Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS BIMBINGAN ORANG TUA - PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS BIMBINGAN ORANG TUA - PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan

Islam dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


Di zaman modern sekarang ini, tak jarang masih terdengar berita tentang kekerasan yang menimpa para wanita. Mirisnya, sebagian korbannya ialah para wanita yang menjadi korban kekerasan para suaminya. Mahligai rumah tangga yang seharusnya dijadikan sarana untuk saling berbagi cinta dan kasih antara pasangan suami dan istri, malah menjadi tempat penyiksaan istri.

Padahal, Islam memerintahkan agar memperlakukan istri dengan baik, “Bergaullah dengan istri kalian dengan baik (ma’ruf)”.[QS an-Nisa:9] Bahkan, ketika berbicara tentang penceraian pun, al-Qur’an tetap menekankan pada suami untuk tetap berlaku baik terhadap mantan istrinya. Padahal, biasanya setelah penceraian akan timbul permusuhan, “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang baik (makruf), atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (ma’ruf). Dan janganlah kalian menahan para istri di rumah (tidak menceraikannya) dengan tujuan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri…”.[QS an-Nisa:231]

Syeikh Thabarsi dalam Majmaul Bayan menjelaskan, “Bergaul dengan baik (ma’ruf), artinya berlaku berdasarkan perintah Allah swt, menberikan hak-hak wanita dalam memenuhi kebutuhannya, berkata dan berlaku dengan baik terhadap istrinya”. Bahkan dikatakan “ma’ruf” artinya, janganlah memukul istrimu, janganlah berkata buruk padanya dan berlemah lembutlah dengannya”.

Jika Islam memerintahkan untuk senantiasa berlaku baik dengan istri dan melarang berbagai jenis kekerasan, lantas kenapa dalam perkara istri nusyuz, Islam memerintahkannya untuk memukulnya? Apakah ini tidak akan menyebabkan para suami melegimitasi kesewenang- wenangan terhadap istrinya, hingga dengan mudah memukul istrinya dengan dalil al-Qur’an sendiri yang memerintahkannya?


Nusyuz dan KDRT

Nusyuz artinya penentangan. Sedangkan, dalam istilah fikih praktis, sebagaimana yang dijelaskan Imam Khomeini bahwa Istri nusyuz adalah istri yang tidak mentaati suaminya dengan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti tidak memenuhi kebutuhan biologis suami, tidak menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak disukai dan menyebabkan suami tidak bergairah kepadanya, tidak berhias dan membersihkan dirinya padahal suami menginginkannya dan keluar rumah tanpa izin suaminya. Karena itu, seorang istri tidak dikatakan nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang tidak diwajibkan pada seorang istri, seperti tidak melakukan pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan dengan kebutuhan biologis, seperti menyapu, menjahit, memasak dan lainnya. [Tahrir Wasilah, Bab Nusyuz]


Langkah-langkah Menghadapi Istri Nusyuz

Berkaitan dengan hal ini Qur’an menjelaskan, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, lalu pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan lalu pukullah mereka.”[QS an-Nisa:34] Jadi menurut al-Qur’an langkah-langkah menghadapi istri yang nusyuz adalah sebagai berikut: pertama, dinasehati. Kedua, jika nasehat tidak berpengaruh, maka masuk langkah kedua yaitu pisah ranjang. Ketiga, jika pisah ranjang tidak mempan juga, maka langkah selanjutnya adalah memukul istri.

Menurut Imam Khomaeni, pukulan dilakukan dengan tujuan untuk menyadarkan, bukan untuk melampiaskan kemarahan atau untuk membalas dendam. Jika pukulan tersebut menyebabkan luka dan memberikan bekas merah atau hitam (memar), maka suami wajib membayar denda (diyah)”.[Tahrir Wasilah, Bab Nusyuz]

Bahkan beberapa ulama telah menjelaskan tentang batasan pukulan:
1. Syahid ats-Tsani, dalam Masalik al-Afham, “Dalam sebagian riwayat, dijelaskan memukul wanita dengan kayu miswak, …”
2. Syeikh Tusi dalam al-Mabsuth mengatakan, “Maksud dari pukulan adalah, memukul dengan kain sapu tangan yang diikatkan, yang tidak boleh menyebabkan memar…”
3. Menurut as-Suyuthi pukulan tidak boleh keras dan membahayakan.

Karena itu, meskipun Al-Quran mengutarakan pukulan sebagai solusi, hal itupun dilontarkan bukan tanpa syarat. Pukulan merupakan solusi terpahit dan terakhir jika langkah-langkah sebelumnya tidak berdampak. Dan tujuannya untuk menyadarkan, bukan lainnya. Disamping itu, bentuk pukulannya pun tidaklah asal pukul dan tanpa syarat, namun pukulan tidak boleh sampai meninggalkan bekas, memar apalagi luka.

Jadi, kami kira bentuk kekerasan apapun yang terjadi dalam rumah tangga tidaklah dibenarkan dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidaklah bersumber pada ajaran agama yang lebih menyudutkan posisi wanita sebagai istri, tapi KDRT bersumber pada prilaku sebagian oknum yang memakai kedok Islam.

Islam anti kekerasan, terutama kekerasan pada orang-orang terdekat kita. Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda, “Sungguh aku heran pada seorang lelaki yang telah memukul istrinya kemudian memeluknya.”

Kisah menarik terjadi pada salah seorang sahabat Rasulullah saw, Sa’ad bin Muadz. Beliau merupakan salah satu sahabat besar dari kaum Anshor yang selalu berada di garis terdepan dalam membela Islam. Beliau sangat beruntung, karena Rasulullah menshalati dan meletakan jubahnya ke jenazahnya saat dikuburkan. Beberapa sahabat mengutarakan kepada Rasulullah bahwa betapa beruntungnya Sa’ad bin Mu’adz dan pasti akan tenang di alam kubur. Namun Rasulullah saww mengatakan bahwa tidak seperti itu. Dengan segala keutamaan dan kedudukan tinggi yang dimiliki oleh Sa’ad, Muadz, dia akan mengalami siksaan kubur. Dia mengalami hal itu karena telah berlaku kasar terhadap anak dan istrinya. [dinukil dari Dastan Rastan]

Ternyata, kedudukan istimewanya di hadapan Rasulullah, tidak mampu menghapus dosa karena berlaku kasar pada anak dan istrinya. Nah bagaimana dengan orang-orang biasa? Karena itu, berhati-hatilah supaya tidak berlaku kasar terhadap istrinya, apalagi sampai meninggalkan memar atau bekas luka. Maka ketahuilah meskipun di dunia perbuatannya tidak bisa dijamah oleh hukum, karena tidak ada saksi ataupun karena rumah merupakan ruangan privasi, namun kita tidak akan bisa lari dari hukum Allah. Dengan demikian katakan“Islam yes, KDRT no”.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bijak Menghadapi Campur Tangan Keluarga Pasangan


“Iiiih… sebel dech sama ipar perempuanku yang suka ikut campur urusan rumah tanggaku. Sepertinya dia seneng banget kalau neglihat aku dan suami bertengkar. Suamiku juga, gampang banget terpengaruh omongan adiknya itu,” keluh seorang ibu pada temannya.

“Aku juga! Capek deh sama campur tangan mertuaku. Yang kulakukan kayaknya salah terus. Suamiku juga langsung percaya sama mertuaku. Kalau sudah begini, masalah sepele pun bisa jadi besar…” sahut sang teman.

Fenomena di atas bisa saja terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Bila hal itu tidak disikapi dengan baik maka kehidupan rumah tangga bisa berakhir pada penceraian. Tidak sedikit rumah tangga yang akhirnya kandas hanya karena campur tangan tidak sehat dari pihak keluarga.

Semestinya, pasangan suami istri sejak awal harus memahami bahwa pernikahan mereka bukan berarti menjalani kehidupan bersama pasangan saja. Pernikahan juga merupakan pertemuan keluarga besar mereka. Di sini, pasangan suami istri harus mengenal dengan baik karakter, kebiasaan dan bahkan pemikiran yang dimiliki keluarga pasangannya. Hal ini semakin penting ketika pasangan suami istri tinggal bersama atau berdekatan dengan keluarga pasangan. Berbekal pengetahuan itu, suami dan istri bisa bersikap dan bertindak dengan benar terhadap keluarga pasangan. Suami dan istri juga bisa berusaha seoptimal mungkin untuk menjauhi terciptanya konflik yang dapat menghambat laju biduk rumah tangga yang tengah dikayuhnya.

Terkadang, campur tangan dilakukan secara sengaja untuk menciptakan konflik di antara suami istri. Hal ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan mengadu domba yang sangat dicela oleh agama dan akal. Dalam hal ini Imam Ali as pernah bersabda, “Berhati-hatilah dengan perbuatan mengadu domba orang karena hal itu akan menumbuhkan kebencian dan menjauhkanmu dari Allah SWT dan manusia.”[Ghurar al-Hikam, jil 2, hal 296]

Apalagi jika perbuatan mengadu domba itu dilakukan dengan tujuan agar pasangan suami istri bercerai. Hal itu benar-benar sangat tercela dalam pandangan Islam. Rasulullah saw menyatakan, “Seseorang yang berusaha memisahkan pasangan suami dan istri hingga keduanya bercerai akan mendapat murka dan laknat Allah SWT di dunia dan akhirat. Sudah sepantasnya Allah SWT menghujaninya dengan batu-batu panas. Dan barangsiapa yang berusaha merusak hubungan pasangan suami dan istri, namun keduanya tidak sampai bercerai, akan mendapatkan murka dan laknat Allah SWT di dunia dan akhirat. Allah SWT akan berpaling darinya.” [Wasail asy-Syiah, jil 14, hal 27]

Biasanya, konflik terjadi antara ibu mertua dengan menantu perempuan atau antara istri dengan ipar perempuan. Terutama jika sang suami adalah anak sulung, atau anak bungsu, anak tunggal, atau suami adalah tulang punggung keluarga. Mungkin ini disebabkan karena kedekatan hubungan yang terjalin antara seorang ibu dengan anaknya sebelum menikah. Sang ibu merasa begitu sulit menerima kalau sekarang anaknya sudah membagi kasih dan perhatiannya dengan orang lain. Atau, mungkin adik perempuan belum siap menerima kalau kakak laki-laki yang selalu melindungi dan menyayanginya itu sekarang malah memperhatikan dan menyayangi perempuan lain.

Jadi, untuk mencegah konflik dengan keluarga pasangan, hendaknya suami dan istri sejak awal memahami kondisi dan posisi pasangannya di dalam keluarganya. Dengan pemahaman yang ada, suami atau istri akan lebih bijak dan tidak mudah mudah tersulut emosinya.

Semua orang membutuhkan sosialisasi dengan orang lain. Tak terkecuali pasangan yang baru berkeluarga. Keduanya tidak bisa meninggalkan keluarga begitu saja. Mereka tetap membutuhkan saran atau nasehat dari keluarga. Di sini, seorang suami atau istri harus pintar dan bijak membedakan mana ucapan dan pernyataan keluarganya yang memang bertujuan baik dan mana yang mengindikasikan campur tangan tak sehat. Sebagai contoh, pernyataan seperti ini, “Gimana sih istrimu, masa suaminya tidak dilayani dengan baik. Istri macam apa itu?” atau, “Lihat tuh istrimu, nggak bisa ngurus anak. Ibu macam apa dia?” sangat berbau provokasi yang jika ditanggapi dengan serius, bisa dengan cepat memicu pertikaian antara suami istri.

Bisa juga komentar yang tak sedap datang dari pihak keluarga istri, “Lihat tuh suamimu, kurang bertanggungjawab. Masa ‘anak papa’ seperti kamu yang biasa hidup enak malah diajak tinggal di rumah seperti ini. Sudah, kamu ikut papa dan mama aja, biar hidup kamu lebih terjamin.” Atau, “Tuh liat suamimu, masa sikapnya sama mertua begitu?! Ngga sopan sama sekali!”

Karena itu, bila mendengar ucapan dan pernyataan yang menuduh atau menjatuhkan pasangan, jangan sampai suami atau istri langsung terpancing. Sang suami atau istri harus bersikap netral terlebih dahulu dan tidak memihak salah satu pihak. Pernyataan-pertanyaan tak enak itu bisa dijawab dengan halus atau malah diluruskan dengan baik. Misalnya dengan berkata, “Masa sih ma? Ya, mungkin istri saya kecapean. Coba nanti saya bicara dengannya.” Atau “Terima kasih atas tawaran papa dan mama. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa nuruti permintaan papa dan mama karena saya kan sudah menikah dan harus mengikuti kemanapun suami pergi. Lagi pula saya lihat sendiri kok kalau suami sudah berusaha sekuat tenaganya.” Kalau perlu, singgung hadits Aimmah yang berhubungan. Seperti hadits Rasulullah, “Orang yang paling berhak terhadap wanita adalah suaminya. “ [Kanzul Ummal : 44771]

Terakhir, pasangan suami istri harus ingat bahwa hubungannya dengan mertua akan lebih baik jika dia mampu menganggap mertuanya sebagai orang tua sendiri; bukan rival.

(Itrah/Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mahar Pra Islam, Penyimpangan Dalam Mahar


Oleh: Euis Daryati MA

Sejak zaman dahulu, dalam pernikahan, biasanya suami akan memberikan sesuatu pada istri sebagai tanda pernikahan mereka (mahar). Kebiasaan memberi mahar ini terus berlanjut. Tapi sepanjang perjalanannya (sampai sebelum datangnya Islam), terjadi praktek-praktek menyimpang yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang membuat posisi dan kemuliaan mahar terganggu. Setelah Islam muncul, praktek-praktek itu dengan tegas ditolak dan dihapus.

Salah satu praktek menyimpang itu adalah menjadikan mahar istri sebagai milik orang tua. Pada zaman jahiliyah, orang tua gadis menganggap mahar adalah hak mereka sebagai kompensasi atas jasa mereka dalam membesarkan dan merawat anak perempuan mereka. Dalam tafsir Kasyaf karya Zamakhsyari dan tafsir lainnya disebutkan, ketika seorang ayah mendapat karunia seorang anak perempuan di zaman itu maka orang lain akan mengucapkan selamat padanya dengan berkata, “Hanian laka an-nafijah”. “Selamat, semoga dia menjadi sumber kekayaan bagimu. Secara leksikal, an-nafijah berarti sekantong jebat atau wewangian dari rusa jantan yang sangat mahal harganya. Jadi, anak perempuan disebut sebagai sumber kekayaan karena sang ayah kelak akan menikahkan anak gadisnya dan mengambil maharnya.

Praktek menyimpang lain di zaman jahiliyah adalah hak perwalian ayah atau saudara laki-laki (jika ayah sudah meninggal dunia) atas anak perempuan. Ayah atau saudara laki-laki berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya; bukan sesuai pilihan anak perempuan. Begitu juga, mahar anak perempuan akan menjadi milik ayah atau saudara laki-laki; bukan milik dan hak sang anak perempuan.

Di zaman itu juga, anak perempuan bisa ditukar begitu saja pada pria lain. Seorang laki-laki bisa mengatakan pada laki-laki lain, “Aku akan menikahkan anak perempuanku (atau saudariku) denganmu jika kau memberikan anak perempuanmu (atau saudarimu) untuk menjadi istriku.” Jika laki-laki kedua menyetujuinya maka masing-masing perempuan yang ditukar itu telah menjadi mahar bagi kedua laki-laki itu. Pernikahan seperti ini disebut pernikahan syighar yang kemudian dihapus oleh syariat Islam.

Praktek dan kebiasaan buruk lainnya di zaman jahiliyah adalah mewarisi istri. Ketika seorang laki-laki meninggal maka ahli warisnya (seperti anak laki-laki dan saudara laki-laki) akan mewarisi istri sang almarhum sebagaimana mereka mewarisi hartanya. Ahli waris memiliki wewenang menikahkan sang istri dengan siapapun yang mereka inginkan dan ahli waris akan mengambil mahar pernikahan untuk dirinya sendiri. Ahli waris bisa juga mengambil istri sang almarhum sebagai istrinya sendiri tanpa harus memberinya mahar dengan dalih bahwa sang almarhum sudah memberikan mahar sebelumnya pada wanita itu. Lalu Al-Quran datang dan menghapus adat mewarisi istri itu dengan berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, tidaklah halal bagimu mewarisi perempuan dengan cara paksa…” (Q.S: An-Nisa:19)

A-Quran juga mengharamkan seorang muslim untuk menikahi istri ayah sebagaimana yang sering dilakukan di masa jahiliyah. Menikahi istri ayah itu dilarang meski istri sang ayah rela menikah dengan anaknya. Al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah menikah dengan perempuan-perempuan yang telah dinikahi ayah-ayah kamu.” (Q.S: An-Nisa:22)

Selain itu, Al-Quran juga menghapus praktek salah lain yang menghilangkan hak mahar perempuan. Misalnya, saat seorang suami merasa jenuh dan tak menyukai istrinya lagi, suami bisa memperlakukan istrinya sesuka hati dan bahkan boleh menganiayanya. Tujuannya penganiayaan itu tak lain istri setuju untuk bercerai dan suami bisa mengambil semua atau sebagian dari mahar yang telah diterima istrinya. Al-Qur’an mengingatkan, “Jangan menyusahkan mereka [istri] hingga kamu bisa mengambil kembali sebagian dari apa yang sudah kamu berikan kepada mereka.” (Q.S: An-Nisa:19)

Adat dan kebiasaan lain yang juga dilarang Islam adalah pernikahan seorang laki-laki dan perempuan yang dilangsungkan tanpa menetapkan berapa jumlah maharnya. Atau, menuduh si istri berbuat amoral. Dulu ada tradisi, setelah menikah, begitu suami merasa bosan dengan istrinya dan ingin menikah dengan perempuan lain, sang suami akan menuduh istrinya telah melakukan perbuatan amoral dan merusak nama baiknya. Suami lalu mengatakan bahwa istrinya itu sudah tak pantas lagi menjadi istrinya dan mengklaim bahwa sejak awal, pernikahan mereka harus dibatalkan dan mahar harus dikembalikan.

Selain menghapus tradisi-tradisi salah tentang mahar pada zaman jahiliyah, Islam juga menghapus tradisi yang mewajibkan suami bekerja untuk mertua seperti yang dilakukan Nabi Musa as untuk Nabi Syuaib as. Nabi Syuaib as telah menikahkan Nabi Musa as dengan salah satu putrinya dengan syarat Nabi Musa as harus bekerja untuknya selama delapan tahun. Jika Nabi Musa as mau bekerja dua tahun lagi, maka Nabi Musa as tidak akan memiliki hutang budi lagi pada Nabi Syuaib as. Tradisi seperti itu muncul karena saat itu banyak pria yang miskin dan tidak memiliki harta benda apapun. Jadi, sebagai gantinya, sang menantu pria harus bekerja untuk mertuanya. Ini adalah satu-satunya hal bermanfaat yang bisa dilakukan sang menantu untuk mertuanya. Ada sebab lain kenapa menantu pria harus bekerja untuk mertuanya. Di zaman itu, biasanya mertua memberikan hadiah pada anak perempuannya saat menikah. Karena itu, sang menantu harus memberi sejumlah uang pada mertuanya. Jika menantu tak punya uang maka sang mertua akan meminta sang menantu bekerja untuknya. Nantinya, uang yang diberikan sang menantu akan diberikan pada anak perempuannya itu.

Itulah praktek dan tradisi lama yang tak layak yang berhubungan dengan mahar dan telah dihapus oleh Islam dan karenanya tidak lagi dilakukan oleh kaum muslimin.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Memuji Kelebihan Pasangan


Oleh: Euis Daryati MA

Pernikahan merupakan sebuah ikatan suci antara seorang laki-laki dan perempuan. Sebelum memutuskan untuk hidup bersama melalui ikatan suci tersebut, mereka saling mengenal terlebih dahulu dan ada ketertarikan di antara keduanya. Seseorang memutuskan memilih calon pasangan hidupnya, karena menurutnya terdapat berbagai kriteria yang dimiliki oleh calonnya bisa diajak hidup bersama dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.

Setiap orang pasti berharap bisa mendapatkan pasangan ideal yang didambakannya. Harapan untuk tersebut merupakan ‘fitrah’ manusia, fitrah akan cinta pada kesempurnaan. Manusia mencintai kesempurnaan, karena itu berharap mendapatkan pasangan yang sempurna juga. Hanya saja, karena terdapat perbedaan dalam memandang kesempurnaan -tergantung backgraound pandangannya terhadap dunia dan tujuan hidup- maka dalam memandang kesempurnaan pun akan berbeda pula. Saat tolok ukur kesempurnaan itu berbeda, maka tolok ukur pasangan ideal pun akan berbeda juga.

Pasangan yang ideal dalam kaca mata sebagian orang ialah seseorang yang sempurna dari sisi lahiriyah seperti tampan atau cantik, kaya, sarjana, keturunan pejabat atau ningrat, bodinya atletis bagi lelaki dan langsing bagi perempuan. Namun, dalam kaca mata sebagian orang, tolok ukur pasangan ideal bukan pada sisi lahiriyah saja.

Bahkan, sisi lahiriyah hanya dijadikan sebagai hal sekunder. Yang menjadi ukuran utamanya ialah kepribadiannya, seperti baik hati, penyayang, lemah lembut, pekerja keras, bertanggungjawab, perhatian dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah saww menjelaskan bahwa seseorang itu akan memilih pasangan hidup karena kecantikan atau ketampanan, nasab keturunan, harta dan karena agamanya. Di akhir ucapannnya beliau mengatakan barang siapa yang memilih pasangan hidup karena agamanya, maka berbahagialah ia.

Dalam riwayat lain, Rasulullah saww juga menjelaskan tentang masalah agama dan prilaku calon istri yang ideal bagi seorang laki-laki, “Barangsiapa yang menikahi seorang perempuan karena kecantikannya, maka ia tidak akan melihat padanya melainkan apa yang telah ia inginkan. Dan barangsiapa yang menikahi pertempuan karena hartanya, maka ia tidak akan mendapatkan yang lainnya melainkan hanya yang diinginkannya. Maka hendaknya kalian menikahi seseorang karena agamanya.” (Muntakhab Mizan al-Hikmah halaman 252)

Jika seseorang menikah hanya karena tujuan kecantikan atau ketampanan, maka hanya untuk beberapa saat saja ia menikimati kecantikan dan ketampanan pasangannya. Karena setelah itu, disebabkan senantiasa bersamaan, maka kecantikan dan ketampanan yang sangat memukainya, tidak akan seperti saat awal pertemuan mereka. Keelokan pasangannya akan dirasakan biasa saja. Mungkin saja, sebagian merasakan adanya rasa bosan.

Yang menjadi pertanyaan, dapatkah seseorang mendapatkan pasangan hidup yang ideal, sempurna tanpa memiliki kekurang sedikitpun? Karena sebelum menikah, yang tampak ialah kebaikan dan kelebihannya saja. Kekurangan seseorang akan tampak ketika dia sudah memasuki hidup bersama dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Karena itu, dalam hal ini ulama akhlak kontemporer Ayatullah Mudhohiri dalam buku Akhlak dar Khaneh (Akhlak Rumah Tangga) mengatakan bahwa tidak mungkin seseorang dapat menemukan pasangan yang seratus persen merupakan idamannya. Tujuh puluh persen saja sesuai yang kita harapkan itu sudah sangat bagus.

Dalam riwayat lain Rasulullah saww juga telah mensyaratkan tentang ‘sepadan’ (sekufu) dalam memilih pasangan hidup. Walaupun pengertian sepadan memiliki pengertian yang luas, bisa mencakup masalah status sosial, ekonomi, pemikiran, status keilmuan, agama dan lainnya. Namun, penekanannnya lebih pada masalah sepadan dari sisi agama. Maksudnya adalah pasangan yang akan kita pilih adalah pasangan yang berdasarkan kacamata agama adalah orang yang baik, yang siap diajak hidup bersama dalam mengarungi kehidupan rumah tangga dalam suka dan duka.

Saat seseorang memilih pasangan hidup berdasarkan tolok ukur agama (dengan penjelasan sederhananya ialah karena Allah), maka ia tidak akan kecewa berat saat mendapatkan kekurangan yang dimiliki oleh pasangannya pasca pernikahan, yang tidak diketahui sebelumnya. Karena ia akan menyadari bahwa setiap manusia (selain para manusia pilihan Tuhan dan para manusia suci), tidak akan pernah lepas dari kekurangan. Setiap orang dibalik kelebihan yang dimilikinya, pasti ia akan memiliki kekurangan. Seringnya jika seorang istri atau suami, tidak melihat pasangannya berdasarkan kaca mata agama niscaya ia hanya akan berusaha memandang sisi kekurangan pasangannya saja, kemudian hal itu diperbesar yang akhirnya akan merusak keutuhan rumah tangga yang telah dibina dengan susah payah. Satu sama lain akan selalu berusaha mencari kekurangan yang lainnya, saling merendahkan dan tidak saling menghormati. Di saat itu, kehidupan rumah tangga akan terasa pahit bagi pasangan suami-istri tersebut, dan selalu dipenuhi dengan perselisihan.

Oleh sebab itu, dalam mengatasi masalah ini, agama Islam telah memberikan jalan keluarnya. Yaitu dengan menerima pasangan hidup kita apa adanya. Bagaimana caranya? Dengan melihat sisi-sisi kelebihan yang dimiliki oleh pasangan kita. Dan menyadari bahwa sebagaimana kita sendiri tidak sempurna maka pasangan kita pun pastilah tidak sempurna. Selain memiliki kelebihan, pasti ia memiliki kekurangan. Cara yang obyektif dan ril adalah berusaha tidak fokus pada kekurangan pasangan.

Dari pada sibuk melihat kekurangan pasangan, lebih baik bersyukur atas kelebihan-kelebihannya, selama kekurangan tersebut tidak fatal. Apalagi jika sampai membandingkannya dengan yang lain.

“Lihatin Pa, suaminya tetangga lebih baik dari Papa. Ayo dong Papa juga kaya dia, nyari uang siang-malam. Papa bukan suami yang romatis!”.

“Lihatin Ma, istrinya tetangga pintar masak!”

“Lihatin Ma, istrinya fulan pintar membuat kerajinan, keterampilan dan lainnya. Gimana sih Mama ini nggak bisa apa-apa!”.

Siapa pun tidak ada yang senang jika dibandingkan dengan orang lain. Karena selain akan merasa dijatuhkan harga dirinya, ia juga akan merasa kehilangan rasa percaya diri. Seorang pasangan istri-suami pun demikian pula. Ia hendak berusaha merasa bangga dengan kelebihan yang dimiliki oleh pasangannya. Dan dengan rasa bangga ini, sebaliknya, akan menambah erat hubungan keharmonisan sebuah rumah tangga. Suami-istri harus berusaha selain melakukan pujian terhadap pasangannya yang keluar dari dalam hati, juga harus dibuktikan dalam prilaku dan lisan. Hendaknya tidaklah sungkan mengatakan hal tersebut kepada pasangan.

“Aku bangga padamu sayang, engkau suami yang baik!“

“Aku bangga padamu sayang, engkau istri yang pengertian.”

Tentunya ungkapan-ungkapan semacam ini, akan lebih berpengaruh dalam jiwa apabila keluar dari hati sanubari. Karena itu, janganlah hidup ini dibuat repot, selalu berusaha untuk menjadikan rumah tangga kita seperti rumah tangga orang lain. Nikmatilah hidup apa adanya, dan jangan menyibukan diri memata-matai kehidupan orang lain dan lantas membanding-bandingkannya. Kehidupan akan dirasakan pahit atau manis itu kembali kepada diri kita sendiri. Jika kita selalu berusaha untuk menjadikan pasangan kita sebagai manusia yang sempurna seperti orang lain, selain kita dan pasangan kita sendiri akan merasa capek dengan perbuatan sia-sia tersebut (karena mustahil akan bisa diraih), juga tidak akan pernah dapat menikmati kehidupan yang kita alami secara riil. Sebelum terlambat, marilah kita memulai untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih indah. Tentunya dengan menjalankan tips-tips yang telah dianjurkan oleh agama Islam.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Moralitas Perempuan dan Laki-laki; Persamaan atau Perbedaan?


Ketika seorang anak lahir, ia akan dihadapkan pada serangkaian tuntutan peran dan tuntutan moral tertentu berdasarkan jenis kelaminnya. Peran gender dan tuntutan moral tersebut biasanya sudah mulai diajarkan sejak masa kanak-kanak. Di Indonesia sampai sebelum tiga dekade terakhir, masing-masing jenis kelamin menjalankan peran dan tuntutan moral tersebut sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakatnya.

Kemudian tibalah masa ketika persamaan peran menjadi isu penting di seluruh bagian dunia. Perbedaan dan pembedaan tidak lagi menjadi hal yang diterima, bahkan dapat didakwa sebagai tindakan diskriminatif. Pengusung agenda persamaan menggugat perbedaan nilai-nilai moral yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan karena dianggap tidak adil serta merugikan bagi perempuan. Perbedaan pendidikan moralitas anak perempuan dengan anak laki-laki menjadi hal yang dipertanyakan. Bagaimana perspektif Islam berkaitan tentang etika moral antara laki-laki dan perempuan? Adakah perbedaan yang diskriminatif di dalamnya?


Persamaan etika moral antara perempuan dan laki-laki

Apa yang menjadi jaminan pelaksanaan etika moral bagi seseorang? Berbeda dengan aturan hukum positif, pelaksanaan nilai moral tidak membutuhkan kontrol eksternal. Motivasi internal menjadi hal penting bagi seseorang untuk menjalankan aturan moral tanpa adanya pengawasan dari eksternal.

Referensi teks agama yang kita miliki banyak memuat nilai persamaan perempuan dan laki-laki. Laki-laki dan perempuan sama-sama dituntut untuk melaksanakan nilai luhur seperti keberpihakan pada keadilan, jujur, amanah, altruistik, dermawan, sabar dan toleransi. Kedua jenis kelamin ini juga dianjurkan untuk menjauhi perbuatan yang bertentangan dengan moral seperti: melakukan penindasan, menuduh orang lain, menggunjing, kikir, dan iri.


Perbedaan etika moral perempuan dan laki-laki

Sebagaimana diketahui, moralitas meliputi aspek kognisi, afeksi dan motorik. Perbedaan perempuan dan laki-laki dalam 3 aspek tersebut sedikit banyak mempengaruhi kemampuan keduanya dalam pelaksanaan nilai moral. Meskipun pendapat tentang perbedaan tersebut tidak sama menurut perspektif kelompok feminis, ahli biologi dan psikologi, namun adanya perbedaan tidak diragukan lagi. Kelompok feminis radikal bahkan mengakui adanya karakteristik khusus pada perempuan yang memiliki kemampuan untuk mengandung. Para ilmuwan membuktikan bagaimana karakteristik tersebut mempengaruhi perilaku tertentu. Al Quran juga mengisyaratkan beberapa dari perbedaan tersebut yang pembahasannya memerlukan tempat tersendiri.

Selain hal telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa tuntutan moral yang secara spesifik ditujukan kepada perempuan. Apakah tuntutan khusus ini merupakan produk dari nilai patriarki yang mengutamakan laki-laki atas perempuan? Secara umum terdapat dua prinsip yang menjadi landasan perbedaan nilai moral antara perempuan dan laki-laki;
1. Adanya perbedaan biologis dan psikologis,
2. Sumber konstruksi norma eksternal untuk manusia yang memiliki potensi untuk menerima pendidikan.

Tentunya tidak dapat dipastikan berapa besar perbedaan perilaku perempuan dan laki-laki berdasarkan biologisnya. Hal ini disebabkan karena manusia juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan perilakunya juga dibentuk oleh nilai moral yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan prinsip bahwa manusia merupakan mahkluk yang siap menerima pendidikan, perilaku tersebut mengalami reproduksi dari generasi ke generasi. Kadang perilaku tertentu secara budaya dianggap baik sebagai pekerjaan feminin atau maskulin, namun tidak demikian halnya pada budaya di tempat lain. Berdasarkan hal ini dapat dinyatkaan bahwa masyarakat di berbagai tempat mendefenisikan nilai yang berbeda menurut kesepakatan mereka atas pengaruh faktor lain setelah fisik dan psikologis. Pada masyarakat zaman ini, agama menjadi salah satu sumber dalam mendefenisikan baik atau tidaknya suatu perbuatan. Kita menyaksikan banyaknya persamaan nilai moral antara laki-laki dan perempuan tanpa mengabaikan akar berbedaan yang membawa manfaat bagi kedua jenis kelamin, keluarga dan masyarakat.


Kesucian sebagai etika moral penting bagi perempuan

Dalam teks agama, kadang nilai tertentu dianggap lebih baik ada pada perempuan atau laki-laki. Misalnya pada riwayat berikut: “ Enam hal ini baik, tapi lebih baik jika ada pada 6 kelompok. Adil merupakan kebaikan, namun keadilan seorang penguasa lebih baik. … dan sifat malu merupakan kebaikan, namun akan lebih baik sifat malu yang dimiliki perempuan”. Riwayat lain yang dinukil dari Amirul Mukminin Ali as: “Sebaik-baiknya sifat yang dimiliki perempuan dan akan menjadi buruk jika dimiliki laki-laki; sombong, takut dan kikir. … maka jika perempuan memiliki sifat takut, ia akan selamat dari hal yang membahayakan dirinya”.

Jelas saja sombong, takut dan kikir pada dasarnya tidak baik bagi perempuan dan laki-laki. Riwayat ini mengacu pada makna atau manifestasi khusus yang berhubungan dengan perempuan. Sombong yang dimaksud pada riwayat bermakna tidak peduli kepada laki-laki asing/bukan muhrim dan sombong dalam hal sensual kepada selain pasangannya. Sedangkan kikir berarti kecenderungan terhadap harta suami yang dipercayakan kepadanya dan takut dalam hal ini mengutamakan kesucian. Pengutamaan kesucian perempuan akan meredam hal yang berhubungan dengan sensualitas. Pandangan kepada perempuan dengan bingkai seksualitas merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hari ini kekerasan seksual tercatat sebagai kasus yang paling banyak dalam catatan kekerasan terhadap perempuan. Tidak menjaga kesucian akan menempatkan perempuan pada wilayah yang berbahaya secara fisik dan psikologis. Ibu yang lebih banyak terlibat dalam proses transformasi nilai moral kepada anak-anaknya akan mengalami kendala ketika ia tidak menjaga kesucian. Kesucian yang tidak terjaga juga membawa pengaruh buruk kepada masyarakat, misalnya berkurangnya kenyamanan dan ketentraman sosial.

Perbedaan tuntutan moral merupakan pendukung berjalannya fungsi dan peran masing-masing jenis kelamin. Karena itu, perbedaan pendidikan moral antara anak perempuan dan anak laki-laki juga menjadi penting. Tidak ada salahnya jika sejak kecil anak perempuan diperkenalkan dengan tuntutan moral secara spesifik sesuai dengan jenis kelaminnya.


Sumber:

Jaygah va huquq zan dar Islam, Fariba Alesvand, Markaz Faaliyathaye Dini Syahrdari Tehran, Azar Mah 1395 Hs.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mendidik Sahabat-Sahabat Mahdawi di Dalam Keluarga


Pertumbuhan seseorang dihasilkan di dalam keluarga dan jika berada di dalam keluarga yang berhasil dalam agama maka anak-anak Mahdawi akan terdidik di dalam keluarga tersebut.

Shabestan News Agency, Hujjatul Islam Pourjawad menjelaskan bahwa jika kita di dalam komunitas yang kecil atau yang disebut dengan keluarga berperilaku baik maka sama dengan menyebarkan kebaikan.
Dijelaskannya, keluarga itu bagaikan sebuah tanah pertanian, dimana pertama-tama sawah dibajak kemudian setelah beberapa waktu barulah tanah tersebut menjadi siap, menebarkan benih-benih di atas tanah yang sudah siap tersebut, setelah beberapa waktu benih-benih tersebut berubah menjadi tunas-tunas baru, dengan demikian supaya dapat mengahsilkan hasil yang baik maka tanahnya juga haruslah baik.

Pertumbuhan seseorang dihasilkan di dalam keluarga dan jika berada di dalam keluarga yang berhasil dalam agama maka anak-anak Mahdawi akan terdidik di dalam keluarga tersebut.

Anak-anak yang diberi pendidikan dengan penuh rasa kasih dan cinta itu akan menjadi penolong dan sahabat Imam Mahdi a.s. Lalu bagaimana bisa menjadi sahabat Imam Mahdi a.s, jika anak-anak yang mereka didik tidak sesuai dengan apa yang telah agama perintahkan.

Ia menambahkan, maksud dari keluarga Mahdawi ialah sebuah keluarga yang hubungan antara anggotanya diatur berdasarkan pada pemikiran agama serta berporos pada wilayat Imam Makshum as.

Lebih dari itu, keluarga Mahdawi adalah sebuah keluarga pecinta dan yang mentaati Imam Zaman afs dan mereka hidup sebagaimana kehidupan nabawi, alawi, fathimi dan mahdawi. Dimana di dalamnya kita bisa melihat contoh kecil dari pemerintahan Imam Zaman afs, demikian jelasnya.

به نقل از مسجد مقدس جمكران، حجت الاسلام پورجواد، محقق و پژوهشگر حوزوی در ادامه سلسله جلسات «سبك زندگي اسلام» به تشريح راه هاي رسيدن به آرامش در محيط خانواده پرداخت و اظهار کرد: اگر ما در اين جامعه كوچك كه نامش خانواده است، خوب باشيم و خوب رفتار كنيم و گسترش خوبي دهيم، در واقع می توانيم در جامعه هم مفيد فايده باشيم و از طرفي هم مي توانيم يك نسل خوب و موفق را تربيت كنيم.

وي خانواده را مانند يك زمين كشاورزي تعبير كرد و افزود: زمين كشاورزی را شخم مي زنند و بعد چند مدت كه آن زمين آماده شد، بذرها را می کارند و مدتي به آن دانه ها رسيدگي كرده و چندمدت هم آفت زدايي مي كنند تا اين زمين، زمين خوبي باشد و بتواند محصول خوبي را داشته باشند.

پور جواد ادامه داد: درون محيط زندگي هم به این شکل است كه يكسري عوامل و آفات وجود دارد كه ما بايد حواسمان باشد اگر اين آفت به زمين بيافتد زمين را نابود مي كند.

محقق و پژوهشگر حوزوی با اشاره به اينكه خانواده بستر رشد و كمال و مبدا پيدايش است، تصريح كرد: رشد انسان درون خانواده حاصل مي شود و در خانواده ای موفق می توان فرزندانی مهدوی با منش اسلامی تربیت کرد.

پورجواد در تبيين عوامل برهم زننده آرامش درون محيط خانواده عواملي را از باب پيشگيري و درمان بيان كرد و گفت: اولين عاملي كه باعث فروپاشي خانواده مي شود عدم همفكری زن و شوهر است چراكه اگر زن و شوهر همفكر نباشند اذيت شده و نمي توانند هم كُف يكديگر باشند و اين عدم همفكري منجر به اين مي شود که آرام آرام حتي از صحبت كردن با يكديگر هم لذت نبرند.

وي در بيان دليل عدم همفكري زن و شوهر اظهار کرد: اين موضوع به انتخاب آنها بستگي دارد لذا بايد در انتخاب خود بحث همتايي را رعايت كنند تا بتوانند همفكر هم باشند البته همتايي از جهات مختلفي اعم از همتايي مذهبي، علمي، خانوادگي و اعتقادي است و زماني كه زن و شوهر همفكر باشند همراه هم شده و با يكديگر در زمان مشكلات گفتگوي سازنده انجام مي دهند.

پایان پیام/9


(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bagaimana Menghadapi Anak Balita Yang Sering Mengamuk?


Tanya:

Beberapa waktu belakangan ini anak saya umur 3 tahun kurang 3 bulan sering ngamuk dan suka memukuli saya kalau sedang ngamuk. Saya sudah coba sabar menghadapinya, tapi kadang enggak tahan juga. Apa yang harus saya lakukan? Anak laki-laki saya ini dengan umurnya yang hampir 3 tahun, ngomongnya belum terlalu jelas.


Jawab:

Ibu F yang berbahagia, terimakasih sudah mengirimkan pertanyaannya. Senang sekali punya putra yang sehat sampai menjelang usia 3 tahun. Saya memahami bagaimana rasanya bersabar menghadapi anak yang ngamuk dan memukul kita sebagai orangtuanya. Ibu sudah berusaha melakukan yang terbaik dengan bersabar dan berkonsultasi.

Putra ibu yang sekarang usianya mendekati 3 tahun, mengapa beberapa waktu belakangan ini suka ngamuk-ngamuk? Ibu F akan lebih mudah menghadapi anak yang sering ngamuk ketika sudah punya bekal pengetahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada sang anak. Kalau melihat pada usianya, secara umum anak usia 1-4 tahun akan mengalami masa yang disebut dengan temper tantrum atau seperti yang ibu sebut dengan “ngamuk-ngamuk”. Temper tantrum biasanya berlangsung sekitar 2-3 menit disertai dengan perilaku seperti berteriak, membanting, memukul orang lain atau diri sendiri, berguling-guling dan merusak. Tantrum merupakan gejala normal pada anak usia menjelang 3 atau 4 tahun, karena pada saat itu mereka sedang belajar emosi.

Apa yang harus Ibu F lakukan menghadapi anak yang demikian? Temper tantrum dapat diatasi dengan memenuhi kebutuhan anak dan mencari tahu penyebab kemarahannya. Kemarahan anak perlu disikapi dengan tenang dan beberapa penanganan yang sesuai dengan penyebabnya. Ibu F juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajarkan kepada anak bagaimana cara mengelola kemarahan dan mengungkapkannya tanpa perilaku yang agresif dan merusak. Hal ini perlu diajarkan karena orang yang tidak mampu mengekspresikan marah dengan cara yang tepat, seperti ngamuk, merusak dan memukul akan menghadapi banyak masalah dalam kehidupannya. Kita sebagai orang tua berharap agar anak kita kelak dapat memiliki kehidupan yang baik.


Penyebab kemarahan pada anak

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan anak sering mengalami tantrum. Pertama, anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang emosional, cenderung memiliki karakter yang emosional dan mudah marah pula. Misalnya, jika anak sering melihat orang di lingkungannya (terutama orangtua atau anggota keluarga lainnya) ngamuk kalau keinginannya tidak terpenuhi akan belajar melakukan hal yang sama.

Kedua, gangguan fisik dan psikologis dapat menjadi penyebab kemarahan pada anak. Pada anak yang lebih kecil kondisi seperti: kelelahan, mengantuk, rasa lapar atau pakaian yang tidak nyaman dapat memicu kemarahan. Kemarahan anak dapat disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan psikologis seperti: frustasi, ketakutan atau kecemasan. Tuntutan orang tua yang terlalu terlalu banyak kepada anak, kekerasan fisik seperti pemukulan dan kekerasan psikologis seperti kata-kata yang kasar terhadap anak akan menyebabkan tekanan bagi anak. Tekanan ini digolongkan juga dengan masalah yang berkaitan dengan psikologis.

Pada beberapa kasus, anak yang merasa kurang mendapat perhatian dari orangtua dan merasa diabaikan akan mengalami frustasi. Perilaku tantrum kadang muncul sebagai jalan untuk mencari perhatian dari orang tua Selain itu, hambatan dalam komunikasi akan menimbulkan rasa frustasi pada anak. Rasa frustasi ini juga merupakan pemicu anak untuk mengalami tantrum.

Setelah mengetahui hal apa saja yang menjadi penyebab anak tantrum, barangkali Ibu F dapat mengira-ngira apa yang menyebabkan putranya bertingkah laku demikian. Kalau sudah tahu penyebabnya, akan lebih mudah memahami, menangani dan melakukan antisipasi terhadap perilaku tantrum tersebut. Ibu F bisa mengobservasi kapan dan dalam keadaan yang bagaimana biasanya anak ngamuk. Apakah anak Ibu ngamuk saat ia sedang lapar, lelah, merasa ketakutan atau ketika keinginannya tidak terpenuhi?


Bagaimana menghadapi kemarahan anak?

Ibu F, berikut ini ada beberapa saran dari para ahli apa yang sebaiknya dilakukan orangtua ketika menghadapi anak yang sedang ngamuk:
1. Berempati dengan keadaan anak dan tidak meremehkan kemarahannya, misalnya dengan menertawakan anak yang sedang marah.
2. Tidak memberi hukuman fisik (memukul) dan memarahinya.
3. Memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan emosinya dan membantu anak meredakan kemarahannya. Setelah kembali tenang, anak dapat diajak berbicara tentang kemarahan. Tugas orang tua pada saat ini menjadi pendengar tanpa menghakimi ketika berbicara tentang penyebab kemarahannya, sampai anak menjadi tenang.
4. Menjauhkan benda-benda di sekitar anak yang dapat membahayakan.
5. Mencari tahu penyebab kemarahan anak dan mengajaknya membicarakan hal tersebut. Misalnya, jika temper tantrum dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya minta dibelikan mainan), anak perlu diyakinkan bahwa ia tidak akan meraih tujuannya dengan kemarahan.
6. Memberi pujian dan perhatian di saat anak mau bekerja sama dan ketika mampu meredakan kemarahannya.
7. Anak-anak perlu diajarkan tentang hal apa saja yang boleh dilakukan dan tindakan apa yang harus dihindari ketika sedang marah. Bahwa tindakan merusak seperti membanting dan memukul pada saat marah merupakan hal yang harus dihindari. Sebaiknya anak diajarkan beberapa hal yang dapat dilakukan ketika marah, misalnya: menghindar dari obyek kemarahan, membicarakan penyebab kemarahan, meredakan kemarahan dengan menggambar, olahraga dan lainnya.
8. Kepada anak juga dapat diceritakan kisah-kisah teladan tentang kesabaran dan kebiasaan menahan amarah. Sehingga anak termotivasi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh teladan tersebut dan mencontoh perbuatan mereka.


Hal yang dijelaskan di atas berkaitan dengan kemarahan anak secara umum. Sedangkan pada kasus putra Ibu F, saat ini usianya menjelang 3 tahun namun kemampuan berbicaranya masih kurang dibanding anak lainnya dengan usia yang sama. Secara spesifik, agaknya kondisi kemampuan bicara yang lebih rendah dibanding anak usia sebayanya juga merupakan penyebab penting kenapa anak Ibu F suka ngamuk-ngamuk. Sebagaimana telah disebutkan di atas, hambatan komunikasi merupakan salah satu penyebab tantrum pada anak. Karena itu, kepada Ibu F disarankan juga agar melakukan stimulasi yang lebih baik terhadap perkembangan bahasa putranya.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Peran Orangtua Mencegah Perundungan Anak


Ketika merencanakan pendidikan dan masa depan anak, hampir sebagian besar orangtua akan memilih mengirim buah hatinya ke sekolah. Kita berharap sekolah dapat menjadi sarana bagi anak dalam menuntut ilmu dan mempelajari banyak hal lainnya termasuk adab. Ironisnya, institusi pendidikan tidak lagi nyaman dan ramah terhadap anak. Alih-alih menjadi rumah kedua untuk berlindung dari bahaya, sekolah justru menjadi tempat terjadinya tindakan kekerasan dan perundungan.

Berdasarkan paparan Mendikbud pada tanggal 25 Januari 2016, 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah. Secara lebih detail 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah dan 50% anak melaporkan pernah mengalami perundungan di sekolah (blog anti perundungan: https://bigloveadagio.wordpress.com/).

Pemerintah telah menyetujui untuk mengeluarkan Perpres (Peraturan Presiden) berkaitan dengan berbagai peristiwa perundungan di sekolah. Dibutuhkan kepedulian semua pihak terhadap masalah perundungan yang merupakan proses kelompok antara pelaku, korban dan saksi. Orangtua memiliki akses penuh terhadap ketiga aktor (pelaku, korban dan saksi) yang terlibat dalam peristiwa tersebut.


Bagaimana jika perundungan tidak dihentikan?

Perundungan (bullying) berarti tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti secara fisik/verbal/psikologis oleh seseorang/sekelompok orang yang merasa tidak berdaya. Perundungan juga dapat dilakukan dalam bentuk sosial misalnya menyebarkan rumor atau gosip yang menyakiti perasaan. Sebagai catatan, perundungan dilakukan “berulang” dan “tanpa provokasi” (Panggabean dkk, 2015).

Perundungan pada anak dan remaja banyak terjadi di sekolah. Pada praktiknya perundungan melibatkan beberapa pihak. Tidak hanya terhadap korban, perundungan juga berpengaruh negatif kepada pelaku, saksi (bystander) dan sekolah.

Korban yang mengalami perundungan akan menghadapi masalah kesehatan fisik akibat tekanan psikologis, depresi, dan menurunnya prestasi akademik. Korban yang terus-menerus menerima perilaku kekerasan, akan memendam rasa tidak berdaya. Dalam situasi tertentu, rasa ketidakberdayaan tersebut akan dilampiaskan dengan menjadi pelaku perundungan berikutnya. Pada kasus yang lebih ekstrem korban meninggal dunia dengan tragis, dapat melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain. Masih tertinggal rasa sesal atas kasus kasus bully terhadap siswi kelas X SMAN 1 Bangkinang, Riau Elva Lestari (16) yang berujung bunuh diri (detik.com, 01 Agustus 2017). Beberapa hari lalu anak usia SD menjadi korban perundungan di lingkungan sekolahnya dan tewas pada saat itu juga.

Selain prestasi menurun, pelaku perundungan menjadi mudah terlibat dalam perkelahian atau tawuran di sekolah. Pelaku juga dapat mencuri, merusak dan membawa senjata. Tanpa penanganan, perilaku kekerasan ini dapat berlanjut hingga dewasa dalam bentuk kriminalitas atau kekerasan dalam rumah tangga.

Perundungan dapat terjadi karena tidak ada saksi yang menolong korban atau melaporkan kepada yang berwenang. Saksi perundungan akan merasa ketakutan dan mengalami konflik batin yang berkepanjangan atas rasa bersalah. Dalam waktunya yang lama, ia akan merasa tidak berdaya karena tidak mampu berbuat. Padahal ia sendiri tidak menyetujui perbuatan itu dan kasihan pada korban. Pada beberapa kondisi, saksi cenderung untuk menjadi pelaku perundungan berikutnya.


Bagaimana orangtua dapat menghentikan perundungan?

Meskipun tidak hadir langsung di lingkungan sekolah, orang tua memiliki peranan penting dalam penanganan tragedi perundungan yang terus memakan korban. Peran yang dapat dilakukan orang tua berupa pencegahan primer sebelum terjadinya dan intervensi awal sebelum konflik meluas.

1. Cegah anak agar tak menjadi menjadi korban perundungan

Anak-anak yang teridentifikasi memiliki self-esteem rendah, pemalu dan selalu merasa tidak aman cenderung menjadi korban perundungan. Agar tidak menjadi sasaran tindakan perundungan, bantu anak untuk:
- Menumbuhkan self-esteem/harga diri yang baik. Anak dengan self-esteem baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis dan berani menyuarakan haknya.
2. endiskusikan pemahaman tentang perundungan dengan anak dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan jika menghadapinya. Melawan pelaku akan menambah tindakan kekerasan, sebaiknya anak melapor kepada orang dewasa.
3. enghindari membawa benda berharga ke sekolah. Seringnya pelaku perundungan bertujuan mengambil milik korban.

2. Cegah anak agar tak menjadi pelaku perundungan

Pelaku perundungan memiliki ciri tidak mau menerima perubahan dan perbedaan serta merasa terganggu dengan perbedaan itu. Keluarga perlu memberi dukungan kepada anak untuk mengembangkan sikap menghargai perbedaan dan toleransi sejak dini, misalnya:
1. Menghargai pendapat dan pilihan anak.
2. Berempati terhadap anak, mengembangkan dan melatih sikap empati terhadap semua orang.
3. Melebarkan wilayah “tembok diri” dari melindungi dan mencintai diri menjadi mencintai beberapa figur tertentu hingga mencintai semua makhluk.

3. Bantu anak agar peduli dan berani menolong korban perundungan

Perundungan bukan hanya masalah yang terjadi antara pelaku dan korban, karena pelaku biasanya ingin perbuatan dilihat orang lain. Pada perundungan saksi merupakan jumlah yang terbanyak, karenanya penurunan/pencegahan perundungan tergantung pada peranan saksi. Kunci pencegahan perundungan adalah kepedulian, empati dan keberanian saksi untuk menolong korban secara langsung maupun tidak langsung. Orangtua dpat mengembangkan empati anak sejalan dengan tahap perkembangan psikologisnya. Sikap heroik pada anak dapat dikembangkan melalui kisah teladan sehingga membangkitkan keberaniannya menolong orang lain.


Efikasi diri dan efikasi kelompok dapat meningkatkan kemauan saksi untuk menolong ( tentang efikasi diri telah dibahas pada edisi Itrah sebelumnya). Penelitian terbaru dari pakar Psikologi Sosial Universitas Indonesia menyatakan bahwa efikasi diri berkorelasi positif dengan kebahagiaan psikologis. Makin tinggi kebahagiaan saksi, makin tinggi efikasi dirinya dan makin tinggi kesediaannya menolong korban perundungan. Orang tua dan keluarga dapat memberi kebahagiaan psikologis terbesar bagi anak sehingga kemampuannya untuk menghadapi masalah berkembang maksimal.

Saatnya orangtua bergandeng tangan dengan semua pihak untuk melakukan intervensi dengan pendekatan terhadap putra dan putrinya sendiri. Anak-anak kita berpotensi menjadi korban, pelaku dan saksi perundungan. Intervensi dilakukan dengan pendekatan komprehensif meliputi aspek kognitif, afeksi/psikologis, motorik, sosial dan budaya. Kepedulian kita dapat menghentikan jatuhnya korban perundungan yang selalu bertambah dan menyedihkan.

(Artikel dimuat di Kolom Psikologi Keluarga, Majalah Itrah Edisi 38 Juli-September)

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sabar Menghadapi Ujian Rumah Tangga


Oleh: Euis Daryati MA

“Awal menikah saya berharap bisa hidup bahagia karena sejak kecil hidup saya sangat sulit. Kondisi ekonomi keluarga saya bukan saja pas-pasan tapi sangat kekurangan. Tapi setelah menikah saya tak pernah berhenti mendapat ujian. Berbagai masalah dan musibah datang silih berganti. Entah dari sikap suami sendiri atau masalah ekonomi. Kadang saya bertanya dalam hati, ‘Kenapa saya selalu diuji? Apa dosa saya?’” keluh seorang ibu pada temannya sembari menghela nafas panjang.

Sebagaimana yang kita ketahui, tak seorang pun di dunia ini yang tak punya masalah. Yang kaya atau miskin, rakyat jelata atau pejabat, tua atau muda, semuanya pasti pernah punya masalah. Jangan dikira mereka yang secara lahir terlihat senang dan bahagia karena kaya raya atau terpandang tak punya masalah. Semua orang punya masalah dan kesulitan masing-masing.

Bagi kaum mukmimin, kehidupan di dunia ini bak penjara dan tempat ujian, seperti dalam hadis Rasulullah saw, “Ad-dunya sijnul mukmin wa jannatun lil kaafir.” Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir. “ Karena itu, bila kita ingin tetap berada dalam barisan orang-orang mukmin kita harus siap menghadapi semua kesulitan dan ujian, termasuk menghadapi ujian dalam rumah tangga.

Banyak sekali hal dalam tatanan rumah tangga yang bisa memicu kesulitan dan ujian. Sebut saja kesulitan dalam menghadapi sikap dan karakter pasangan yang berbeda dengan yang kita miliki. Ayatullah Madzahiri pernah mengatakan, mustahil kita bisa mendapatkan pasangan yang 100 % ideal dan sepadan dengan kita. Di sisi lain, krisis ekonomi yang melanda rumah tangga bisa menimbulkan masalah. Kondisi ekonomi selalu berubah, kadang pendapatan keluarga begitu melimpah ruah dan kadang sangat sedikit meski suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab menyediakan anggaran belanja keluarga sudah mencoba beragam usaha. Kondisi ini akan semakin sulit ketika ujian lain datang, misalnya salah satu anggota keluarga jatuh sakit.

Ya, ujian dan kesulitan akan datang silih berganti menghampiri keluarga dan menguji kekokohan rumah tangga. Di sini, kesabaran dan ketegaran pasangan suami istri sangat diperlukan. Suami istri harus bahu membahu dan berusaha menyelesaikan semua permasalahan. Di sini pula kesalehan suami istri diuji. Istri yang shalehah tak akan meninggalkan suaminya sendirian dalam kondisi terpuruk seperti pepatah sindiran yang mengatakan, ‘Ada uang abang disayang tak ada uang abang ditendang’. Istri yang shalehah akan terus mendukung suaminya dan membantu meringankan bebannya. Begitu pula suami yang shaleh.

Di samping itu, kita juga sudah mengetahui bahwa Allah swt memberi ujian dan kesulitan kepada hambanya dengan berbagai tujuan, seperti yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw dan Aimmah as Tujuan itu antara lain;


Peringatan agar tidak lalai

Imam Shadiq as bersabda, “Seorang mukmin tak akan melewati 40 hari melainkan Allah akan memberi kesulitan yang membuatnya sedih agar dia tidak lalai.” (Mizanul Hikmah, hal. 84).


Menebus dan menghapus dosa-dosa

Imam Ali as pernah mengingatkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kesulitan dan musibah sebagai penghapus dosa.”(Mizanul Hikmah, hal. 84).

Sementara Imam Shadiq as berkata, “Saat Allah memuliakan hamba-Nya, ketika hamba tersebut melakukan dosa maka dia akan ditimpa penyakit. Jika tidak, maka dia akan ditimpa kefakiran dan jika tidak, dia akan ditimpa kesulitan dalam meregang nyawa.” (Mizanul Hikmah, hal. 84)


Indikator derajat keimanan

Imam Baqir as berkata, “Semakin tinggi iman [seorang mukmin] maka kehidupannya akan semakin sulit. (Mizanul Hikmah, hal. 84).


Indikator kecintaan Allah s.w.t kepada hamba-Nya

Imam Shadiq as bersabda, “Ketika Allah mencintai suatu kaum atau hamba-Nya maka Allah akan memberi banyak ujian dan kesulitan; belum selesai satu kesedihan kesedihan lain datang menimpa.” (Mizanul Hikmah, hal. 84).

Tinggal kita yang harus mengintropeksi diri, kesulitan dan ujian kita masuk dalam tujuan mana? Apakah karena dosa dan kelalaian kita? Atau karena Allah menyayangi kita? Atau untuk menaikan derajat keimanan kita? Lalu bagaimanakah reaksi kita dalam menghadapinya? Semakin dekatkah kita kepada-Nya atau semakin menjauhi-Nya?

Tak ada salahnya kita kembali membuka halaman sejarah dan melihat sosok-sosok tegar yang menghadapi masalah besar tapi suskes melampauinya. Ketika seorang istri diuji dengan mendapat suami yang kasar maka dia harus berusaha mencontoh kesabaran Asyiah istri Firaun. Begitu pula sebaliknya, bila seorang suami diuji dengan sikap buruk istrinya maka harus berusaha mencontoh kesabaran Nabi Ayyub as Ketika suami atau istri sabar menghadapi prilaku buruk pasngannya maka Allah s.w.t. akan menganugrahi pahala seperti nabi Ayyub as dan Asyiah.

Kita juga tak boleh lupa bahwa masih banyak orang-orang di sekitar kita yang mempunyai masalah lebih berat dan sulit dari masalah kita. Terakhir, Allah swt tak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Karena itu, jangan sampai kita berkecil hati. Kita harus terus bersabar dan tidak putus asa. Dengan pertolongan Allah swt, pada akhirnya kita akan mampu menyelesaikan semua masalah. Insya Allah!

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dr. Zahra Musthafawi: “Apakah Persamaan Hak Laki-laki dan Perempuan Memberikan Kemaslahatan?”


Dr. Zahra Musthafawi merupakan salah satu dari tiga putri Imam Khomeini (qs). Dua putri lainnya bernama Siddiqah dan Farida. Dari ketiga putri Imam, Dr. Zahra Musthafawi memiliki aktivitas dalam bidang sosial dan politik yang mengagumkan. Saat ini beliau menjabat sebagai ketua umum Jamiat Zanan Jomhori-ye Islami Iran (Persatuan Perempuan Republik Islam Iran). Selain berkaitan dengan agama, ruang lingkup organisasi perempuan ini juga mencakup berbagai bidang termasuk sosial politik yang cukup berpengaruh di negeri tersebut. Dalam bidang akademis, doktor di bidang Ilahiyat (Teologi) ini mengemban amanat sebagai anggota Dewan Ilmiah Fakultas Teologi Universitas Tehran.

Memasuki usianya yang ke-77 tahun, Dr. Zahra Musthafawi masih aktif berkiprah dalam panggung nasional dan internasional. Pada tanggal 7 Desember 2017, beliau diundang dalam “Konferensi Internasional Perlawanan Terhadap Penindasan Zionis Israel Terhadap Palestina” di Jakarta. Konferensi internasional yang juga memperingati 100 tahun deklarasi Balfour menghadirkan Dr. Zahra Musthafawi sebagai salah satu pembicara. Mengambil berkah dan manfaat dari putri seorang tokoh besar sepanjang sejarah, kegiatan beliau selama berada di Jakarta dijadwalkan maksimal. Tanggal 8 Desember 2017 beliau menjadi pembicara dalam acara “Peringatan Maulid Baginda Nabi Muhammad Saw” di STFI Sadra Jakarta. Meskipun diselenggarakan di lingkungan kampus yang memiliki program pendidikan Filsafat Islam dan Tafsir Al Quran ini, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa saja. Sosok Dr. Zahra Musthafawi menjadi magnet yang menarik kedatangan masyarakat umum ke kampus yang terletak di Jalan Lebak Bulus 2 No. 2 Jakarta Selatan.

Kedatangannya di kampus disambut dengan nasyid “Thala al Badru” oleh tim hadrah mahasiswa STFI Sadra. Setelah itu Dr. Zahra Musthafawi langsung dipersilahkan mengambil tempat untuk menyampaikan orasi ilmiahnya. Beliau memulai orasi singkatnya dengan menyampaikan salam pembuka dan ucapan selamat atas peringatan kelahiran Sayyidina Muhammad salallahu alaihi wa alih kepada hadirin. Pada kesempatan tersebut, putri yang mewarisi darah pemimpin besar Islam itu menyatakan tidak akan berbicara tentang Palestina dan kehidupan Imam Khomeini (quddusi ruh). Adapun tema penting yang akan disampaikan berkaitan dengan isu perempuan, khususnya tentang tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Sebagaimana diketahui bahwa hari ini tuntutan persamaan hak laki-laki dan perempuan telah menjadi isu bersama pada hampir setiap negara di dunia. Hal tersebut disebabkan karena negara-negara terikat untuk menghormati pelaksanaan Perjanjian Internasional yang dikeluarkan oleh PBB, yaitu Konvensi Anti Diskriminasi – Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Apa yang dicapai ketika setiap negara berusaha menjalankan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan? Apakah perempuan benar-benar mendapatkan haknya secara hakiki?

Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana Jerman melaksanakannya dalam kebijakan negara. Undang-Undang Negara ini mengatur persamaan hak dan kewajiban finansial laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Konsekwensi aturan ini berarti hilangnya kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istri dan istri memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri di keluarga. Bagaimana pengaruh pelaksanaan persamaan hak finansial ini bagi perempuan? Artinya perempuan yang sedang mengandung, melahirkan dan menyusui anak juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak ada yang bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Padahal dalam keadaan demikian perempuan sangat membutuhkan dukungan, termasuk finansial. Kondisi ini pada hakikatnya sangat sulit dan merugikan perempuan.

Pelaksanaan keadilan gender haruslah menyesuaikan dengan kondisi natural, kedudukan dan kekhususan perempuan. Undang-undang yang dibuat oleh Negara dan pelaksanaannya untuk memberikan hak-hak perempuan hendaklah tidak mengabaikan kebutuhan khusus perempuan. Iran sebagai Negara yang dianggap mengekang kebebasan perempuan dan hak-hak perempuan, mengatur hak perempuan dengan tetap memperhatikan kekhususannya dalam hal kedudukan, peran dan aspek emosional. Hak pendidikan perempuan tidak berbeda dengan laki-laki dan pasca revolusi perempuan mengalami kemajuan yang luar biasa dalam bidang pendidikan. Telah terjadi perubahan dalam beberapa kebijakan dan Undang-Undang yang mempertimbangkan dan memperhatikan kekhususan perempuan. Misalnya, (pada kasus perceraian) laki-laki memiliki kewajiban atas nafkah anak dan perempuan bisa mendapatkan hak pengasuhan anak tersebut.

Sekarang kita lihat bagaimana pelaksanaan persamaan hak laki-laki dan perempuan di Malaysia sebagai negara tetangga Indonesia. Negara menentukan kebijakan untuk memberikan kebebasan bagi perempuan untuk menjalankan peran di ruang publik. Namun, pada saat yang sama budaya masyarakat setempat menuntut perempuan di negeri jiran itu untuk tetap menjalankan peran domestik di keluarga. Ketika dituntut aktif menjalankan peran di ranah publik, perempuan di negeri tersebut masih harus menjalanankan peran domestik juga di keluarga. Pada akhirnya, kebijakan ini tidak menghantarkan perempuan mendapatkan haknya secara hakiki.

Oleh karena itu, isu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan perlu dikritisi. Apakah Undang-Undang dan kebijakan negara-negara dalam upaya pelaksanaan “Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap perempuan” (CEDAW) memberi maslahat bagi perempuan? Pemberian hak yang sama kepada perempuan dan laki-laki tidak menjamin penghapusan diksriminasi. Sekali lagi, dalam praktek pemberian hak terhadap perempuan perlu mempertimbangkan kekhususan dan karakteristik bawaan perempuan. Persamaan hak laki-laki dan perempuan yang hari ini telah dijalankan perlu dikaji ulang dan dipertimbangkan kembali.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kelembutan Orangtua Jauhkan Anak Dari Penyimpangan


Jika orangtua dalam menasehati anak-anaknya dengan cara yang benar maka pasti mereka dapat menentukan jalan yang benar dan anak-anak mereka akan menjauh dari jalan kelalaian.

Hal ini disampaikan Hujjatul Islam Akhwan dalam kajian tafsirnya saat menjelaskan tentang Lukman Hakim yang berdasarkan riwayat ia adalah seorang yang beribadah dan bertafakkur.

Dijelaskannya, dalam sebagian waktunya Lukman Hakim menghabiskannya untuk bertafakkur sebagaimana hal ini disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an Karim, Lukman Hakim selalu memberikan nasihat kepada anaknya, nasihat dan pesan yang diberikan Lukman Hakim ialah karena kasih sayang orangtua kepada anaknya. Saat memberikan nasihat Lukman selalu berbicara dengan lemah lembut kepada anaknya supaya apa yang ia ucapkan dapat meresap ke dalam hati anaknya.

Pada zaman sekarang ini banyak orang berfikir bahwa anak-anak mereka tidak memahami perkara agama, hal ini tentu salah karena jika orangtua dalam menasehati anak-anaknya dengan cara yang benar maka pasti mereka dapat menentukan jalan yang benar dan anak-anak mereka akan menjauh dari jalan kelalaian, terangnya.

Waktu yang paling baik dalam memberikan pendidikan harus dimulai sejak masa kanak-kanak, yakni dengan bahasa anak-anak dan lembut. Saat ini para orangtua harus memperhatikan bahwa musuh-musuh sedang mengancam masa kecil anak-anak kita, dengan demikian jika para orangtua tidak menggunakan bahasa kasih sayang kepada anak-anak mereka maka peluang musuh akan semakin besar, demikian jelasnya.

حجت الاسلام والمسلمین اخوان استاد حوزه علمیه و مفسر قرآن کریم، امروز در جلسه تفسیر سروه لقمان که در مدرسه علمیه امام خمینی(ره) برگزار شد، گفت: جناب لقمان براساس روایات نقل شده برده‌ای بیش نبود اما بیشترین عبادت ایشان تفکر بود.

وی افزود: جناب لقمان در حین کار اهل اندیشیدن بودند و خداوند در قرآن کریم به تفکر ایشان اشاره دارد که اگر این علوم در آدمی چنانچه با تعمق و تفکر واقع نشود آنچنان ثمری نخواهد داشت بنابراین انسان باید در خود علوم و آثارش زیاد تعمق کند و این مهم به همه علوم مربوط می‌شود.

حجت الاسلام والمسلمین اخوان با تاکید بر اینکه انسان در حین علم آموزی باید به لوازم و آثار آن نیز دقت داشته باشد، اظهار داشت: انسان در هر حال و زمانی می‌تواند تفکر کند، برخی انسان‌ها در همه حال به خداوند و قیامت فکر می‌کنند و هرگز از این امر غفلت نمی‌ورزند.

این مفسر قرآن کریم با اشاره به اینکه لقمان در قرآن کریم به فرزندش بسیار موعظه می‌کند، ابراز کرد: نصایح و تذکرات لقمان بیانگر ارتباط دلسوزانه والدین با فرزندان است، ایشان هنگام موعظه بسیار لطیف با فرزندش سخن می‌گویند تا نصیحتش به دل و جان پسرش بنشیند.

استاد اخلاق در حوزه علمیه با بیان اینکه خداوند انبیاء و اهل بیت(ع) را واسطه فیض برای سعادت انسان قرار داده است، گفت: خداوند در قرآن کریم مشرکان را از اینکه چوب و سنگ را بین خود و خدا واسطه قرار دهند نهی کرده است.

وی ادامه داد: امروز کسانی که فکر می‌کنند فرزندانشان در طفولیت بسیاری از امور دینی را نمی‌فهمند سخت در اشتباه هستند اگر والدین و نظام آموزشی ما با زبان محبت فرزندان را به راه راست هدایت کنند به طور قطع آنان راه راست را تشخیص داده و از مسیر غفلت پرهیز می‌کنند.

حجت الاسلام والمسلمین اخوان خاطر نشان کرد: امور تربیتی از همان طفولیت و با زبان کودکی باید آغاز شود امروز والدین باید توجه داشته باشند که استعمار با ملاطفت درصدد هلاک کردن فرزندان است بنابراین اگر زبان والدین فارغ از محبت باشد امکان گمراهی فرزندان بیشتر خواهد بود. پایان پیام/487

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mendidik Pasukan Imam Mahdi afs di Dalam Keluarga


Lebih dari itu, keluarga Mahdawi adalah sebuah keluarga pecinta dan yang mentaati Imam Zaman afs dan mereka hidup sebagaimana kehidupan nabawi, alawi, fathimi dan mahdawi. Dimana di dalamnya kita bisa melihat contoh kecil dari pemerintahan Imam Zaman afs.

Shabestan News Agency, mengenai generasi Mahdawi, Hujjatul Islam Naili Pour menjelaskan bahwa anak-anak berada dalam pengaruh perbuatan kedua orangtuanya, dimana mereka meniru dan meneladani segala keadaan dan ucapan apra orangtua.

Perbuatan orangtua secara secara tidak langsung berpengaruh kepada anak-anaknya. Oleh sebab itu para orangtua yang menginginkan anak-anak yang beriman, saleh, jauh dari dosa dan mencintai Ahlul Bait as harus memulainya dari mereka sendiri, yakni berusahalah untuk selalu beramal baik dan saleh.

Terlebih lagi, anak-anak yang diberi pendidikan dengan penuh rasa kasih dan cinta itu akan menjadi penolong dan sahabat Imam Mahdi a.s. Lalu bagaimana bisa menjadi sahabat Imam Mahdi a.s, jika anak-anak yang mereka didik tidak sesuai dengan apa yang telah agama perintahkan.

Ia menambahkan, maksud dari keluarga Mahdawi ialah sebuah keluarga yang hubungan antara anggotanya diatur berdasarkan pada pemikiran agama serta berporos pada wilayat Imam Makshum as.

Lebih dari itu, keluarga Mahdawi adalah sebuah keluarga pecinta dan yang mentaati Imam Zaman afs dan mereka hidup sebagaimana kehidupan nabawi, alawi, fathimi dan mahdawi. Dimana di dalamnya kita bisa melihat contoh kecil dari pemerintahan Imam Zaman afs, demikian jelas Hujjatul Islam Naili Pour.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Perempuan Sebagai Pendidik


Oleh: Euis Daryati MA

Pendidikan, menurut Ayatullah Ibrahim Amini adalah “membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya, dan secara perlahan bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan.”[1]

Seorang perempuan adalah pelaku pendidikan yang paling utama, baik pendidikan formal maupun non formal. Dalam pendidikan formal, perempuan berperan sebagai guru atau pendidik di lembaga-lembaga formal (sekolah). Sifat perempuan yang umumnya penyabar, luwes, dan telaten membuatnya mampu berperan sebagai guru yang baik baik anak-anak. Apalagi, pendidikan anak-anak usia balita sangat memerlukan ketelatenan dan kesabaran yang ekstra.


Anak Belajar Sejak di Dalam Rahim

Sementara itu, peran perempuan dalam pendidikan non formal adalah aktivitas perempuan dalam proses pendidikan yang tidak terikat oleh aturan-aturan resmi dan formal. Contoh konkritnya adalah ketika perempuan berstatus sebagai seorang ibu. Kata ‘ibu’ atau ‘umm’ yang banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan riwayat memiliki arti ‘akar’ atau ‘sumber’. Makna ini diambil karena janin minimal enam bulan dan maksimal sembilan bulan berada dalam rahim perempuan. Sementara masa tinggal nuthfah di shulbi ayah hanya sebentar saja. Janin mengambil segenap kekuatan jasmani dan ruhani dari wujud ibu, dan secara kontinyu menyerap segala nutrisi yang dibutuhkannya dari ibunya. Ibu merupakan ‘umm’ atau sumber eksistensi seorang anak [2].

Keberhasilan seorang perempuan dalam menjalankan peran sebagai pendidik non formal bagi anaknya sangat bergantung pada kepribadian si perempuan itu sendiri. Pasca wafatnya Sayidah Fathimah a.s., Imam Ali a.s. berkata kepada saudaranya, Aqil, “Carikan untukku seorang istri yang dapat melahirkan sosok pemberani.” Artinya, karakter-karakter anak yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan sangat bergantung kepada karakter si perempuan itu sendiri. Perempuan pemberani akan melahirkan anak-anak yang pemberani, perempuan yang fasik (gemar berbuat dosa), besar kemungkinan akan melahirkan anak-anak yang kelak kemudian akan meniru perbuatan ibunya.

Rasulullah SAWW pun pernah bersabda, “Orang yang bahagia ialah orang yang bahagia ketika di rahim ibunya, dan orang yang sengsara ialah orang yang sengsara ketika di rahim ibunya.”[3] Ilmu psikologi modern pun kini menemukan bahwa emosi yang dirasakan oleh seorang ibu akan dibawa oleh molekul-molekul dalam tubuh ibu ke plasenta janin, sehingga dapat memengaruhi perkembangan otak dan emosi bayi.

Bahkan, pola makan ibu selama hamil pun akan ‘dipelajari’ oleh janin. Sebagaimana ditemukan oleh peneliti dari Universitas Southampton, pola makan ibu selama trimester pertama kehamilan memiliki resiko terhadap obesitas anak-anak. Ibu yang makan terlalu banyak tanpa dikontrol dengan pola diet yang seimbang cenderung memiliki bayi yang berbakat obesitas (kegemukan di luar normal).

Segala perilaku seorang ibu di waktu hamil akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan jasmani dan ruhani janin. Segala nutrisi dan suplemen yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh terhadap kesehatan jasmani janin, sementara segala sikap, ucapan dan prilaku ibu hamil akan mempengaruhi perkembangan psikologis dan ruhani janin. Itulah sebabnya, dalam berbagai riwayat disebutkan betapa pentingnya ibu hamil menjaga makanan dan perilakunya. Bahkan sejak sebelum hamil pun, seorang perempuan perlu menjaga diri dengan cara berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri. Imam Shadiq a.s. mengatakan bahwa ketika suami istri melakukan hubungan biologis dengan menyebut nama Allah swt, maka setan akan menjauh darinya. Akan tetapi jika tidak disebut nama Allah swt, maka setan akan ikut serta dan disamping itu, aktifitasnya pun dianggap berasal dari setan dan anak yang terlahir dianggap sebagai hasil kerja sama dengan setan. [4]


Pendidikan Setelah Anak Lahir

Ketika bayi sudah terlahir ke dunia, proses pendidikan pun terus berlangsung. Pada masa menyusui, ibu sesungguhnya sedang mendidik anaknya. Perilaku ibu selama periode menyusui sangat berpengaruh kepada anak. Anak yang disusui dalam keadaan tenang dan dimulai dengan menyebut nama Allah, tentunya akan berbeda dengan anak yang diberi ASI dalam keadaan sebaliknya. Ibu yang menyusui anaknya sambil menghafal Al Quran, tentu akan memberikan efek psikologi berbeda dibanding bila ibu menyusui anak sambil menggosip atau melakukan kegiatan dosa lainnya.

Imam Muhammad Baqir as berkata, “Mintalah wanita-wanita suci (yang senantiasa dalam keadaan wudhu) untuk menyusui anakmu, karena air susu itu menulari.”[5] Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Perhatikanlah, siapa yang menyusui anak-anakmu, karena anak akan tumbuh sebagaimana keadaannya.”[6] Ibu seorang ulama terkemuka, Ja’far Shushtari, menyatakan bahwa dia selalu menyusui putranya itu dalam keadaan berwudhu.[7] Penelitian modern pun menemukan bahwa interaksi kasih sayang antara ibu dan bayi saat menyusui serta kualitas ASI sangat berpengaruh pada perkembangan sistem syaraf otak dan kecerdasan bayi.

Selepas masa menyusui, peran perempuan dalam mendidik anak pun semakin bertambah besar. Sering orang menyangka bahwa kemampuan mendidik anak adalah naluri seorang ibu. Namun Imam Ali a.s. pernah berkata bahwa “Didiklah anak sesuai dengan zamannya.” Artinya, ibu perlu terus belajar bagaimana cara pola asuh yang benar. Salah satu konsep pendidikan yang penting untuk dipegang dalam mendidik anak adalah sebagaimana yang disampaikan Imam Ali a.s. berikut ini, “Sayangilah dan layanilah anak sampai usia tujuh tahun, kemudian didiklah anakmu selama tujuh tahun dan di tujuh tahun ketiga suruhlah anakmu untuk ikut membantu urusan keluargamu!”[8]


Referensi:

[1] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik Anak, hal.5-6.

[2]Husen Ansharian, Nizam-e Khanwade dar Islam, hal. 434.

[3] Bihar al-Anwar, jil.43, hal.44

[4] Muhsin Faiz Kasyani, Tafsir Shafii, jil 3, hal. 203

[5] Wasâ’il asy-Syî`ah, juz 15, hal., 185

[6] Wasâ’il asy-Syî`ah, juz 15, hal., 188.

[7]Husen Ansharian, Nizam-e Khanwade dar Islam, hal. 440

[8] Wasâ’il asy-Syî’ah, juz 15, hal., 195.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bahaya Bermain Video Game Pada Anak


Sebenarnya seorang anak boleh saja jika ingin bermain game, asalkan waktu bermainnya dibatasi dan hal yang paling penting adalah memilih game yang tepat untuk anak. Sekarang ini cukup banyak game edukatif seperti di android, namun harus tetap dibatasi penggunaannya agar tidak berlebihan. Serta yang tidak kalah penting adalah orangtua harus tegas dalam menentukan batasan waktu bermain game bagi anaknya.

Dunia anak adalah dunia bermain. Kesenangan dan kebahagiaan mereka diantaranya adalah dengan menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-temannya. Namun saat ini aktifitas anak untuk bermain di luar ruangan sudah agak berkurang, karena banyaknya video game yang bisa mudah didapat. Sayangnya, orangtua sering memiliki pandangan yang keliru tentang video game. Banyak orangtua yang mengira anaknya jenius karena pintar bermain game dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Namun, apakah anda tahu bahwa jika anak-anak yang terlalu sering dalam bermain game bisa membahayakan fisik serta psikologisnya?

Sebuah penelitian yang dulu pernah dilakukan oleh Kaiser Family Foundation pada 2.032 orang anak yang berusia antara 3 hingga 12 tahun tentang berapa sering anak-anak usia tersebut bermain video game ataupun game di komputer. Ternyata sekitar 73% anak laki-laki yang berusia 8 sampai 10 tahun rata-rata bermain game selama satu jam per hari dan hampir 68% anak dengan usia 12 tahun hingga 14 tahun bermain game yang sebenarnya diperuntukan bagi usia 17 tahun ke atas.

Sebagaimana pernah dikutip dari Psychiatric Time, alasan anak-anak senang bermain game adalah karena ingin mencoba hal yang baru dan juga untuk dapat menghilangkan stres dikarenakan tugas sekolah ataupun karena adanya suatu masalah.

Tetapi ternyata terlalu sering bemain game dapat mempengaruhi kepribadian anak itu sendiri. Hal itu karena di usia 4 hingga 17 tahun anak-anak cenderung akan menyerap dan juga meniru segala sesuatu yang dilihatnya sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan tubuhnya.

Apalagi sekarang ini cukup banyak game yang biasa dimainkan oleh anak-anak yang didalamnya mengandung unsur kekerasan. Dampak negatif dan bahaya video game bagi anak antara lain dapat membentuk karakter anak menjadi seorang pemberontak, rasa ingin tahu yang besar akan segala sesuatu yang sebenarnya dilarang, serta mempunyai tingkah laku yang kadang sangat sulit diterima oleh masyarakat.


Gangguan pada radang sendi anak

Salah satu yang menjadi masalah kesehatan dan seringkali terjadi pada anak yang senang main game adalah postur tubuhnya yang membungkuk atau bengkok, hal ini dapat terjadi akibat posisi duduk anak yang tidak beraturan saat bermain game di depan layar komputer atau televisi. Selain itu dengan seringnya bermain game setiap hari dengan rentang waktu yang cukup lama dapat menyebabkan kerusakan pada persendian ataupun iritasi kulit.


Gangguan pada penglihatan anak

Masalah lainnya yang juga bisa muncul karena banyak bermain game adalah seperti rusaknya penglihatan anak, hal ini dikarenakan waktu bermain game yang terlalu lama dengan jarak mata dan juga monitor yang terlalu dekat. Atau atau bisa juga dikarenakan ruangan yang gelap dengan gambar atau tampilan pada game yang berubah-ubah dengan cukup cepat. Hal ini pernah dibuktikan oleh sebuah penelitian di Inggris dan Amerika yang menemukan gejala sakit dan juga nyeri pada anak-anak setelah mereka bermain game di handphone ataupun membuka aplikasi lainnya selama berjam-jam. Penyebabnya adalah gerakan tangan yang selalu sama dan berulang-ulang ketika anak bermain video game di handphone. Dalam keadaan yang sangat parah, hal ini dapat menimbulkan rasa nyeri pada pergelangan tangan.

Bahaya atau dampak negatif lainnya dari terlalu seringnya anak bermain game adalah bisa menyebabkan seorang anak terkena obesitas. Itu dikarenakan kurangnya aktivitas di luar ruangan dan mereka hanya duduk saja depan layar.


Perubahan sikap dan perilaku anak

Selain beberapa masalah pada fisik anak, terlalu sering bermain game juga dapat menimbulkan beberapa masalah psikologis pada anak. Khususnya apabila game yang dimainkan oleh anak mengandung unsur kekerasan. Bisa saja anak-anak akan menirukan apapun yang telah dilihatnya tersebut di dalam kehidupan nyata, tidak heran apabila saat ini cukup banyak kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak di usia sekolah dasar.

Kekerasan dalam game ternyata jauh lebih berbahaya, karena anak selalu terlibat di dalam interaksi tersebut. Para pahlawan atau tokoh yang melakukan keke-rasan di dalam game tersebut tidak pernah mendapat hukuman dan malah cenderung dihargai, sehingga bisa saja anak akan berpandangan bahwa keke-rasan merupakan sesuatu yang sah dan benar. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan dapat membuktikan anak yang cukup sering bermain game kekerasan cenderung berprilaku lebih agresif.

Beberapa dampak negatif dan bahaya bermain game video game bagi anak tersebut tidak terbatas hanya pada game online, game komputer ataupun fasilitas game lainnya, tetapi juga berlaku bagi anak yang terlalu sering main game di gadget seperti HP atau iPad.

Sebenarnya seorang anak boleh saja jika ingin bermain game, asalkan waktu bermainnya dibatasi dan hal yang paling penting adalah memilih game yang tepat untuk anak. Sekarang ini cukup banyak game edukatif seperti di android, namun harus tetap dibatasi penggunaannya agar tidak berlebihan. Serta yang tidak kalah penting adalah orangtua harus tegas dalam menentukan batasan waktu bermain game bagi anaknya.


Ada beberapa langkah yang dapat anda lakukan untuk membantu anak menghindari bahaya video game, antara lain:

1. Batasi waktu bermain video games, maksimal 2 jam sehari atau hanya saat akhir pekan.
2. Awasi ketika anak bermain agar tidak meniru hal-hal buruk yang mungkin ada di video game.
3. Pastikan anda memilihkan jenis permainan yang edukatif dan sesuai dengan usia anak.
4. Jangan letakkan perangkat video game di kamar anak, tetapi letakkan di ruang keluarga agar anda tetap dapat selalu mengawasi.
5. Beri anak pemahaman bahwa dalam kehidupan nyata tidak seperti yang digambarkan dalam permainan video.


Semoga bermanfaat.

(Pendidikan-Karakter/Abna/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hindari 5 Ucapan Ini Dalam Mendidik Anak


Cara berkomunikasi yang baik dapat memberikan dampak positif pada hubungan orangtua dan anak untuk jangka waktu yang panjang. Begitu pula dengan ucapan negatif, juga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Maka dari itu gunakanlah selalu bahasa yang baik ketika mendidik anak.

Sebuah penelitian menemukan bahwa bahasa mempunyai pengaruh yang besar ketika kita berkomunikasi dengan orang lain. Dan cara berkomunikasi yang baik dapat memberikan dampak positif pada hubungan orangtua dan anak untuk jangka waktu yang panjang.

Begitu pula dengan ucapan negatif, juga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Maka dari itu gunakanlah selalu bahasa yang baik ketika mendidik anak. Berikut ini ada beberapa ucapan yang sebaiknya anda hindari ketika mendidik anda.


1. Begitu saja tidak bisa!

Ini adalah bentuk ucapan yang mewakili rasa frustasi orangtua terhadap anaknya. Seringkali ucapan seperti inilah yang menbuat mental anak jatuh, sehingga sulit untuk membuatnya memiliki prestasi tinggi.

Apa yang dirasakan anak pada saat orangtuanya berucap seperti ini? Anak akan merasa tidak mampu dan tidak berdaya. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan? Hentikan semuanya, termasuk proses belajar. Silahkan ambil waktu dan beristirahatlah sejenak, tenangkan emosi anda, biarkan anak melepas ketegangan.

Sambil anda beristirahat sejenak, pikirkan dengan kreatif pendekatan baru yang dapat membantu anak anda belajar. Kemudian masuklah kembali ke ruang belajar dengan kondisi yang lebih rileks dan tenang, bangkitkan semangat dan rasa percaya diri anak dengan penuh kasih sayang.


2. Kamu ditinggal saja ya!

Ucapan ini lazim dan banyak digunakan orangtua untuk mengancam anaknya, apakah ini baik? Tergantung kondisinya, ketika berada di rumah bisa jadi merupakan hal yang baik, karena anda sedang mengajarkan tepat waktu dan disiplin.

Tetapi ketika berada di pertokoan umumnya hal seperti ini tidak akan terjadi, dan anak akan belajar bahwa orangtua mereka hanya memberikan ancaman kosong. Karena itu sebaiknya jangan pernah mengatakan kepada anak bahwa anda akan meninggalkan mereka. Solusi mudahnya adalah buatlah rencana perjalanan sebelum anda berangkat dari rumah.


3. Jangan manja, kamu kan sudah besar!

Ada beda antara anak yang merasa tidak mampu dengan anak yang manja. Sebaiknya anda tahu betul anak anda sedang malas, manja, atau memang tidak mampu dan membutuhkan bantuan anda.

Sangat bisa dipahami, bahwa kemandirian dibutuhkan agar anak bisa tumbuh dengan baik, tetapi untuk mengajarkan kemandirian kepada anak sebaiknya orangtua perlu mengamati terlebih dahulu, apakah anak sudah mampu atau belum mampu.

Ucapan seperti ini bisa membuat anak tidak datang kepada orangtuanya ketika ada masalah, dan anak akan mencari orang lain untuk mendapatkan bantuan.

Hal ini akan membuat anak enggan untuk berkomunikasi lebih lanjut. Sekarang ini banyak anak yang merasa bahwa orangtua bukanlah solusi bagi mereka, semoga ini bukan anda. Karena akan sangat berbahaya jika anak mencari solusi dari luar yang belum tentu baik.


4. Minta maaf sana!

Ada banyak ucapan serupa yang tujuannya ingin mengajarkan sopan santun, tata krama, dan etika dalam hidup. Perbuatan baik akan diterima baik jika diberikan dengan contoh, bukan arahan semata.

Coba bayangkan, lebih mudah mana bagi anak untuk berubah menjadi lebih baik, dengan hanya menerima perintah atau melihat contoh? Ketika anda memaksa anak untuk meminta maaf, anda tidak mengajarkan mereka kemampuan sosial. Maka dari itu, akan lebih baik jika anda memberikan contoh untuk memperkuat perilaku tersebut. Dan yang paling penting, katakanlah dengan lembut bukan ancaman.


5. Kamu bicara apa sih!

Anak kecil, terutama dengan tipe kepribadian sanguin, akan sangat senang bercerita tentang banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya. Mungkin bagi orangtua, banyak cerita dari mereka sebenarnya adalah cerita biasa saja, dan cenderung tidak penting.

Seringkali karena kesibukan dan rutinitas, banyak orangtua yang tidak peduli dalam sikapnya. Ucapan seperti ini adalah salah satu ungkapan ketidak pedulian orangtua. Bagaimana jika hal seperti ini masih berlangsung dan sering terjadi? Apa yang akan terjadi pada diri anak?

Anak akan tumbuh sambil membawa pesan bagi dirinya, bahwa dia bukan orang penting. Tidak ada rasa percaya diri yang baik dalam dirinya, mereka akan merasa terabaikan dan tertolak. Dan ketika dewasa, mereka akan mencari perhatian dengan cara yang salah, membual, dan cenderung menyenangkan orang lain agar diterima.

Sebenarnya tidak ada orangtua yang sempurna, karena itu apabila anda mengucapkan hal-hal ini secara tidak sengaja, segeralah minta maaf pada mereka. Semoga dengan ini anda mendapat gambaran yang lebih besar, tentang ucapan-ucapan yang kurang mempedulikan anak.

Semoga bermanfaat.

(Pendidikan-Karakter/Abna/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: