Ribuan mahasiswa di Surabaya memenuhi halaman kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya (depan Twin Tower), Senin (5/3/2018) malam.
Mereka datang untuk menyaksikan serta mengikuti acara ‘Mengasah Jati Diri (Mengaji) Indonesia’.
Acara tersebut dihadiri oleh Mantan Rais Aam PBNU yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin, Pemred Kompas TV Rosiana Silalahi, dan Prof A’la Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Helmi Umam, Ketua panitia pelaksana kegiatan ‘Mengaji Indonesia’ mengatakan, kegiatan ini bertujuan menghubungkan keterlibatan perguruan tinggi dengan masyarakat luas melalui peran Tri Dharma.
Sebagai bentuk dialog kebangsaan, narasumber kegiatan ini memang adalah tokoh-tokoh nasional di Indonesia.
“Para narasumber dengan reputasi sebagai tokoh pemersatu bangsa, guru bangsa, atau yang konsen pada isu-isu Pancasila dan kesatuan bangsa,” ujar Helmi.
Dalam acara inti, menanggapi banyaknya isu yang mengatasnamakan agama, Gus Mus mengatakan konflik agama terjadi karena manusianya tidak mengaji. Mengaji di sini, menurutnya, tak hanya membaca kitab suci, tapi juga memahami ilmu agama.
“Beragama dengan semangat tanpa ngaji itu yang jadi masalah,” ujar Gus Mus.
Bagi Gus Mus, mengaji adalah proses belajar yang tak memiliki kata sudah. Hal ini penting agar manusia yang beragama bisa mengamalkannya dengan baik, terlebih memiliki bekal agama yang didapat dari mengaji.
Kendati demikian, ketika ditanya mengenai agama dan kebangsaan, Gus Mus mengaku merasa aneh. “Lha wong saya dan bangsa ini satu, kok disuruh ngomong tentang kebangsaan,” ujarnya.
Gus Mus menyayangkan banyaknya perseteruan yang terjadi mengatasnamakan agama. Dia menilai, agama dan negara adalah satu hal utuh yang tak dapat dipisahkan.
Bahkan, tambah Gus Mus, kiai-kiai saat berbicara agama dan Indonesia itu dengan ‘satu kali nafas’. Artinya, keduanya memiliki posisi penting yang tak boleh dilupakan begitu saja.
Selain itu, Gus Mus juga menyarankan agar setiap warga negara Indonesia bisa menghargai antar sesama. “Anggap saja ini rumahmu, kalau kamu bikin kisruh atau mau ngerusak. Masak mau ngerusak rumah sendiri?” kata Gus Mus.
Ketika ditanya mengenai persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, misalkan mengenai diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan persoalan halal-haram, Gus Mus mengatakan, “persoalan-persoalan di masyarakat kita, saya paling-paling hanya berkoar-koar, hanya ngomong, atau nulis…. Pemerintah harus di depan, karena yang punya tanggung jawab melayani, mampu melakukan semua ini adalah pemerintah…. Pemerintah mesti tegas, kalau tidak sesuai dengan hukum ya sudah…. Itu ada undang-undangnya, ada aturannya, ada hukumnya. Karena kita negara hukum, semua harus taat hukum.”
Selanjutnya Gus Mus mengatakan, bahwa antara pihak pemerintah dan dirinya selaku ulama harus saling mendukung, sebab Gus Mus hanya bisa menghimbau, yang memiliki otoritas untuk menegakkan hukum adalah pemerintah. Intinya semua pihak memiliki porsinya masing-masing.
Sebagai penutup Gus Mus berkata, “dalam rumah ini kita berbeda-beda, isinya macem-macem. Bagaimana kita me-manage keluarga kita sendiri dalam rumah ini? Ini yang sudah diajarkan agama, yaitu rahmatan, kasih sayang. Asal kita mendahulukan kasih sayang, kita bukan hanya akan masuk surga, tapi kita sudah di surga.”
(Kompas-TV/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar