mental Lanza yang membuatnya melakukan tindakan tercela semacam itu.

Fakta bahwa Lanza membawa lebih dari 30 pon senjata tampak tidak berguna. Banyak pakar dan politisi masih menolak untuk terlibat dalam diskusi tentang senjata api.

Argumen ‘kesehatan mental’ juga diperjuangkan oleh Trump sendiri.

“Kesehatan mental adalah masalah Anda di sini”, kata Trump dalam sebuah pernyataan menanggapi penembakan massal oleh Devin Kelly, seorang pria kulit putih yang membunuh lebih dari dua lusin orang di sebuah gereja Texas November lalu.

Berusaha untuk menjawab dengan mudah saat orang kulit putih melakukan pembunuhan sekarang menjadi norma. Sedangkan pembunuh dari ras lain, warna kulit dan kebangsaan lain mendapatkan perlakuan yang sama sekali berbeda.

Begitu berita tentang pemboman Ullah di New York muncul, pemerintah Trump langsung bergerak dengan kekuatan penuh untuk menargetkan imigran. Mereka meminta Kongres untuk mengakhiri program pemerintah yang memungkinkan imigrasi lebih mudah berdasarkan koneksi keluarga.

Liputan media yang tiada henti dan penargetan pemerintah terhadap umat Islam telah menyebabkan histeria yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang kemudian menyebabkan banyak Muslim menjadi sasaran serangan karena iman mereka. Banyak laporan tentang orang-orang Muslim yang dilempar keluar dari pesawat terbang, kini menjadi fakta kehidupan di AS.


Ketika Khairuldeen Makhzoomi diusir dari sebuah penerbangan Southwest Airlines tahun lalu karena bicara menggunakan bahasa Arab di telepon, agen yang mengawalnya menegurnya. Alasannya “iklim politik hari ini” tidak memungkinkan hal itu.

Anila Dualatzai diseret menyusuri lorong sebuah pesawat yang menuju ke Los Angeles. Dia “dilecehkan, diinterogasi, ditahan, dan mengalami pelaporan palsu dan mengalami trauma rasisme dan dipermalukan, hanya karena dia adalah seorang wanita, orang kulit berwarna, dan seorang Muslim,” kata pengacaranya kepada Washington Post.

Histeria ini dimainkan dengan sangat baik oleh para politisi oportunistik seperti Trump. Meski fakta sebenarnya menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah fenomena Muslim.

Newsweek melaporkan statistik yang menunjukkan bahwa orang kulit putih telah melakukan sebagian besar pembunuhan massal di negara tersebut. Data menunjukkan bahwa sejak 1982, “mayoritas penembakan massal – 54 persen – dilakukan oleh orang kulit putih.”

Stephen Paddock, pria kulit putih berusia 64 tahun yang membantai 58 orang dan melukai ratusan lainnya di Harvest Music Festival di Las Vegas Oktober lalu, hanyalah satu dari daftar yang terus berkembang.

Tak terhitung pejabat pemerintah dan wartawan yang menyebar untuk mencari tahu mengapa Paddock melakukan tindakan kejam tersebut, seolah-olah kekerasan seorang kulit putih adalah peristiwa langka di sebuah negara yang diduga terancam oleh orang kulit hitam, orang Meksiko dan Muslim.

Fakta sebenarnya, profil orang kulit putih itu adalah yang paling ganas di AS.

“Orang kulit putih melakukan penembakan massal karena mendapat hak,” John Haltiwanger menulis di Newsweek.

Memang, sentimen anti-Arab dan Muslim di AS telah ada sejak beberapa generasi, namun jumlahnya meningkat tajam dalam dua dekade terakhir. Orang-orang Arab dan Muslim menjadi kambing hitam yang mudah bagi semua ketidakstabilan dan kegagalan Amerika.

Tetapi, mengecam dan mempermalukan pria dan wanita berkulit coklat tentu bukan jalan keluar dari kebijakan ekonomi, politik dan kebijakan luar negeri yang buruk yang dilakukan oleh elit penguasa Amerika di negara mereka.

Dalam jangka pendek, perilaku melanggar hukum semacam itu bisa memberi makan bagi histeria anti-Muslim, dan memberi makan lebih banyak kepada Trump untuk menargetkan pria dan wanita yang tidak bersalah. Namun, dalam jangka panjang, akan membahayakan AS, merusak institusi demokrasi yang mereka junjung, dan berkontribusi pada berkembangnya budaya kekerasan, yang didasarkan pada orang kulit putih yang berhak menggembar-gemborkan senjata dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah.

(Ramzy-Baroud/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: