Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS BUKU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS BUKU. Tampilkan semua postingan

Bedah Buku ‘Boko Haram’, Peneliti CSCS: Rezim Tak Adil Lahirkan Kelompok Ekstrem


Peneliti Centre For Statecraft and Citizenship Studies (CSCS) Universitas Airlangga, Rosdiansyah menangkap pesan utama dari buku “BOKO HARAM: The History of an African Jihadist Movement” bahwa pendekatan yang keliru diterapkan pemerintah suatu negara pada warganya akan berakibat fatal.

“Pola pendekatan terhadap masyarakat, ketika misalnya kasus-kasus warga negara ditangkap oleh aparat, namun tak pernah jelas nasibnya bagaimana. Itu persoalan keadilan, bisa menjadi pangkal munculnya kelompok ekstrem,” kata Rosdiansyah seusai acara bedah buku di Ruang Darussalam Masjid Al-Falah Surabaya, Sabtu (24/2/2018).

Menurut pria yang memperoleh gelar Master of Arts (MA) di Institute of Social Studies (ISS), Den Haag Belanda ini, pendekatan yang digunakan pemerintah untuk menangani radikalisme akan sangat menentukan.

“Kalau pendekatan keliru, pendekatan kekerasan, pendekatan pura-pura, maka sudah bisa dipastikan muncul reaksi lebih keras, muncul rasa tidak percaya, itu saja. Pesan utama buku ini adalah tegakkan keadilan,” jelasnya.

Dalam buku terbitan Princeston University karya Alexander Thurston ini, disebut bahwa awal kemunculan Boko Haram dari sebuah pengajian biasa di tahun 2000an, yang dicetuskan oleh Muhamad Yusuf, pria kelahiran tahun 1970.

Munculnya gerakan ini dikarenakan rezim Negeria Utara yang dipimpin oleh Abdul Salami Abu Bakar terlalu membatasi gerakan Muhamad Yusuf menerapkan syariat Islam di Nigeria Utara. Akibatnya, Muhammad Yusuf dibantu oleh Abubakar Shekau pun melakukan perlawanan bersenjata menentang rezim.

Begitu masifnya persebaran ideologi salafi jihadis, pada tahun 2009 rezim yang merasa resah akan hal itu justru menangkap Muhamad Yusuf. Namun pendekatan yang keliru dari rezim trsebut malah membuat kematian Muhammad Yusuf menginspirasi banyak rakyat Nigeria melakukan perlawanan pada pemerintah dengan bergabung bersama Boko Haram.

“Ini suatu kesalahan dari polisi Nigeria. Muhamad Yusuf dieksekusi di depan warga. Itu menjadi catatan dan memunculkan reaksi warga yang semula bersimpati pada Muhammad Yusuf, kini bersama-sama mengangkat senjata bergabung dengan Boko Haram,” pungkasnya.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Buku “Dar Harim-e Dost” Diterbitkan


Buku berjudul “Dar Harim-e Dost” atau di rumah sahabat, diterbitkan oleh Departemen Penyiaran Islam, Haram Suci Razavi sebanyak 50.000 eksemplar untuk edisi yang kelima.

Astan News melaporkan, karya ini oleh Departemen Penyiaran Islam, Haram Suci Razavi dan Divisi Produksi Kebudayaan, sampai sekarang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, dalam 10 bahasa dunia termasuk Cina, Perancis, Azeri, Jerman, Denmark, Rusia, Sindhi dan Melayu, dan dalam bentuk e-book dalam bahasa Burki, Bosnia, Bengali, Tajik, Swahili, Kyrgyzystan dan Kazakhstan.

Buku ini adalah buah karya Hujatulislam Mahdi Nilipour dan menyajikan pembahasan seputar pengenalan tata cara bertamu spiritual, mensucikan diri, ketertiban, suasana Haram Suci yang dipenuhi cahaya ilmu, menjaga wakaf dan baitul mal, yakin atas pengawasan Imam Ridha as, pelayanan ikhlas, menghias diri dan menjaga diri tetap wangi bagi para pelayan, menjadi teladan bagi orang lain dan mengelola waktu, shalat di awal waktu dan menegakkannya, akhlak mulia, adab, kesaksian hati dan yang lainnya, untuk para pecinta Ahlul Bait as.

Buku “Dar Harim-e Dost” yang mengulas periode kehidupan Imam Ridha as yang cemerlang, menjelaskan tata cara memberikan pelayanan di Haram Suci Razavi.

Berbagai dimensi prinsip pelayanan di Haram Suci Razavi dibahas dan kewajiban serta prinsip pelayanan di rumah-rumah Tuhan dan tempat-tempat suci seperti makam suci Imam Ridha as, dijelaskan dalam buku ini.

Buku Dar Harim-e Dost yang diterbitkan untuk edisi kelima oleh Departemen Penyiaran Islam, Haram Suci Razavi dan untuk memberikan penjelasan terkait kewajiban seorang pelayan teladan, prinsip-prinsip manajemen dan pelayanan di Makam Suci Imam Ridha as, disusun dengan bersandar pada ayat Al Quran dan hadis Ahlul Bait as serta teladan hidup para pelayan Imam Maksum as.

(Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Festival Internasional Buku Kairo Dengan Tema “Yerusalem”


Pihak Al-Azhar mengumumkan akan menggelar festival internasional buku untuk memperkenalkan Yerusalem dan tempat-tempat suci Islam kepada dunia.

Festival buku Al-Azhar ini adalah festival yang ke-49 dan akan dimulai dari tanggal 27 Januari mendatang.

Berdasarkan himbauan Al-Azhar pada seminar internasional “Bela Yerusalem” beberapa waktu lalu, tahun 2018 ini ditetapkan sebagai Tahun Yerusalem. Dalam seminar ini, Al-Azhar menetapkan sebuah stand khusus untuk mengenalkan Yerusalem, sejarah, dan tempat-tempat suci di kota ini kepada dunia.

Pengenalan Yerusalem ini juga akan dilengkapi dengan buku saku dan film-film dokumenter.

Stand Al-Azhar dalam festival buku tersebut juga akan dilengkapi dengan sejumlah majalah dan laporan ilmiah tahunan serta panorama Al-Azhar yang menggambarkan insitut ilmiah ini sebagai benteng moderasi, Bahasa Arab, dan jati diri Mesir di sepanjang sejarah.

Standa Al-Azhar ini juga akan menampilkan aktifitas baru yang meliputi aktifitas kebudayaan, teater dengan dua bahasa Arab dan Inggris, lagi keagamaan, pembacaan puisi, lukisan, karikatur, kaligrafi Arab, dan kerajinan tangan.

Stand ini juga akan menyiapkan dialog antara para ulama dan dosen senior Al-Azhar dengan para hadirin guna mengkaji problematika kawula muda dan kekhawatiran yang dihadapi oleh warga Mesir.

(Yona/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

“Kalbu Amerika” Realita Sikap Warga AS Terhadap Muslimin


Roman “Kalbu Amerika” yang mengisahkan pernyataan politis dan realita sikap masyarakat Amerika terhadap warga muslim akan segera terbit.

Pemerintah Amerika mengumpulkan seluruh warga muslim dan lantas memaksa mereka pindah ke sebuah kamp penampung di Nevada.

Ini adalah tema roman baru yang ditulis oleh Laura Moriarty dan akan segera terbit.

Ketika menjelaskan alasan menulis roman yang akan rampung hingga akhir bulan ini tersebut, Moriarty menandaskan, “Saya sangat mengkhawatirkan pernyataan-pernyataan politik yang dilontarkan pada kampanye pilpres terakhir Amerika Serikat.”

“Menurut hemat saya, mayoritas masyarakat tahu bahwa pernyataan-pernyataan tersebut tidak berlandasan dan juga buka keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat Amerika,” tukas Moriarty.

Moriarty menlanjutkan, “Saya berharap roman ini bisa menjadi stempel justifikasi untuk keyakinan yang memang dimiliki oleh warga Amerika.”

Moriarty menulis roman tersebut untuk menunjukkan kepada warga kulit putih warga pribumi Amerika kesengsaraan dan kepedihan yang dialami oleh para imigran dan warga kulit hitam.

Tokoh utama romanMoriarty ini adalah seorang kulit putih yang berhasil mengalahkan sikap-sikap subyektifnya terhadap warga muslim.

“Saya akhirnya menggandrungi psikologi kepribadian yang tumbuh berkembang di lingkungan budaya dengan etika yang buruk,” ujar Moriarty.

“Pemikiran yang dimiliki oleh tokoh pemeran utama roman merupakan keyakinan yang benar-benar dimiliki oleh warga Amerika,” lanjut Moriarty menuturkan.

(About-Islam/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terjemahan Nahjul Balaghah Dalam 9 Bahasa Disimpan di Perpustakaan Razavi


Petugas aula buku-buku asing, Perpustakaan Pusat Haram Suci Razavi mengabarkan disimpannya kitab Nahjul Balaghah yang sudah diterjemahkan dalam sembilan bahasa asing kecuali Farsi dan Arab, di aula ini.

Astan News melaporkan, Hamidreza Montazer Abadi menjelaskan, tanggal 23 Dey 1396 HS atau 13 Januari 2018, bertepatan dengan haul Ustadz Sayid Jafar Syahidi, penerjemah kitab Nahjul Balaghah ke bahasa Farsi menuturkan, di aula ini, kitab Nahjul Balaghah diterjemahkan ke sembilan bahasa asing, Inggris, Perancis, Urdu, Serbia, Turki, Turki Istanbuli, Italia, Hungaria, Pashtu dan Bosnia.

Ia menambahkan, anggota perpustakaan pusat Haram Suci Razavi dengan kode anggota 1,2,31,3 dan 4 (dengan jenjang pendidikan diploma tiga hingga strata tiga) dapat meminjam maksimal lima jilid kitab berbahasa Inggris, Perancis dan Urdu dari aula ini dan kitab-kitab berbahasa asing lain hanya bisa dibaca di tempat ini.

Montazer Abadi juga mengabarkan keberadaan Al Quran yang sudah diterjemahkan ke 74 bahasa dunia di aula buku-buku asing Haram Suci Razavi dan menuturkan, saat ini, ada sekitar 116.540 kitab dalam 92 bahasa yang bisa diakses oleh para pengunjung.

Ia menambahkan, selama sembilan bulan pertama tahun 1396 HS ( hingga November 2017), lebih dari 14.800 orang mengunjungi aula ini, 900 dari mereka adalah tamu asing.

Menurut petugas aula buku-buku asing, Lembaga Perpustakaan, Museum dan Pusat Dokumen, Haram Suci Razavi ini melanjutkan, dalam kurun waktu yang sama, lebih dari 27.400 naskah kitab hasil karya penulis, peneliti dan penerjemah dikaji di aula ini dan hampir 6.700 naskah dipinjam oleh para anggota perpustakaan.

Ia menegaskan bahwa sumber-sumber aula buku-buku asing didapat dari pembelian dan hadiah. Aula ini, ujarnya, berdasarkan aturan hukum mengantongi izin untuk menyediakan buku-buku bertema Islam, Iran, Timur Tengah dan beberapa buku yang banyak diminati masyarakat di bidang humaniora, namun hampir seluruh buku sumber dalam setiap tema dan berbagai bidang ilmu, ada di sini.

Montazer Abadi menyebut aula ini sebagai salah satu bagian terpenting Perpustakaan Pusat Haram Suci Razavi dan menuturkan, bagian ini terdiri dari tiga unit, rak buku, aula baca dan unit peminjaman buku-buku yang disimpan di rak khusus buku-buku satu jilid dan langka.

Ia melanjutkan, para pengunjung dapat menggunakan perangkat lunak Simorgh yang terpasang di setiap komputer yang ada di aula atau menunjukkan kode buku kepada penjaga rak buku, untuk mendapatkan buku yang diinginkan dan dipelajari di aula baca, atau menyalinnya dengan foto copy bagian-bagian buku yang diperlukan atau dengan menggunakan alat scan.

Menurut Montazer Abadi, aula buku-buku asing, Perpustakaan Pusat Haram Suci Razavi berdiri di atas lahan seluas 518 meter di lantai dasar, berhadapan dengan aula peneliti. Anggota perpustakaan dan para pengunjung lainnya bisa mendatangi aula ini di hari Sabtu, Senin, Rabu dan Jumat mulai pukul 7:30 hingga 18:45, sementara di hari Minggu dan Selasa mulai pukul 7:30 hingga 13:30, dan hari Kamis pukul 7:30 hingga 12:30.

Selain itu koleksi kitab Nahjul Balaghah dan komentar-komentar terkait kitab bernilai ini dalam bahasa Farsi dan Arab dapat ditemukan di bagian-bagian lain perpustakaan pusat Haram Suci Razavi seperti rak buku cetak dan divisi naskah tulisan tangan (tempat penyimpanan kitab tulisan tangan dan litografi), dan sumber-sumbernya berdasarkan aturan perpustakaan ini dapat diberikan kepada para peneliti.

Kitab Nahjul Balaghah karya Imam Ali bin Abi Thalib as terdiri dari tiga bagian penting, khutbah-khutbah, surat-surat dan kata-kata mutiara. Karya ini dihimpun oleh Sayid Radhi dan menjadi sebuah kitab yang mencakup 241 khutbah, 79 surat dan 480 kata-kata mutiara penuh hikmah dari Imam Ali as.

(Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Balik Layar Pelarangan Muslim Masuk Amerika


Mantan jurnalis Gedung Putih menerbitkan sebuah buku yang sangat membuat kita terkejut. Buku itu berjudul “Fire and Fury”.

Dalam buku ini, penulis, Michael Wolff, membuktikan bahwa pelaksanaan undang-undang yang melarang muslim memasuki Amerika hanyalah bertujuan menciptakan ketegangan di kalangan masyarakat Amerika supaya kekuatan Donald Trump menjadi semakin kuat.

Secara khusus, tutur Wolff, perintah pelarangan tersebut bertujuan membuat warga Amerika marah besar.

Stephen K. Bannon, penasihat Trump, sengaja melaksanakan perintah tersebut pada hari Jumat supaya kegaduhan di masyarakat dan bandara-bandara udara tercipta dalam volume yang lebih besar.

Pada hari di mana para pendatang membludak dalam jumlah yang lebih banyak ini bisa membuat mereka semakin gaduh. Tanpa sedikit penjelasan apapun, mereka akan ditangkap dan diinterogasi dengan tanpa alasan apapun.

Pelaksanaan perintah tersebut juga sengaja dipilih di akhir minggu supaya jumlah pemrotes yang turun ke jalanan semakin banyak.

Trump sangat sedikit membaca buku dan tidak terlalu terpelajar. Penasihatnya juga tergesa-gesa menjalankan perintah tersebut supaya kaum liberal marah.

Dengan pelaksanaan perintah tersebut, secara praktis Bannon telah membagi penduduk Amerika menjadi dua kelompok: kelompok Trump dan kelompok liberal. Dengan pembagian ini, kekuatan presiden Amerika akan semakin menguat.

(The-Independent/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Memberantas Terorisme Dari Timur Tengah


Buku yang berjudul ERADICATING TERRORISM FROM THE MIDDLE EAST: Policy and Administrative Approaches secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “Memberantas Terorisme dari Timur Tengah: Pendekatan Kebijakan dan Administratif”. Buku yang merupakan kumpulan beberapa artikel yang ditulis oleh banyak penulis ini diedit oleh Alexander R. Dawoody dan diterbitkan oleh Springer International Publishing, Swiss pada tahun 2016.

Buku dengan ketebalan sebanyak 402 halaman ini mempunyai ISBN 978-3-319-31016-9 untuk versi cetak dan ISBN 978-3-319-31018-3 untuk versi e-book. Isi buku ini disusun menjadi 20 bab yang dikelompokkan menjadi 2 bagian.dan sebelumnya diawali dengan bagian Pendahuluan. Buku ini juga dilengkapi dengan Daftar Catatan Kaki untuk masing-masing bab dan Daftar Indeks.

Alexander R. Dawoody, editor buku ini adalah seorang Associate Professor bidang kajian Kebijakan Publik dan Administrasi di Marywood University, AS. Dia adalah Pemimpin Redaksi the journal of Middle East Review of Public Administration (MERPA) dan Editor Associate International Review of Public Administration.

Buku ini menganalisis faktor-faktor pendukung yang bertanggung jawab atas munculnya terorisme di Timur Tengah. Buku ini menggunakan studi kasus spesifik berdasarkan data empiris yang menganut analisis dalam pengamatan kehidupan nyata dan memberikan solusi yang tidak bias dan bipartisan.

Teroris menargetkan populasi sipil di seluruh dunia dan meningkatkan tekanan pada kebebasan sipil, kebijakan publik dan institusi demokratis. Dengan kekalahan satu organisasi teroris, beberapa kelompok lain menggantikannya.

Buku ini mencakup studi kasus dalam upaya-upaya administrasi publik dari berbagai negara di Timur Tengah. Buku ini mengkaji peraturan, informasi publik, moneter dan finansial, keamanan, dan infrastruktur sipil sebagai solusi yang mungkin untuk masalah yang terus memburuk ini.

Seiring dengan munculnya terorisme sebagai isu kebijakan global yang utama, buku ini berbicara mengenai masalah keamanan global, kebijakan publik dan masalah administrasi di Timur Tengah. Buku ini akan menarik perhatian bagi para peneliti dalam terorisme dan keamanan di Timur Tengah, para pejabat administrasi publik, hubungan internasional, ekonomi politik, dan pemerintah, serta para analis dan investor keamanan.


Ulasan Isi Buku

Sebagaimana disampaikan dalam bagian Pendahuluan, buku ini merupakan buku kedua yang dipublikasikan oleh The Association for Middle Eastern Public Policy and Administration (AMEPPA) dalam serangkaian studi mengenai isu-isu kebijakan dan administrasi publik Timur Tengah. Volume ini berfokus pada masalah terorisme.

Buku ini mencakup 20 bab yang dikategorikan dalam dua bagian. Bagian I adalah analisis terorisme di Timur Tengah, yang terdiri atas 9 bab. Bagian II adalah studi kasus yang mencakup negara-negara di Timur Tengah yang berjuang melawan terorisme, seperti Lebanon, Iran, Irak, Uganda, dan Turki, yang terdiri atas 11 bab.

Bagian I Analisis Terorisme di Timur Tengah

• Bab 1: Terrorism in the Middle East: Policy and Administrative Approach (Terorisme di Timur Tengah: Pendekatan Kebijakan dan Administratif) ditulis oleh Alexander R. Dawoody

Bab ini membahas pendekatan kebijakan dan administratif dalam menyelesaikan isu terorisme di Timur Tengah melalui tata kelola yang baik. Bab ini mengkaji penyebab terorisme secara sosial, ekonomi, dan politik di Timur Tengah, bangkitnya Islam politik, dan variasi dalam gerakan semacam itu dalam memanipulasi kepentingan/konflik regional atau global untuk mendorong maju agenda mereka sendiri.

Dengan demikian, bab ini membahas tantangan kebijakan dan administratif di Timur Tengah dan skenario terbaik dalam menangani penyebab terorisme sebagai fungsi kebijakan publik dan administrasi.

• Bab 2: Monitoring and Disrupting Dark Networks: A Bias toward the Center and What It Costs Us (Memantau dan Mengganggu Jaringan Gelap: Bias ke Pusat dan Apa yang Membutuhkan Kita) Ditulis oleh Nancy Roberts dan Sean Everton

Tujuan bab ini adalah untuk mengeksplorasi bias analitik -bagaimana hal itu dimanifestasikan, mengapa hal itu tampak begitu luas, dan keterbatasan tanpa disengaja yang ditimbulkannya pada pilihan strategis kita untuk melawan terorisme. Penulis menggunakan data dari sebuah studi jaringan oposisi Suriah yang dilakukan di Lab CORE di Naval Postgraduate School di Monterey California.

• Bab 3: Terrorism Through the Looking Glass (Terorisme Melalui Kaca Penglihat) ditulis oleh Samir Rihani

Bab ini menekankan bahwa pemberantasan terorisme dari Timur Tengah adalah tujuan yang patut dipuji yang jelas akan mendapat dukungan universal. Bab ini menyajikan enam gagasan yang menempatkan proyek dan konsep yang lebih luas tentang terorisme dalam perspektif yang lebih realistis.

• Bab 4: Reasons for Terrorism in the Middle East (Alasan Terorisme di Timur Tengah) ditulis oleh Serkan Tasgin dan Taner Cam

Bab ini berfokus pada Timur Tengah dan terorisme karena kedua konsep tersebut telah banyak digunakan bersamaan dalam literatur terorisme dan mereka seolah-olah identik dan sinonim satu sama lain. Dunia Muslim di seluruh dunia menghadapi krisis multidimensi seperti masalah ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan sosial. Para ahli berhak mengklaim bahwa sebagian besar kelompok teroris radikal berasal dari wilayah ini dan terorisme bukan hanya konsekuensi dari faktor-faktor ini.

• Bab 5: Impact of Islamophobia and Human Rights: The Radicalization of Muslim Communities (Dampak Islamofobia dan Hak Asasi Manusia: Radikalisasi Komunitas Muslim) ditulis oleh Vadim R. Atnashev.

Bab ini membahas secara spesifik tentang Islamofobia di Eropa, terutama di beberapa negara Uni Eropa (Inggris, Belanda, Prancis, Denmark). Kajian pada bab ini menggunakan hasil studi kasus di Inggris. Fokus khusus adalah pada kelompok pemuda berisiko dan tindakan untuk mencegah dan melawan radikalisasi kelompok.

Bab ini juga membahas situasi terkini komunitas Muslim dalam kaitannya dengan hukum hak asasi manusia internasional, karena terbukti bahwa pelanggaran hak asasi manusia, termasuk diskriminasi, rasisme, dan xenophobia terhadap umat Islam, membuat situasi tidak stabil baik di Eropa maupun di Timur Tengah.
Di Eropa saat ini, ada keterkaitan dua faktor rentan yang berbahaya: di satu sisi, meningkatnya peran politik partai-partai sayap kanan dan diskriminasi rasial, dan di sisi lain, komunitas Muslim di Eropa juga menghadapi proses radikalisasi dan munculnya intoleransi.

• Bab 6: How Do Terrorist Organizations Use Information Technologies? Understanding Cyberterrorism (Bagaimana Organisasi Teroris Menggunakan Teknologi Informasi? Memahami Cyber-terrorisme) ditulis oleh Fatih Tombul dan Hüseyin Akdoğan

Globalisasi dengan teknologi informasi yang maju, menurut bab ini, telah mengubah kehidupan masyarakat di dunia. Ketika sesuatu terjadi di satu bagian dunia, bagian lain dunia dapat diinformasikan dengan mudah dalam hitungan detik. Teknologi informasi saat ini seperti media internet, media sosial, blog, dan kanal berita telah memungkinkan orang membuat grup virtual di seluruh dunia dan menyebarkan informasi dengan mudah. Sebagian besar negara, pemerintah, dan institusi publik dan swasta telah memanfaatkan teknologi informasi untuk melayani warga dan pelanggan mereka.

Pada saat bersamaan, pelaku kriminal juga memanfaatkan teknologi informasi saat melakukan kejahatan. Dengan kata lain, segala sesuatu termasuk kejahatan dan penjahat telah mengubah struktur mereka agar kompatibel dengan teknologi informasi tingkat lanjut. Baru-baru ini, banyak organisasi teroris telah berkembang terutama di Timur Tengah, dan jaringan mereka menyebar dengan penggunaan teknologi ini.

Sebagian besar organisasi teroris telah menggunakan teknologi ini untuk pelatihan militer terhadap proses militan, persiapan, dan perekrutan mereka. Terutama, Internet hampir menjadi slot pelatihan virtual bagi kelompok teroris.

Studi terbaru telah mengungkapkan bahwa Internet berfungsi sebagai perpustakaan bagi kelompok teroris untuk memberikan instruksi manual dan video di bidang teknis dan taktis seperti membuat bom, menerima sandera, dan pertarungan gerilya. Karena memiliki ruang yang sesuai untuk aktivitas interaksi, calon teroris menggunakan keuntungan Internet sebagai forum interaksi dan jejaring untuk belajar membuat bom dan mengirim pesan instan ke instruktur yang mengajarkan masalah ilegal.

Dengan demikian, pasukan keamanan dalam menghadapi semua perkembangan ini harus mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk berperang melawan organisasi teroris dengan satu langkah lebih ke depan terkait penggunaan teknologi ini.

• Bab 7: Roots and Causes of Terrorism in the Middle East (Akar dan Penyebab Terorisme di Timur Tengah) ditulis oleh Sadık Kirazlı

Penulis bab ini menegaskan bahwa terorisme memanfaatkan konflik politik, sosio-ekonomi, teritorial, etnis dan sektarian untuk memajukan agendanya sendiri. Terorisme selalu ada di seluruh dunia. Namun, sekarang tidak ada tempat yang lebih tepat untuk kemunculan aktivitas teroris daripada di Timur Tengah.

Gelombang terorisme global saat ini, dalam banyak hal, didorong oleh peristiwa di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel yang terus berlanjut dan isu mengenai ISIS. Mengatasi motif dan faktor yang menimbulkan terorisme dan mempertahankannya seringkali lebih efektif daripada mencoba melawan gejala dan dampaknya.
Oleh karena itu, bab ini menguji akar atau sebab terorisme di Timur Tengah sebagai sebuah pendekatan untuk memahami fenomena aksi dan kelompok teroris saat ini di Timur Tengah.

• Bab 8: Conflict Resolution and Peace in the Middle East: Prospects and Challenges (Resolusi Konflik dan Perdamaian di Timur Tengah: Prospek dan Tantangan) ditulis oleh Ali Can

Menurut Can, konflik internasional yang belum terselesaikan selama bertahun-tahun dengan jelas menunjukkan bahwa kebijakan dan praktik saat ini dalam politik dunia gagal mewujudkan kedamaian di setiap bagian dunia. Kegagalan upaya perdamaian di Timur Tengah merupakan kekecewaan besar bagi seluruh dunia, namun dampaknya sebagian besar dirasakan oleh orang-orang Palestina dan Israel.

Bab ini menggambarkan proses yang berlaku terutama yang terjadi pada hubungan bermasalah antara Israel dan Palestina. Setelah menganalisis jalan buntu dalam negosiasi perdamaian, tantangan dan prospeknya dipresentasikan dengan meninjau literatur dan teori multikulturalisme.

Bab ini mengusulkan agar rekonstruksi kondisi yang memungkinkan kerja sama yang efektif antara pihak-pihak yang berkonflik diperlukan untuk mengevaluasi distorsi yang menghambat dialog dan penyebab terorisme.

• Bab 9: The Changing Nature of Global Arm Conflict (Perubahan Sifat Konflik Bersenjata Global) ditulis oleh Ozcan Ozkan

Bab ini menjelaskan bahwa di era baru dimana AS menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia, tren unipolar ini hanya ditantang oleh ancaman baru yang muncul seperti terorisme global. Masa transisi bukanlah masa damai karena negara-negara yang baru didirikan di Eropa Timur dan beberapa negara yang gagal di Afrika dan Timur Tengah telah secara serius menantang keamanan negara-negara maju baik di Eropa maupun Amerika.

Di sisi lain, beberapa negara di Afrika dan tempat lain telah lama tidak memiliki dukungan kolonial sebagai hasil proses dekolonisasi yang dimulai pada tahun 1960an. Setelah berakhirnya Perang Dingin, beberapa negara ini kemudian ditinggalkan tanpa dukungan dari blok manapun.

Dalam situasi ini, banyak negara telah gagal karena kurangnya kapasitas politik, ekonomi, dan otoritatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mereka, memicu perang dalam negara bukannya perang antarnegara seperti sebelumnya.

Ancaman yang paling penting untuk stabilitas domestik dan internasional berasal dari perang asimetris termasuk terorisme. Di antara mereka, serangan 9/11 menandai periode baru di mana terorisme transnasional mengubah sifat konflik bersenjata akibat faktor fasilitasi globalisasi. Selain itu, bab ini juga menyinggung bahwa teknologi maju membuat perang konvensional menjadi usang, memicu sebuah revolusi dalam urusan militer.


Bagian II Studi Kasus

• Bab 10: The Interplay Between Policy and Politics in Combatting Terrorism: The Case of Lebanon (2011–2015) (Saling Mempengaruhi Antara Kebijakan dan Politik dalam Memerangi Terorisme: Kasus Lebanon (2011-2015)) ditulis oleh Hiba Khodr

Bab ini merupakan studi eksplorasi mengenai saling keterkaitan antara politik dan kebijakan dalam memerangi terorisme di Lebanon. Ini bertujuan untuk menyelidiki faktor-faktor yang berkontribusi terhadap tidak adanya kebijakan kontraterorisme dengan menganalisis hubungan antara politik dan perumusan kebijakan Lebanon yang aneh di negara ini.

Berdasarkan tiga definisi terorisme yang paling banyak digunakan, bab ini dimulai dengan menawarkan definisi operasional terorisme yang diikuti oleh sejarah singkat terorisme di Lebanon melalui lensa dengan apa yang kita anggap sebagai dua faktor utama atau pembela di balik terorisme di negara itu.

Uraian kontekstual ini memberi latar belakang untuk memasuki pembahasan tentang kontraterorisme dan kebijakan apa, jika ada, yang dilakukan Lebanon untuk melawan ancaman yang terus-menerus muncul ini baik dari dalam perbatasannya maupun yang di luar batas negara.

Ini adalah studi akademis pertama yang menyelidiki interaksi antara politik dan kebijakan yang terkait dengan terorisme domestik dan transnasional dari perspektif tata pemerintahan.

Analisis yang dilakukan dalam bab ini meletakkan dasar bagi studi masa depan yang sangat dibutuhkan di Lebanon dan kebijakan kontraterorisme di wilayah tersebut dengan mengidentifikasi beberapa peserta, memetakan prosesnya, dan memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih efektif dan efisien.

• Bab 11: State-Sponsored Terrorism and Its Effects on Lebanese Policy and Politics (Terorisme yang Disponsori Negara dan Pengaruhnya terhadap Kebijakan dan Politik Lebanon) ditulis oleh Khodr M. Zaarour

Bagaimana terorisme yang disponsori negara mempengaruhi kebijakan dan politik Lebanon? Bagaimana hal itu mempengaruhi stabilitas negara rapuh itu? Apakah terorisme menyebabkan pemerintah yang lemah atau rapuh untuk gagal sebelum waktunya, dan/atau apakah ini meningkatkan probabilitas bahwa pemerintah semacam itu akan tinggal di luar negeri lebih lama daripada yang seharusnya?

Menurut bab ini, dengan menggunakan model durasi pada sampel 53 pemerintah Lebanon antara tahun 1943 sampai 2015, terorisme yang disponsori negara memperparah kemungkinan kegagalan pemerintah untuk beberapa pemerintah namun tidak pada pemerintah lain. Temuan utama adalah bahwa pemerintah yang berhaluan kanan dapat mempertahankan kekuasaan mereka lebih baik dari pada pemerintah sayap kiri ketika berhadapan dengan terorisme yang disponsori negara.

Namun, kedua jenis pemerintahan kemungkinan besar akan runtuh saat menghadapi tekanan terorisme yang disponsori negara, dan akibatnya, mereka gagal memberikan layanan yang memadai kepada warganya yang menyebabkan erosi dukungan publik mereka dan akhirnya ambruk.

• Bab 12: Iran and Its Policy Against Terrorism (Iran dan Kebijakannya Melawan Terorisme) ditulis oleh Hamid Reza Qasemi

Menurut bab ini, kemunculan kelompok teroris seperti al-Qaeda, Negara Islam Irak dan Suriah, dan Front al-Nusra adalah puncak dari terorisme. Iran, terutama setelah Revolusi Islam, telah mengalami serangan teroris yang brutal.

Berdasarkan fakta, hanya karena serangan kelompok teroris Mujahedin-e Khalq (MEK), lebih dari 16.000 orang telah terbunuh. Selain itu, pembentukan dan aktivitas kelompok teroris dalam beberapa tahun terakhir, terutama di daerah marjinal dan lintas batas, telah menyebabkan banyak kerugian kehidupan dan harta benda bagi masyarakat dan pemerintah Iran.

Bab ini membahas sejarah terorisme di Iran, diikuti oleh penyelidikan ancaman teroris terhadap Iran sambil memeriksa konsep terorisme dalam undang-undang dan peraturan Iran. Kemudian bab ini diakhiri dengan langkah-langkah yang perlu diambil oleh keamanan nasional Iran untuk melawan terorisme.

• Bab 13: Policy Initiatives That Steer Terrorism: A Case Study of L. Paul Bremer’s De-Ba’athification of the Iraqi Army (Inisiatif Kebijakan yang Mengarahkan Terorisme: Studi Kasus tentang De-Ba’athifikasi L. Paul Bremer terhadap Tentara Irak) ditulis oleh Ali G. Awadi

Menurut Awadi, tujuan utama invasi AS ke Irak adalah membawa demokrasi ke Irak dengan memutuskan semua hubungan dengan rezim Saddam Hussein yang digulingkan. Seperti yang sekarang kita temukan, kebijakan “de-Ba’athization” ini sangat picik dan menyebabkan pertempuran sektarian mengerikan di Irak, serangan terhadap tentara AS ketika mereka menduduki negara tersebut, dan pada akhirnya kebangkitan ISIS dan kelompok teroris lainnya yang mendatangkan malapetaka di wilayah ini hari ini.

Bab ini membahas dinamika politik, etnis, dan agama yang rumit yang ada di Irak untuk memeriksa mengapa, bukannya mengarah pada perdamaian, pembongkaran infrastruktur Ba’ath malah melepaskan ketidakstabilan masyarakat Irak segera diikuti oleh kekacauan dan kerusuhan yang tak terhitung jumlahnya bagi penduduki Irak (dan bahkan di luar perbatasannya) yang berlanjut sampai hari ini.

• Bab 14: Assessment of Policy and Institutional Approaches to International Terrorism in Uganda (Penilaian Pendekatan Kebijakan dan Kelembagaan terhadap Terorisme Internasional di Uganda) ditulis oleh John Mary Kanyamurwa

Bab ini menegaskan bahwa Uganda adalah salah satu negara yang telah menderita akibat terorisme internasional dan tetap berada di antara yang ditargetkan untuk lebih banyak serangan teroris.

Pendekatan yang berbeda telah dirumuskan dan dilaksanakan untuk menampung terorisme internasional dan kolaborator domestik di berbagai Negara, terutama mereka yang melakukan serangan teroris ganas seperti Al Qaeda, Taliban, Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), al-Shabaab, Lord’s Resistance Armyt (LRA) di Uganda, Pasukan Demokrat Sekutu (ADF), dan Boko Haram di Nigeria, yang semuanya tampak menarik inspirasi dan keberanian moral dari kelompok teroris Timur Tengah.

• Bab 15: Turkey’s Struggle with the Kurdish Question: Roots, Evolution, and Changing National, Regional, and International Contexts (Perjuangan Turki dengan Masalah Kurdi: Akar, Evolusi, dan Perubahan Konteks Nasional, Regional, dan Internasional) ditulis oleh Mustafa Coşar Ünal dan Fatih Mehmet Harmanci

Menurut penulis, masalah Kurdi di Turki adalah isu yang mengakar yang dimulai pada masa Utsmaniyah. Kelompok pemberontak Kurdi yang paling mutakhir dan paling berdarah, PKK, tidak hanya menyebabkan sejumlah besar kekerasan, namun juga ketidakstabilan sosial dan politik dalam sejarah politik Turki modern belakangan ini.

• Bab 16: Fighting Terrorism Through Community Policing (Melawan Terorisme Melalui Perpolisian Masyarakat) ditulis oleh Ali Sevinc dan Ahmet Guler

Bab ini membahas peran pemolisian masyarakat dalam kontraterorisme berdasarkan data yang dikumpulkan dari wawancara dengan petugas polisi yang bekerja di wilayah Tenggara Turki. Studi kasus ini menunjukkan bahwa program pemolisian masyarakat menyediakan cara yang efektif untuk membangun kepercayaan antara polisi/negara dengan warga negara saat mengatasi prasangka bilateral, meningkatkan kesediaan warga negara untuk mencari bantuan dari polisi, dan mencegah remaja untuk melakukan kejahatan, kekerasan, dan kegiatan teroris.

Hasil analisis menunjukkan peran positif pemolisian masyarakat dalam mengurangi pemberontakan di kalangan warga negara dan menawarkan perpolisian masyarakat sebagai pendekatan alternatif dalam memerangi terorisme.

• Bab 17: Money-Laundering Activities of the PKK (Kegiatan Pencucian Uang PKK) ditulis oleh Ozcan Ozkan

Menurut Ozkan, ada banyak organisasi teroris yang menggunakan metode canggih untuk memindahkan dana terlarang mereka melalui sistem keuangan baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia. Partai Pekerja Kurdistan (Partiya Karkerên Kurdistanê, PKK), sebuah organisasi teroris etno-nasionalis yang berakar di Turki namun beroperasi di berbagai negara termasuk tetangga Turki seperti Iran, Suriah, dan Irak, dan juga di Eropa, mendapat keuntungan dari Aktivitas pembiayaan terorisme serupa untuk waktu yang lama.

Menggunakan berbagai jenis LSM dan organisasi media telah memungkinkan PKK untuk terlibat dalam kegiatan pencucian uang. Namun, karena organisasi ini lebih memilih tidak menggunakan lembaga keuangan terbuka untuk memindahkan dana, dan uang ilegalnya biasanya berupa uang tunai, semakin sulit bagi petugas penegak hukum untuk melacak aktivitas pencucian uang kelompok tersebut.

• Bab 18: Bullets for Ballots: Electoral Violence in Insurgencies (Peluru untuk Suara: Kekerasan Pemilu dalam Pemberontakan) ditulis oleh Nadir Gergin

Dalam bab ini Gergin menggambarkan bahwa institusi politik adalah “senjata” dalam perjuangan kekuatan politik. Pemberontakan memanfaatkan proses pemilihan untuk mendapatkan akses terhadap sistem politik.
Artikel ini adalah upaya untuk mengeksplorasi alasan-alasan dari organisasi pemberontak/teroris untuk terlibat dalam politik pemilihan dan kekerasan pemilihan. Bagian pertama membahas pentingnya pemilihan bagi pemberontak. Bagian kedua menganalisis kekerasan pemilihan dari beberapa aspek dan mengidentifikasi aktor dan alasannya.

Bagian ketiga membahas kekerasan pra pemilu dan menetapkan kerangka teoretis dengan menjelaskan alasan kekerasan pra-pemilu dan penyebab-penyebab perubahan dalam pemerintahan. Dan bagian terakhir berfokus pada paska pemilu dan alasan utamanya dan hasil pemilihan.

• Bab 19: Is Democracy a Cure for Human Rights Violations? An Analysis of Macro Variables (Apakah Demokrasi Menyembuhkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia? Analisis Variabel Makro) ditulis oleh Hüseyin Akdoğan dan Fatih Tombul

Bab ini menanyakan: Apakah demokrasi dan ekonomi yang baik merupakan obat untuk pelanggaran hak asasi manusia? Penulis bab ini menyatakan bahwa beberapa penelitian menjawab pertanyaan ini secara positif dan menjelaskan bahwa institusi demokrasi dapat dikembangkan di negara-negara demokratis dengan kondisi ekonomi yang baik. Oleh karena itu, ini mengurangi pelanggaran hak asasi manusia.

Studi-studi lain menjawab pertanyaan ini secara berbeda; Studi-studi ini menjelaskan bahwa negara-negara di bawah pemerintahan demokratis mengembangkan mekanisme pengaduan bagi warganya. Oleh karena itu, warga bisa menikmati mekanisme ini dan membuat suara mereka didengar.

Analisis tersebut menyajikan beberapa temuan menarik mengenai korelasi antara pelanggaran hak asasi manusia dengan populasi, pembangunan ekonomi, kejahatan, jumlah insiden teroris, dan tingkat demokrasi suatu negara.

• Bab 20: Manufacturing Terrorism (Penciptaan Terorisme) ditulis oleh Alexander R. Dawoody

Bab ini berfokus pada terorisme di Timur Tengah dan bagaimana hal itu telah berkembang sebagai sebuah teka-teki.

Bab ini bertanya, bagaimana mungkin beberapa penjahat kasar dengan sedikit atau tidak ada pelatihan militer dan intelijen (misalnya, ISIS, Al Qaeda, Boko Haram, Al Nusra, Al Shabab, Taliban, dan semua kelompok teroris Islam lainnya) dalam menghadapi kekuatan beberapa negara di Timur Tengah selain dua negara adidaya (Amerika Serikat dan Rusia) namun tetap menang dengan memperoleh wilayah, pendanaan, dan tenaga kerja?
Bab ini membahas elemen tersembunyi di balik kelompok teror dan elemen yang dicurigai di belakang mereka.

(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Menyibak Mitos-Mitos Zionisme


Buku yang berjudul The Myths of Zionism secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “Mitos-Mitos Zionisme”. Buku yang ditulis oleh John Rose ini diterbitkan oleh Pluto Press, London, Inggris pada bulan Oktober 2004.

Buku dengan ketebalan sebanyak 248 halaman ini mempunyai ISBN: 978-0745320557 untuk versi cetak sampul tebal. Isi buku ini disusun menjadi 10 bab yang sebelumnya diawali dengan bagian Pendahuluan dan diakhiri dengan bagian Kesimpulan. Buku ini juga dilengkapi dengan Daftar Catatan Kaki, Daftar Pustaka dan Indeks.

John Rose adalah seorang politisi Trotskyis Inggris dan anggota terkemuka Partai Pekerja Sosialis. Dia keturunan Yahudi dan paling dikenal sebagai pembicara tentang Israel dan Palestina dan sebagai kritikus Zionisme. Ia mengajar sosiologi di Lewisham Southwark College dan London Metropolitan University.

Ini adalah buku kontroversial. Ini adalah catatan kritis tentang akar sejarah, politik dan budaya Zionisme. John Rose menunjukkan bagaimana kekuatan politik yang kuat ini didasarkan pada mitologi; kuno, abad pertengahan dan modern.

Banyak cerita-cerita seperti ini, seperti mitologi lainnya, sama sekali tidak memiliki dasar. Namun, karena Zionisme adalah kekuatan politik yang hidup, mitos-mitos ini telah digunakan untuk membenarkan tujuan nyata dan politis – yaitu, pengusiran dan penganiayaan terus menerus terhadap orang-orang Palestina.

Melalui bab demi bab dalam buku ini, John Rose meneliti akar mitos Zionisme. Memobilisasi karya ilmiah baru-baru ini, dia memisahkan fakta dari fiksi yang menyajikan analisis rinci tentang asal usul dan perkembangan Zionisme. Ini juga meliputi tantangan terhadap klaim Alkitab Zionisme dengan menggunakan kesimpulan arkeologis Israel yang sangat baru dan sangat mengejutkan.

John Rose memberikan penjelajahan terperinci tentang hubungan Yudaisme dengan Timur Tengah. Dia menunjukkan dengan jelas bahwa Zionisme membuat banyak klaim palsu tentang agama dan sejarah Yahudi. Dia mempertanyakan alasannya sebagai tanggapan terhadap anti-Semitisme Eropa, dan menunjukkan bahwa, jika menginginkan adanya perdamaian dan rekonsiliasi di tanah Palestina, ketidakjujuran intelektual ini harus ditangani.

Illan Pappe, Profesor Sejarah Timur Tengah, Universitas Haifa, Israel mengomentari buku ini: “Ini adalah karya dekonstruksi yang mengesankan dengan banyak wawasan baru yang penting. Ini ditulis dengan cara yang mudah diakses, terlepas dari masalah yang sangat rumit yang diajukan oleh Rose: seperti sumber budaya dan narasi ideologis Zionis.”

Afif Safieh, Delegasi Umum Palestina ke Inggris menilai buku ini: “Di lingkungan yang sangat padat, penulis Yahudi memainkan peran besar dalam meningkatkan perdebatan tentang Zionisme dan kelahiran Negara Israel. Buku karya John Rose ini adalah tambahan yang akan menentang inkuisisi pro-Israel yang berusaha, melalui intimidasi, untuk membungkam kritik yang sah.”


Ulasan Buku Ini

Berikut adalah ulasan terhadap buku ini yang diberikan oleh The Mardy Bard dan dimuat dalam situs Toxic Drums.

Buku ini merupakan pembatalan bagi klaim-klaim ilmiah yang dilakukan oleh para pendukung negara pendudukan Israel. Buku ini harus dibaca oleh siapa saja yang terkejut dengan pembantaian orang-orang tak berdosa di Sabra dan Shatila, namun khawatir dengan tuduhan bahwa mengkritik Israel berarti anti-semit.

John Rose, penulis buku ini, adalah seorang Yahudi anti-imperialis (dan karena itu anti-Zionis) yang telah berjuang selama bertahun-tahun untuk membebaskan Palestina. Hal itu sebagai prasyarat bagi eksistensi damai orang-orang Yahudi, Muslim, Kristen dan non-kepercayaan di Tengah Timur, sebagai kerangka bagi masyarakat sekuler, demokratis, yang dia yakini dengan penuh semangat.

Bab pertama buku ini memperdebatkan mitos klaim Zionisme untuk “Israel kuno”, yang mendasarkan diri pada penelitian arkeologi Israel saat ini. Gagasan “Eretz Israel” -tanah Israel- sangat penting bagi klaim Zionis agar mendapat legitimasi.

Sayangnya (bagi mereka), semakin banyak arkeolog yang meneliti masalah ini, semakin tampak bahwa kerajaan (monoteistik) Daud dan Solomon tidak pernah ada sebagai fakta sejarah. Berdasarkan fakta ini, Rose mengungkapkan kekeliruan, dan pemalsuan yang diandalkan Zionisme karena klaimnya yang palsu terhadap pembenaran historis.

Apakah itu pemalsuan mitos oleh Ben Gurion secara sadar, atau deskripsi tidak masuk akal terkait mimpi Zionis tentang “Sebuah tanah tanpa orang-orang untuk orang-orang tanpa tanah” -yang mencoba untuk menghapus seluruh sejarah rakyat Palestina. Rose berusaha mengungkap klaim-klaim Zionis dan membongkar mereka.

Berdasarkan pada gagasan-gagasan tentang pengasingan Diaspora, contoh-contoh budaya Yahudi-Islam, dan penolakan terhadap dikotomi Arab/Yahudi, Rose mengejar tujuan utamanya, untuk menunjukkan bahwa kebohongan Zionisme, jauh dari meningkatkan keamanan bagi orang-orang Yahudi di Timur Tengah atau seluruh dunia, berfungsi untuk mengurangi ko-eksistensi dan perkawinan silang budaya yang dia lihat sebagai salah satu kemuliaan besar umat manusia.

Saya ingin menyelesaikan ulasan ini dengan sebuah kutipan, sebuah dedikasi, dan sebuah rekomendasi.

Kutipan ini berasal dari mantan wakil walikota Yerusalem Menon Benvenisti, seorang Yahudi Israel generasi kedua:

“Saya adalah orang Israel Mayflower yang bangga, saya tidak akan membiarkan orang lain mengatakan bahwa saya adalah pengkhianat, saya tidak akan membiarkan siapapun mengatakan bahwa saya bukan dari sini – bagian dari orang-orang Palestina … Saya adalah anak laki-laki asli sini. sebuah negara di mana selalu ada orang-orang Arab … Di mata saya, tanpa orang-orang Arab, ini adalah tanah tandus – saya mencintai segala sesuatu yang ada di tanah ini. Padahal ini adalah hak mereka, namun orang-orang kiri membenci orang Arab. Orang Arab dianggap mengganggu mereka – Mereka mempersulit segala sesuatu. Masalah ini menghasilkan pertanyaan moral- Jadi saya pikir sudah saatnya mengumumkan bahwa revolusi Zionis sudah berakhir … Kita harus mulai berpikir berbeda, berbicara dengan cara berbeda … Karena pada akhirnya kita akan menjadi minoritas Yahudi disini .. ” (Ha’aretz, 8.08.2003).

Adapun dedikasinya adalah kata-kata terakhir dari buku ini, yang membawa gema manis dari dedikasi pembukaan:

Untuk mengenang Tony Cliff,

Sosialis revolusioner,

Yahudi Palestina

Dan rekomendasinya adalah: setelah membaca buku ini, bergabunglah dalam kampanye solidaritas untuk Palestina, dan lanjutkan dengan membaca buku karya Ilan Pappe, The Ethnic Cleansing of Palestine.

(Toxic-Drums/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pertempuran Memperebutkan Palestina 1917


Buku yang berjudul The Battle for Palestine 1917 secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “Pertempuran untuk Memperebutkan Palestina 1917”. Buku yang ditulis oleh John D. Grainger ini diterbitkan oleh The Boydell Press, New York, Amerika Serikat pada bulan Oktober 2006.

Buku dengan ketebalan sebanyak 304 halaman ini mempunyai ISBN: 978-1843832638 untuk versi cetak sampul tebal. Isi buku ini disusun menjadi 11 bab yang sebelumnya diawali dengan bagian Pendahuluan. Buku ini juga dilengkapi dengan banyak gambar ilustrasi berupa foto dan peta, Daftar Catatan Kaki, Daftar Pustaka dan Indeks.

Dr John D Grainger, penulis buku ini adalah sejarawan terhormat dengan reputasi khusus dalam bidang militer. John D. Grainger adalah penulis banyak buku tentang sejarah militer, mulai dari periode Romawi hingga abad ke-20. Publikasi terakhirnya antara lain Cromwell Against the Scots dan The Battle of Yorktown.

Buku ini membahas berdasar perspekstif ilmuwan Barat tentang tiga pertempuran untuk menguasai kota benteng kunci Gaza terjadi pada tahun 1917 antara pasukan ‘Inggris’ (dengan unit-unitnya dari seluruh Kekaisaran itu, terutama ANZACs) melawan Turki. Pasukan Sekutu Inggris dalam dua kali pertempuran yang awal mengalami kekalahan. Namun pada usaha ketiga mereka, di bawah Jenderal Allenby yang baru ditunjuk, seorang veteran Front Barat yang menjadi kritikus vokal atas perintah Haig, akhirnya mampu menembus garis batas Turki, merebut wilayah selatan Palestina.

Dengan kemenangan tersebut, seperti yang diinstruksikan oleh Lloyd George, Allenby berhasil membawa Yerusalem pada waktunya sebagai hadiah Natal. Kemenangan ini juga menandai berakhirnya 400 tahun kekuasaan Ottoman.

Pertempuran ketiga ini, yang serupa dalam banyak hal dengan pertempuran di Prancis yang sejaman, adalah inti dari kisah dalam buku ini. Aspek-aspek penting yang dibahas diantaranya adalah pertimbangan intelijen, spionase, perang udara, dan elemen diplomatik dan politik, belum lagi aspek logistik dan medis dari kampanye tersebut, terutama air. Pertahanan Turki yang umumnya terabaikan, dalam menghadapi pasukan yang sangat besar, juga dikaji dalam buku ini.

Jauh dari menggunakan dan melaksanakan rencana yang telah dientukankan sebelumnya, Allenby, yang mungkin masih diingat sebagai perwira komando terbaik anak buah T. E. Lawrence di Arabia, fleksibel dan mudah beradaptasi dalam menanggapi perkembangan yang terjadi.


Ulasan Isi Buku

Penulis buku ini menyatakan pada bagian Pendahuluan bahwa kampanye Inggris untuk menaklukkan Palestina pada tahun 1917 merupakan ajang untuk berdirinya dunia modern. Hal ini membawa kehancuran bagi imperium Ottoman dan penciptaan negara penerusnya di Timur Tengah modern. Karena itu, menjadi penting untuk mengkaji kampanye tersebut.

Penulis menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini telah digunakan sudut pandang yang berbeda dalam mengkaji suatu pertempuran atau peperangan. Pendekatan yang pertama berkaitan dengan masalah strategis dan imperial yang lebih besar. Pendekatan yang kedua adalah dari sudut pandang tentara biasa.

Dalam mengkaji kampanye Inggris di Palestina tahun 1917 ini, penulis berharap untuk mencapai keseimbangan antara kedua pendekatan yang sama sahnya tersebut. Bahkan penulis menambahkan beberapa pertimbangan dengan sudut pandang dari pihak Turki, baik dari para tentara maupun para komandannya.

Penulis menyampaikan bahwa beberapa kajian sebelumnya telah menekankan peran dua komandan utama Inggris, Jenderal Murray dan Jenderal Allenby, serta perbedaan di antara keduanya. Penulis bependapat bahwa meski Murray patut mendapat simpati, namun tidak diragukan lagi, yang dominan diantara keduanya adalah Allenby.

Namun, penafsiran yang didasarkan pada tindakan Allenby, terutama pada pertempuran ketiga di Gaza dan sampai pada batas tertentu dalam pertempuran di Bukit Yudea, ada beberapa hal yang tidak dapat diterima oleh penulis. Penulis merasa bahwa tafsiran baru tentang tindakan Allenby dalam pertempuran itu tidak berarti mengurangi statusnya, melainkan akan meningkatkannya.


Penulis menekankan perlunya untuk diingat adanya tekanan dari luar kepada para komandan tersebut. Hal yang menekan Murray adalah keperluan adanya pra-pendudukan dengan kejadian di dalam dan sekitar Mesir. Sementara itu yang menekan Allenby adalah kesulitannya yang konstan dengan Kantor Perang, dan kebutuhannya untuk memperhatikan orang Prancis.

Penulis menjelaskan bahwa salah satu kekuatan pendorong di balik kampanye Inggris di Palestina tahun 1917 adalah kompetisi kekaisaran antara Inggris dan Prancis. Hal ini diartikulasikan dalam berbagai perjanjian pembagian wilayah yang dibuat selama dan setelah perang tersebut.

Dari berbagai proses perjanjian pembagian wilayah tersebut, Inggris dengan keterampilan diplomatik yang cukup besar, memperoleh keuntungan yaitu baik orang Arab maupun Yahudi bersedia untuk menggantikan rancangan mereka sendiri. Dan sebagai hasil dari perebutan tangan diplomatik ini, Kekaisaran Inggris di Timur Tengah meluncur dari satu krisis ke krisis yang lain selama tiga puluh tahun, dan berakhir dengan kekacauan dan kelahiran situasi modern.

Setelah menjelaskan beberapa aspek penting pada bagaian Pendahuluan, penulis membuka buku ini dengan sebuah prolog yang mengisahkan perjalanan pasukan Inggris dari Mesir menuju tapal batas Palestina. Setelah menjelaskan bagian prolog, barulah masuk pada pembahasan utama isi buku ini yang dituangkan dalam 11 bab. Judul-judul dari ke-11 bab tersebut adalah sebagai berikut:
1. The Decision to Invade (Keputusan untuk Menyerbu)
2. Defeat at Gaza (Kalah di Gaza)
3. Defeated Again (Dikalahkan Lagi)
4. The Wider Context (Konteks yang lebih Luas)
5. The Allenby Effect (Pengaruh Jenderal Allenby)
6. The Third Attempt at Gaza (Upaya ketiga di Gaza)
7. The Turkish Lines Broken (Garis Batas Turki Terpecah)
8. The Drive North (Penggerak Utara)
9. The Hills of Judaea (Bukit Judaea)
10. Jerusalem for Chistmas (Yerusalem untuk Natal)
11. Why the British Won (Mengapa Inggris Menang)

(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Segitiga Yang Menentukan: Palestina, Israel, Amerika


Buku yang berjudul FATEFUL TRIANGLE: The United States, Israel, and the Palestinians (Updated Edition) secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “Segitiga yang Sangat Menentukan: Amerika Serikat, Israel, dan Palestina (Edisi yang diperbarui)”. Buku lama yang merupakan edisi perbaruan dari buku klasik (1983) dengan judul yang sama yang ditulis oleh Noam Chomsky ini diterbitkan oleh Pluto Press, London, Inggris pada bulan Mei 1999.

Buku dengan ketebalan sebanyak 938 halaman ini mempunyai ISBN 9780745315300 untuk versi cetak sampul tebal. Isi buku ini disusun menjadi 10 bab yang diawali dengan sebuah Kata Pengantah oleh Edward Said dan sebuah Pengantar baru oleh penulisnya. Buku ini juga dilengkapi dengan Daftar Catatan Kaki untuk masing-masing bab.

Sebagai seorang filsuf politik, aktivis, dan ahli bahasa, Noam Chomsky dicintai di seluruh dunia atas kekuatan komitmen pribadinya terhadap kebenaran yang dia yakini dan atas kecemerlangan gagasannya. Lahir di Philadelphia pada tanggal 7 Desember 1928, ia belajar linguistik, matematika, dan filsafat di University of Pennsylvania dan menerima gelar PhD-nya di sana pada tahun 1955.

Chomsky telah mengajar di MIT selama lima puluh tahun dan saat ini menjadi Institute Professor Emeritus di Departemen Linguistik dan Filsafat. Karya-karya linguistiknya digunakan secara luas karena telah merevolusi bidang tersebut, dan tulisan politiknya telah memberikan kontribusi penting selama beberapa dekade.

Sejak publikasi edisi aslinya di tahun 1983, Fateful Triangle telah menjadi buku klasik di bidang ilmu politik dan urusan Timur Tengah. Edisi baru ini menampilkan bab-bab baru dan sebuah pengantar baru oleh Noam Chomsky dan sebuah kata pengantar oleh Edward Said.

Dengan mengkaji pencarian Amerika terhadap ‘sekutu yang andal’ di Timur Tengah, Chomsky mengungkap seluk-beluk hubungan AS-Israel-Palestina dan meletakkan dasar tentang pemutar-balikan, kebohongan dan kesalahan informasi yang telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengaburkan agenda sebenarnya. Dalam proses tersebut dia mengungkapkan sejauh mana negara-negara modern membuat klaim untuk perdamaian sambil secara aktif mengejar tujuan yang sangat berbeda.

Fateful Triangle adalah sebuah dakwaan komprehensif tentang apa yang Noam Chomsky sebut sebagai kebijakan “tercela dan sangat berbahaya” yang Amerika Serikat telah berlakukan terhadap Israel, terutama tentang tindakan Israel yang berkaitan dengan orang-orang Palestina.

Chomsky menulis bahwa pendukung Israel harus dengan sengaja mengabaikan atau menolak sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia dan agresi militer Israel. Mereka akan terus melakukannya selama Israel secara strategis berguna bagi “tujuan AS untuk menghilangkan ancaman yang mungkin terjadi, yang sebagian besar bersifat pribumi, untuk dominasi Amerika di wilayah Timur Tengah”.

Dalam rangka menguraikan argumennya, Chomsky mengungkap mitos dan distorsi yang muncul di akun media arus utama. Fakta yang memberatkan yang secara sistematis disusunnya menggambarkan sebuah pemerintahan yang brutal dan terang-terangan, bahkan mungkin lebih kejam daripada era apartheid di Afrika Selatan.

Dalam tiga bab baru yang ditambahkan dalam buku edisi yang dperbarui ini, Chomsky mengkaji Perlawanan Palestina, ‘Perang Terbatas’ di Lebanon dan Perjanjian PLO-Israel setelah penandatanganan Oslo.

Buku ini adalah perbaikan tepat waktu dan sangat dibutuhkan untuk membuka tabir pembuatan mitos yang telah mengaburkan sejarah sesungguhnya tentang perundingan perdamaian di Timur Tengah.


Ulasan Buku Ini

Berikut adalah ulasan terhadap buku ini yang diberikan oleh Muhammad Hallaj Direktur Palestine Research and Educational Center di Washington, dan editor Palestine Perspectives. Ulasan ini dimuat dalam Washington Report on Middle East Affairs.

Versi publik dari konflik Arab-Israel hanya memiliki sedikit kemiripan dengan faktanya. Mengingat tingkat, keragaman dan ketekunan disinformasi yang lazim di Amerika Serikat mengenai konflik Arab-Israel, dibutuhkan orang yang sangat tegas untuk menghadapi mitos dan kesalahpahaman yang tak ada habisnya yang mengelilingi dan menembus kisah tragis tersebut. Itulah yang dilakukan Profesor Chomsky di dalam bukunya Fateful Triangle.

Tujuan buku ini, seperti yang penulis nyatakan, adalah “untuk membawa unsur-unsur tertentu dari ‘hubungan khusus’ antara AS dan Israel, dan hubungan mereka dengan penduduk asli” Palestina.

Untuk melacak hubungan ini ke asal-usul mereka dan menempatkannya dalam konteks historis mereka, penulis mencakup segmen lanskap yang luas, dari pemogokan Kishinev sampai pembantaian Sabra dan Shatila. Hasilnya adalah sebuah referensi besar yang didalamnya seseorang akan dapat menemukan banyak peristiwa dan sifat konflik Arab-Israel serta sebagian besar literaturnya.


Hubungan yang Aneh

Chomsky mengaitkan “hubungan khusus” antara AS dan Israel dengan pengaruh komunitas Yahudi Amerika terhadap kehidupan politik dan opini publik dan, yang lebih penting, dengan persepsi Israel sebagai “aset strategis” AS. Dia memperingatkan untuk tidak melebih-lebihkan pentingnya pertimbangan politik dalam negeri, karena hal itu akan meremehkan ruang lingkup “dukungan untuk Israel” dan melebihkan “pluralisme kebijakan dan ideologi Amerika.”

Sebenarnya, menurut Chomsky, ini adalah peran geopolitik Israel yang dianggap sebagai instrumen kepentingan AS yang menambah pengaruh lobi Israel dan menciptakan hubungan AS-Israel yang merupakan “hubungan yang aneh dalam urusan dunia dan budaya Amerika.”

“Hubungan khusus” ini diterjemahkan ke dalam dukungan diplomatik, militer, dan ideologis untuk Israel, dilancarkan untuk melawan perdamaian karena itu menyebabkan bangkitnya penolakan terhadap politik yang bersifat mengakomodasi.

Saat bangsa-bangsa Arab, termasuk bangsa Palestina, mengembangkan sebuah kebijakan yang semakin mengakomodasi ke arah Israel berdasarkan solusi dua negara dan sesuai dengan konsensus internasional, aliansi Amerika dengan Israel condong pada skala yang mendukung kebijakan penolakan oleh Israel yang menjadikan tidak adanya penghargaan atas hak-hak nasional rakyat Palestina.

Analisis Chomsky yang terdokumentasi dengan baik ini bertolak belakang dengan pandangan umum yang berlaku yang menyatakan bahwa hubungan segitiga itu ditandai oleh posisi Israel yang mengakomodasi terhalangi oleh pendirian Arab yang menolak, dengan AS memainkan peran yang sulit dan tanpa pamrih sebagai seorang broker yang jujur.

Chomsky menyalahkan “pendukung Israel” AS atas distorsi kenyataan ini yang disebabkan oleh fakta bahwa “Israel mendapat kekebalan unik dari kritik dalam jurnalisme dan media arus utama” di AS.

Dia sangat memperhatikan sumber-sumber Israel untuk menunjukkan bahwa di tempat lain, bahkan di Israel sendiri, Israel begitu terlindung dari sorotan dan kritik. Dan karena “pendukung Israel” memfasilitasi keberadaannya yang terus-menerus dalam jalur politik yang menindas dan merusak, seperti di Tepi Barat dan di Lebanon, Chomsky menyebut mereka sebagai “pendukung kemerosotan moral dan penghancuran tertinggi Israel”.

Tingkat penolakan Israel ditunjukkan oleh tiga fakta yang hanya sedikit dipahami. Pertama, ini adalah dogma Zionis yang mengakar yang mendahului pendirian Israel. Kedua, ini adalah kebijakan bipartisan yang dilakukan oleh partai Buruh dan partai Likud. Dan ketiga, totaliter dalam arti bahwa pengingkaran hak politik nasional Palestina ditopang oleh penolakan atas hak-hak tambahan, meliputi hak-hak ekonomi, manusia, dan budaya. Itulah sebabnya perang Israel melawan Palestina adalah perang yang kejam dan tanpa kompromi.


Negara yang tidak terkendali

Penulis menyimpulkan buku ini dengan nada yang pesimis. Dia mengatakan bahwa kemampuan militer Israel yang terus berkembang menjadikannya hampir tidak terkendali, dan tidak dapat dipastikan bahwa jika AS memutuskan untuk meninggalkan posisi penolakannya, hal itu akan menyebabkan Israel melakukan hal yang sama.

Dia memajukan kemungkinan bahwa Israel akan bertindak seperti “negara gila”, yang akan mengamuk dan mungkin melepaskan bencana nuklir jika AS mencoba untuk menahannya. Dengan cara itu, dukungan AS terhadap penolakan Israel mungkin telah menempatkan dunia pada “Jalan menuju Armagedon.”

Penyajian Profesor Chomsky ini tidak diragukan lagi merupakan pukulan yang hebat terhadap apa yang dia sebut “doktrin yang diterima” yang oleh para “pendukung Israel” berhasil disebarluaskan di Amerika Serikat.

Penggunaannya atas sumber-sumber Israel menjadikan buku ini sebagai literatur tentang konflik Arab-Israel di Amerika, fakta-fakta asing yang sangat relevan dengan perdebatan tersebut.

Fateful Triangle, yang mengesankan karena memberikan kontribusi terhadap literatur, namun mungkin salah pada dua hal. Pertama, gagal untuk menyelidiki sejauh mana negara-negara Arab bertanggung jawab atas penolakan Israel-AS.

Bangsa-bangsa Arab, dengan menoleransi keseimbangan kekuatan yang miring di wilayah ini, secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap terjadinya perang-perang yang menguntungkan Israel dan ketidakpekaan AS atas keluhan-keluhan bangsa Arab yang hampir bebas risiko.

Kedua, kesimpulan buku ini yang melebih-lebihkan kemampuan Israel untuk bertindak secara independen terhadap kebijakan AS. Bukan hanya kemampuan militer Israel yang meningkat, namun juga ketergantungannya pada kemurahan hati AS.

(Wrmea/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Karen Armstrong dan Buku-Bukunya


Berbeda dengan penulis Barat umumnya, Karen menulis tentang Islam dalam nada yang empatik namun tanpa kehilangan nuansa kritis

Tak banyak orang yang menulis hingga tiga autobiografi sebelum usianya mencapai enam puluh. Orang yang demikian pasti langka dan istimewa. Karen Armstrong, penulis dan peneliti terkemuka masalah sejarah dan peran agama-agama dunia, adalah salah satu orang istimewa itu. Dalam kariernya sebagai penulis yang telah merentang sejak 1982 hingga sekarang, Karen telah menghasilkan 25 buku dan sejumlah artikel jurnal, tiga di antaranya autobiografinya sendiri. Menyimak perkembangan karya Karen Armstrong tentu menarik untuk mendapatkan gambaran mendalam tentang sosok dirinya.

Karier kepenulisan Karen Armstrong dimulai dengan buku autobiografinya yang pertama, berjudul Through the Narrow Gate (1982). Sebuah awal yang sudah menandai betapa dia memiliki jalan hidup yang unik, sehingga layak untuk direkam bahkan ketika usianya masih muda. Karen Armstrong yang kini dikenal sebagai penulis dan komentator terkemuka masalah agama-agama dunia, menjalani masa remajanya sebagai biarawati Katolik Roma. Namun pada 1969, saat berusia dua puluh empat tahun, Karen Armstrong meninggalkan pendidikan biara yang telah dijalaninya selama tujuh tahun semenjak menamatkan sekolah menengah atas.

Dalam buku pertama ini, Karen menceritakan pengalamannya hidup selama di biara, tentang upayanya yang gagal untuk menemukan Tuhan di sana. Setahun kemudian, Karen menuliskan autobiografi keduanya, Beginning the World (1983) yang mengisahkan perjalanan beratnya kembali ke dunia awam, yang dirasanya aneh, tak dikenal, penuh pergolakan.

Keluar dari biara, Karen melanjutkan belajar sastra Inggris di Oxford University, dan berhasil menyelesaikannya dengan predikat lulusan terbaik. Namun pada pendidikan tahap lanjut, dia urung menyelesaikan disertasinya mengenai penyair Tennyson. Karen memutuskan meninggalkan dunia akademis, meski sempat berkarier sebagai guru bahasa Inggris di sebuah sekolah khusus perempuan dari 1976 hingga 1982. Latar belakang pendidikan sastra ini meninggalkan pengaruh kuat pada karya-karyanya.

Di banyak tempat dalam tulisannya, Karen kerap menyatakan pengalaman beragama itu mirip dengan pengalaman artistik, dan menggunakan kutipan-kutipan puisi untuk menunjukkan kedalaman kata-kata menjangkau alam ruhani. Dia menulis secara khusus untuk menunjukkan hal ini dalam Tongues of Fire: An Anthology of Religious and Poetic Experience yang terbit pada 1985.

Pada periode 1980-an, kebanyakan karya Karen Armstrong berfokus pada tradisi Kristen yang melatarbelakanginya. Karen antara lain menyoroti tentang pandangan Injil mengenai perempuan dalam buku The Gospel According to Woman: Christianity’s Creation of the Sex War in the West (1986).

Ketika meninggalkan biara, Karen merasa dirinya sudah putus hubungan dengan agama. Dia tak ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan agama lantaran pengalaman yang disebutnya menyiksa fisik dan psikologis di biara. Namun perjalanan kariernya pada pertengahan 1980-an justru membawanya lebih dekat dengan apa yang ingin dijauhinya. Pada periode itu Karen berkarier di dunia penyiaran televisi, membuat beberapa film dokumenter mengenai kehidupan St Paul dan kota Yerusalem untuk Channel Four BBC. Kedua tema itu ditulisnya menjadi buku berjudul The First Christian (1983) dan Jerusalem: One City, Three Faiths (1996).

Proyek-proyek dokumenter inilah membawanya berkunjung ke negeri-negeri tempat kelahiran agama-agama monoteistik di Timur Tengah. Dari perjalanan ini pula lahir buku yang menjadi salah satu adikaryanya yang paling terkenal A History of God : The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993). Dalam buku ini Karen melacak evolusi ketiga agama monoteistik dari titik awalnya di Timur Tengah hingga masa kini, serta membahas pula agama Hindu dan Buddha.

Pengalaman bersentuhan dengan tradisi-tradisi agama lain dalam kariernya ini memunculkan ciri baru dalam karya-karya Karen pada periode 1990-an. Pada periode inilah Karen menulis biografi Nabi Muhammad, Muhammad: A Biography of the Prophet (1991) yang ditulisnya lantaran kecemasannya melihat besarnya kebencian terhadap Islam yang ditunjukkan di Barat, bahkan di kalangan orang yang sangat liberal. Karen ingin memperkenalkan Islam kepada masyarakat Barat, terutama Eropa, dan dia merasa tak ada cara yang lebih baik untuk memulainya selain dengan memperkenalkan kisah kehidupan nabi Muhammad.

Terbitnya buku itu membuat Karen dipandang sebagai sahabat dan pembela Muslim di Barat. Dia mulai banyak diwawancarai dan diminta berbicara di televisi dan berbagai forum internasional mengenai hubungan Barat-Islam. Namun Karen tak pernah mengambil pendekatan politis dalam diskusi maupun karya-karyanya. Posisinya tetaplah sebagai peneliti dan pengamat yang berpendirian netral terhadap semua agama. Saat ditanya tentang keyakinan agamanya, Karen kerap menjawab dirinya adalah seorang “freelance monotheist”, meyakini keeesaan Tuhan tanpa terikat satu agama pun.

Setelah peristiwa September 2001 Karen makin banyak diundang dan dimintai pendapat mengenai Islam dalam hubungannya dengan masyarakat modern dan Barat. Pada periode ini karya tulisnya makin menunjukkan ciri pendekatan sejarah yang kuat dengan kefasihan menghubungkan pertalian antara tradisi-tradisi agama.

Pada periode 2000-an ini, Karen antara lain menulis The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006). Buku ini melanjutkan tema yang dibahas dalam A History of God dan mengkaji akar kemunculan agama-agama besar dunia sejak dari zaman Aksial.

Perhatiannya yang besar pada Islam membuat orang bertanya-tanya tentang apa yang telah mendorongnya bersikap demikian. Muncul ketertarikan publik pada riwayat hidupnya. Karena itulah, pada 2004, Karen kembali merefleksikan perjalanan bidupnya dalam autobiografi ketiga The Spiral Staircase (2004). Dalam buku ini Karen membukakan dirinya lebih jauh, menceritakan masa-masa sulitnya selepas menjadi biarawati, didiagnosis mengidap epilepsi, bergulat dengan terapi untuk membebaskannya dari “penjara pribadinya”, serta momentum baru dalam hidupnya setelah menerima kenyataan bahwa dirinya tak bisa lepas dari bahasan tentang agama.

Agama, menurut Karen, bukanlah soal mempercayai sesuatu. Agama adalah soal akhlak, berperilaku dalam cara yang mengubah diri sendiri, mengantarkan diri semakin dekat dengan yang kudus dan sakral. Puluhan tahun kajian yang telah dilakukannya mengenai sejarah dan peran agama telah mengantarkannya pada keyakinan bahwa inti ajaran agama-agama dapat diringkas dalam Kaidah Emas: “memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan.” Tema inilah yang ditulisnya dalam salah satu buku terakhirnya yang berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life (2010).



*) Yuliani Liputo adalah penerjemah dan editor beberapa buku karya Karen Armstrong di Indonesia





BIBLIOGRAFI LENGKAP KAREN ARMSTRONG:

•Through the Narrow Gate (1982)

•The First Christian: Saint Paul’s Impact on Christianity (1983)

•Beginning the World (1983)

•Tongues of Fire: An Anthology of Religious and Poetic Experience (1985)

•The Gospel According to Woman: Christianity’s Creation of the Sex War in the West (1986)

•Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World (1988)

•Muhammad: A Biography of the Prophet (1991)

•The English Mystics of the Fourteenth Century (1991)

•The End of Silence: Women and the Priesthood (1993)

•A History of God (1993), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Sejarah Tuhan (Edisi lama, 2001, Edisi Baru 2011)

•Jerusalem: One City, Three Faiths (1996)

•In the Beginning: A New Interpretation of Genesis (1996)

•Islam: A Short History (2000)

•The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Berperang Demi Tuhan (Edisi Lama 2001, Edisi Baru 2013)

•Buddha (2001), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Bentang (2005)

•Faith After September 11 (2002)

•The Spiral Staircase (2004) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Menerobos Kegelapan (Edisi Lama 2004, Edisi Baru 2013)

•A Short History of Myth (2005)

•Muhammad: A Prophet For Our Time (2006), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul yang sama (Edisi Lama 2007, Edisi Baru 2013)

•The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul yang sama (Edisi Lama 2007, Edisi Baru 2013)

•The Bible: A Biography (2007), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Sejarah Alkitab (2013)

•The Case for God (2009), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Masa Depan Tuhan (Edisi Lama 2011, Edisi Baru 2013)

•Twelve Steps to a Compassionate Life (2010), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judulCompassion (Edisi Lama 2012, Edisi Baru 2013)

•A Letter to Pakistan (2011)

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sejarah Umat Kristen di Yerusalem Dalam Naungan Daulah Utsmaniyah


Judul buku: Christianity under Islam in Jerusalem : the question of the holy sites in early Ottoman times

Penulis: Oded Peri

Penerbit: Brill Academic

Tahun Terbit: 2001


Mungkin benar jika dikatakan bahwa tidak ada permasalahan yang terus-menerus dihadapi oleh semua Muslim penguasa Palestina dan menyita banyak waktu mereka, melebihi kesulitan dan perselisihan yang berulang-ulang yang timbul dari permasalahan bahwa Tempat Suci Kristen di Yerusalem dan Betlehem tidak dalam satu kepemilikan tetapi terbagi dan dilayani oleh beberapa komunitas. (Sir Charles H.Luke, Kepala kantor Perwakilan Inggris di Palestina, 1929)

Kristen, sebuah agama yang berdasar pada ajaran samawi, serta peristiwa masa lalu yang sakral, memberi arti penting pada situs-situs di mana keajaiban ilahi ini terjadi. Banyak dari situs-situs ini ditemukan di Yerusalem dan sekelilingnya, tempat paling terkemuka yang selalu menyimpan misteri.

Selain itu, situs yang paling dikuduskan dan dihormati terkait dengan peristiwa yang lebih penting dan konstitutif yang menjadi basis Kekristenan terletak di Yerusalem dan di sekitar Yerusalem. Kesemua tempat itu adalah tentang Kelahiran Yesus di Betlehem dan penyalibannya, serta penguburan Yesus, dan kebangkitannya di Yerusalem.

Situs-situs ini, yang telah dibangun menjadi monumental seperti basilika mewah, berkembang menjadi tempat paling suci di dunia Kristen. Dengan demikian, situs-situs ini menjadi objek yang ingin dituju oleh orang Kristen di mana-mana; melakukan kunjungan serta menunjukkan keterikatan, kepemilikan dan kontrol.

Sejak Kekristenan terbagi menjadi beberapa gereja dan ritus yang berbeda, cita-cita ini menjadi terpecah. Permasalahan tanah suci ini adalah hasil dari konflik internal antar-gereja atas tempat suci ini dan upaya otoritas politik untuk menangani masalah ini.

Masalah lain yang terkait dengan permasalahan tanah suci ini, dan berkontribusi terhadap kompleksitasnya, berasal dari kenyataan bahwa situs-situs ini, tempat paling suci, telah berabad-abad berada di bawah kekuasaan politik kekuatan non-Kristen, dan dalam kasus yang dibahas di sini, di bawah kekuasaan Daulah Utsmaniyah.

Buku ini menjelaskan perlakuan menyeluruh terhadap kebijakan Daulah Utsmaniyah sehubungan dengan tempat suci umat Kristen selama dua abad pertama pemerintahan Daulah Utsmaniyah di Yerusalem. Berdasarkan catatan resmi Daulah Utsmaniyah yang ditemukan di register istana kadi di Yerusalem, serta Arsip Perdana Menteri di Istanbul, ini menyoroti salah satu bab paling tidak jelas dan kontroversial dalam sejarah Kekristenan di bawah Islam di Yerusalem. Meski diterbitkan tahun 2001, tetapi buku ini masih sangat layak baca bagi peminat sejarah Palestina.

 
10 Cara membantu Palestina (Falisthin Wajibaatul Ummah, Dr.Raghib As-Sirjani)

Ada banyak literatur tentang Permasalahan Tanah Suci di bawah kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Sebagian besar literatur ini berkonsentrasi pada periode ketika permasalahan Tanah Suci telah berkembang dari masalah lokal Daulah Utsmaniyah menjadi isu internasional, atau salah satu unsur dalam kompleksitas diplomatik yang kemudian dikenal sebagai “Permasalahan Timur “. Penurunan kekuatan Daulah Utsmaniyah mendorong kekuatan Eropa menjadi berebut untuk menjadi ahli waris Daulah Utsmaniyah yang melemah.

Pada pertengahan abad kedelapan belas, Permasalahan Tanah Suci menjadi motivasi dalam peperangan ini dan menjadi salah satu isu utamanya. Dalam prosesnya, permasalahan ini berangsur-angsur bergeser dari perhatian secara eksklusif dari Daulah Utsmaniyah, yang terpaksa menerima perintah kekuatan asing. Permasalahan Tempat Suci ini menjadi masalah semua negara Eropa, yang solusinya mereka rumuskan di luar campur tangan Daulah Utsmaniyah dan kemudian dipaksakan oleh forum internasional. Proses ini memuncak dalam Perjanjian Berlin, tahun 1878.

Perjanjian Berlin, yang mengakhiri kebebasan Daulah Utsmaniyah dalam menangani Permasalahan Tanah Suci ini, hanya merupakan “peresmian” dari runtutan kejadian yang telah diskenariokan dan berlangsung cukup lama sebelum peristiwa diplomatik ini. Pada tahun 1757, gereja Ortodoks Yunani mendapatkan kembali kekuasaan mereka di Tanah Suci. Lalu pemerintah Daulah Utsmaniyah menyetujui dan memberikan pengakuan formal kepada mereka.

Sangat sedikit penelitian yang menyentuh soal Tanah Suci Yerusalem di masa ketika Daulah Utsmaniyah masih merupakan kekuatan dominan di Eropa, dan tidak satu pun dari semua penjelasan ini memuaskan, apalagi penjelasan tentang kebijakan Daulah Utsmaniyah mengenai isu kompleks ini.

Jadi pertanyaannya adalah: apa Kebijakan Utsmani sehubungan dengan Tanah Suci selama dua abad pertama pemerintahan Daulah Utsmaniyah di Yerusalem? Dengan kata lain: Bagaimana otoritas Daulah Utsmaniyah menangani persoalan Tanah Suci ketika itu adalah masalah internal yang berkarakter lokal, dan kapan pihak berwenang ini dapat mengajukan solusi independen dan orisinil yang bebas dari campur tangan asing dan tekanan dari luar.

Pada abad keenam belas dan ketujuhbelas, Daulah Utsmaniyah adalah satu-satunya yang berkuasa untuk memutuskan hal-hal mengenai Tempat-Tempat Suci, mereka tidak merasa perlu mengemukakan pernyataan yang menyatakan bahwa tempat-tempat suci ini adalah milik Daulah Utsmaniyah, yang karenanya dapat melakukan apa pun yang mereka sukai. Sampai saat itu, Permasalahan Tempat Suci adalah masalah dalam negeri dari Daulah Utsmaniyah, yang tanggung jawab untuk menyelesaikannya ada di tangan Daulah Utsmaniyah sendiri.

Bagaimana otoritas Daulah Utsmaniyah menangani Permasalah Tempat Suci selama dua abad pertama Daulah Utsmaniyah di Yerusalem? Buku ini memberikan jawaban rinci untuk pertanyaan kompleks ini. Apa yang terjadi mulai pertengahan abad kedelapan belas dan seterusnya dapat dilihat sebagai perubahan substansial dalam unsur utama dari Permasalahan Tempat Suci.

Unsuryang lama dan familiar: Tempat Suci itu sendiri; komunitas Kristen yang berbagi atau melayani tempat-tempat tersebut; dan peraturan Islam yang membawahi pengawasan Situs-situs Suci tersebut, kemudian muncul unsur lain: keterlibatan kekuatan asing (di luar Daulah Utsmaniyah). Penambahan faktor baru untuk masalah kompleks ini membawa perubahan mendasar dalam Persoalan Tempat Suci dan dalam peran yang dimainkan Daulah Utsmaniyah dalam hal ini.

Kebijakan Daulah Utsmaniyah di Tempat Suci Yerusalem digambarkan dalam buku ini sebagai kombinasi kerja antara pandangan keagamaan, keberagaman politik dan pertimbangan praktis mengenai keuntungan ekonomi. Antara akhir abad ke-17 dan akhir abad kesembilan belas, Daulah Utsmaniyah dipaksa untuk secara bertahap meninggalkan prinsip-prinsip ini untuk kemudian tunduk pada kepentingan politik yang disusun, sebagian besar, di Eropa.

(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

1948; Sejarah Perang Arab-Israel Pertama


Judul Buku: 1948; A History of The First Arab-Israeli War

Penulis: Benny Morris

Penerbit: Yale University Press

Tahun Terbit: 2008


Selama Pemberontakan Arab tahun 1936-39, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memperingatkan, “Kita harus melihat situasi apa adanya. Di sisi keamanan, kita adalah orang-orang yang diserang dan yang berada dalam posisi defensif. Tetapi di bidang politik kita adalah penyerang dan orang-orang Arab adalah orang-orang yang defensif. Mereka tinggal di negara ini dan memiliki tanah, dan perkampungan. Kita tinggal secara diaspora dan hanya ingin berimigrasi ke Palestina dan mendapatkan lirkosh dari mereka.”

Pertentangan dasar antara perspektif Yahudi dan Arab Palestina telah memicu konflik selama puluhan tahun di atas tanah Palestina. Ini juga menghasilkan perdebatan historis antara ilmuwan yang menerima narasi Zionis tentang sejarah Israel dan mereka yang cenderung lebih bersimpati pada posisi Palestina. Peristiwa tahun 1948 dipahami, untuk yang pertama, sebagai Perang Kemerdekaan Israel; untuk yang terakhir, mereka disebut sebagai Al Nakba, malapetaka.

Benny Morris telah menjadi pusat perdebatan akademis ini sejak kemunculan bukunya, The Birth of the Palestinian Refugee Problem pada tahun 1987. Morris bergabung dengan sekelompok ilmuwan Israel yang dikenal sebagai Sejarawan Baru yang menantang interpretasi Zionis sebelumnya mengenai sejarah Israel yang cenderung mengecilkan perspektif Palestina.

Bersama dengan para ilmuwan seperti Avi Shlaim dan Ilan Pappé, Morris menggunakan arsip yang baru dibuka untuk mengungkapkan noda sejarah Israel, menulis versi yang lebih kritis daripada pendahulunya.

Benny Morris adalah profesor sejarah di Departemen Studi Timur Tengah Universitas Ben-Gurion, Israel. Dia adalah tokoh terkemuka di antara “Sejarawan Baru” Israel, yang dalam dua dekade terakhir telah mengubah kembali pemahaman tentang konflik Israel-Arab.

Salah satu sumbangan penulis adalah mendokumentasikan peran Israel dalam menciptakan masalah pengungsi Palestina pada tahun 1947-48. Karena ini, dia menjadi sasaran serangan oleh ilmuwan seperti Efraim Karsh yang menulis Fabricating Israeli History (1997), yang berusaha untuk menghilangkan banyak argumen yang dibuat oleh Morris. Kontroversi ini – dikombinasikan dengan keilmuannya, tulisan populer, dan protes politik – segera mengubah Morris menjadi salah satu intelektual publik Israel yang paling menonjol.

Buku terbaru Morris, 1948: Sejarah Perang Arab-Israel Pertama, sesuai dengan reputasi kontroversial penulis. Buku ini, pertama dan terutama, merupakan presentasi terperinci dan detil mengenai peristiwa militer dan diplomatik seputar Perang Kemerdekaan Israel. Meskipun penulis menaruh banyak perhatian pada berbagai perspektif Arab, sebagian besar buku dan penelitiannya berfokus pada sisi Israel. Mereka yang tertarik pada perspektif Arab atau Palestina tentang al-Nakba akan lebih baik mencari di tempat lain.

Demikian juga, sebagian besar cerita diplomatik yang berhubungan dengan Morris; kontribusi prinsip buku ini terletak pada ratusan halaman sejarah operasional berdasarkan penelitian penulis di arsip negara dan militer Israel. Buku ini akan sangat berguna bagi pembaca untuk mencari riwayat sejarah perang militer yang otoritatif.

Morris meremehkan mitos tentang negara yang baru muncul, Israel, saat David Israel menghadap Goliat Arab pada perang tahun 1948. Terus terang, “Yishuv telah merencanakan untuk berperang. Sedangkan orang-orang Arab tidak melakukannya.” Terlepas dari keuntungan demografis yang tampaknya luar biasa, negara-negara Arab tidak siap untuk menghadapi konflik.

Pasukan Yahudi secara hitungan kalah jumlah dibanding tentara Arab, seringkali dua lawan satu, menikmati akses senjata yang lebih baik, mempertahankan jalur pasokan yang lebih pendek, dan jauh lebih berpengalaman daripada lawan-lawan mereka yang berperang melawan Israel dan berada di samping pasukan Otoritas Inggris dan selama Perang Dunia II.

Sebaliknya, negara-negara Arab bertempur dalam perang pertama mereka; orang-orang Palestina, pada bagian mereka, hampir tidak teratur. Jadi, dari sudut pandang militer murni, kemenangan Yahudi / Israel hampir meyakinkan.

Demikian pula, Morris menantang gagasan tahun 1948 sebagai perang yang mulia: kisah kepahlawanan Israel melawan kekuatan jahat. Sebaliknya, penulis menjelaskan bahwa konflik ini, seperti hampir semua perang, melibatkan kekejaman, pembantaian, dan kejahatan perang di kedua belah pihak.

Lebih dari itu, Morris menegaskan, orang-orang Israel bersalah atas sejumlah besar pelanggaran karena keberhasilan mereka di medan perang. Warga sipil dibantai dan diperkosa, kota-kota dijarah, dan tawanan perang dieksekusi. Teroris Yahudi dari Irgun dan Stern Gang melanjutkan operasi mereka pada masa pasca kemerdekaan sampai dipaksa melucuti senjata oleh pemimpin Israel.

Pasukan Zionis, selanjutnya, bersalah karena pembersihan etnis yang meluas atau perpindahan orang-orang Arab Palestina selama perang. Disini Morris menarik dari karya awalnya tentang penciptaan masalah pengungsi. Sejak awal, para pemimpin Zionis mendukung gagasan untuk membersihkan penduduk Arab di Palestina untuk membuka lebih banyak lahan bagi pemukiman Yahudi.

Selama perang, pembersihan etnis menjadi masalah kebijaksanaan militer menurut Morris. Morris dengan demikian tidak setuju dengan sejarawan Sejarawan Baru yang berpendapat bahwa “Rencana D” yang terkenal tersebut menyerukan secara eksplisit pengusiran orang-orang Palestina secara sistematis dan juga dengan historiografi Zionis konvensional yang menuduh pemimpin Arab menghasut eksodus Arab dari Palestina.

Penolakan Israel untuk mengizinkan mayoritas pengungsi Palestina kembali ke rumah mereka menjadi masalah pengungsi terpanjang dalam sejarah modern.

Sementara sepuluh bab pertama dari buku ini terbaca sebagai laporan konflik otoritatif dan ilmiah, bab terakhir Morris, “Some Conclusions,” berdiri sendiri. Di dalamnya, penulis menawarkan sejumlah penilaian yang provokatif dan sering kali merujuk pada peristiwa sejarah yang telah dia jelaskan di halaman sebelumnya. Selain argumen mengenai keuntungan militer komparatif dari populasi Yahudi yang menuju ke dalam konflik, perilaku Israel selama perang, dan pembersihan etnis penduduk Palestina, Morris menyajikan sejumlah pengamatan tentang orang-orang Palestina dan Negara Arab tetangga Israel.

Penulis menjelaskan pendapatnya bahwa “Sejarawan cenderung mengabaikan atau sengaja mengabaikan, begitu banyak atmosfer panas, retorika jihadi berkembang yang menyertai serangan dua tahap terhadap Yishuv.” Morris menilai sebagian besar retorika Arab dengan nilai nominal, menunjukkan bahwa serangan Arab harus dipahami sebagai motivasi religius. Ini adalah kesimpulan yang sangat diperdebatkan yang membutuhkan lebih banyak perhatian dan bukti daripada yang diberikan penulis. Peninjau ini ragu untuk menerima interpretasi penulis mengenai spesialis area yang tidak setuju dengannya.

Meskipun demikian, 1948 adalah sejarah Perang Kemerdekaan yang berdiri sebagai salah satu sejarah perang komprehensif yang tersedia. Jangan salah, buku ini, pada umumnya objektif, tetapi tidak netral; Kontradiksi mendasar antara posisi Arab dan Yahudi yang dipaparkan oleh Ben-Gurion sekitar 70 tahun yang lalu benar berlaku dalam karya Morris. Pembaca yang mencari penjelasan menyeluruh tentang perspektif Palestina pada tahun 1948 tidak akan menemukannya di sini, namun mereka yang mencari versi perang yang kritis menurut Israel pasti akan membaca buku ini.

(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Review Buku: Why We Lost, Mengapa Kita (Amerika) Kalah Perang di Iraq dan Afghanistan


Buku dengan judul Why We Lost: A General’s Inside Account of the Iraq and Afghanistan Wars yang ditulis oleh Daniel P. Bolger secara harfiyah dapat diterjemahkan sebagai “Mengapa Kita Kalah: Cerita Seorang Jenderal dari dalam Perang Irak dan Afghanistan.” Buku dengan tebal 544 halaman ini pertama kali diterbitkan pada November tahun 2014 oleh An Eamon Dolan Book Houghton Mifflin Harcourt Boston New York.


Buku yang menceritakan tentang kisah peperangan tentara Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak ini disusun dalam 18 bab yang dikelompokkan dalam tiga bagian dengan masing-masing bagian mencakup 6 bab. Bagian I: Triumph: The Global War On Terrorism, September 2001 To April 2003 menceritakan kemenangan awal AS dalam Perang Global melawan terorisme. Bagian II: Hubris: The Iraq Campaign, April 2003 To December 2011 menceritakan tentang perang AS di Irak. Bagian III: Nemesis: The Afghan Campaign, April 2003 To December 2014 mengisahkan tentang perang AS di Afghanistan.

Sebelum memasuki bagian utama, penulis mengawali buku ini dengan Catatan Penulis dan Prolog. Setelah mengisahkan bagian utama, buku ini diakhiri dengan Epilog. Pada bagian akhir dilengkapi dengan Catatan Kaki yang mencakup 47 halaman, juga disertakan Daftar Indeks.

Berikut ini adalah ulasan tentang buku ini yang diberikan oleh Dominic Oto seorang tentara Angkata Darat AS dengan pangkat Letnan Kolonel. Oto memegang gelar BS bidang Sejarah dari Oregon State University dan MMA dalam Sejarah Militer dari American Public University. Dia bertugas dalam tiga tur di Irak dan Afghanistan sebagai anggota Garda Nasional, bertindak sebagai Komandan Kompi dan Staf Trainer untuk Tentara Nasional Afghanistan.

Bolger, penulis buku ini adalah seorang purnawiran Jenderal bintang tiga Angkatan Darat Amerika Serikat. Bolger adalah seorang pria yang cerdas. Dia memiliki gelar Master dan PhD bidang Sejarah dari Universitas Chicago. Dia adalah seorang Asisten Profesor Sejarah di Akademi Militer Amerika Serikat, West Point, New York. Dia adalah seorang penulis tujuh buku, kebanyakan tentang Angkatan Darat.

Wilayah sejarah perang dan dampaknya pada militer dan kebijakan nasional bukanlah hal yang baru baginya. Ia benar-benar memiliki wewenang untuk berbicara tentang perang Amerika di Irak dan Afghanistan karena ia telah mengabdi sebagai seorang jenderal pada kedua perang tersebut.

Dari Februari hingga Mei 2005 ia menjadi wakil komandan Tim Pelatihan Bantuan Militer Koalisi, Komando Transisi Keamanan Multinasional Irak. Dari Juni 2005 sampai dengan Juni 2006 ia menjabat sebagai komandan umum. Dia bertanggung jawab untuk melatih semua Pasukan Keamanan Irak saat Amerika keluar dari Irak.

Bolger mengkomando Divisi Kavaleri-1 dari tahun 2008 sampai 2010 di kedua Fort Hood, TX dan Irak. Dalam perannya ini ia menjadi panglima Divisi Multinasional Baghdad. Dari tahun 2011 sampai 2013 ia menjabat sebagai panglima Komando Keamanan Transisi Gabungan Afghanistan dan Panglima Misi Pelatihan NATO di Afghanistan.

Namun ia tidak pernah menjabat sebagai komandan keseluruhan baik di Afghanistan maupun di Irak. Ia ikut berada di ruang ketika keputusan kunci dibuat, ditunda, atau dihindari. Bahkan ia juga seorang pengambil keputusan sendiri. Dia memiliki baik pengalaman maupun pengetahuan untuk menulis tentang kedua perang ini.


“Mengapa Kita Kalah”

Bolger memulai bukunya ini dengan ungkapan, “Saya seorang Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat, dan saya kalah dalam Perang Global Melawan Terorisme.” Dia melihat kekalahan perang di Afghanistan dan Irak disebabkan oleh kegagalan dalam kepemimpinan dan tanggung jawab.

Dia memberikan penilaian tentang apa yang dimaksud kalah. Kekalahan didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Bolger mengatakan ada beberapa alasan mengapa Amerika telah kalah dalam kedua perang tersebut. Tentara AS pasca perang Vietnam dibangun, secara sengaja, untuk konflik menentukan yang bersifat jangka pendek dan konvensional, melawan musuh berseragam seperti dalam Operasi Desert Storm.

Paska serangan 9/11, militer AS didoktrin untuk memerangi para pemberontak dan teroris. Mereka yangdiperangi mengenal medan, masyarakat dan budaya lebih baik dari yang dikenal oleh AS. Musuh tidak pernah didefinisikan dengan jelas dan diberi nama yang samar seperti “teroris, pengecut, liar, dan ekstremis.” Kesulitan mengidentifikasi musuh adalah momok yang besar dalam perang Vietnam.

Musuh yang sesungguhnya, kata Bolger, adalah para Islamis anti-Barat dan negara-negara Timur Tengah bobrok, kuasi-fasis yang memungkinkan mereka eksis. Kadang-kadang kita akan bermitra dengan negara-negara ini (misal Pakistan) untuk mencapai tujuan kita.

Ini adalah pelajaran yang mana kita akan mengulanginya lagi dan lagi. Kebijakan ini memenuhi definisi Einstein tentang Insanitas: “melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda”.

Bolger menyatakan bahwa lawan kita tidak berilusi tentang siapa yang mereka targetkan. Perang ini dikobarkan tanpa dengan nyata mendefinisikan tujuannya. Setiap kali ia bertugas di Irak atau Afghanistan strategi perang telah berubah.

Pada tahun-tahun antara tahun 2002 sampai 2009, tidak ada strategi militer nasional terpusat untuk Afghanistan karena Amerika berfokus pada Irak. Sedangkan di Irak strategi bergeser ketika aksi-aksi musuh meningkat.


Mendefinisikan Strategi Militer

Strategi militer didefinisikan sebagai sebuah rencana aksi yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sebuah strategi menyeluruh untuk setiap konflik menyatukan dan mengarahkan semua elemen untuk bekerja menuju pelaksanaan strategi itu. Semua elemen ini (tujuan keamanan nasional, unit-unit dan para sekutu) bekerja menuju pencapaian tujuan dimaksud.

Sebuah contoh tentang hal ini adalah bersatunya Pasukan Sekutu menyebabkan penyerahan tanpa syarat Jepang dan Jerman pada Perang Dunia II. Bolger menyatakan bahwa dari tahun-ke-tahun di Irak dan Afghanistan strategi berubah sehingga membingungkan baik Pasukan Amerika maupun negara-negara koalisi.

Tanpa adanya penyatuan strategi, organisasi militer, khususnya yang tersusun atas pasukan-pasukan multinasional seperti di Afghanistan dan Irak, beroperasi dalam cara yang tidak tersinkronkan. Hasilnya adalah gerakan dan aksi tanpa memperoleh atau mencapai setiap tujuan yang dimaksud.

Kedua perang tersebut telah mengalami perubahan arahan dari para komandan yang didasarkan pada gaya kepemimpinan profesional dan personal. Bolger berbicara tentang perang yang kekurangan strategi kohesif, yang dapat memaksa semua orang di ruang pertempuran yang sama ke arah untuk mencapai seperangkat tujuan yang sama.


Penilaian Strategi

Bolger menulis contoh strategi yang berantakan adalah ketika AS tidak menarik diri dari Afghanistan setelah kekalahan Al Qaeda pada akhir 2001 dan dari Irak setelah mengusir Saddam pada bulan April 2003. Dengan keputusan untuk tetap tinggal menyebabkan pembuat kebijakan dan pemimpin militer terkunci pada pola misi yang bergerak pelan.

Pasukan Amerika berada pada kondisi terbaiknya dalam peperangan manuver. Anda melihat hal ini dalam operasi Desert Storm dan minggu-minggu awal Perang Irak dengan penaklukan Baghdad yang cepat.

Anda pergi ke sebuah medan operasi secara luar biasa dan melakukan operasi menentukan secara cepat. Ini adalah apa yang kita lakukan di Afghanistan pada tahun 2001 dan di Irak pada tahun 2003. Namun alih-alih menyerahkannya ke penduduk setempat, kita malahan tinggal di sekitar. Karena itu misi yang sukses tergantikan oleh berjalannya waktu dari tahun ke tahun. Bolger menulis bahwa di negara-negara dunia kedua dan ketiga seperti Afghanistan dan Irak, model demokrasi Jefferson ala Amerika tidak dapat bekerja.


Solusi

Bolger menggunakan konteks sejarah dalam argumentasinya. Dia menyarankan untuk pergi hanya menyisakan keberadaan penasehat yang sedikit dengan keamanan yang memadai untuk proteksi dan menjalankan apa yang dapat kita bantukan. Dia menyatakan hal ini sebagai formula pemenangan.

Hal ini bekerja dengan baik pada keberadaan AS di Korea. Kita tidak pernah mendikte pemerintah Korea Selatan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Kita menjamin dukungan untuk beberapa tahun. Hal ini juga bekerja dengan baik untuk Inggris di Malaysia pada tahun 1950-an.

Peran “nasehat dan bantuan” dengan kekuatan udara inilah yang dilakukan AS saat ini di Irak dan Suriah. Pada akhirnya negara-negara tersebut harus memilih pemerintahan mereka sendiri.

Malaki di Irak dan Karzai in Afghanistan keduanya kalah dalam pemilu mereka. Malaki yang kalah dalam pemilu pada tahun 2010 di Irak bermanuver untuk mengembalikan kekuasaannya dengan bantuan AS. Sementara itu Karzai masuk kotak pemungutan suara pada tahun 2009.

Kedua pemimpin tersebut korupsi. Ini seperti pemilihan Tony Soprano untuk menjadi Presiden suatu negara sementara ia mengisi pundi-pundinya. AS gagal untuk mengawal proses demokrasi bekerja di kedua negara tersebut.


Penilaian

Jika militer AS ingin mengkonfigurasi ulang diri sendiri untuk peperangan di masa depan, buku ini menjadi basis yang besar bagaimana Amerika harus berperang di masa depan. Baik perang Irak maupun Afghanistan menjadi pengalaman pahit bagi militer Amerika.

Bolger mengatakan kita harus keluar dari Irak dan Afghanistan secepat mungkin. Begitu kita mulai menyusuri jalan menuju pembangunan bangsa dan melakukan kontra-pemberontakan, militer akan kehilangan momentumnya.

Untuk membawa militer yang besar yang dirancang untuk perang konvensional dan cepat seperti perang Panama dan operasi Desert Storm dan mencoba berpindah ke konflik tak-teratur yang panjang dan tak terbatas, memerlukan jembatan yang sangat panjang. Ia menyatakan bahwa pada skala yang lebih kecil, kita gagal untuk melakukan ini dalam apa yang ia sebut sebagai “perang-perang kecil dan ganas” Amerika di Somalia, Haiti pada 1994, dan Bosnia.

Saya melihat poin-poin Bolger, namun ia melupakan fakta bahwa dia adalah seorang komandan di kedua perang tersebut dan melihat secara langsung bahwa sebagian tentara dan Marinir diperlakukan oleh orang-orang Irak dan Afghanistan dengan hormat dan berkeadilan. Dia menghabiskan banyak waktu untuk “menampar” mantan Jenderal Petraeus, yang jelas dia membencinya, dan McChrystal.

Dia mengatakan serangan dadakan (the surge) di Irak adalah seperti “perbaikan cepat.” Dia menggunakan analogi seorang pasien dengan demam dan serangan dadakan itu seperti aspirin yang menjadikan suhu turun dan memberikan kesembuhan sementara. Ini mengobati gejala, tetapi tidak penyakitnya. Hal ini merupakan sebuah penyederhanaan berlebih terhadap persoalan yang rinci.

Pada akhirnya saya salut atas kejujuran dan usahanya untuk memulai percakapan yang sulit ini. Namun sebagai mantan jenderal dan seorang dengan intelektualitas yang besar, bukunya ini terlalu singkat. Saya berharap mendapatkan lebih dari dia, terutama setelah membaca buku-bukunya sebelum ini.

Baca: http://www.militaryhistoryveteran.com/book-review-why-we-lost-by-daniel-bolger/

(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: