Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS TOKOH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS TOKOH. Tampilkan semua postingan

Seri Tokoh Sufi: Mengenal Ibrahim Bin Adham


Ibrahim bin Adham [1] mempunyai julukan Abu Ishak, yang berasal dari penduduk Balakh, yaitu salah satu kota yang terkenal di Khurosan. Beliau termasuk anak seorang raja. Pada suatu hari beliau keluar berburu lalu beliau mendengar suatu suara yang tidak diketahui sumbernya yang menyadarkannya dari kelalaian, lalu beliau meninggalkan jalan yang selama ini ditempuhnya yaitu jalan cinta dunia. Kemudian beliau mengikuti tarekat ahli zuhud dan warak dan beliau pergi ke Mekkah dan diikuti oleh Sofyan ats-Tsauri dan Fudhail bin `Iyadh[2]. Beliau memasuki kota Syam dan bekerja di dalamnya dan makan dari hasil keringatnya sendiri.


Sebab Taubatnya:

Pembantu Ibrahim bin Adham yang bernama Ibrahim bin Basyar al-Khurosani berkata: “Aku pernah menemani Tuanku Ibrahim bin Adham ke kota Syam dan aku pernah berkata pada suatu hari: “Wahai Abu Ishak, coba ceritakan kepada awal dari permulaan kehidupanmu?” Ibrahim menjawab: “Ayahku seorang raja terkenal di Khurosan. Saat itu aku masih muda, dan aku menyertai sekelompok orang untuk berburu sebagaimana kebiasaan anak-anak raja. Aku menunggangi kendaraan dan bersamaku seekor anjing lalu aku berhasil menangkap seekor musang atau kelinci. Ketika aku sedang asik-asiknya berburu, tiba-tiba aku mendengar suara yang tidak bisa aku lihat yang berkata kepadaku, wahai Ibrahim apakah karena ini engkau diciptakan, apakah karena ini engkau diperintahkan? Kemudian aku bertemu dengan seorang penggembala kambing ayahku lalu aku mengambil jubahnya yang terbuat dari kulit domba, sehingga aku memakainya sebagai baju dan aku membayar uang kepadanya sebagai gantinya. Kemudian aku pergi ke Mekkah al-Mukarromah dan ketika aku di tengah-tengah gurun, aku bertemu dengan seorang lelaki yang sedang berjalan tanpa kendaraan dan tanpa bekal. Tatkala memasuki waktu sore dan kemudian ia melakukan shalat Maghrib, ia menggerakkan bibirnya dengan suatu ucapan yang tidak aku mengerti dan tiba-tiba di hadapanku ada makanan dalam wadah yang di dalamnya ada makanan dan ada wadah lain yang di dalamnya ada minuman. Aku makan dan minum bersamanya dan aku dalam keadaan seperti ini selama beberapa hari lalu ia mengajariku ismullahil a`zham (nama Allah yang agung). Lalu ia berkata kepadaku: “Janganlah kamu berdoa dengannya atas seseorang yang antara kamu dan dia terjadi permusuhan karena kamu dapat menghancurkannya dengan kehancuran dunia dan akhirat, tetapi berdoalah kepada Allah agar dengannya ia dapat menghilangkan rasa takutmu dan menguatkan kelemahanmu serta membuatmu tenang dan membuatmu selalu bergairah pada setiap saat.” Kemudian ia pergi meninggalkan aku.


Hikmah-hikmahnya dan Nasihatnya

Seandainya kita ingin untuk mengungkapkan apa yang dicatat oleh sejarah seorang alim yang sempurna dan besar ini tentu terasa tidak cukup kesempatan yang kita miliki untuk menulis semua itu. Sebagian para wali dan orang-orang saleh banyak memanfaatkan pintu ilmu Ibrahim. Mereka banyak belajar dari beliau untuk mendapatkan hikmah dan pelajaran. Cukup banyak hikmah dan nasihat yang beliau sampaikan, namun kami merasa cukup untuk menyampaikan salah satu bagian darinya dengan harapan mendapatkan keberkahan atas pengaruh cinta yang suci ini dan harapan mudah-mudahan Allah SWT membukakan dengannya hati-hati yang tertutup, telinga-telinga yang tuli dan mata-mata yang buta.

Ibrahim bin Adham menulis surat kepada Sofyan ats-Tsauri, dan dalam suratnya ia berkata: “Pertama, barangsiapa mengenal apa yang dicarinya maka terasa mudah baginya apa yang harus dicurahkannya. Kedua, barangsiapa yang membentangkan pandangannya maka akan lama penyesalannya. Ketiga, barangsiapa yang membentangkan angan-angannya maka akan buruk amalnya. Keempat, barangsiapa yang membentangkan lisannya maka ia justru membunuh dirinya sendiri.

Muhammad bin Ishak berkata: “Ayahku memberitahuku dan berkata, aku berkata kepada Ibrahim bin Adham berwasiatlah kepadaku!” Lalu beliau berkata jadikanlah Allah sebagai sahabat dan tinggalkanlah manusia. Pada suatu kali, orang-orang berkumpul di sisinya sambil berkata, berilah kami nasihat yang bermanfaat buat kami wahai Abu Ishak! Beliau berkata, “Pertama, jika kalian melihat manusia sibuk dengan urusan dunia maka sibukanlah kalian dengan urusan akhirat. Kedua, jika mereka sibuk dengan memperindah bentuk lahiriah mereka maka sibuklah kalian dengan memperindah batiniah kalian. Ketiga, jika mereka sibuk membangun kebun dan istana maka sibukkanlah kalian dengan membangun kuburan. Keempat, jika mereka sibuk dengan mencari-cari kesalahan orang lain, maka sibukkanlah kalian dengan mencari kesalahan diri kalian sendiri. Kelima, jika mereka sibuk dengan melayani dan mengabdi kepada makhluk maka sibuklah kalian dengan mengabdi kepada Tuhan alam semesta. Keenam, ambilah dari dunia ini sebagai bekal yang akan mengantarkan kalian pada akhirat karena sesungguhnya dunia adalah tempat bertanam dari akhirat.

Wahai sahabat suluk, marilah kita bentangkan kejadian yang luar biasa ini, yang dicatat oleh sejarah dengan pena dari cahaya, yang selalu dikenang oleh umat, yang selalu disanjung oleh generasi demi generasi. Marilah kita menyimak karamah ini dengan penuh pertimbangan dan perhatian dimana di dalamnya tampak menonjol kedudukan seorang Imam besar dari imam kaum Muslim dan seorang alim besar. Suatu karamah yang menunjukkan ketinggian kedudukannya dan keteguhan ma’rifat-nya dan ketulusan cintanya serta kedekatannya kepada Sang Kekasih.

Ats-Tsakli berkata: Ali bin Said bercerita kepada kami bahwa Ibrahim bin Bashar berkata: Pada suatu kali kami sedang berlayar di laut bersama Ibrahim bin Adham. Ketika kami mulai berlayar, angin tampak begitu tenang dan bersahabat serta udara begitu mendukung dan lembut, namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan adanya gumpalan awan yang pekat bagaikan malam yang gelap lalu diikuti dengan angin kencang dan badai yang secara otomatis mengubah perjalanan perahu. Tiba-tiba ombak yang begitu kencang menerjang ke sana sini dan ingin menghancurkan apa saja yang ada di depannya dan di sekitarnya. Dan perahu yang kami tunggangi pun terancam bahaya yang besar, dimana ombak membuatnya terhuyun-huyun. Oleh karena itu, awak kapal dan isinya merasakan adanya bahaya yang besar sehingga mereka ketakutan. Dalam keadaan demikian, Ibrahim sebagai seorang mukmin sejati yang mengenakan pakaian yang sederhana tampak begitu tenang di atas perahu, lalu para penghuni perahu pun mendatanginya. Mereka mengadukan apa saja yang terjadi di atas perahu; mereka begitu bingung melihat sikapnya yang begitu tenang dan hatinya begitu damai. “Tidakkah kau menyadari apa yang terjadi dengan kita? Apakah kau melihat apa yang terjadi dengan kita? “Tampaknya engkau tidak peduli,” kata mereka dengan penuh penasaran. Ibrahim kemudian mengangkat kepalanya dan menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban seorang yang percaya kepada Tuhannya yang tenggelam dalam cinta kepada-Nya: sungguh beruntung orang yang tidak siap untuk menghadapi hari seperti ini. Kemudian ia mengomat-ngamitkan lidahnya dan mengutarakan beberapa kalimat yang tidak kami pahamia sedangkan air mata tampak meleleh dari kedua pipinya. Lalu semakin menjadi-jadilah tangis dan teriakannya. Orang-orang yang ada di tempat itu melihat-melihat apa yang terjadi padanya. Tiba-tiba ada suara yang keras berkata: “Wahai penghuni perahu, mengapa kalian harus takut, sementara di antara kalian ada Ibrahim, wahai angin tunduklah engkau dan tenanglah, wahai lautan tenanglah engkau dengan izin Allah. Sesungguhnya engkau tidak bergerak kecuali dengan izin-Nya. Engkau adalah makhluk yang diperintah, tidaklah engkau mengetahui bahwa di permukaanmu ada Ibrahim.”

Tiba-tiba badai yang begitu keras berubah menjadi angin yang lembut dan tiba-tiba lautan yang bergelombang yang dahsyat pun menjadi tenang dan damai seakan-akan ia menjadi papan dari kayu lalu hilanglah rasa ketakutan dan dipenuhi rasa aman, sehingga para penumpang mencapai tujuannya masing-masing.

Jadi, Allah SWT mempunyai hamba-hamba yang istimewa yang seandainya mereka bersumpah atas nama Allah niscaya Dia akan mengabulkan sumpah mereka. Mudah-mudahan Allah merahmati Ibrahim yang meninggalkan bagi kita kenangan-kenangan yang baik dan warisan-warisan yang mulia, serta cerita-cerita yang akan melembutkan hati yang keras dan akan menyebabkan mata orang-orang pendosa akan berlinangan air mata dan akan membuat hati bergelora dengan cinta kepada Allah[3].

Konon, ada orang yang berkata kepada Ibrahim tidakkah engkau mau duduk bersama kami sehingga engkau menceritakan kepada kami apa yang engkau ketahui, beliau menjawab aku mau duduk bersama kalian ketika aku menyelesaikan tiga hal. Mereka bertanya, apa itu? Beliau menjawab, pertama ketika malaikat turun untuk menggambarku di rahim dan dia berkata, wahai Tuhanku, apa ia termasuk orang yang celaka atau bahagia? Aku tidak mengetahui apa jawabannya. Kedua, ketika malaikat turun untuk mencabut rohku dan berkata, wahai Tuhanku apakah ia mati atas keimanan atau atas kekafiran? Aku pun tidak mengetahui jawabannya. Ketiga, ketika penghuni surga masuk dalam surga dan penghuni mereka masuk dalam neraka, kemudian ada orang yang menyeru: wahai orang yang ada di surga, kalian di dalamnya kekal tanpa ada kematian, dan wahai penghuni neraka, di dalamnya kalian kekal tanpa ada kematian. Aku tidak mengetahui dalam kelompok mana aku berada [4].

Ibrahim bin Adham adalah waliyullah sejati. Beliau adalah seseorang yang hatinya dipenuhi dengan mahabbatullah (cinta kepada Allah) dan hatinya dijauhkan dari mahabatu dunya (cinta dunia). Ibrahim bin Adham mengalami revolusi batin setelah beliau melakukan renungan dan tafakur mendalam tentang tujuan penciptaannya. Ia sadar bahwa hidup bukan sekadar foya-foya dan berburu yang sia-sia. Hidup hakiki adalah menghidupkan jiwa dengan zikrullah dan membantu sesama. Apalah arti kekayaan dan kerajaan bila hanya untuk memuaskan hawa nafsu hayawaniah dan melupakan jati diri insaniah dan ilahiah.

Ya, marilah kita belajar dari Ibrahim bin Adham dengan menyadari asal usul diri kita dan menggunakan fasilitas dan nikmat Ilahiah di jalan yang diridhai-Nya. Sungguh perubahan batin terjadi ketika manusia merenungkan kekuasaan Allah dalam dirinya dan betapa besar karunia dan nikmat-Nya.


Catatan Kaki:

[1] Ibrahim bin Adham bin Mansur at-Tamimi al-Balkhi Abu Ishak, serorang zahid yang masyhur. Ayahnya adalah seorang kaya yang terkenal di Balakh. Beliau memperdalam agama dan merantau ke Baghdad (Iraq) dan Syam dan seterusnya ke Hijaz. Beliau banyak mengambil ilmu dari ulama-ulama di tiga negeri tersebut. Beliau mengambil dari sumbernya langsung dan banyak belajar dari imam-imam dari negara-negara tersebut. Banyak cerita yang berkenaan dengan beliau disampaikan yang sebagiannya terkesan simpang siur, juga terdapat perselisihan tentang tempat tinggalnya dan lematiannya. Yang tepat adalah bahwa beliau disemayamkan di Supnan di salah satu bagian di negeri Romawi. Adapun sumber-sumber biografinya dapat diketemukan dalam Hilyatul Auliya, juz 7 halaman 367 dan al-Bidayah Wal Nihayah, juz 10 halaman 135 dan al I’lam, juz 1 halaman 31.

[2] Sebab taubatnya terdapat dalam kitab “Sautul Mimbar”, yang merupakan kisah yang indah yang termasuk kisah yang paling menarik yang dapat menguatkan iman dan memperteguh keyakinan.

[3] Silakan Anda melihat kitab “at-Tawwabin”, karya Imam al-Maqdisi halaman 160.

[4] Kami telah menyebutkan sikap yang agung dari Ibrahim di hadapan orang yang bermaksiat di dalam kitab kami Samirul Mukminin, cetakan ketujuh halaman 268.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Fakhruddin Ar-Razi: Teolog, Filsuf dan Ahli Tafsir


Konon pada zaman Fakhruddin ar-Razi, muncul kelompok ekstrim yang ingin menyebarkan faham Tajsim dan mengkafirkan yang menolak faham antropomorfisme Tuhan, tidak hanya mengkafirkan malah menganggap halal darahnya. Fakhruddin Razi adalah lawan sengit mereka yang tidak berhenti untuk menyadarkan bahwa Allah Swt itu tidak ber-jisim. Kaum Mujasimah bahkan bersumpah akan membunuh Fakhrudin ar-Razi, jikalau tidak berhasil membunuh, mereka akan melakukan pembongkaran kuburan dan membakar mayat Fakhruddin Razi. Namun apa yang terjadi justru Fakhrudin ar-Razi berbicara dengan lantang di depan mereka.

Muhammad bin Dhiyau ad-Din Umar bin Husain bin Hasan Fakhruddin, Abu Abdillah, Quraisy at-Taymimi al-Bakri, berasal dari Thabarestan, lahir di Razi di kota Rey, tahun 544 H bertepatan dengan 1149 M. Laqab beliau yang paling terkenal adalah Ibn Al-Khatib Imam, Fakhrudin ar-Razi, Syaikh Islam dan yang lebih terkenal lagi adalah Imam Fakhruddin ar-Razi. Hati-hati dengan dua nama Ar-Razi lain yang berasal dari kota yang sama yaitu Rey.

Ia begitu menghormati dan memuliakan ayahnya. Dari ayahnya beliau belajar bidang ilmu ushul dan sekte-sekte mazhab. Ia memanggil ayah dengan panggilan Syaikh Guru yang Berbahagia (Syaikh Sa’id). Setelah wafat ayahnya, ia berguru pada Simnani dalam bidang ilmu fikih, kemudian kembali ke tempat asalnya dan serius mempelajari filsafat dan kalam dari Majili. Ia juga belajar pada Teolog Syiah Mahmud bin Ali al-Himsha.

Fakhruddin ar-Razi memanfaatkan metode filsafat Islam dengan mengabungkan antara metode Tibyan (metode Aristotels yang memilih argumen dari efek ke agen atau dari perbuatan ke agen yang berbuat) dengan metode Khabar Islam (yang mengasumsikan menerima apa yang disampaikan oleh Rasul dan para Nabi yang dianggap sebagai musalamat yang tidak perlu diperdebatkan lagi).

Ia berusaha memanfaatkan apa yang penting dan signifikan pada zamannya dalam rangka memperkuat fondasi akidah yang bertumpu pada akal dan bertolak dari agen (fa’il) menuju aksi (fi’il). Dan Fakhruddin ar-Razi membuat distingsi yang akurat antara dua jenis burhan inni dan limmi. Argumentasi dari Makhluk ke Khaliq adalah Burhan Inni dan turun dari Khaliq ke Makhluk adalah Burhan Limmi, dan memang wajar jika Burhan Limmi lebih mulia. Namun Fakhrudin ar-Razi lebih memilih argumentasi dari Khaliq ke Makhluk.

Menurutnya, fitrah membantu kita menyaksikan eksistensi Sang Pencipta yang memiliki ikhtiar sebelum memahami melalui dalil-dalil. Eksistensi sang pencipta adalah hal yang axiomatik (badihi) atau makrifat yang awal. Fitrah yang asli menyaksikan dan merasakan kebutuhan alam kepada Pelaku (fa’il). Dan pernyataan bahwa Allah adalah burhan atas segala sesuatu dapat diketahui lewat fitrah secara langsung dan bukan berdasarkan hadis-hadis Nabi bahwa makrifatullah lebih mendahului dari keberadaan para nabi.

Fakhrudin ar-Razi telah memelihara dan merawat mazhab salafus shalih dan dalam waktu yang sama juga mempelajari apa-apa yang bisa diterima (musalamat) dari kalangan para filsuf. Bertumpu pada prinsip-prinsip teologin secara umum dan mazhab Asy’ari secara khusus. Inilah yang membuatnya menjadi istimewa.

Beliau seorang peneliti dan pengkaji yang sempurna, menguasasi berbagai ilmu di dalam kitab Mabahits al-Masyriqiyah. Mendemonstrasikan kejeniusannya dalam memahami, menganalisa dan mengevaluasi filsafat peripatetik. Ia juga orang yang memiliki nalar yang tajam sehingga bisa melihat titik-titik dari filsafat Ibnu Sina yang dapat dikritik. Karena itu ia menulis syarah al-Isyarat wa at-tanbihat yang dianggap bukan sebagai kitab syarah tapi jarh (mengkritik dengan keras).

Kitab yang lain adalah Mafatih al-Gayb sebuah kitab tafsir yang sangat luas dan mendalam. Kitab tafsir Mafatih al-Gayb ini banyak dikutip oleh kitab-kitab tafsir dari berbagai mazhab seperti Syiah, Sunni dan sebagainya. Dijuluki sebagai imam Musyakikin yaitu ahli pengkritik yang tajam dan kritikannya menurut Syahid Muthahhari banyak memberikan manfaat. Dan Mulla Sadra juga terkadang memanfaatkan kejelian Fakhruddin ar-Razi dalam mengkritik Ibnu Sina.Karya-karya yang luar biasa dari sisi kuantitas dan kualitas yang sayangnya masih belum banyak diapresiasi oleh dunia Islam itu sendiri. Karya-karyanya menorehkan satu metode dan nalar yang luar biasa dalam melahirkan peradaban keilmuan Islam.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenang Capucci, Uskup Agung Pembela Palestina


Lelaki itu tutup usia awal tahun ini. Namun, jasanya dikenang dan namanya harum di kalangan penduduk Palestina.

Presiden Otoritas Palestina, Mahmud Abbas, memuji kebaikan dan keberaniannya karena berani pasang badan buat rakyatnya. Sebab, bagi dia perdamaian dan rasa kemanusiaan lebih utama ketimbang perbedaan keyakinan.

Nama lelaki itu adalah Hilarion Capucci. Gelar terakhirnya adalah Uskup Agung Gereja Katolik Melkite Yunani. Dia dilahirkan ke dunia pada 2 Maret 1922, di Aleppo, Suriah, yang saat itu masih dijajah Prancis. Kini, kota itu hancur lebur akibat perang sipil.

Mula-mula dia dimasukkan ke seminari dan lulus pada 1947. Lantas 18 tahun kemudian Capucci dikirim buat menjadi pimpinan Gereja Katolik Melkite Yunani di Yerusalem dan Caesarea. Dia memiliki sekitar 4,500 jemaah yang kebanyakan orang Arab tersebar di Yerusalem, Tepi Barat, dan Israel. Mereka tetap tunduk kepada Paus dan Vatikan, tetapi tata cara ibadahnya mengacu kepada tradisi Byzantine.

Mulai dari sinilah petualangan aktivisme Capucci dimulai. Sebab, saat itu negara Israel sudah berdiri dan mulai gencar meluaskan wilayahnya dengan mencaplok pemukiman orang Palestina, baik Islam maupun Nasrani, seperti dilansir dari laman New York Times, Senin (18/12/2017).

Hari itu, 8 Agustus 1974, Capucci seperti biasa menumpang sedan dinas Mercedes hendak menuju Nazareth melintasi perbatasan Libanon-Israel. Sebagai pemuka agama, biasanya dia tidak pernah diberhentikan atau digeledah. Namun, hari itu berbeda. Pasukan Israel memberhentikan mobilnya ketika hendak memasuki Yerusalem. Mereka pun menggeledah isinya.

Ternyata di dalam sedan itu terdapat empat senapan Kalashnikov, dua pistol, hampir seratus kilogram dinamit, detonator, dan granat. Setelah diinterogasi, Capucci bisa mengelak dari tuduhan hendak menyelundupkan persenjataan itu. Dia pun bebas, tetapi tidak lama sebab sepuluh hari kemudian dia dijemput aparat Zionis dan ditahan.

Tuduhan disangkakan kepadanya adalah menjadi diam-diam perantara antara faksi Fatah di Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan kelompok bersenjata lain di Tepi Barat. Bahkan dia juga disangka menyelundupkan emas, minuman keras, dan peralatan elektronik dari perbatasan. Masih belum cukup, sang uskup agung juga dituding terlibat dalam upaya penyerangan kelompok militan terhadap Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry A. Kissinger, saat melawat ke Yerusalem pada Mei 1974.

Kabar penangkapan Capucci menjadi berita utama di sejumlah media massa dunia saat itu. Sampai-sampai atasannya ketika itu, Maximos V Hakim dari Antiokia, mengajukan petisi supaya pemerintah Israel segera membebaskan Capucci.

Toh pemerintah Israel tak peduli dengan seluruh tekanan. Mereka tetap berkeras menyeret Capucci ke meja hijau. Gerak-geriknya dibatasi dan diawasi. Capucci saat itu menyatakan kalau dia punya kekebalan diplomatik. Namun, Israel menyatakan mereka saat itu tidak punya hubungan dengan Vatikan, karena hubungan itu baru terjadi pada 1993.

Capucci akhirnya berkeras enggan hadir dalam sidang dan menganggap pengadilan Israel tidak bakal adil. Walau demikian, pengadilan Israel tetap menjatuhkan putusan 12 tahun penjada kepada Capucci pada 9 Desember 1974. Dari balik penjara dia tetap melawan. Sembari memimpin misa, Capucci terus melancarkan aksi mogok makan.

Tiga tahun kemudian, rezim di Israel berganti. Giliran kelompok sayap kanan Partai Likud menguasai panggung politik negara Zionis. Mereka bersedia membebaskan Capucci dengan syarat dia mengajukan permohonan. Dia sepakat dengan alasan kemanusiaan dan bebas pada 6 November.

Vatikan kemudian memutasi Capucci ke Amerika Latin. Namun, dua tahun kemudian dia nekat terbang ke Damaskus, Suriah, menghadiri pertemuan Majelis Nasional PLO, sebab dia adalah salah satu anggotanya. Mungkin karena dianggap ‘nakal’, Paus John Paul II lantas mengirimnya ke Eropa Barat.

Kendati demikian, keinginan Capucci buat memelihara perdamaian di dunia tidak pernah surut. Dia terlibat menjadi penengah dalam beberapa kejadian.

Antara lain membujuk pemerintah Iran supaya memulangkan jasad delapan serdadu AS yang tewas saat berupaya menyelamatkan tawanan, dalam peristiwa penyanderaan Kedutaan Besar AS di Iran pada 1979. Pada 1990, Capucci meminta mendiang Saddam Husein melepaskan sekelompok warga Italia ditawan, ketika pasukan Irak menyerbu Kuwait.

Jejak keberaniannya demi kemanusiaan terukir tujuh tahun lalu. Yakni ketika Capucci menjadi salah satu orang yang ikut dalam rombongan relawan menuju Jalur Gaza menumpang kapal asal Turki, Mavi Marmara, hendak menembus blokade Israel.

“Saya cuma ingin menemui orang-orang teraniaya di Jalur Gaza, dan memastikan kalau kami selalu bersama mereka. Harapan saya adalah supaya berdiri negara Palestina yang bebas, berdaulat, dan mandiri dengan Yerusalem sebagai ibu kota,” kata mendiang Capucci saat itu.

Capucci tutup usia pada umur 94 tahun pada awal 2017. Namun, dia adalah orang-orang turut andil dan menjadi bagian dari sejarah negara Palestina kelak.

(New-York-Times/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Uskup Hilarion Capucci: Icon Perjuangan Palestina


Tanggal 1 Januari 2017, Vatikan umumkan berita duka. Uskup Gereja Katolik Suria, Mgr. Hilarion Capucci, meninggal di Roma. Presiden Mahmoud Abbas sampaikan duka cita. AP merilis berita (3/1/2017): “Pastor yang dipenjara karena menyelundupkan senjata ke para militan Palestina meninggal di usia 94”

Empat puluh tiga tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 18 Agustus 1974, Uskup Cappuci ini ditangkap dan ditahan tentara Israel karena menyelundupkan senjata dalam sedan mercedes. Senjata selundupan itu hendak dibawa ke West Bank. Dia diadili oleh Pengadilan Militer Israel. Dijatuhi hukuman 12 tahun penjara atas kejahatan menggunakan status diplomatiknya untuk menyelundupkan senjata ke tentara pembebasan Palestina.

Uskup Maximos V Hakim protes keras ke penguasa Israel atas hukuman itu, “I do not see why a man who is ready to save Arabs should be condemned,” katanya. Dia juga protes keras atas masuknya Israel ke Yerusalem Timur yang disebutnya sebagai “illegal & bertentangan dengan resolusi PBB”.

Sejak Uskup Cappuci dipenjarakan, berbagai upaya pembebasannya dilakukan. Dia termasuk dalam daftar nama yang dituntut para pembajak Palestina untuk dibebaskan dalam krisis sandera Kfar Yuval di tahun 1975, dan krisis sandera Entebe (Air France Flight 139) di tahun 1976.

Upaya membebaskan Uskup Cappuci yang dijatuhi hukum 12 tahun penjara ini, baru berhasil di tahun 1978 setelah 4 tahun Uskup yang menentang Perang Irak (2003) jalani hukuman penjara. Berkat intervensi Vatikan. Setelah bebas Uskup yg belajar di Seminari St. Anne, Yerusalem ini, tetap berjuang.

Tahun 2009 Uskup Cappuci berada dalam kapal Lebanon menuju Gaza dan kapal ditahan oleh tentara Israel ketika hendak membongkar blokade kapal Israel.

Di bulan Mei 2010, dia ikut dalam Free Gaza Movement’s aid flotilla. Dia jadi penumpang kapal MV Mavi Marmara. Senin 31 Mei 2010, kapal itu dihadang angkatan laut Israel. 9 orang terbunuh. Banyak terluka. Uskup ini ditahan di penjara Beersheba, lalu dideportasi.

Masih banyak catatan tentang perannya di Timur Tengah, khususnya dalam membela bangsa Palestina.

Berita meninggalnya bikin banyak orang berduka, khususnya para pejuang Palestina. Duka itu bukan karena kematiannya. Tapi karena kenangan akan perjuangannya & impiannya tentang Negeri Palestina yang belum jua terwujud saat dia harus meninggalkan kefanaan dunia ini.

Hanan Ashrawi, anggota Kristen PLO executive committee, menyebut Uskup Cappuci sebagai “an icon to Palestinians”. Presiden Mahmoud Abbas menyebutnya sebagai “a great freedom fighter”.The American-Arab Anti-Discrimination Committee sebut dia “the beloved archbishop of Arabs and the champion of Palestine”

Hamas, pada tanggal 2/1/2017, mengeluarkan pernyataan duka cita atas meninggalnya Uskup Cappuci, “We mourn the death of a great Arab revolutionary who dedicated most of his life to defending the Palestinian people and their just cause.”

“Archbishop Capucci’s life was a demonstration of the oneness of Arab peoples and their shared pains and hopes,” begitu pernyataan duka Hamas di saat meninggalnya Uskup Cappuci.

Sahabat Uskup Capucci asal Palestina yang tinggal di AS, Tawfiq Barqawi, mengatakan sempat bicara dengan uskup ini & mengucapkan “Selamat Natal”.

Uskup ini dimakamkan di Lebanon, di samping makam ibunya sesuai permintaannya. Berkat usaha Dubes Palestina untuk Itali, Dr. Mai Al-Akaila.


Epilog Uskup Cappuci:

Saya suka kutip kata-kata Cicero ini: “Viva enim mortuorum in memoria vivorum est posita”. Kehidupan orang yang sudah meninggalkan ada dalam memori tentang dia dari kita yang masih hidup. Semoga dia tetap hidup dalam kenangan, semangat, impian, harapan Bangsa Palestina.* (GabrielMahal)

(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jawaharlal Nehru: Dunia Selalu Berubah


Jawaharlal Nehru di dalam bukunya, Negahi be Tarekhe Jahan yang dia tulis untuk putrinya, mengatakan: Tema utama sejarah adalah peningkatan dan kemajuan manusia dari kehidupan primitif ke peradaban…

Ingin ayah jelaskan kepadamu (duhai putriku!) bagaimana ide kerjasama pada manusia berkembang dan bahwa kita harus bekerjasama demi kebaikan bersama dan untuk kepentingan umum. Akan tetapi, pada saat kita membaca sejarah masa lalu yang panjang, terkadang kita berat untuk mengatakan bahwa ide tersebut telah mengalami kemajuan.

Negara atau masyarakat egois yang menyerang dan menindas negara dan masyarakat lain, atau seseorang menindas orang lain, mereka semuanya telah kehilangan spirit kerjasama.

Kiranya jutaan tahun kemudian manusia mencapai peningkatan, berarti kita sekarang berada di posisi terbelakang.. Jadi, berapa lama lagi kita bisa mempelajari jalan kemanusiaan untuk menjadi seorang manusia sejati yang berlaku mulia dan bijak?


Banyak yang Terpedaya oleh Kemajuan

Terkadang juga bila kita membaca sejarah, masa dahulu lebih baik dan memiliki peradaban serta budaya yang lebih pesat daripada masa kita kini. Sehingga patut dipertanyakan, apakah dunia kita mencapai kemajuan ataukah terbelakang?

Adalah kenyataan bahwa di masa dahulu di negara-negara seperti India, Mesir, Cina, Yunani dan lainnya didapati masa-masa kegemilangan, sedangkan masa sekarang mengalami kemunduran. Namun demikian, tidak membuat kita putus asa. Sebab, dunia adalah hamparan yang sangat luas.

Hari ini banyak orang terpedaya oleh peradaban besar yang diwujudkan manusia, dan oleh ilmu pengetahuan yang memberikan hal-hal yang sangat menakjubkan dan sangat dihargai oleh tokoh-tokoh besar ilmu. Tetapi dalam banyak hal mereka tidak mengalami peningkatan dan tak bedanya dengan binatang. Bahkan sebagian binatang dalam beberapa hal lebih baik dari manusia, kendati pembicaraan ini mungkin saja ditertawakan oleh banyak orang yang tidak memiliki banyak wawasan.


Perubahan yang tiada Henti

Kamu (wahai putriku) akan heran saat membaca tentang kehidupan lebah, semut dan lainnya dengan sosialitas binatang serangga ini. Walau kadang mereka dipandang remeh, tetapi memberi pelajaran bagaimana gotong royong dan kerjasama satu dengan yang lain, serta pengabdian mereka demi kebaikan bersama dan kepentingan umum lebih baik dari manusia.

Semut-semut itu membuat hatiku terkesan setelah aku menelaah mereka dan pengabdian yang mereka lakukan untuk kepentingan satu sama lain. Sekiranya pengorbanan demi kebaikan masyarakat menjadi bukti peradaban, dapat dikatakan kawanan semut dari sisi ini lebih baik dari manusia.

Di salah satu kitab Sangsekerta terdapat syair yang kira-kira terjemahannya begini: Karena spirit, setiap orang harus berkorban demi keluarganya; setiap keluarga demi kelompoknya; dan setiap kelompok demi negara dan dunia.

Sedikit orang yang mengerti atau yang bertanya, apakah spirit itu? Masing-masing kita mungkin menjelaskannya dalam bentuk yang berbeda. Tetapi syair tersebut memberi kita pelajaran, yaitu pelajaran gotong royong dan kerjasama satu sama lain dan berkorban untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar dan kepentingan-kepentingan yang sangat agung.

Alangkah indah bila kita melihat kaum laki dan perempuan serta anak-anak dengan senang hati melakukan pengabdian kepada India (masyarakat atau bangsa) demi tujuan yang agung, tanpa peduli susah dan derita. Mereka berhak gembira, karena memiliki rasa senang mengabdi demi mencapai sebuah cita-cita dan tujuan yang tinggi. Orang-orang yang hidup senang pun mendapat keuntungan dari rasa senang berkorban itu.

Upaya memerdekakan India (suatu bangsa) adalah sebuah tujuan yang tinggi. Tetapi lebih tinggi dari itu, ialah mengabdi kepada masyarakat dunia dan seluruh manusia. Sebab, kita merasa bahwa perlawanan kita adalah bagian dari perlawanan besar masyarakat manusia untuk mengakhiri penderitaan dan kemiskinan. Kita punya kesempatan melakukan andil -yang tak seberapa- untuk membantu kemajuan dunia.

Suatu bangsa menginginkan perubahan besar. Kita setelah mencapai keinginan itu, tetaplah kita tidak dapat duduk berpangku tangan.

Di dunia ini tak ada yang hidup tanpa perubahan. Seluruh alam, waktu demi waktu mengalami perubahan. Hanya orang mati yang diam dan tak bergerak.

Air manakala bergerak, ia tetap baru dan bersih. Jika kita buat ia diam, lama-lama menjadi rusak. Demikian halnya dengan kehidupan manusia dan suatu bangsa, dan kita pasti, mau tak mau akan menua jua.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Biografi Syeikh Hur Ameli


Muhammad bin Hassan bin Ali bin Muhammad bin Hussein atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Hur Ameli, adalah salah satu ulama dan tokoh hadis besar Syiah. Beliau dilahirkan pada malam Jumat tanggal 8 Rajab 1033 Hq di Mashagarah, salah satu desa di sekitar Bekaa, Lebanon. Ia menuntut ilmu dari pamannya Syeikh Muhammad Hur dan kakek dari pihak ibu, Syeikh Abdul Salam Muhammad Hur dan paman ayahnya Syeikh Ali bin Mahmud pengarang kitab Al Mualem dan dari Syeikh Hussein Dhahiri. Syeikh Hur Ameli selama 40 tahun melakukan perjalanan ke negara-negara Muslim dan dua kali berhaji dan setelah berziarah ke beberapa tokoh agama ketika tengah menuju Khorasan, ia sempat tinggal di Esfahan dan berdiskusi dengan sejumlah ulama besar di kota itu. Selama tinggal di Esfahan, tanpa izin ia pergi ke istana Sultan Soleiman dan duduk di sebelahnya.

Pada tahun 1073 Hq, Syeikh Hur Ameli pergi ke Mashhad dan selama 31 tahun tinggal di kota suci itu. Selama di Mashhad ia sempat berhaji dan menziarahi Makam Imam Maksum as dan membuka kelas pengajaran kita Tafdhil dan Wasailu Syiah. Ia mendidik murid-murid dan memberikan ijazah kepada beberapa dari mereka di antaranya Mirza Alaa Al Mulk putra Mirza Abu Thaleb Alavi Mousavi pada 15 Rabiu Thani 1086 Hq dan Syeikh Majlesi. Beliau juga memberi izin mengutip hadis kepada Syeikh Majlesi Awal, Sayid Jazayeri dan Syeikh Ali Sabt. Pada tanggal 21 Ramadhan 1104 Hq ia mnghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di lantai bawah Madrasah Mirza Jafar yang bersambung dengan Serambi Enghelab, Haram Suci Razavi.

Syeikh Hur Ameli meninggalkan banyak karya bernilai. Di antaranya sejumlah kitab dan risalah seperti Al Jawahir Al Suniah fi Al Ahadis Al Qudsiyah, Al Sahifah Al Saniyah min Ad’iyah Ali bin Hussein, Fehrest Wasailu Syiah, Al Fawaid Al Thusiah, Isbat Al Hudah bi Nusus wa Mu’jizat, Amal Al Amal fi Ulama, Jabal Amil, sebuah risalah tetang Raj’at, sebuah risalah untuk membantah Sufi menyimpang, Fusul Al Muhimah fi Al Usul Al Alawiah dan Al Lugat Al Marwiyah, diwan syair dan beberapa kitab lainnya.

Syeikh Hur Ameli punya jasa besar terhadap Muslim Syiah dengan karya-karya yang ditulisnya. Penulisan kitab Wasailu Syiah memakan waktu lebih dari 20 tahun. Setelah menulis kitab itu, Syeih Hur Ameli memulai penulisan kitab Fehrest dan memilih kitab Hidayah Al Ummah dan Fusul Al Muhimah dari kumpulan tulisan itu. Di akhir usianya, Syeikh Hur Ameli mengerahkan seluruh tekadnya untuk menulis syarah atau komentar kitab Wasailu Syiah. Atas izin beliau yang diberikan kepada Mir Mohammad Taqi bin Mohammad Sadiq Mousavi pada bulan Syaban 1100 Hq, terungkap bahwa sebagian dari komentar itu sudah ditulis dan diberi nama yang sama Wasailul Syiah hingga bab ke-10 tentang Abwabu Al Maa Al Mudhaf.

(Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Biografi Mohammad Reza Morvarid (1299-1338 Hq)


Hujatulislam Haj Syeikh Mohammad Reza Morvarid, putra Haj Mohammad Ali merupakan salah satu tokoh terkemuka di zamannya dan tinggal di wilayah Darband Alikhan di ujung jalan Mashhad.

Beliau sangat mencintai Ahlul Bait as dan selalu membantu fakir miskin secara sembunyi-sembunyi. Pada usia 28 tahun ia menikah dengan putri Ayatullah Haj Syeikh Hassanali Tehrani. Beberapa tahun setelahnya di saat wabah menyerang kota Mekah dan menewaskan sejumlah banyak jamaah haji, bersama Haj Syeikh Mahdi Qalandarabadi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Di tahun itu, tersiar isu bahwa Inggris meracuni air kota Mekah dengan wabah agar Muslimin tidak berkumpul di kota suci itu.

Almarhum Hujatulislam Morvarid memiliki hubungan dekat dengan ulama-ulama besar seperti Syeikh Abbas Qommi dan Haj Mulla Hashem (penulis Muntakhab Al Tawarikh) dan Haj Syeikh Hassanali Esfahani (Nokhoudaki) dan para ulama itu sangat mencintai Hujatulislam Morvarid bahkan setelah wafatnya beliau mereka masih menjalin hubungan dekat dengan keluarga beliau, misalnya Syeikh Abbas Qommi selepas meninggalnya Hujatulislam Morvarid selalu menyempatkan datang ke rumah beliau dan menghadiahkan sejumlah karyanya kepada anak terbesar beliau.

Almarhum Hujatulislam Morvarid mengikat janji persaudaraan dengan almarhum Nokhoudki dan dikutip dari Nokhudaki, beliau mengatakan, saya mengikat janji persaudaraan dengan banyak orang dan dalam menjalankan kewajiban persaudaraan saya yang terdepan dari mereka, akan tetapi sekalipun saya sudah bekerja keras, saya tetap tidak bisa mendahului Haj Syeikh Mohammad Reza Morvarid.

Haj Syeikh Hassanali Nokhoudaki tidak menikah hingga usia 54 tahun dan setiap musim panas ia pergi ke lahan pertanian bunga di dekat Khawaja Rabie yang merupakan milik almarhum Haj Mohammad Ali, ayah Haj Syeikh Mohammad Reza Morvarid dan ia selalu berpuasa di bulan Rajab, Syaban dan Ramadhan. Menu buka puasanya adalah secangkir susu, sari buah berry, sepotong roti dan air. Selama 24 jam, ia mencukupkan diri dengan makanan tersebut dan sahur ia hanya meminum air.

Nokhoudaki memilih nama Hassanali yang merupakan nama Ayatullah Haj Syeikh Hassanali Tehrani, juga untuk Ayatullah Haj Syeikh Hassanali Morvarid putra pertama almarhum Haj Syeikh Mohammad Reza Morvarid.

Almarhum Haj Syeikh Mohammad Reza Morvarid, tujuh hari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 38 tahun, Asyura 1338 Hs di rumahnya, sempat naik mimbar dan tampak perubahan luar biasa pada dirinya dan setelah menyampaikan ceramahnya ia jatuh sakit dan ketika menderita sakit ia mengatakan sepertinya usia saya sudah habis, karena sebelum menikah saya berangkat ke kota suci Najaf bersama saudara saya almarhum Ayatullah Akhound Khorasani, di Najaf saudara saya sakit dan meninggal dunia dan saya mengkafaninya di tengah keterasingan.

Setelah kembali ke Mashhad, saya jatuh sakit, hingga saya berputus asa untuk melanjutkan hidup, lalu saya berziarah ke Makam Suci Imam Ridha as dan setelah berziarah dan shalat, saya memohon kepada Allah Swt untuk memberi usia kepada saya sehingga dari saya akan lahir tiga putra saleh sebelum saya meninggal hingga saya merasa yakin doa saya akan terkabul dan sekarang saya sudah memiliki tiga orang putra berarti usia saya mencapai akhir, dan memang begitu.

Dalam wasiatnya ia menunjuk Agha Mirza Mohammad, putra Haj Syeikh Hassanali Tehrani, saudara istrinya sebagai washi dan Haj Syeikh Hassanali Esfahani sebagai pengawas dan tujuh hari setelah Asyura pada 17 Muharam 1338 Hq setelah melaksanakan shalat subuh, ia menghembuskan nafas terakhir.

Tulisan tangan almarhum Haj Syeikh Mohammad Reza Morvarid menceritakan kelahiran putra pertamanya, Ayatullah Haj Mirza Hassanali Morvarid yang ditulis di salah satu lembaran Al Quran miliknya, di bagian bawah halaman kitab suci itu. Almarhum Morvarid mendoakan putra pertamanya itu agar mendapatkan karunia ilmu dan umur panjang.

Bismillahi Rahmani Rahim

Tanggal kelahiran putra cahaya mata, Mirza Hassanali Wafaqahullahu Taala liilmi wal amal fi Umri Tawil, kurang lebih dua jam menjelang tenggelamnya sinar Matahari di hari Senin, 8 Syawal, Syahrul Mukaram min Syuhuri Sanah 1329 H.

Hararahu Al Ahqar
Mohammad Reza Al Syahir bi Morvarid

Ayatullah Morvarid juga saudaranya Haj Agha Jalal Morvarid mengutip ibu mereka putri almarhum Ayatullah Haj Syeikh Hassanali Tehrani mengatakan, ketika shalat subuh saya membukakan kain berisi tanah untuk tayamum di atas dada Haj Syeikh Mohammad Reza Morvarid dan saya membantunya tayamum dan mengataan kepadanya waktu shalat subuh sudah tiba, saya melihat beliau memandang ke sudut kamar dengan keheranan.

Kembali saya katakan kepadanya waktu shalat subuh sudah tiba, shalatlah. Tiba-tiba ketika melihat ke sudut kamar dengan suara keras ia berteriak, menjauhlah hai kejam, saya punya wilayah Imam Ali as, kamu tidak bisa mengelabui saya. Ia mengatakan kalimat ini seolah disampaikan kepada setan dan melaksanakan shalat hingga selesai dan setelah mengucapkan la ilaha ilallah ia menghembuskan nafas terakhir dan jasad sucinya dimakamkan di Serambi Darul Saadah, di bawah kaki mulia Imam Ridha as dan di sanalah ia beristirahat untuk terakhir kalinya, di tempat yang ia dambakan selama hidupnya.

Ayatullah Haj Mirza Hassanali Morvarid, almarhum Haj Mohammad Bagher Morvarid dan Haj Agha Jalal Morvarid adalah putra-putra beliau.

(Astan-News/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Siapakah Ayatullah Haj Syeikh Hashem Qazvini?


Ayatullah Haj Syeikh Hashem Qazvini, salah seorang ulama besar dan guru Hauzah Ilmiah di abad ke-14 dan pada tahun 1270 Hs dilahiran di kota Qazvin.

Ia mempelajari pelajaran-pelajaran pendahulun hauzah ilmiah di kota Qazvin dan Tehran sampai level tertentu, setelah itu berangkat ke Najaf. Setelah belajar dari beberapa guru di sana, ia pergi ke Mashhad dan selama beberapa waktu belajar ke Ayatullah Haj Mirza Aghazadeh dan Ayatullah Mirza Mahdi Gharavi Esfahani dan ia sendiri mulai mengajar tingkat-tingkat tinggi dan pelajaran fikih lanjutan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia berhasil memberikan pengaruh positif yang sedemikian besar atas atmosfir keilmuan dan spiritualitas Hauzah Ilmiah Mashhad dengan mencetak murid-murid ternama.

Beliau mengajar kitab Rasail, Makasib, Kifayah dan ushul fikih lanjutan di Madrasah Fazel Khan dan Madrasah Navab, dan menurut pandangan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, kelas-kelas yang diajarnya secara kualitas dan kuantitas sungguh luar biasa.

Murid-murid Ternama Ayatullah Haj Syeikh Hashem Qazvini

Ayatullah Vaez Tabasi, Ayatullah Haj Mirza Mahdi Nouqani, Ustadz Mohammad Taqi Syariati, Ustadz Kazem Modir Shanechi, Ustadz Mohammad Reza Hakimi, Ayatullah Salehi dan paling tinggi dari semuanya adalah Ayatullah Khamenei, adalah di antara murid-murid almarhum Qazvini.

Tidak diragukan, peran penting beliau bukanlah mengajar tapi mendidik. Beliau menurut Ustadz Mohammad Reza Hakimi, adalah contoh unggul seorang ulama agama dan Islam yang hakiki. Seorang yang cerdas, bersih, tawadhu, waspada, berkomitmen, berani, visioner dan jauh dari penipuan publik, propaganda dan sikap reaksioner. Lapang dada dan kesabaran almarhum Haj Syeikh Hashem, dibenarkan oleh seluruh muridnya.

Perjuangan Politik Ayatullah Haj Syeikh Hashem Qazvini

Ayatullah Syeikh Hashem Qazvini sepanjang hidupnya aktif di berbagai gerakan politik penting di Khorasan. Beliau adalah salah satu pionir peristiwa Goharshad dan bersama para mujtahid sebelum pecahnya peristiwa tersebut di rumah almarhum Ayatullah Sayid Yunus Ardebili, mengambil keputusan berani dengan mengirim pesan telegraf kepada Reza Khan dan mengecam langkahnya melucuti hijab perempuan Iran. Oleh sebab itu, pada Minggu pagi tanggal 12 Rabiul Thani 1314 H bersama para penandatangan lainnya yaitu, Ayatullah Sayid Yunus Ardebili, Sayid Hashem Najafabadi, Sayid Akbar Khui (ayah Sayid Abul Qasem Khui), Haj Mirza Habib Maleki, Sayid Ali Sistani, Syeikh Agha Bozorgh Shahroudi, Syeikh Ali Akbar Ashtiani dan Sayid Abdullah Shirazi, ia ditangkap dan setelah delapan jam dibawa ke Tehran pada malam hari.

Ayatullah Qazvini, hingga bulan Shahrivar 1320 Hs, tidak diizinkan kembali ke Mashhad. Pasca tumbangnya rezim Reza Khan atas nasihat Ayatullah Mirza Mahdi Esfahani dan permintaan sejumlah ulama lainnya, beliau akhirnya kembali ke Mashhad dan mengajar.

Almarhum Syeikh Hashem Qazvini pada tanggal 20 Rabiul Thani 1381 H bertepatan dengan tanggal 22 Mehr 1339 Hs meninggal dunia dan jasadnya dimakamkam di selasar Serambi Darul Ziyafeh, Makam Suci Imam Ridha as di sebelah kanan beranda emas Halaman Azadi yang sekarang bersebelahan dengan tempat penyimpanan sepatu nomor 7.

(Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Profil Lengkap Habib Jindan Yang Lagi Viral “Sang Singa Habaib” (Dilengkapi Video)

Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan

Mengenal Habibana Al-Habib Jindan “Sang Singa Habaib”

Habib Jindan menjadi viral saat ini, ceramah beliau yang menegaskan pentingnya kesantunan dalam berdakwah, dan menghindar dari caci maki.

Ceramah beliau seperti menampar kelompok sebelah yang gemar membungkus ceramah agama dan pengajian dengan provokasi, caci maki dan kebencian.


Siapakah Habib Jindan? Berikut profilnya dari pelbagai sumber:


Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan, dilahirkan di Sukabumi tanggal 21 Desember 1977 atau bertepatan dengan 10 Muharram 1398 Hijriah, adalah da’i, ulama, dan pimpinan Yayasan Al Fachriyah, Tangerang, Banten.

Dia adalah cucu dari Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, seorang pejuang dakwah di Betawi pada tahun 1906-1969 yang berjuluk “Singa Podium”.


Nasab

Nasab lengkapnya adalah Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Husain bin Soleh bin Abdullah bin Jindan bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Syeikhon bin Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Asy-Syaikh Abdurrahman As-Seggaf bin Muhammad Maula Ad-Dawilah bin Ali Maul Ad-Dark bin Alwi Al Ghuyyur bin Al Ustadz Al A’dzom Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Al Murbath bin Ali Khola’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Maula Showma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al ‘Uraidh bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zhra binti Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wasallam.


Latar Belakang dan Pendidikan

Habib Jindan bin Novel pernah bersekolah di SD Islam Meranti, kemudian melanjutkan ke Madrasah Jam’iyatul Khair Tanah Abang, dan kemudian ke Darul Musthafa di Tarim, Hadramaut.

Sejak muda, sepulang sekolah, Habib Jindan selalu belajar pada habib dan ulama di Jakarta, seperti di madrasah Tsaqafah Islamiyah yang diasuh oleh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan puteranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf.

Habib Jindan juga pernah belajar bahasa arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan guru-guru setempat.

Selain itu, pada sorenya ia sering mengikuti Rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abullah Syami’ Al-Athas, Habib Muhammad Al Habsy. Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.


Guru-guru:

Guru-guru Habib Jindan selengkapnya adalah:

Al Qutb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad As Seggaf
Al Walid Al Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan
Al Habib Muhammad bin Ali bin Abdurahman Al Habsyi
Al Habib Hasan bin Abdullah Asy Syatiry
Al Habib Salim bin Abdullah Asy Syatiry
Al Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Syahab
Al Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith
As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki
Al Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
Al Habib Muhammad bin Husein Ba’abud
Al Habib Ali bin muhammad bin Husein Ba’abud
Al Habib Syeikh bin Ahmad bin As Syeikh Abi Bakar bin Salim
Al Habib Abdulqodir jailani bin Abubakar almasyhur
Al Habib muhammad bin hamid baalawi imam masjid baalawy tarim
Al Habib Muhammad Saad bin Alwi Al Idrus
Mufti Huraidhoh Al Habib Ali bin Muhammad bin Salim Al attas
Al Habib Abdullah Syami Al Attas
Asy Syekh fadhel bin abdurrahman bafadhel
Asy Syekh muhammad ali baudhon
yang mulia Ustadzah Nur Baiti dari jakarta


Kegiatan Dakwah

Habib Jindan memimpin Yayasan Al Fachriyah Al Habib Novel bin Salim bin Jindan, menjadi anggota inti Majelis Syura yang dibentuk dan ditunjuk oleh Habib Umar bin Hafizh, menjadi penasehat Majelis Silaturahmi ulama dan habaib kota Tangerang, dan menjadi anggota senior Majelis Alwafa Bi Ahdillah.


Majelis rutin yang diadakan ayah lima anak ini antara lain: pengajian dua minggu sekali, Rabu sore di Majelis Taklim Darul Musthofa Al Habib Muhammad Al Atthas di Condet. Pengajian malam jumat di Yayasan Al Fachriyah Ciledug.


Sumber Inspirasi

Saat pertama kali pulang dari Tarim Hadramaut, Yaman. Habib Jindan diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya yang adalah anak dari ulama besar, Habib Salim Jindan, mendorongnya untuk berdakwah.

Masukan, didikan, dan motivasi ayahanda, dirasakan sampai sekarang. “Ikhlaskah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati”, kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel bin Salim Jindan memang dikenal sebagai oratur ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan.


“Sang Singa Habaib”

Habib Jindan, telah mewarisi legenda Sang Datuknya, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, sebagai ‘Singa Podium’ dari Betawi. Ceramahnya enak di dengar dan mengalir penuh untaian mutiara yang menyejukan pendengarnya. Contohnya adalah saat haul Masyayaikh ke-42 di Langitan, Tuban. Meskipun saat menyampaikan ceramah sedang hujan deras, namun hadirin masih di tempatnya, meski terkadang sebagian baju mereka terguyur hujan. Habib Jindan juga dikenal sebagai penterjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal, terutama saat gurunya, Habib Umar bin Hafiz mengadakan safari dakwah ke Indonesia. Ia biasa menterjemahkan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ucapan gurunya.

(Al-Fachriya/SuaraIslam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syekh Ahmad Amin Anthaki Adalah Ulama Suriah Dari Mazhab Syafi'i Yang Pertama Kali Menterjemahkan Ahlul Bait as. Simak Biografinya!

Syekh Ahmad Amin Anthaki

Syekh Ahmad Amin Anthaki adalah Ahmad bin Amin bin Yusuf bin Ali bin Qanbar Alhazzah, dia lahir di desa Ainsu di sekitar Anthakiyah. Nama desa Ainsu terdiri dari dua kata arab dan turki; yakni 'ain – sufon (sumber – air). Nama ini diberikan kepada desa itu karena airnya yang deras dan berkahnya yang berlimpah.

Dia lahir pada tahun 1893 M./1311 H., dari sejak kecil dia bermazhab Syafi'i dan dari saat itu pula dia menjalani jenjang pendidikannya di ruang pelajaran ayahnya.


Perjalanan Intelektual Syekh

Sebagaimana saudaranya, Muhammad Mar'i Anthaki –penulis buku Limâdzâ Ikhtartu Madzhab Al-Syî‘ah-, dia tumbuh dalam lingkungan mazhab Syafi'i dan menimba ilmu-ilmu dasar dari ayahnya, kemudian dari salah satu syekh di desanya yang biasa dipanggil dengan Rajab; karena, dari dialah pelajar-pelajar setempat belajar ilmu saraf, nahwu dan lain sebagainya. Setelah itu, mereka berdua belajar dari salah satu syekh yang lain yang dikenal dengan panggilan Syekh Ahmad Thawil, begitu pula belajar dari Syekh Sa'id Urfi.

Setelah beberapa tahun menimba ilmu di daerah, dia bertekad untuk pergi ke kiblat ilmu saat itu, Al-Azhar Al-Syarif, untuk menyempurnakan perjalanan intelektualnya yang panjang. Dan tak lama kemudian, saudaranya juga bergabung bersamanya di sana.

Di sana, dia mengikuti pelajaran guru-guru besar; dia mempelajari ilmu saraf, nahwu, fikih dan usul fikih dari Muhammad Abuthah dan Syekh Muhammad Bakhit, mufti negeri Mesir saat itu, begitu pula dari Muhammad Samlut dan Syekh Hasanain. Syekh tertinggi Al-Azhar pada waktu itu adalah Syekh Muhammad Abulfadhl.

Setelah menuntut ilmu di sana, syekh bertekad untuk pulang ke tanah airnya untuk mengamalkan ilmu dan mengajarkannya kepada rakyat dan keluarganya di sana. Dia jadi pulang ke sana, akan tetapi dia tidak tinggal lama di sana, karena tak lama dari kepulangan dia, negeri itu dijajah oleh Imperialis Prancis.


Perjalanan Ke Hijaz

Melihat kondisi negerinya saat itu yang tidak kondusif sama sekali, akhirnya Syekh Ahmad Anthaki berniat untuk hijrah ke Hijaz, karena dia mendengar berita bahwa di negeri itu syariat Islam diterapkan sebaik mungkin.

Popularitas dia dan sambutan hangat atas pelajaran yang dia sampaikan di Suriah telah menarik perhatian berbagai pihak, bahkan Abdulaziz Sa'udi mengundangnya untuk menduduki posisi sebagai hakim syar'i di Saudi, namun karena dia menyaksikan bualan kelompok wahabi dan pengkafiran mereka terhadap kelompok-kelompok muslim lain pada umumnya, maka dia menolak penawaran yang menggiurkan tersebut.


Perpindahan Syekh Ke Mazhab Syi'ah Itsna-Asyariyah

Perpindahan dari satu agama ke agama yang lain, atau dari mazhab dalam sebuah agama ke mazhab yang lain dalam agama tersebut, membutuhkan pertimbangan antara dua belah pihak, dan ketika agama atau mazhab tertentu terbukti benar oleh baik dalil rasional maupun tekstual, maka wajib hukumnya seseorang berpindah dari pihak yang salah ke pihak yang benar; karena, bukti-bukti telah lengkap atas dia. Hal yang sama telah terjadi pada Syekh Ahmad Amin Anthaki ketika terungkap bagi dia bahwa kebenaran bersama mazhab Syi'ah, dan bukti-bukti kebenarannya adalah disepakati baik oleh kelompok Ahlisunnah maupun kelompok Syi'ah. Dia melakukan pilihan itu pada saat berbagai tuduhan dan dusta yang sama sekali tidak berasaskan kecuali fanatisme buta sedang gencar-gencarnya ditikamkan kepada tubuh Syi'ah.

Di antara faktor-faktor yang menimbulkan keraguan pada diri Syekh Anthaki tentang mazhab Syafi'i dan mazhab-mazhab Ahlisunnah yang lain adalah, perselisihan dan kontradiksi yang nyata di antara mereka sehingga tidak mungkin perselisihan dan kontradiksi itu bermuara kepada Islam yang jernih. Syekh di dalam kitabnya yang berjudul Fî Thorîqî Ilâ Al-Tasyayyu‘, halaman 16 mengatakan, "Contohnya, saya melihat mazhab Syafi'i memperbolehkan pernikahan anak perempuan hasil zina dengan ayah pezina yang memproduksinya, alasan mazhab ini adalah air sperma hasil zina tidak terhormat, maka anak tersebut tidak patut dihubungkan dengan ayahnya, oleh karena itu lelaki pezina itu boleh menjalin akad nikah dengan anak perempuan hasil perzinaannya. Sedangkan Abu Hanifah mengharamkan akad itu."

Salah satu faktor yang mendorong Syekh Anthaki untuk berpindah ke mazhab Syi'ah adalah kitab Al-Murôja‘ât –karya Allamah Abdulhusain Syarafudin Amili- yang sampai ke tangannya. Dalam hal ini dia mengatakan, "Aku memulai membaca halaman-halamannya dengan takjub, aku pun sering berhenti dan memikirkan isi buku ini yang berupa dialog antara Sayid Abdulhusain Syarafudin dan Syekh Sulaim Basyari –Syekh tertinggi Alazhar pada saat dialog-, Syekh Sulaim bertanya dan mempertanyakan, sedangkan Sayid Syarafudin menjawab dan memberikan penyelesaian ..."

Padahal, ketika pertama buku itu diberikan kepada Syekh Anthaki, dia menolaknya mentah-mentah, karena dia telah banyak mendengar kesesatan mazhab Syi'ah dan bahkan meyakini kesesatannya. Dia mengatakan, "Saudara sekandungku, Syekh Mur'i menemukan buku itu, lalu dia berkata kepadaku, "Terimalah buku ini dan bacalah, kemudian takjublah dan pikirkan isinya." Aku katakan kepadanya, "Dari kelompok mana buku ini?" Dia menjawab dari mazhab Ja'fari, maka aku katakan lagi kepadanya, "Untuk apa buku itu bagiku, jauhkan buku itu dariku, karena aku tidak membutuhkannya sama sekali, aku membenci Syi'ah dan aku tidak butuh mereka, karena aku tahu siapa mereka." Saudaraku kembali berkata, "Bacalah dulu buku ini dan jangan kamu apa-apakan, toh tidak ada bahayanya kamu membaca buku ini, iya kan?" (Fî Thorîqî Ilâ Al-Tasyayyu‘, halaman 17.)

Faktor lain yang punya peran besar dalam perpindahan Syekh Ahmad Anthaki dari mazhab Syafi'i ke mazhab Syi'ah adalah kitab Abû Huroiroh karya Sayid Abdulhusain Syarafudin Amili. Buku ini menyingkap bahwa banyak sekali riwayat Islam yang tidak luput dari tangan jahil, karena jumlahnya terlalu banyak dan sebagiannya bertentangan dengan akal, Al-Qur'an dan Sunnah. Contohnya adalah riwayat bahwa Musa as. menghantam muka malaikat maut sampai membutakan matanya, atau riwayat bahwa Musa as. berjalan telanjang bulat di tengah Bani Israil, atau riwayat bahwa Allah swt. menciptakan Adam seperti rupa dan bentuk-Nya, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain. Ini adalah buku yang obyektif, berharga dan memberikan data-data yang akurat kepada anda bagaimana Abu Hurairah yang mengalami hidup Nabi Muhammad saw. tidak lebih dari tiga tahun mempunyai riwayat yang sebanyak itu, bahkan jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat dari empat khalifah pertama Nabi saw., maka total riwayat-riwayat mereka 27% lebih sedikit daripada riwayat-riwayat Abu Hurairah sendiri.

Di samping itu semua, ada bukti-bukti kuat sekali sehingga mau tidak mau seseorang harus menerimanya, bukti-bukti itu diterima oleh tolok ukur-tolok ukur kebenaran dari dua belah pihak Ahlisunnah dan Syi'ah, siapa saja yang jujur dan adil pasti tunduk di hadapan bukti-bukti itu dan segera bergerak menuju Ahlibait as. serta mengikuti bimbingan mereka. Di antara bukti-bukti kuat dan berlimpah yang mempengaruhi Syekh Ahmad Anthaki adalah Hadis Safinah yang di dalamnya Rasulullah saw. bersabda, "Perumpamaan Ahlibaitku di antara kalian adalah umpama Bahtera Nuh; siapa saja yang menumpanginya pasti selamat, dan siapa saja yang berpaling darinya pasti tenggelam dan tersesat." (Lih: Mustadrok, Hakim Nisaburi, jilid 2, hal. 342; Al-Showâ‘iq Al-Muhriqoh, hal. 153, dll.)

Begitu pula Hadis Tsaqolain yang di dalamnya Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka yang sangat berharga di tengah kalian; kitab Allah dan keluargaku, Ahlibaitku, selama kalian berpegang teguh kepada kedua-duanya niscaya setelahku kalian tidak akan sesat selama-lamanya, ketahuilah dua pusaka itu tidak akan pernah berpisah sampai mereka berdua datang kepadaku di telaga, maka perhatikanlah baik-baik bagaimana kalian memperlakukan mereka setelahku." (Lih: Shohîh Muslim, jilid 2, hal. 238; Musnad Ahmad Bin Hanbal, jilid 3, hal. 17; Shohîh Al-Tirmidzî, jilid 2, hal. 308, dll.)

Rasulullah saw. mengumpamakan Ahlibait beliau –dan menurut riwayat di dalam buku-buku induk hadis sahih Ahlisunnah adalah Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan sembilan imam dari keturunannya- dengan bahtera Nuh, karena keselamatan hanya ada pada mereka sebagaimana keselamatan hanya pernah ada pada bahtera Nuh dan orang-orang yang beriman bersamanya, gunung dan bukit apapun tidak bisa menyelamatkan seseorang.

Rasulullah saw. juga menggandengkan Ahlibait beliau dengan Al-Qur'an, dan ini menunjukkan makna yang jelas –tanpa keraguan sama sekali- bahwa mereka lebih tahu tentang Al-Qur'an, suci dan disucikan secara sempurna seperti Al-Qur'an. Jika tidak demikian halnya, maka penyerupaan dan penggandengan itu keliru dan sia-sia. Untuk keterangan lebih lanjut, kami sarankan kepada pembaca untuk merujuk kepada buku Al-Muroja‘ât karya Abdulhusain Syarafudin –yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia: Dialog Sunnah Syi'ah-, dia membawakan bukti-bukti yang mayoritasnya terdapat di sumber-sumber Ahlisunnah yang menyatakan keutamaan Ahlibait as. dan hak mereka.

Inilah sebagian faktor yang menyingkirkan debu penghalang dari dua mata Syekh Ahmad Anthaki dan membuatnya berpindah dari mazhab Syafi'i ke mazhab Syi'ah.

Inilah sekilas tentang riwayat hidup ulama yang jujur, adil, netral, dan pengikut kebenaran di mana pun berada. Adapun cerita perubahannya secara utuh dia tulis sendiri berikut alasan-alasannya di dalam buku yang berjudul Fî Thorîqî Ilâ Al-Tasyayyu‘, sebagaimana saudara dia juga punya buku yang serupa dan berjudul Limâdzâ Ikhtartu Madzhab Al-Syî‘ah.[]

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Ayatullah Syahrudi


Oleh: Abu Qadiran

Ayatullah al Uzhma Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi dilahirkan di kota suci Najaf pada tahun 1327 Hijriah Syamsiah dari keluarga habaib yang religius yang nasab mulia beliau berhubungan dengan Imam Husain. Ayahanda beliau adalah Almarhum Ayatullah Sayed Ali Husaini Syahrudi dan termasuk murid istimewa Almarhum Ayatullah al-Uzhma Sayed Abul Qasim Khu’i. Dan Sayed Ali Syahrudi menuliskan pembahasan-pembahasan ushul fiqh ustadnya tersebut.


Masa Belajar

Ayatullah al Uzhma Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi memulai masa bejar pada jenjang ibtidaiyyah di Madrasah ‘Alawi di Najaf lalu beliau melanjutkan studi agama di Hauzah. Karena kesuksesan ilmiah keluarga dan bakat kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa serta kerja keras yang tidak mengenal lelah, beliau dalam waktu singkat mampu menyelesaikan pelajarannya pada jenjang tinggi (daureh sath). Lalu setelah itu, beliau ikut serta dalam pelajaran Ayatullah al-Uzhma Syahid Sayed Muhammad Baqir Sahdr (semoga Allah meninggikan kedudukan beliau) dan bertahun-tahun beliau mengabdi pada guru terkemukanya ini dan mempelajari dengan baik prinsip-prinsip ijtihad dalam ushul dan fiqh dan juga menghadiri kajian Marja’-Marja’ taklid di Najaf saat itu, di antaranya: Imam Khomaini, Ayatullah al-Uzhma Khu’i dan mengambil manfaat besar dari mereka.


Para Guru

Ayatullah al Uzhma Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi banyak berguru pada ulama-ulama yang mumpuni dan guru yang paling penting dan istimewa bagi beliau pada dars khorij (pelajaran tingkat tinggi) adalah Syahid Sayid Muhammad Baqir Sahdr. Dan memang Sayid Muhammad Baqir Sahdr yang merupakan kebanggaan madrasah ahlul bait dan termasuk Marja’ yang menonjol banyak mempersembahkan murid-murid yang hebat kepada dunia Islam. Syahid Shadr memang terkenal memiliki memori (daya hafal) di atas rata-rata alias jenius dan sangat berbakat (mempunyai potensi besar) sehingga karena itu beliau banyak menciptakan terobosan dan inovasi di bidang fikih dan ushul serta ilmu-ulmu Islami. Syahid Sahdr mampu mengaktualisasikan dan merekontruksi kembali kajian-kajian Islami dan menulis kitab-kitab pelajaran di pelbagai bidang dan langkah beliau ini tentu sebuah langkah penting dalam mengangkat citra Islam dan madrasah ahlul bait. Oleh karena itu, murid-murid beliau seperti Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi sangat memanfaatkan pengabdian ilmiah dan pelbagai pemikirannya.

Di antara guru lain Ayatullah Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi adalah Imam Khomaini dan Ayatullah Khu’i. Dan Sayed Syahrudi mengukuhkan prinsip-prinsip ijtihad pada mereka.


Aktifitas Ilmiah dan Budaya

Ayatullah Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi sampai sekarang mempunyai banyak aktifitas di bidang ilmiah dan budaya. Dalam sebuah pertemuan anggota Majelis A’la Irak, Imam Khomaini–karena mengenal langsung beliau–menginginkan supaya beliau mengutamakan pengajaran di Hauzah Ilmiah Qum dan mendidik pelajar-pelajar yang potensial di bidang ilmiah dan akhlak. Ayatullah Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi masuk ke Iran pada tahun 1358 dan sejak saat itu beliau memulai mengajar dars khorij dan ushul dan pengajaran ini berlanjut sampai sekarang dan banyak murid yang mengambil manfaat dari pelajaran beliau. Dan salah satu keistimewaan pelajaran beliau adalah ketelitian luar biasa dan penguasaan materi serta sering terjadi inovasi dan terobosan di pelbagai bidang ilmiah.

Ayatullah Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi pernah menjabat selama dua periode sebagai pimpinan dua kongres penting, yaitu: yaitu kongres yang bertajuk peran zaman dan tempat dalam pemikiran Imam Khomaini dan kongres pertama Dairatul Ma’arif Fiqh Islami. Dan kedua kongres tersebut mendapat sambutan hangat para ulama terkemuka dan asatidz hauzah dan para dosen kampus serta cendekiawan nasional dan internasional.

Di antara pengabdian lain beliau adalah menjabat sebagai pimpinan Yayasan Dairatul Ma’arif Fiqh Islami yang ditetapkan oleh Sayed Ali Khamene’i. Saat pengangkatan beliau dalam posisi ini, Sayed Ali Khomene’i menyatakan: “Anda adalah salah satu figur yang menonjol di bidang ilmu dan amal serta sangat menguasai ilmu fikih dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Dan untuk melaksanakan tugas besar ini, saya melihat Anda layak untuk memikul tanggung jawab pengadaan dan pengaturan Yayasan yang bertugas menyediakan Dairatul Ma’arif fiqh.”

Ayatullah Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi banyak menulis artikel dan dicetak di Jurnal Fashl Nomeh Fiqh Ahlul Bait. Begitu juga beliau menerbitkan banyak buku, di antaranya:

1-Buhuts fi I‘ilm Ushul (Taqrirat/catatan atas pelajaran-pelajaran Syahed Shadr yang terdiri dari 17 jilid).

2-Kitab al-Khums (2 jilid).

3-Maqalat Fiqhiyyah

4-Qa’idah Faragh wa Tajawuz

5-Hukumat Islamy

6-Jahan Bini Islamy

7-Tafsir Maudhui dari kitab Nahjul Balaghah

8-Tafsir ayah mawaddah fi al-qurba

9-Buhuts fi fiqh az-zira’i

10-Asshaum ;tarbiyyah wa hidayah

11-Kitab al-Ijarah, 12 jilid

12-Kitab az Zakah, 12 jilid

13-Qiraat Fiqhiyyah Mu’asharah

14-Mabahits Ushul Fiqh

15-Dars Nomeh Ushul Fiqh

16-Risalah taudhiful masa’il

17-Manasik Hajji dalam bahasa Arab dab Persia

18-Ashaum Masa’il wa Rudud

19-Ash-Shirath (ajwibah istiftaat)

20-Kitab hajj

21-Adhwa wa Ara’

22-Manshur Qadha

23-Shahifah ‘Adhalat


Kegiataan Politik

Di samping ikut serta dalam pelbagai kegiatan belajar, beliau juga terjun ke dunia politik. Dan dalam rangka membela ulama dari antek-antek Rezim Shadam Hussein pada tahun 1974, Ayatullah Husain Syahrudi dijebloskan dalam penjara dan banyak mendapatkan siksaan fisik dan batin. Dan karena keikutsertaan beliau dalam demontrasi rakyat Irak pasca kemenangan revolusi di Iran yang dipimpin oleh ImamKhomaini, beliau dicari oleh rezim Ba’ts Irak dan atas saran gurunya, Syahed Shadr, beliau kembali ke Iran dan menjadi wakil umum Syahed Shadr untuk Imam Khomaini.

Setelah Ayatullah Sayed Mahmud Syahrudi memasuki Iran, beliau berkhidmat kepada Imam Khomaini dan dengan persetujuan Imam, beliau menjadi penghubungan antara Imam Khomaini dan Syahid Sayed Shadr dan pelbagai pesan ilmiah dari Najaf disampaikan ke Imam melalui beliau. Melalui perintah Ayatullah al-Uzhma Khamene’i yang di masa Imam Khomaini menjabat sebagai penanggungjawab kebangkitan Islam mempelopori terbentuknya ormas Jami’ah Ruhaniyyat Mubariz Majlis A’la Irak dan ikut serta dalam kepemimpinan dan manajemennya.

Dan melalui perintah Imam Khomaini, beliau bertanggung jawab untuk mengajar dan menganalisa serta mengkritisi persoalan-persoalan fikih, khususnya menghidupkan fikih pemerintahan yang dibangun secara kokoh berdasarkan dalil-dalil istinbath kitab Jawahir. Di samping itu, beliau tidak mengenal lelah dan secara maksimal memberikan kontribusi nyata dalam kesuksesan revolusi Islam di Iran.

Ayatullah al Uzhma Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi pernah juga bertahun-tahun menjabat sebagai anggota fukaha Syura Negahbon (dewan pengawas) dan di lembaga bersih ini, beliau melakukan pengabdian secara baik sehingga kemudian diangkat oleh Ayatullah Sayed Ali Khamene’i sebagai ketua mahkamah agung (Quwwah Qadhaiyyah). Selama menjabat sebagai ketua Quwwah Qadhaiyyah, beliau melaksanakan kerja dan karya-karya yang luar biasa, di antaranya adalah perluasaan aspek hukum, percepatan penanganan kasus-kasus hukum, dan menjalin komunikasi dan hubungan dengan masyarakat.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Quwwah Qadhaiyyah, Ayatullah al Uzhma Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi kembali membuka pelajaran fikih dan ushul di kota suci Qum, di samping tetap melanjutkan aktifitas politiknya dan memberikan khidmat kepada sistem pemerintahan Islam serta memegang kedudukan penting sebagai Marja’ Taklid.

Dan sekarang, kelas pelajaran Kharij Fiqh beliau termasuk kelas ilmiah yang favorit dan ditunggu banyak kalangan di Hauzah Mubarokah Qom.


Pelbagai Jabatan Politik dan Sosial

Anggota Majma’ Jahani Ahlul Bait (Forum Internasional para pengikut ahlul bait)

Anggota Majma’ Jahani Taqhrib Mazhahib Islami (anggota forum internasional pendekatan mazhab-mazhab Islam)

Ketua dan penggagas Yayasan Dairah al-Ma’arif Fiqh Islamy berdasarkan mazhab ahlul bait

Anggota dan wakil Majlis Khubregon Rahbari (dewan pakar)

Anggota dan sekaligus wakil Majma’ Taskhiskh Maslahat Nizham (dewan pertimbangan kemaslahatan pemerintahan)

Anggota Jami’ah Mudarrisin Hauzah ‘Ilmiyyah Qom

Anggota Fukaha Syura Negahbon

Ketua Dewan tinggi penyelesai perselisihan dan pengaturan hubungan tiga kekuatan pemerintahan (Eksekutif, legislatif dan yudikatif)



Contoh Beberapa Fatwa Ayatullah al Uzhma Sayed Mahmud Hasyimi Syahrudi

Tanya:

Apakah boleh ikut serta dalam shalat jamaah yang dilarang oleh keduaorang tua?

Jawab:

Ikut serta dalam shalat jamaah termasuk amalan sunah yang sangat ditekankan dalam syariat suci Islam namun anda harus berusaha supaya perbuatan ini tidak menyakiti kedua orang tua sebab menyakiti orang tua itu hukumnya haram dan diharuskan menghormati mereka.

Tanya:

Apakah berjabat tanya setelah usai shalat bidah? Tolong Anda jelaskan hukum syar’i masalah ini dan bagaimana semestinya kita bersikap dalam masalah ini?

Jawab:

Tidak bidah, bahkan ada riwayat-riwayat yang menjelaskan perihal sunahnya berjabat tangan dalam setiap keadaan.

Tanya:

Apakah kematian secara otak Brain death (total brain death) secara syar’i disebut kematian hakiki? Apakah boleh organ tubuh seseorang yang menurut pandangan teliti para dokter telah mengalami kematian otak ditranpalansi atau tidak?

Jawab:

Kematian otak (mati otak total) tidak bisa disebut sebagai kematian, dan dengan permohonan orang yang sakit atau para wali yang sahnya tidak boleh kehidupannya diakhiri dan perbuatan ini tidak boleh. Dan bila orang yang sakit sebelumnya telah membolehkan supaya sebagian organ tubuhnya ditranspalansi maka harus dipastikan ia sudah mati dan hal ini tentu diperbolehkan.

Tanya:

Apakah seorang wanita bisa berobat ke dokter gigi pria, meskipun ada dokter gigi perempuan?

Jawab:

Bila cara mengobati dokter pria tersebut lebih baik maka tidak menjadi masalah.

Tanya:

Dalam kondisi apa diperbolehkan aborsi?

Jawab:

Bila hidupnya ibu akan berbahaya kalau ada janin, yakni kehamilan akan mengancam kehidupannya dan tidak ada jalan lain untuk menjaga kehidupan ibu. Maka menggugurkan kandungan untuk menyelamatkan diri dari bahaya tersebut diperbolehkan dan tidak ada Diat (denda).

Sumber: http://www.hashemishahroudi.org/fa/questions/33

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tokoh Pelintas Batas Itu Telah Tiada

Djohan Effendi

Oleh: Musdah Mulia

Djohan Effendi adalah nama yang tak asing di kalangan pemerhati dialog agama, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di manca negara. Kegigihan dan ketekunannya merajut perdamaian melalui dialog di antara berbagai penganut agama membuat dirinya pantas disebut tokoh Pelintas Batas. Selain itu, di kalangan pemikir Islam progresif, Djohan selalu disejajarkan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib. Beberapa menyebut mereka sebagai pemikir neomodernis Islam. Tadi malam sekitar pukul 22.00 waktu Geelong, Melbourne beliau berpulang ke rahmatullah, tepatnya di Nursing Home McKellar, Centre Geelong, Melbourne, Australia didampingi putera-puteri beliau yang sudah lama bermukim di sana.

Beliau lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939. Setelah menamatkan pendikan dasarnya, atas biaya ikatan dinas pemerintah, Djohan melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) di Banjarmasin. Setelah itu, Djohan melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Lalu masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tamat 1970). Di sana, Djohan mulai mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ia merenungkan sejumlah konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian alam, takdir, kebebasan manusia, kekuasaan Tuhan. “Itu nyaris menggoyahkan keimanan saya,”

Djohan memulai karirnya di lingkungan Kementerian Agama sebagai pegawai Departemen Agama Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962). Berturut-turut jabatan yang pernah diembannya adalah: Staf Sekretaris Jenderal Departemen Agama Jakarta (1972-1973); Staf Pribadi Menteri Agama (1973-1978); Peneliti Utama Depag (sejak 1993); Staf Khusus Sekretaris Negara/Penulis Pidato Presiden (1978-1995); Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama (1998-2000) dan terakhir Menteri Sekretariat Negara 2000-2001.

Meskipun Djohan pegawai negeri sipil (PNS) namun hal itu tak pernah menghalangi beliau untuk kritis terhadap pemerintah dan negara. Beliau bersama Gus Dur dan sejumlah pemuka agama dari berbagai agama mendirikan ICRP (Indonesian Conefrence on Religions for Peace), suatu organisasi lintas agama yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pemenuhan hak kebebasan beragama bagi semua warga negara tanpa kecuali. ICRP dikenal sebagai organisasi yang amat kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang diskriminatif atas nama agama.

Demikian pula ketika dikaryakan ke Sekretaris Negara. Kehadirannya di Setneg, khusus untuk membantu menyusun pidato-pidato mantan Presiden Soeharto. “Kesepakatannya, saya jangan dipaksa menulis halhal yang tidak saya setujui,” itu prinsip yang dipegangnya. Djohan adalah sosok yang tidak banyak bicara, lebih suka mendengar. Di sisi lain, beliau sangat terbuka, dan dapat mudah akrab dengan siapa pun. Sikap itu sudah berakar pada dirinya sejak kecil. Selain mengaji Al-Quran, Djohan kecil juga keranjingan membaca biografi tokoh dunia. Ketekunan menyimak buku itu diwariskan ibunya yang, sekalipun pedagang kecil, getol membaca.

Ketika penggembaraan intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku-buku Ahmadiyah karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu dengan Muhammad Irsjad dan Ahmad Djojosugito dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi Ahmadiyah yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Sejak itu beliau dekat dengan orang-orang Ahmadiyah. Pada 1992, ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor atau guru besar di perguruan tinggi. Pidato pengukuhannya berjudul: Pembangunan Kehidupan Beragama Dalam Perspektif Negara Pancasila. Dalam pidato tersebut, pemikiran kritis Djohan lagi-lagi mengemuka. Djohan menyinggung-nyinggung keberadaan kelompok penganut minoritas yang sering mendapat perlakukan tidak adil, seperti Konghucu dan Bahai. “Saya sempat disuruh menghapus bagian pidato itu. Tapi saya tidak mau,” tandasnya.

Ketika Tarmidzi Taher menjadi Menteri Agama (1993-1998), Djohan ”dikucilkan” di lingkungan Kementerian Agama. Karier Djohan sebagai penulis pidato Presiden pun tamat ketika ia “nekat” mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, 1994. Kunjungan itu ditentang keras oleh sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara saat itu, juga ikut menyesalkannya.

Tahun 1995, Djohan pindah ke Australia. Ia mengambil program doktor di Universitas Deakin, Geelong, Victoria. Disertasinya berjudul Progresif Tradisional: Studi Pemikiran Kalangan Muda NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU. Dari segi pemikiran, Djohan memang memiliki kedekatan dengan “Gus Dur”. Keduanya “bermazhab” kulturalis dan sama-sama penganjur inkusifisme beragama. Kedekatan ini dipertegas dengan keanggotaan Djohan di Forum Demokrasi, di mana Gus Dur sempat lama menjadi ketuanya. Tidak heran jika Djohan kemudian menjadi salah satu menteri dalam kabinet Gus Dur. Satu hal yang perlu dicatat dari pemikiran penting Djohan adalah terkait pembangunan bidang agama. Menurut beliau, pembangunan kehidupan beragama di Indonesia belum memiliki konsep yang jelas. Bagi Djohan, tanpa penjelasan konseptual tentang apa yang dimaksud dengan kata agama agaknya tidak kalah kemungkinannya untuk membawa kita ke arah pembangunan yang kabur.

Ketika menjabat sebagai Kepala Badan Litbang Departemen Agama, beliau sering sekali mengingatkan para peneliti dengan ungkapan berikut: “Secara moral, kita harus menjunjung tinggi integritas dan obyektivitas. Jangan sampai kita tergoda untuk mengorbankan integritas kita untuk sekedar mencari kredit point. Mengorbankan integritas kepenelitian adalah suatu aib yang menodai kepercayaan dan mungkin pula kehormatan yang melekat dalam jabatan kepenelitian.” Bagi saya, beliau adalah tokoh yang dapat diteladani bukan hanya dalam kebersahajaan dan kesederhanaan hidup, melainkan juga dalam kegigihannya menegakkan prinsip keadilan bagi semua warga negara tanpa kecuali. Dia adalah tokoh lintas agama dan pejuang kemanusiaan yang sejati.

(Press-Reader/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kubur Sinterklas Ditemukan di Turki

Santo Nicholas wafat pada 343 Masehi dan disemayamkan di gereja di Demre hingga abad kesebelas.

Potret Santo Nicholas, dikenal dengan sebutan Sinterklas, direkonstruksi di Laboratorium Wajah Universitas John Moores, Liverpoool, Inggris. (Foto: LJMU)

Para ahli arkeologi kemarin menemukan sebuah kubur diyakini dihuni jenazah Santo Nicholas, tersohor dengan sebutan Sinterklas, di Kota Demre, Provinsi Antalya, selatan Turki.

Makam tadinya tidak dikenal itu ditemukan melalui deteksi peralatan elektronik, menunjukkan ada ruang hampa di bawah Gereja Santo Nicholas, bangunan berumur 1.500 tahun.

"Kami percaya kubur itu tidak rusak sama sekali, tapi benar-benar sulit untuk mencapai ke sana karena ada mosaik di lantainya," kata Cemil Karabayram, kepala Otoritas Monumen Antalya, kepada Hurriyet Daily News.

Santo Nicholas menggunakan seluruh harta warisannya untuk membantu kaum membutuhkan, orang sakit, dan pihak-pihak menderita. Dia dipuja lantaran kemurahan hatinya kepada anak-anak dan kaum memerlukan.

Dia menjadi terkenal di Eropa pada abad ke-16. Di Belanda, Santo Nicholas mendapat nama sapaan Sinterklaas. Di Amerika populer dengan sebutan Santa Klaus berkat kampanye Coca Cola pada 1930-an.

Para ilmuwan mempercayai Santo Nicholas dilahirkan di Myra, kota di zaman Yunani kuno kini berganti menjadi Demre dan masuk wilayah Turki.

Karabayram bilang perlu waktu untuk mencapai kuburan Sinterklas. Kondisinya masih utuh tapi terhalang oleh relif batu dan mosaik. "Kami akan sampai ke kubur itu dan mungkin hingga jasad Santo Nicholas belum tersentuh," ujarnya. Santo Nicholas wafat pada 343 Masehi dan disemayamkan di gereja di Demre hingga abad kesebelas.

(Hurriyet-Daily-News/BBC/New-York-Post/Telegraph/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kiai Zainuddin Madjid; Ulama, Pejuang Kemerdekaan, Pujangga Sufistik Dari NTB


Anggota Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan, Sudarmanto menilai, Maulana Syekh Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bukan ulama biasa. Tak heran Tuan Guru kelahiran Nusa Tenggara Barat ini ditetapkan menjadi pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi pada 9 November.

“Saya mengenal, memahami almarhum Maulana Syekh jauh lebih kaya melalui dokumen-dokumen yang telah disiapkan oleh tim di Nusa Tenggara Barat,” ujarnya pada acara Tasyakuran atas Penganugerahan Gelar Pahlawan Kiai Zainuddin di Pendopo Gubernur, 10 November, seperti dilaporkan media setempat suarantb.com

Sudarmanto mengaku telah meneliti dua kardus dokumen terkait dengan Tuan Guru. Ia pun merasa bangga setelah membaca dan meneliti dokumen-dokumen terkait Maulana Syekh karena banyaknya pengetahun yang Sudarmanto dapatkan, baik ilmu agama, tasawuf hingga sastra. Sudarmanto, misalnya, tersentuh dengan syair-syair dan lagu karangan Tuan Guru.

Sang Pahlawan ini bernama lengkap Al-Mukarram Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd. Tuan Guru lahir di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898.

Sejak usia 15 tahun, Tuan Guru memperdalam ilmu agama di Mekah, Jazirah Arab. Salah satu gurunya di Tanah Suci ialah Syaīkh Marzūqī, seorang keturunan Arāb kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjīd al-Harām.

Selain ilmu agama, ia juga belajar ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, Syaīkh Muhammād Āmīn al-Quthbī. Ia juga berkenalan dengan Sayyīd Muhsin Al-Palembanī, seorang keturunan ‘Arāb kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau di Madrasah al-Shaulatiyah.

Kembali ke tanah air, Tuan Guru melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok. Sedemikian, namanya dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya ‘Tuan Guru Bajang’.

Pada tahun 1934, ia mendirikan Pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama. Tiga tahun kemudian, ia mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah dan menamatkan santri pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Pada zaman penjajahan, Tuan Guru menjadikan madrasahnya sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Di sana, ia menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah.

Bersama guru-guru Madrasah, ia membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan al-Mujahidin”. Bersama gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok, Mujahidin berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kiai Abbas Abdul Jamil, Panglima Hizbullah Era Kemerdekaan


Di balik peristiwa dahsyat 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan, sejarah mencatat nama seorang ulama dari kota Cirebon yang saat itu kedatangannya ke kota Surabaya amat dinantikan. Bahkan, saat Bung Tomo berkonsultasi kepada K.H. Hasyim Asyari guna meminta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara sekutu, Kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan baru dimulai saat ulama dari Cirebon tersebut datang.

Ulama yang dimaksud adalah pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Beliau adalah Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang lahir pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300H (1879M) di Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat. Dia adalah putra sulung Kiai Abdul Jamil, putra Kiai Muta’ad yang juga menantu Mbah Muqqayim, pendiri Pondok Pesantren Buntet dan salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.

Kiai Abbas memang berasal dari keluarga alim. Pertama ia belajar dari ayahnya sendiri, K.H. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, barulah dia pindah ke Pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha. Masih diJawa Barat, dia berpindah lagi ke sebuah pesantren salaf daerah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan.

Dari Jawa Barat, barulah Kiai Abbas menuju sebuah pesantren di Tegal, Jawa Tengah, yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan K.H. Hasyim Asyari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri Nahdlatul Ulama. Di tempat inilah, Kiai Abbasbertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti K.H. Abdul Wahab Chasbullah (arsitek pendiri NU yang menerima gelar Pahlawan Nasional 2014) dan K.H. Abdul Manaf yang turut mendirikan pesantren Lirboyo, Kediri.

Bermodalkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah, maka mulailah Kiai Abbas diamanahi untuk memimpin Pesantren Buntet.

Ketika usia Kiai Abbas mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu menuju puncaknya, pengajaran ilmu kanuragan (bela diri supranatural) dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Maka dengan berat hati ia terpaksa meninggalkan kegiatannya mengajar kitab kuning dan lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di masyarakat dengan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah. Tampaknya hal tersebut dia warisi dari kakeknya, yaitu Mbah Muqayyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda.

Semenjak keputusannya tersebut, Pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Pada masanya, Hizbullah merupakan kekuatan tangguh dan disegani musuh karena memperoleh latihan-latihan berat dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air). Kiai Abbas membuktikan bahwa pesantren merupakan tempat pergerakan para pejuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia.


Ribuan Alu Beterbangan

Abdul Wachid, salah seorang pengawal Kiai Abbas bin Abdul Jamil, masih punya ingatan segar detik-detik menegangkan dalam perjalanan Kiai Abbas bin Abdul Jamil meninggalkan Cirebon menuju Surabaya jelang 10 November. Tulisannya, belakangan beredar di banyak media sosial di hari Pahlawan pekan yang lewat, menjadi catatan di balik layar seputar sosok Kiai Abbas:

Hari itu, kalau tidak salah tanggal 6 November 1945, saya dengan tiga orang, yaitu Usman, Abdullah, dan Sya’rani, mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas bin Abdul Jamil ke front Surabaya.

Pada pukul 06.30, rombongan kami dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII/SGD Divisi I Syarief Hidayat, meninggalkan markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Selain tiga pengawal serta Kiai Abbas bin Abdul Jamil, dalam rombongan kami juga ikut K.H Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik kereta api Express.

Waktu itu Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki terompah (sandal jepit kulit). Beliau menyerahkan sebuah kantung kepada saya. Saya merabanya dan ternyata isinya sandal bakiak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakiak ini? Bukankah Kiai sudah memakai terompah? Atau senjata perang? Masa, senjata kok bakiak?

Sekitar pukul 17.00, kereta api yang kami tunggangi masuk stasiun Rembang, Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang. Malam harinya, bakda salat Isya, para ulama yang jumlahnya kurang lebih 15 orang mengadakan musyawarah untuk menentukan komando atau kepemimpinan di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan, komando pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.

Bakda salat Subuh, Pondok Pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya. Saat itu banyak yang berseragam Hizbullah. Di halaman masjid sudah ada dua mobil sedan kuno berkapasitas empat orang penumpang. Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon dan miminta bingkisan (bakiak) yang dititipkannya kepada saya. Kiai Abbas juga menyuruh kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak kemana-mana sampai kembalinya dari Surabaya.

Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil Kiai Bisri di jok belakang, sementara Kiai Achmad Tamin duduk didepan dengan sopir. Sementara sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Diiringi pekik takbir “Allahu Akbar” dan “Merdeka!!” yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan bergerak meninggalkan Pondok Pesantren Rembang.

Setelah hampir sepekan kami berada di Pondok Pesantren Rembang, beberapa laskar Hizbullah yang merupakan santri Pondok Pesantren Rembang datang. Kedatangannya disambut oleh para santri, termasuk juga kami. Mereka pun langsung diberondong pertanyaan tentang situasi peperangan di Surabaya.

Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai tersebut datang, mereka langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Para kiai langsung masuk ke masjid dan melakukan salat sunah. Usai salat sunah, Kiai Abbas memerintahkan pada laskar dan para pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah didoai.

Tak menunggu lama mereka langsung mengambil air wudu di sana. Ada dari mereka yang mungkin merasa kurang dengan hanya berwudu hingga menerjunkan diri masuk dalam kolam. Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan badan Perjuangan Arek-Arek Suroboyo menyerbu Belanda dengan diiringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh dipenjuru kota Surabaya yang disambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda.

Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pentungan, atau golok seadanya, yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan. “Kami dengan para kiai berada di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan dibawah sana,” kata salah seorang santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang.

Saat itu, santri Rembang itu melanjutkan ceritanya, “Kiai Abbas mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Saya melihat dengan kedua mata kepala saya sendiri keajaiban yang luar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu-serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk.”


Pesawat Meledak Sebelum Beraksi

Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Tapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum beraksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang akan menjatuhkan bom untuk menghancurkan kota Surabaya. Namun pesawat-pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi.

“Di situlah kehebatan Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang saya saksikan sendiri,” kata santri Rembang meyakinkan para santri lainnya saat itu. Keesokan harinya, dia melanjutkan kesaksiaanya, “Pihak musuh datang lagi berbondong-bondong. Menggunakan tank dan truk, mereka menyerang kubu-kubu pertahanan laskar kita dengan iringan dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan dari pesawat udara yang banyak jumlahnya. Tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur ke pinggir kota Surabaya. Menjelang malam hari tiba, pertempuran mereda. Hanya beberapa tembakan kecil yang masih terdengar di sana sini.

Kemudian kami diperintahkan pulang oleh Kiai Bisri untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa Pak Kiai (Kiai Bisri) dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat, sehat walafiat. Warga pondok dan masyarakat Rembang diminta untuk berdoa kepada Allah swt atas pelindungan, keselamatan, dan kemenangan bagi para pejuang kita yang sedang berada dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.

Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas bin Abdul Jamil dengan pendampingnya, Kiai Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Dari mereka, kami tidak banyak memperoleh informasi tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon, diperintahkan berkemas untuk pulang kembali ke Cirebon. Menumpangi kereta api Express pukul 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat sekitar pukul 17.30. Sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan. Tampaknya Kiai Abbas dalam kelelahan dan mengantuk yang sangat teramat. Selama di Surabaya,Kiai Abbas kurang istirahat dan kurang tidur.

Tetapi sesampainya di Cirebon, beliau menceritakan banyak hal tentang perang tersebut; bagaimana serdadu Belanda mundur dan akhirnya perang dimenangkan oleh para kiai dan semua pahlawan dari Surabaya.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: