Syekh Dr. Saleh bin Muhammad at-Talib, imam Masjid Al-Haram di Kota Makkah, Arab Saudi. (Foto: Twitter)
"MUI mendesak agar pemerintah Saudi membebaskan semua ulama ditangkap tanpa proses hukum adil," kata Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI Muhyiddin Junaidi.
Peristiwa mengagetkan itu terjadi September tahun lalu. Aparat keamanan Arab Saudi di hari sama membekuk dua ulama tersohor dan memiliki banyak pengikut di media sosial - Syekh Salman al-Audah dan Syekh Awad al-Qarni.
Mestinya kabar penangkapan kedua ulama itu menghebohkan. Isu ini harusnya menjadi perbincangan di kedai kopi dan warung-warung makan.
Sayangnya, pembekukan Syekh Salman dan Syekh Awad terjadi negara monari absolut seperti Arab Saudi. Rakyat bungkam, Hampir tidak ada media memberitakan kecuali di media-media sosial. Heboh penangkapan dua ulama ternama itu barangkali cuma jadi bisik-bisik rumahan.
Fenomena ini berlangsung sejak Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz mengangkat anaknya, Pangeran Muhammad bin Salman, menjadi putera mahkota pada 21 Juni 2017. Dia menjadi calon penguasa negara Kabah setrelah berhasil menyingkirkan pesaing sekaligus abang sepupunya, Pangeran Muhammad bin Nayif.
Bukan hanya ulama, Arab Saudi juga menangkapi orang-orang dianggap membangkang kebijakan rezim Bani Saud. Melalui akun Twitternya, Prisoners of Conscience melansir data orang-orang ditahan tanpa diadili sejak September tahun lalu. Mereka mendekam dalam penjara ini termasuk sekitar 60 syekh dan penceramah.
Selain ulama, Arab Saudi juga menahan lebih dari 50 profesor, sepuluh pengacara, 20 aktivis hak asasi manusia, 25 wartawan, 60 pemegang gelar PhD, 40 penulis, dan sepuluh perempuan.
Prisoners of Conscience adalah lembaga nirlaba memantau tahanan dan hak asasi manusia di Arab Saudi.
Tapi inilah mengguncangkan. Negara Kabah itu menahan pula dua imam Masjid Al-Haram di Kota Makkah, yakni Syekh Dr. Saleh bin Muhammad at-Talib dan Syekh Bandar Abdul Aziz Balila. Dua imam Masjid Al-Haram lainnya, Syekh Khalid bin Ali al-Ghamdi dan Syekh Faisal bin Jamil al-Ghazawi, dilarang berdakwah.
Pengadilan pidana khusus menggelar sidang secara rahasia tiga pekan lalu, telah menuntut hukuman mati terhadap tiga ulama tersohor Arab Saudi, yakni Syekh Salman al-Audah, Syekh Awad al-Qarni, dan Dr. Ali al-Umari.
Selain ulama, Arab Saudi juga menahan lebih dari 50 profesor, sepuluh pengacara, 20 aktivis hak asasi manusia, 25 wartawan, 60 pemegang gelar PhD, 40 penulis, dan sepuluh perempuan.
Dewan Ulama Senior Arab Saudi sebenarnya sudah menghadap Raja Salman di Jeddah untuk mengadukan kesewenangan dilakukan oleh putranya itu. "Mereka membahas soal penahanan para ulama dan pertentangan antara putera mahkota dengan kubu ulama," katanya sumber Albalad.co dalam lingkungan istana.
Namun Raja Salman malah membela Pangeran Muhammad bin Salman. "Dalam pertemuan itu, Raja Salman menegaskan putera mahkota tidak bersalah dan dia mendukung anaknya itu," ujarnya.
Pemerintah dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim masih bungkam melihata kesewenangan Pangeran Muhammad bin Salman. Baru Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersuara lantang mendesak agar Arab Saudi membabaskan semua ulama ditahan.
"MUI mendesak agar pemerintah Saudi membebaskan semua ulama ditangkap tanpa proses hukum adil," kata Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI Muhyiddin Junaidi dalam keterangan tertulis diterima Albalad.co pekan lalu. "Sebagai organisasi dari negara muslim terbesar di dunia, MUI minta Arab Saudi menghindari upaya pengkerdilan ulama."
Menurut Muhyiddin, Arab Saudi sebaiknya menilai demokratisasi berkembang di negara-negara Arab dan muslim, termasuk di Saudi sendiri, sebagai langkah maju demi memperbaiki situasi dan untuk kemajuan kolektif. "Arab Saudi harus meninjau kembali semua kebijakan menghambat kebebasan berpendapat," ujarnya.
Membungkam ulama kritis tentu bukan solusi malah itu dapat menciptakan krisis. Apalagi, Arab Saudi dibangun atas kesepakatan antara keluarga raja dan ulama.
(Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar