Sekitar pukul 5 sore saya dan beberapa mahasiswa Indonesia berjalan menuju tempat pemberhentian bus Jai Yan Lu Kou menuggu bus 512 menuju arah masjid besar Honggutan di Nanchang, China.
Masjid ini merupakan satu-satunya masjid yang ada di kota Nanchang. Umurnya pun masih tergolong muda karena baru diresmikan dan dioperasikan pada Idul Adha 2012 lalu.
Gaya arsitekturnya pun sudah modern, mengadopsi bentuk bangunan masjid di Arab dengan kubah dan bulan sabit diatasnya. Sebelum mesjid ini diresmikan, pusat kegiatan ibadah umat muslim di Nanchang dilakukan di mesjid tua Cu Xiang yang ada di pusat kota Nanchang.
Jarak antara asrama mahasiswa dengan masjid sekitar 7 km sehingga membutuhkan waktu 30 menit jika menggunakan bus. Sesampainya di pekarangan masjid beberapa orang sudah berkumpul mengelilingi meja bundar yang diatasnya sudah tersedia takjil seperti kurma, semangka dan potongan roti.
Di antara beberapa meja yang tersedia, terdapat dua meja yang diisi oleh perempuan. Satunya diisi oleh ibu-ibu paruh baya dengan jilbab khas orang Xinjiang dan satunya lagi diisi oleh ibu-ibu dengan umur pensiunan dengan jilbab yang langsung dipakai.
Saya menghampiri meja yang kedua ini. Ada 5 orang ibu-ibu tua yang biasa saya panggil ayi dan mereka adalah muslimah asli Nanchang. Kami mengenalnya sejak awal pertama datang di Nanchang 5 tahun yang lalu.
Para ayi ini sangat ramah. Saat melihat saya mendekat mereka langsung berdiri tersenyum menyambut dan memeluk saya lalu berkata nimen lai le? Kalian sudah datang?.
Menjelang pukul 7.17, imam masjid yang biasa dipanggil Ahong keluar dari masjid lengkap dengan baju kurung putih dan penutup kepala memimpin doa berbuka puasa.
Para jemaah pun mengikutinya, lalu berbuka dengan menu yang sudah disediakan. Setelah itu dilanjutkan dengan salat magrib berjamaah.
Setelah salat magrib, jemaah kembali ke tempat makan untuk makan malam bersama. Menu makan malam ini adalah nasi putih, daging kambing dan dua macam sayur.
Porsinya cukup banyak sehingga rasa kenyang masih dirasakan hingga sahur. Setelah makan malam, kami pun melanjutkan dengan salat isya dan tarawih bersama hingga pukul 21.20.
Banyak hal yang bisa dipetik ketika berbuka puasa di masjid bersama muslim lokal ini. Pada saat berbuka puasa biasanya mereka memberikan sedikit jatahnya untuk kami meski hanya sebiji kurma.
Katanya berbagi makanan di bulan puasa kepada orang yang berpuasa pahalanya sangat besar, meski sebenarnya di meja saya juga tersedia takjil yang cukup.
Jika ada makanan tersisa, ayi-ayi ini biasanya membungkusnya untuk kami untuk menu makan sahur di asrama. Selain itu, saya juga terkesan dengan adanya jeda salat magrib antara buka puasa dengan makan malam.
Dengan demikian, perut tidak terasa berat ketika melaksanakan salat. Kedisiplinan pun dapat terasah dan nafsu untuk makan yang banyak dapat dihindari.
Terakhir, kami bisa menikmati menu buka puasa dan makan malam khas China, khususnya makanan khas Nanchang. Selain mahasiswa muslim dari Indonesia, ada juga beberapa mahasiswa muslim dari Pakistan, India, dan Bangladesh yang ikut berbuka puasa.
Meski Ramadan kali ini adalah yang keempat kalinya saya jauh dari keluarga dan tidak seramai di Indonesia, bagi saya berkah Ramadan selalu terasa dan bertambah.
*) Sitti Marwah adalah WNI yang saat ini sedang berkuliah program Magister Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nanchang, China. Dia juga merupakan Head of PPIT Nanchang.
(Detik/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar