Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Trilogi Azan: Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan

Trilogi Azan: Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan

Written By Unknown on Senin, 10 September 2018 | September 10, 2018

Azan yang baik dan benar

Oleh: Syekh M. Ghazali

Dalam Daftar Panjum Matsnawi Ma’nawi[1] dikisahkan seorang muazin bersuara buruk yang sedang mengumandangkan azan di kawasan/kota yang dihuni oleh kaum Muslim dan non-Muslim. Ternyata seorang non-Muslim yang mendengar suara azannya justru memberinya hadiah atas azannya tersebut.

Kisahnya seperti ini: Suatu hari seorang non-Muslim (Kristiani) memasuki kawasan Muslim dan bertanya: Di mana muazin itu? Mereka bertanya: Apa perlunya Anda? Lelaki tersebut menjawab: aku ingin berterima kasih padanya karena ia telah membantu menyelesaikan masalah besarku. Kemudian orang-orang mengantarnya untuk menemui muazin yang dicarinya. Setelah bertemu, muazin bertanya: kenapa kamu harus berterima kasih padaku? Lelaki Kristiani tersebut menjawab: Kamu sangat berjasa kepadaku dan bagiku tidak ada seorangpun yang lebih berjasa daripada kamu. Ceritanya seperti ini, saya memiliki anak perempuan. Saya sudah berupaya maksimal untuk mengajaknya ke gereja namun ia enggan. Ia tidak ikut serta dalam ritual kami dan tidak peduli dengan keyakinan kami. Dan kami benar-benar tidak mampu mengatasi masalah anak ini.

Dua atau tiga hari yang lalu saat kamu mengumandangkan azan, anak perempuanku mendengarnya dan ia bertanya: suara apa ini? Dari mana suara ini? Kami menjawab: ini adalah azan kaum Muslim. Sejak saat itu, kami bebas dari masalah ini. Sebab, kecintaan kepada Islam telah pudar sepenuhnya dari hati anak perempuan ini. Dan sekarang ia telah kembali kepada keluarga seperti sedia kala dan rajin pergi ke gereja dan melaksanakan ritual-ritual kami. Kami merasa berhutang kepadamu. Sebab kamulah yang mengembalikan anak kami kepada pangkuan kami.

Azan pertama kali dilakukan oleh sahabat Bilal bin Rabah. Azan dalam Islam, selain sebagai ibadah, juga termasuk dari syiar agama. Secara bahasa, azan bermakna al-I’laam (memberi tahu). Sedangkan azan menurut istilah syariat ialah: gabungan perkataan tertentu yang digunakan untuk mengetahui waktu shalat fardhu. Atau terkadang didefinisikan sebagai pemberitahuan tentang waktu shalat dengan lafal-lafal tertentu.

Al-Quran, As-Sunnah, dan al-Ijma’ menyatakan bahwa adzan disyariatkan dalam agama. Salah satu hadis yang menjelaskan keutamaan muazin adalah:

الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya, “Para muadzin adalah orang yang berleher panjang pada Hari Kiamat,” (HR. Muslim).

Beberapa ulama memaknai leher panjang ini sebagai sebuah majaz. Ibnu Arabi yang mengatakan bahwa mereka adalah orang yang paling banyak amalnya. Sedangkan Imam Qadhi Iyadh berpendapat bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah orang yang senantiasa mengumandangkan azan akan cepat dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga-Nya.

Namun ulama berbeda pendapat tentang hukum adzan, apakah ia wajib atau sunnah. Jumhur ulama mahzab berpendapat bahwa adzan hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).

Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa azan adalah kebenaran yang harus disampaikan dan disyiarkan. Azan yang merupakan manifestasi kebenaran itu harus disampaikan dengan cara yag baik dan sekaligus indah. Dengan kata lain, tidak semua orang bisa dan layak menjadi muazin. Ada serangkaian syarat-syarat yang harus dipenuhi bila seseorang ingin menjadi muazin, yaitu:
1. Muslim
2. Ikhlas hanya mengharap wajah Allah
3. Adil dan amanah
4. Memiliki suara yang bagus
5. Mengetahui kapan waktu solat masuk[2]

Syarat keempat itulah yang perlu kami garis bawahi karena sesuai dan relevan dengan pembahasan kita, yaitu trilogi azan: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada sahabat Abdullah bin Zaid: “pergilah dan ajarkanlah apa yang kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang lebih bagus dari pada suaramu”. Perlu dicatat di sini bahwa ada yang berpandangan bahwa memiliki suara yang bagus itu bukan syarat muazin tapi sifat muazin yang sangat ditekankan.

Sayyidina Umar bin al Khatthab RA, Khalifah kedua setelah wafat Rasulullah SAW yang sangat terkenal ketegasannya pun pernah menegur muazin semasanya, yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi’yar RA, yang azan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya. Penuh ketegasan Sayyidina Umar RA menegur muazin itu:

لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَنْشَقَّ مُرَيْطَاؤُكَ

Artinya, “Aku khawatir perut bagian pusar hingga (tempat tumbuh) rambut kemaluanmu bedah,” (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71).

Dr. Alauddin az-Za’tari, penanggung jawab Dar al-Fatwa di Suriah memaknai redaksi hadis tentang azan yang popular ” َإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ” sebagai isyarat akan urgensi suara yang bagus, khususnya saat mengumandangkan azan. Azan dengan suara bagus adalah perintah Nabi saw yang harus kita perhatikan dan kita laksanakan.

Lebih jauh beliau menerangkan bahwa kebagusan dan keindahan suara azan mampu menarik para pendengar untuk menyukai azan dan memotivasi serta menyemangati mereka untuk melaksanakan shalat. Dan pemilihan para muazin yang bersuara bagus dengan sendirinya akan menutup peluang muazin yang buruk suara sehingga suaranya tidak pernah menggangu orang lain karena yang dikeluhkan itu bukan semata kerasnya volume azan tapi buruknya suara muazin. Demikian penjelasan Dr. Alauddin az-Za’tari.


Kesimpulan:

1. Islam adalah agama yang memperhatikan unsur kebagusan dan keindahan dalam setiap aspek ajarannya.
2. Kadang-kadang penerapan yang salah dari ajaran Islam justru merusak citra Islam dan mencegah ketertarikan seseorang dari menganut Islam untuk selamanya.
3. Azan yang merupakan suara kebenaran sebaiknya disampaikan oleh muazin yang bersuara bagus dan indah.
4. Rasulullah saw telah memberikan contoh dan teladan yang baik bagi kita dalam hal pemilihan muazin dengan suara kuat dan indah (merdu) pada diri sahabat Bilal bin Rabah. Kita tahu bahwa Bilal dipilih sebagai muazin bukan karena ketinggian tingkat keimanan dan ketakwaannya yang tentu masih banyak sahabat yang lebih bertakwa dan beriman daripada beliau namun pemilihan muazin ini berdasarkan kompetensi kebagusan suara dan kekuatan vokal.
5. Ibadah dalam agama Islam sangat memperhatikan hak Muslim dan non-Muslim, terutama dalam hubungan bertetangga sehingga jangan sampai aktifitas ibadah itu menggangu ketenangan orang lain. Demikian mulianya kedudukan tetangga dalam Islam sampai-sampai ada kekhawatiran bahwa tetangga bisa mendapatkan warisan.


Wallau A’lam


Referensi:

Daftar Panjum Matsnawi Ma’nawi Maulana, hal. 752.

http://www.nu.or.id/post/read/86224/ini-sejumlah-syarat-sah-azan. Tanggal akses 27/8/2018.

Teks Lengkap:

Ini Sejumlah Syarat Sah Azan

Azan merupakan pertanda masuknya waktu shalat. Berbeda dengan umat agama lain yang memiliki tanda-tanda tertentu, Islam lebih memilih azan sebagai tanda. Dahulu, pada masa Rasul SAW, para sahabat berpikir untuk membuat tanda masuk waktunya shalat. Setelah beberapa pendapat diungkapkan, akhirnya Rasul memilih azan. Azan pertama kali dilakukan oleh sahabat Bilal bin Rabah.

Dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi’i karya Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dijelaskan bahwa hukum azan adalah sunah. Azan juga memiliki beberapa syarat sah. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa syarat sah azan ada tujuh.

Pertama, seorang Muslim. Maka tidak sah jika azan dikumandangkan oleh orang yang non-Muslim karena tidak adanya keahlian dalam hal ibadah, khususnya shalat.

Kedua, tamyiz (kemampuan membedakan baik dan buruk). Anak bayi yang belum memenuhi kategori tamyiz. Seperti halnya non-Muslim, ia tidak memiliki pengetahuan terkait ibadah, dan juga tidak memiliki pengetahuan terkait waktu shalat.

Ketiga, laki-laki. Oleh karena itu, tidak sah azannya perempuan atas jamaah laki-laki. Sebagaimana tidak sahnya perempuan mengimami laki-laki dalam shalat jamaah.

Keempat, tertib, yakni berurutan dalam menyebutkan kalimat-kalimat azan sehingga tidak diperbolehkan mengumandangkan kalimat azan secara acak.

Kelima, berturut-turut dan tidak ada waktu pemisah yang cukup lama antara kalimat satu dengan kalimat selanjutnya.

Keenam, mengumandangkan azan dengan suara yang keras sehingga tidak diperkenankan mengumandangkan azan dengan suara lirih atau berbisik.

Hal ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Bukhari berikut:

فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاء، فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya, “Keraskan suaramu saat azan. Karena sesungguhnya tidak ada manusia, jin atau suatu hal lain yang mendengar panjangnya suara muazin kecuali ia menjadi saksi bagi muazin tersebut di hari kiamat.”

Ketujuh, masuk waktu shalat sehingga tidak diperkenankan azan kecuali telah masuk waktu shalat. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim.


إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُأَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ

Artinya, “jika datang waktu shalat, maka azanlah salah satu dari kalian untuk kalian (mengerjakan shalat jamaah).”

Berdasarkan hadits tersebut, maka tidak diperkenankan mengumandangkan azan sebelum masuk waktu shalat menurut ijmak, kecuali shalat subuh.

فلا يصح قبله بالإجماع، إلا في الصٌّبح، فإنه يجوز من نصف الليل لما سيأتي في سنن الأذان

Artinya, “Maka tidak sah azan sebelum masuk waktu shalat berdasarkan ijmak kecuali saat sebelum shalat subuh. Karena diperbolehkan azan pada waktu tengah malam sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan terkait kesunahan azan,” (Lihat Mustafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi‘i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992] halaman 114-115). Wallahu a‘lam. (Muhammad Alvin Nur Choironi)

http://www.konsultasislam.com/2011/05/syariat-adzan.html. Tanggal akses 27/8/2018.

Teks Lengkap:

SYARIAT ADZAN 1


SYARIAT ADZAN

Bapak pengasuh yang saya muliakan, mohon agar dijelaskan kepada kami tata cara dan sunnah-sunnah adzan. Karena saya lihat sudah banyak muadzin yang meninggalkan tuntunan beradzan yang sesuai sunnah. Hamba Allah - Kaltim


Jawaban :


Kedudukan adzan dalam Islam, selain sebagai ibadah, juga termasuk dari syiar agama. Dengan terdengarnya kumandang adzan disuatu tempat, paling tidak sudah membuat orang maklum bahwa disitu ada orang islam. Kalimat-kalimatnya adalah mutiara tauhid dan keimanan yang sangat dahsyat. panggilan menuju kepada kertaatan yang paling utama. Yang mana, terkadang adzan dapat menggetarkan hati hamba yang bening.
Berikut ini penjelasan kami tentang tuntunan adzan, mengingat keterbatasan halaman buletin pembahasan akan kita bagi menjadi dua bahasan, yakni : Syariat Adzan, dan di edisi selanjutnya tuntunan adzan dan sunnah-sunnahnya.


A. Pengertian Adzan

Arti adzan menurut bahasa adalah al-I’laam (memberi tahu). Arti ini dapat dilihat dari firman Allah k,

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ

“Dan satu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada Umat manusia...” (At-Taubah: 3)
Dan firman_nya pula,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji...” (Al-Hajj: 27)


Sedangkan Adzan menurut istilah syara’ adalah : gabungan perkataan tertentu yang digunakan untuk mengetahui waktu shalat fardhu.[1] Atau terkadang didefinisikan sebagai pemberitahuan tentang waktu shalat dengan lafazh-lafazh tertentu.[2]


B. Fadhilah Dan Adzan

Adzan memiliki keutamaan dan pahala yang sangat besar bagi mereka yang mengerjakannya. Maka tidak sepantasnya seorang muslim, yang memiliki kesempatan untuk beramal dengan malan ini, lantas ia menyia-nyiakannya (tidak melakukannya).

Berikut hadits-hadits yang menyebutkan akan hal ini :

Rasulullah y bersabda,

“Kalaulah orang-orang mengetahui yang ada dalam adzan dan pahala yang terhadap barisan pertama shalat, kemudian mereka tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya selain dengan cara undian, niscaya mereka akan melakukan undian itu.” (Mutafaqqun ‘Alaih)

Rasulullah SAW juga bersabda, “Jika kamu berada bersama-sama dengan kambingmu atau sedang berada dikebunmu dan engkau beradzan untuk shalat, hendaklah engkau mengeraskan suaramu untuk menyeru orang shalat. Sebab suara adzan seorang yang didengar oleh jin atau manusia atau sesuatu apapun, maka mereka akan menjadi saksinya di yaumul akhir.” (HR. Bukhari)

Dalam sebuah hadits yang lain juga disebutkan, “Tukang Adzan adalah yang paling panjang lehernya di Akhirat.” (HR. Muslim)

Menurut pendapat ulama’ madzhab Syafi’i dan Hanbali, melakukan adzan dan iqamat adalah lebih utama daripada menjadi imam.[3] Hal ini didasarkan kepada ayat : “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebaikan,...” (Fusshilat:33)
Sayyidah Aisyah r.a berkata, “Mereka yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah mu’adzin.”
Sedangkan menurut pendapat ulama’ Hanafi, menjadi imam adalah lebih utama daripada adzzan. Sebab, Nabi Saw dan para khalifahnya menjalankan tugas imam, tetapi mereka tidak menjalankan tugas menjadi muadzin.[4]


C. Hukum Adzan

Al-Quran, As-Sunnah, dan al-Ijma’ menyatakan bahwa adzan disyariatkan dalam agama.[5] Namun ulama berbeda pendapat tentang hukum adzan, apakah ia wajib atau sunnah. Jumhur ulama mahzab berpendapat bahwa adzan hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).[6]

Dari kalangan Malikiyah ada dua riwayat, riwayat pertama mereka berpendapat hukumnya wajib atas masjid jami’ (raya) sedangkan riwayat kedua mengatakan madzab ini hanya memandangnya sebagai sunnah muakkadah.[7]

Dalil yang menunjukkan bahwa adzan hukumnya sunnah muakkadah adalah sebuah hadits yang berbunyi : “Kalaulah orang-orang mengetahui pahala yang ada pada adzan dan shaf pertama, niscaya mereka akan mengundi.” (Mutafaqqun ‘Alaih)


D. Syarat-Syarat Adzan

Adzan memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana halnya ibadah lainnya. Apabila syarat- syarat tersebut tidak sempurna, maka adzan tidak akan sah. Berikut syarat sah adzan yang kami ringkaskan dari beberapa kitab,[8] yakni :

i. Yang disepakati

1. Masuk waktu

Semua ulama mengenai syarat ini, maka adzan yang dilakukan sebelum waktunya adalah haram dan tidak sah dilakukan. Jika sudah dilakukan, maka hendaknya adzan itu hendaknya di ulangi lagi setelah masuk waktunya.
Adapun adzan yang dikerjakan diawal waktu shubuh, adalah hal lain, karena ini memang ada tuntunannya dalam sunnah (akan dibahas dalam sunnah – sunnah adzan).


2. Hendaknya dengan bahasa arab

Tidak sah mengumandangkan adzan dengan bahasa selain arab, juga tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hal ini. Namun, bila adzan itu dikerjakan seseorang untuk dirinya sendiri, dan tidak mengetahui bahasa arab, maka ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hal ini. Menurut syafi’i boleh melakukannya dengan bahasa lain, tetapi menurut ulama’ madzhab Hanafi dan Hambali tidak boleh sama sekali, karena adzan itu disyariatkan dalam bahasa arab, sama seperti al-Quran.


3. Adzan dan Iqamah harus dapat didengar oleh sebagian jama’ah

Mengumandangkan adzan dengan menperdengarkan kepada jama’ah adalah salah satu syarat adzan dan iqamah. Begitu juga dengan dirinya sendiri jika ia mengumandangkan untuk dirinya. Maka tidaklah sah adzan yang disirrikan atau sengaja tidak diperdengarkan kepada khalayak ramai.


4. Tertib dan Muwaalah (bersambung tidak terputus-putus) diantara lafadz adzan

Adzan disyaratkan harus dikerjakan dengan bersambung, tidak boleh diselingi oleh perkataan dan perbuatan yang lazimnya dipahami sebagai penunda. Demikian pula lafadzanya harus tertib berurutan sebagaimana yang telah dituntunkan. Cara seperti ini yang meikuti Sunnah Rasul seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain.


5. Adzan mestilah dilakukan oleh seorang saja

Jika adzan itu dilakukan oleh seorang kemudian disambung oleh orang lain maka adzannya tidak sah. Begitu juga jika adzan dilakukan oleh dua orang secara bergantian, yaitu seorang membaca satu kalimat, kemudian di sambung oleh yang lain, ini pula tidak sah. Adapun bila adzan dilakukan oleh sekumpulan orang secara serentak dan setiap orang mengumandangkan dengan sempurna, maka adzan seperti ini menurut pendapat yang rajih (kuat) adalah sah, namun dipandang sebagai perbuatan yang makruh.


6. Orang yang mengumandangkan adzan hendaklah lelaki muslim yang berakal

Adzan tidak sah bila dilakukan oleh orang kafir, orang gila, anak-anak yang belum mumayyiz, orang ayan, dan orang mabuk. Hal ini disebabkan mereka bukanlah orang yang berkelayakan untuk ibadah. Tidak sah juga adzan yang dilakukan oleh perempuan, karena adzan adalah haram bagi kaum wanita dan adzan juga tidak disyariatkan bagi mereka.[9]

ii. Tidak disepakati 

1. Niat 

Berkenaan dengan niat adzan, para ulama cenderung tidak mensyaratkannya. Kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah dengan tegas menyatakan bahwa niat bukanlah syarat adzan. Namun menurut sebagian ulama ahli fiqih yang lain, niat termasuk syarat dalam beradzan. Oleh sebab itu, jika seseorang melafadzkan adzan yang tertentu tanpa tujuan adzan, maka adzannya tidak sah.


2. Suci dari hadats

Jumhur fuqaha tidak mensyaratkan bersuci bagi para muadzain. Mereka juga tidak disyaratkan menghadap qiblat, berdiri, dan juga bercakap-cakap saat adzan. Meskipun demikian, para ulama mengatakan bahwa perkara-perkara itu disunahkan dan patut dilakukan. Menurut jumhur ulama makruh hukumnya adzan yang dilakukan dengan berhadats apalagi junub, demikan juga dengan iqamah. Dan bahkan menurut ulama Madzhab Hanbali bahwa adzan atau iqamat yang dilakukan oleh orang junub harus di ulang.
Mereka yang menghukumi bersuci sebagai syarat adzan , mendasarkan pendapatnya kepada hadits :

«لَا يُؤَذِّنُ إِلَّا مُتَوَضِّئٌ»

“Tidak boleh adzan kecuali orang yang berwudu.” (HR. Tirmidzi)[10]


E. Cara Adzan 

Ulama sepakat bahwa lafadz adzan adalah disebut dua kali (bagi tiap-tiap kalimatnya) kecuali dua kalimat terakhir. Hal ini berdasarkan riwayat mutawatir yang tidak ada penambahan dan pengurangannya. Mereka juga sepakat dalam adzan shubuh terdapat tambahan “As-Shalaatu khairun minannauum” sebanyak dua kali selepas kalimat “Hayya ‘ala al falaah”.[11]

Adapun mengenai lafadz adzan kami rasa tidak perlu kami cantumkan disini, karena semua sudah ma’fum.
Para ulama’berselisih pendapat mengenai tarji’, yaitu melafadzkan dua kalimat syahadat dalam adzan secara perlahan, kemudian melafadzkan kedua kalinya secara keras bagi muadzin. Kalangan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengakui, tetapi Hanafi dan Hambali mengingkarinya. Namun ulama Hambali mengatakan, jika tetap dilakukan tarji’, adzannya tidaklah makruh.[12]

Kita cukupi dulu pembahasan tentang adzan disini, insyaallah mendatang akan kita lanjutkan ke bab : sunnah-sunnah dan hal yang makruh dalam adzan.

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki:

[1] Mughni al Muhtaj (I/133).

[2] Nail al authar (II/31), Kasyf al Qana’ (I/266).

[3] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (I/593).

[4] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (I/594).

[5] Syariat adzan

- Al Qur’an :

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ

“Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS. Al-Maidah : 58)

- Sunnah :

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ : قَالَ لَنَا النَّبِيُّ وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ

Dari Malik bin Huwairits a bahwa Rasulullah y bersabda kepada kami, ”Bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan.”(HR. Bukhari dan Muslim)

- Ijma’ : Ulama bersepakat tentang masyu’iyahnya adzan tanpa ada pengingkaran dari seorang pun.

[6] Lihat Fath al Qadir (I/167-178). Durr al Mukhtar (I/356). Asy Syarh al Shaghir, I/133. Al Muhadzab (I/55). Bidayatul Mujtahid (I/103). Nihayatul Muhtaj, (I/300). Al Majmu’ Syarh al Muhadzab, (III/82).

[7] Bidayatul Mujtahid, (I/160).

[8] Fiqh Islami wa Adillatuhu, al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah, Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, Fiqh Sunnah, Bidayatul Mujtahid, dan lainnya.

[9] Syarat ini adalah syarat menurut ulama’ Maliki, Syafi’i dan Hambali. Adapun mazhab Hanafi hanya memiliki pendapat yang hampir sama. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Muadzin yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut hukumnya makruh tahrim dan adzan tersebut sunah untuk diulangi. Berdasarkan pertimbangan ini, maka ulama Hanafi berpendapat orang yang beradzan disunahkan lelaki yang berakal lagi bertaqwa, mengetahui sunnah-sunnah rasul dan waktu shalat. Menurut jumhur, selain Maliki, Muadzin tidak disyaratkan mumayyaiz adalah sah. Meskipun demikian, orang yang adzan disunnahkan orang yang sudah bligh,adil,dan amanah. Syarat adil yang ditentukan adalah hadits riwayat Ibnu Abbas, “Hendaklah orang terbaik diantara kamu yang mengumandangkan adzan...” (HR. Abu dawud dan Thabrani)

[10] Hadits ini lemah. Lihat Subulus Salam (1/192), al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/368)

[11] - HR. Imam Ahmad (15376) :

وَإِذَا أَذَّنْتَ بِالْأَوَّلِ مِنَ الصُّبْحِ فَقُلْ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ،

“Jika kamu adzan shubuh hendaklah kamu membaca ‘Ash-shalaatu khairun minannauum’ dua kali.” (Imam Ahmad)

- HR. Abu Daud (500)

فَإِنْ كَانَ صَلَاةُ الصُّبْحِ قُلْتَ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ،

“Maka apabila shalat shubuh, maka katakan: “As-Shalaatu khairun minannauum” 2x.

- HR. Al Baihaqi (1987)

عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ: إِذَا بَلَغْتَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فِي الْفَجْرِ فَقُلِ: " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "

Dari Umar a dia berkata untuk para muadzin : apabila sampai kalian pada kalimat ‘hayya ‘ala al falah’ pada adzan shubuh, maka katakan : “As-Shalaatu khairun minannauum” 2x.


[12] Fiqh al Islami wa Adillatuhu, I/601.


https://muslim.or.id/7648-tata-cara-adzan-dan-iqomah.html. Tanggal akses 27/8/2018.

Teks Lengkap:

Tata Cara Adzan dan Iqomah

Adzan dan Iqomah merupakan di antara amalan yang utama di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Imam sebagai penjamin dan muadzin (orang yang adzan) sebagai yang diberi amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk para muadzin” [1]
Berikut sedikit penjelasan yang berkaitan dengan tata cara adzan dan iqomah.
Pengertian Adzan
Secara bahasa adzan berarti pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Taubah Ayat 3:
 وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
“dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”
Adapun makna adzan secara istilah adalah seruan yang menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu. [2]
Hukum Adzan
Ulama berselisih pendapat tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum azan adalah sunnah muakkad, namun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan hukum adzan adalah fardu kifayah[3]. Akan tetapi perlu diingat, hukum ini hanya berlaku bagi laki-laki. Wanita tidak diwajibkan atau pun disunnahkan untuk melakukan adzan[4].
Syarat Adzan[5]
1.      Telah Masuk Waktu Shalat
Syarat sah adzan adalah telah masuknya waktu shalat, sehingga adzan yang dilakukan sebelum waktu solat masuk maka tidak sah. Akan tetapi terdapat pengecualian pada adzan subuh. Adzan subuh diperbolehkan untuk dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum waktu subuh tiba dan ketika waktu subuh tiba (terbitnya fajar shadiq). [6]
2.      Berniat adzan
Hendaknya seseorang yang akan adzan berniat di dalam hatinya (tidak dengan lafazh tertentu) bahwa ia akan melakukan adzan ikhlas untuk Allah semata.
3.      Dikumandangkan dengan bahasa arab
Menurut sebagian ulama, tidak sah adzan jika menggunakan bahasa selain bahasa arab. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ulama dari Madzhab Hanafiah, Hambali, dan Syafi’i.
4.      Tidak ada lahn dalam pengucapan lafadz adzan yang merubah makna
Maksudnya adalah hendaknya adzan terbebas dari kesalahan-kesalahan pengucapan yang hal tersebut bisa merubah makna adzan. Lafadz-lafadz adzan harus diucapkan dengan jelas dan benar.
5.      Lafadz-lafaznya diucapkan sesuai urutan
Hendaknya lafadz-lafadz adzan diucapkan sesuai urutan sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang sahih. Adapun bagaimana urutannya akan dibahas di bawah.
6.      Lafadz-lafadznya diucapkan bersambung
Maksudnya adalah hendaknya antara lafazh adzan yang satu dengan yang lain diucapkan secara bersambung tanpa dipisah oleh sebuah perkataan atau pun perbuatan di luar adzan. Akan tetapi diperbolehkan berkata atau berbuat sesuatu yang sifatnya ringan seperti bersin.
7.      Adzan diperdengarkan kepada orang yang tidak berada di tempat muadzin
Adzan yang dikumandangkan oleh muadzin haruslah terdengar oleh orang yang tidak berada di tempat sang muadzin melakukan adzan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengeraskan suara atau dengan alat pengerasa suara.
Sifat Muadzin
1.      Muslim
Disyaratkan bahwa seorang muadzin haruslah seorang muslim. Tidak sah adzan dari seorang yang kafir. [7]
2.      Ikhlas hanya mengharap wajah Allah
Sepatutnya seorang muadzin melakukan adzan dengan niat ikhlas mengaharap wajah Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Tetapkanlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya itu.”[8]
3.      Adil dan amanah
Yaitu hendaklah muadzin adil dan amanah dalam waktu-waktu shalat.
4.      Memiliki suara yang bagus
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada sahabat Abdullah bin Zaid: “pergilah dan ajarkanlah apa yang kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang lebih bagus dari pada suaramu” [9]
5.      Mengetahui kapan waktu solat masuk
Hendaknya seorang muadzin mengetahui kapan waktu solat masuk sehingga ia bisa mengumandangkan adzan tepat pada awal waktu dan terhindar dari kesalahan. [10]
Sifat Adzan [11]
Terdapat tiga cara adzan, yaitu :
  1. Adzan dengan 15 kalimat, yaitu dengan lafazh [12]:
    4x اَللهُ اَكْبَرُاَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ ×2
    اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ ×2
    حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ ×2
    حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ ×2
    2x اَللهُ اَكْبَرُ
    1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
    Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh abu hanifah dan imam ahmad.
  2. Adzan dengan 19 kalimat [13], yaitu sama seperti adzan cara  pertama akan tetapi ditambah dengan tarji’ (pengulangan) pada syahadatain. Tarji’ adalah mengucapkan syahadatain dengan suara pelan –tetapi masih terdengar oleh orang-orang yang hadir- kemudian mengulanginya kembali dengan suara keras. Jadi lafazah “asyhadu alla ilaaha illallaah”dan“asyhadu anna muhammadarrasulullah”masing-masing diucapkan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.
  3. Adzan dengan 17 kalimat, yaitu sama dengan cara adzan kedua akan tetapi takbir pertama hanya diucapkan dua kali, bukan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Malik dan sebagian Ulama’ Madzhab Hanafiah. Akan tetapi menurut penulis Shahiq Fiqh Sunnah, hadits yang menjelaskan kaifiyat ini adalah hadits yang tidak sahih. Sehingga adzan dengan cara ini tidak disyariatkan.
Yang Dianjurkan bagi Muadzin
1.      Adzan dalam keadaan suci
Hal ini berdasarkan dalil-dalil umum yang menganjurkan agar manusia dalam keadaan suci ketika berdizikir (mengingat) kepada Allah.
2.      Adzan dalam keadaan berdiri
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salamdalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar : “berdiri wahai bilal! Serulah manusia untuk melakukukan solat!”
3.      Adzan menghadap kiblat
4.      Memasukkan jari ke dalam telinga
Ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh sahabat Bilal ketika adzan. [14]
5.      Menyambung tiap dua-dua takbir
Maksudnya adalah menyambungkan kalimat Allahu akbar-allahu akbar, tidak dijeda antara keduanya. [15]
6.      Menolehkan kepala ke kanan ketika mengucapakan “hayya ‘alas shalah”dan menolehkan kepala ke kiri ketika mengucapakan “hayya ‘alal falah”. [16]
7.      Menambahkan “ash shalatu khairum minannaum” pada azan subuh. [17]

Pengertian Iqamah
Iqamah secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus. [18]
Hukum Iqamah
Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku untuk wanita. [19]
Sifat Iqamah
Ada dua cara iqamah [20]:
1. Dengan sebelas kalimat [21], yaitu :
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
1x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
1x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
1xحَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2xقَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2. Dengan tujuh belas kalimat [22], yaitu :
 4xاَللهُ اَكْبَرُ
2x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
2x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
2x حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2x قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
Apakah yang Melaksanakan Iqamah Harus Orang yang Mengumandangkan Adzan?
Sebagian besar ulama’ mengatakan hukumnya adalah hanya anjuran dan tidak wajib, sebagaimana kebiasaan Sahabat Bilal, beliau yang adzan beliau pula yang iqamah. Dan boleh hukumnya jika yang adzan dan iqamah berbeda. [23]

Catatan Kaki
[1] Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (1203), At Tirmidzi (207), dan Ahmad (II/283-419)
[2] Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 84,  cetakan Maktabah Al Asadi, Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[3] Diantara ulama yang berpendapat bahwa hukum adzan adalah fardu kifayah adalah sebagian Ulama’ Mazhab Malikiyah dan Syafi’iah, Imam Ahmad, Atha’ bin Abi Robah, Mujahid, Al Auza’i, Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ulama’ yang berpendapat hukumnya adalah sunnah muakkad adalah Imam Abu Hanifah, sebagian Ulama’ Madzhab Syafi’iah dan Malikiyah. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 240,karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[4] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Tidak ada adzan dan iqomah bagi wanita”
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 243, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[6] Ulama’ berselisih pendapat tentang hukum adzan sebelum waktu subuh tiba. Pendapat yang benar adalah hal tersebut dianjurkan. Ulama’ yang berpendapat bahwa hal tersebut dianjurkan diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq, Abu Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm.
[7] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 605, karya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[8] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (531), At Tirmidzi (672), Ibnu Majah (714), dan An Nasa-i (672)
[9] Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[11] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[12]Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[13] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzuroh yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4).
[14] Hadits Shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi (197) dan Ahmad (IV/308).
[15] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Umar bn Khattab oleh Imam Muslim (385) dan Abu Dawud (523).
[16] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari (187) dan Muslim (503) dari Sahabat Abu Juhaifah.
[17] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad (16043), Abu Dawud (499),  At Tirmidzi (189), dan Ibnu Khuzaimah (386) dari Sahabat Anas bin Malik.
[18] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[19] Ulama’ yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka mereka juga berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga dengan ulama’ yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga sunnah muakkad. Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 85,  cetakan Maktabah Al Asadi dan Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Marom, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, keduanya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 254, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[21] Berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[22] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzurah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4)
[23] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 255, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.

Catatan editor
  1. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa kita disunnahkan melatunkan adzan dengan suara yang baik dan hukum melagukan adzan itu makruh. (Demikian perkataan beliau dari durus  Al Muntaqa Al Akhbar ketika menjelaskan masalah Adzan). Karena melagukan adzan sering terjadi lahn (kesalahan dalam pengucapan). Wallahu a’lam.
  2. Sedangkan dalil yang menyebutkan, “Siapa yang adzan,  maka hendaklah dialah yang iqamah”, hadits ini adalah hadits yang dha’if. Hadits ini dikatakan dha’if oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 237.


Penulis: Muhammad Rezki Hr
Editor: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id


http://site.islam.gov.kw/eftaa/JurisprudenceFacilitator/Pages/Jurisprudence10.aspx

Teks Lengkap:

باب الأذان والإقامة


أولاً: تعريف الأذان والإقامة :


- الأذان في الشرع: هو الإعلام بدخول وقت الصلاة بذكر مخصوص.
- وأما الإقامة: فهي الإعلام بالقيام إلى الصلاة بذكر مخصوص ورد به الشرع.

ثانياً : حكم الأذان والإقامة .
-     الأذان والإقامة فرض كفاية على الرجال الأحرار المقيمين في المدن والقرى , فإذا قام بهما من يكفي سقط الإثم عن الباقين ، وإن لم يقم بهما أحد أَثِمَ الجميع ؛ لحديث (إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ) [رواه البخاري] , والأمر يقتضي الوجوب , ولأنهما من شعائر الإسلام الظاهرة، فلا يجوز تعطيلهما.
-   أما النساء والعبيد : فلا يجب عليهم أذان ولا إقامة , بل يكرهان في حق النساء ولو بلا رفع صوت ؛ لأنهما وظيفة الرجال.
-   ولا يجب أيضاً على المنفرد والمسافر أذان ولا إقامة ، ولكنهما سنة في حقهما ؛ أما المنفرد فلحديث عقبة بن عامر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ يُؤَذِّنُ بِالصَّلاةِ وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ الله عَزَّ وَجَلَّ : انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلاةَ يَخَافُ مِنِّي ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الجَنَّةَ ) [رواه أبوداود والنسائي بإسناد صحيح] , والشظية: بالشين مفتوحة هي القطعة من رأس الجبل .
-    وأما المسافر؛ فلحديث مالك بن الحُوَيْرِث رضي الله عنه قَالَ : (أَتَى رَجُلانِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُرِيدَانِ السَّفَرَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا ثُمَّ أَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا ) [رواه البخاري].
ثالثاً : شروط صحة الأذان والإقامة :
يشترط لصحة الأذان والإقامة عشرة شروط لابد من الإتيان بها ، وهي :
1 - الإسلام: فلا يصحان من الكافر.
2- العقل: فلا يصحان من المجنون ولا من الطفل غير المميز، كسائر العبادات ؛ لأنهما من غير أهل العبادات .
3- النية: لحديث (إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ) [رواه البخاري ومسلم] .
4-الذكورية: فلا يصحان من الأنثى ؛لأنه يشرع فيهما رفع الصوت وليست من أهل ذلك .
5- أن يكون المؤذن أو المقيم ناطقاً: لينطق بهما .
6- العدالة: فلا يصح أذان الفاسق ؛ لأنه صلى الله عليه وسلم وصف المؤذنين بالأمانة فقال: (وَالمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ) [رواه أبوداود والترمذي بإسناد صحيح] .
7- أن يكون الأذان في وقت الصلاة: فلا يصح قبل دخول وقتها، إلا الأذان الأول للفجر والجمعة، فيجوز قبل الوقت، وأن تكون الإقامة عند إرادة القيام للصلاة.
8- أن يكون الأذان مُرتَّباً مُتوالياً, وكذا الإقامة:كما وردت بذلك السنة ؛ لأنهما شُرِعا كذلك ، فلا يجوز الإخلال بهما, فإن سكت سكوتاً طويلا أو تكلم بكلام طويل , بطل الأذان أو الإقامة ؛ للإخلال بالموالاة, فإن كان يسيراً لم يبطلا , قال البخاري في صحيحه: (وَتَكَلَّمَ سُلَيْمَانُ بْنُ صُرَدٍ - وهو من الصحابة - فِي أَذَانِهِ).
9- أن يكون الأذان والإقامة من شخص واحد: فلا يصح أن يؤذن واحد أو يقيم إلى الشهادتين مثلاً ، ثم يأتي آخر فيكمل الأذان أو الإقامة؛ لأنهما عبادتان بدنيتان فلا يصح أن يبني فعله على فعل غيره .
10- رفع الصوت بهما: ليحصل الإعلام بالصلاة؛ إذ هو المقصود من الأذان , إلا إذا كان يؤذن لنفسه, فلا يشترط رفع الصوت إلا بقدر ما يسمع نفسه أو الحاضر معه .


رابعاً : الصفات المستحبة في المؤذن

يستحب في المؤذن عدة أمور ، وهي :

1-  أن يكون صَيِّتاً (أي قوي الصوت لقوله صلى الله عليه وسلم لعبد الله بن زيد رضي الله عنه: (...فَقُمْ مَعَ بِلالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ) [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجة بسند صحيح] . ولأن الصوت القوي أبلغ في إسماع الناس .

2-  أن يكون أميناً؛ لأن المؤذن مؤتمن يُرجع إليه في الصلاة والصيام، فلا يُؤْمَنُ أن يغرَّهم بأذانه إذا لم يكن كذلك , وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : (أُمَنَاُء المُسْلِمِينَ عَلَى صَلاتِهِمْ وَسُحُورِهِمْ المُؤَذِّنُونَ] (رواه البيهقي وهو حسن بشواهده[

3-  أن يكون عالماً بالأوقات ؛ ليتحرَّاها فيؤذن في أوَّلها، لأنه إن لم يكن عالماً ربما غلط أو أخطأ.

4-  أن يكون متطهراً من الحدث الأصغر والأكبر؛ لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال) :لا يُؤَذِّنُ إِلا مُتَوَضِّئٌ]  (رواه الترمذي والبيهقي بإسناد ضعيف[

5-   أن يؤذن ويقيم قائماً؛ لقوله صلى الله عليه وسلم لبلال) : قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاة)] رواه البخاري ومسلم] . فإن أذَّن قاعداً لعذر فلا بأس ؛ لما رواه الحسن العبدي رحمه الله قال:) دَخَلْتُ عَلَى أَبِي زَيْدٍ الأَنْصَارِيِّ - من الصحابة - فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَهُوَ جَالِسٌ ... وَكَانَ أَعَرَجَ أُصِيبَتْ رِجْلُهُ فِي سَبِيلِ الله تَعَالَى] (رواه الأثرم والبيهقي بإسناد حسن[

خامساً: ما يُسَنُّ في الأذان والإقامة :

6-  أن يؤذن في أول الوقت ؛ لحديث جابر بن سمرة رضي الله عنه قال : (كَانَ بِلالٌ لا يُؤَخِرُ الأَذَانَ عَنِ الوَقْتِ ، وَرُبَّمَا أَخَّرَ الإِقَامَةَ شَيْئًا] (رواه ابن ماجه بإسناد حسن[

7-  أن يكون على عُلُوٍّ ؛ لأنه أبلغ في الإِعلام , ولما ثبت عن بلال رضي الله عنه (أَنَّهُ كَانَ يُؤَذِّنُ عَلَى سَطْحِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ , بَيْتُهَا مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ المَسْجِدِ] . (رواه أبو داود بمعناه وإسناده حسن[

8-  يجوز الأذان على الراحلة؛ من دابة أو سيارة أو طائرة ؛ لما رواه نافع قال) : كَانَ ابْنُ عُمَرَ رُبَّمَا أَذَّنَ عَلَى رَاحِلَتِهِ الصُّبْحَ ثُمَّ يُقِيمُ بِالأَرْضِ] (رواه البيهقي وهو حسن بشاهده [

9-  أن يؤذن مستقبلاً القبلة ؛ لما رواه عبد الرحمن بن أبى ليلى عن عبد الله بن زيد في رؤيا الأذان قال (جَاءَ عَبْدُالله بْنُ زَيْدٍ فَقَالَيَا رَسُولَ الله ؛ إِنِّي رَأَيْتُ رَجُلاً نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ فَقَامَ عَلَى جِذْمِ حَائِطٍ , فَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ... ( فذكر الحديث . [رواه إسحاق بن راهويه فى مسنده وسنده صحيح[

10- رافعاً وجهه جاعلاً سبابتيه في أذنيه ؛ لما ثبت عن أبي جحيفة رضي الله عنه أنه قال) : رَأَيْتُ بِلالًا يُؤَذِّنُ وَيَدُورُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا وهاهنا ، وَأُصْبُعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ) ، قَالَ : (وَرَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ)رواه أحمد والترمذي بإسناد صحيح[

11-  أن يلتفت يميناً لحي على الصلاة, وشمالاً لحي على الفلاح؛ لحديث أبي جحيفة رضي الله عنه ؛ وفيه ) :... وَأَذَّنَ بِلاَلٌ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا - يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً - يَقُولُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ]رواه مسلم[

12- أن يَتَرَسَّل في الأذان -أي يتمهل- ويَحْدُرُ الإقامة -أي يُسرع فيها- : لقوله صلى الله عليه وسلم لبلال) : يَا بِلالُإِذَا أَذَّنْتَ فَتَرَسَّل فِي أذَانِكَ , وَإِذَا أَقَمْتَ فَاحْدُرْ] (رواه الترمذي والبيهقي وابن عدي والحاكم وهو ضعيف الإسناد[

13-  أن يقول بعد حي على الفلاح في أذان الفجر: ( الصلاة خير من النوم ) مرتين ، ويُسمَّي التَّثْويب ؛ لحديث أبي مَحْذُورَة رضي الله عنه في الأذان وفيه : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له :... (فَإِنْ كَانَ صَلاَة الصُّبْحِ قُلْتَ: الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ ، الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ] (رواه أبو داود والنسائي بإسناد صحيح[

14-  أن يتولَّى الأذان والإقامة شخص واحد ما لم يشق ؛ لأنَّ بلالاً كَانَ هو الْمُؤَذّن ،والمقيم لرَسُول الله صلى الله عليه وسلم .
ومن أراد أن يجمع بين صلاتين أو يقضي صلوات فائته فإنه يؤذن للصلاة الأولى فقط ويقيم للأخرى أو للباقي ؛لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلَّى الظهر والعصر بعرفة بأذان وإقامتين .كما جاء في حديث جابر رضي الله عنه الطويل الذي رواه الإمام مسلم في وصف حجة النبي صلى الله عليه وسلم ، ولحديث عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: (إِنَّ المُشْرِكِينَ شَغَلُوا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ ، فَأَمَرَ بِلالاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ ، فَصَلَّى الظُّهْرَ ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ] (رواه النسائي وهو صحيح بشاهده[



سادساً : صفة الأذان والإقامة

صفة الأذان والإقامة كما جاءت في حديث رؤيا الأذان التي رآها عبد الله بن زيد رضي الله عنه قال:) لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلاَةِ ، طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ ، فَقُلْتُ : يَا عَبْدَ الله ! أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ ؟ قَالَوَمَا تَصْنَعُ بِهِ ؟ فَقُلْتُ : نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلاَةِ. قَالَ : أَفَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ؟ فَقُلْتُ لَهُ : بَلَى. قَالَ : فَقَالَ : تَقُولُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ . قَالَ : ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّى غَيْرَ بَعِيدٍ ، ثُمَّ قَالَ : وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلاَةَ : اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ ، أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ . فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ : إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللهُ فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ ؛ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ، فَقُمْتُ مَعَ بِلاَلٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ - قَالَ - : فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ وَهُوَ في بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ : وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالحَقِّ يَا رَسُولَ اللهِ ! لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : فَلِلَّهِ الْحَمْدُ ) ]رواه أبو دواد بإسناد صحيح[


سابعاً: ما يقوله سامع الأذان، وما يدعو به بعده:

يستحب لمن سمع الأذان , أو الإقامة أن يفعل ما يلي :

1-  أن يقول مثل ما يقول المؤذن أو المقيم؛لحديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ المُؤَذِّنُ( ]رواه البخاري ومسلمي [

إلا عند قول المؤذن حي على الصلاة , وحي على الفلاح، فيقول : (لا حول ولا قوة إلا بالله) ؛ لحديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه ؛ وفيه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ...(ثُمَّ قَالَ – أي المؤذنحَيَّ عَلَى الصَّلاةِ ، قَالَ- أي السامع -: لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللهِ ، ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الفَلاحِ ، قَالَ : لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللهِ] ... (رواه مسلم[

-  وعند قول المؤذن في الإقامة قد قامت الصلاة , يقول السامع : (أقامها الله وأدامها ؛ لما روي عن بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم (أَنَّ بِلالاً أَخَذَ فِي الإِقَامَةِ ، فَلَمَّا أَنْ قَالَ : قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : (أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا ( ]رواه أبو داود بإسناد ضعيف[

2-  يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم إذا فرغ ويقول : (اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة آت محمداً الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاماً محموداً الذي وعدته) ؛ لحديث عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال) :  إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ، ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللهُ عَلَيهِ بِهَا عَشْراً] (رواه مسلم[

وعن جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ : اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ ، وَالصَّلاةِ القَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّداً الوَسِيلَةَ وَالفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَاماً مَحْمُوداً الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ]  (رواه البخاري[

3-  الدعاء ؛ لحديث أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (الدُّعَـاءُ لا يُـرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَة( ]رواه أحمد والترمذي بإسناد صحيح[

 - ويحرم الخروج من المسجد بعد الأذان بلا عذر أو نية الرجوع للمسجد مرة أخرى ؛ لحديث أبي الشَّعثاء قال) : كُنَّا قُعُودًا في المَسْجِدِ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ ، فَأَذَّنَ المُؤَذِّنُ ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ المَسْجِدِ يَمْشِى ، فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنَ المَسْجِدِ ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم)رواه مسلم[


https://www.okaz.com.sa/article/366718. Tanggal akses 27/8/2018.


[1] Teks aslinya adalah:

یک مؤذن داشت بس آواز بد

در میان کافرستان بانگ زد

چند گفتندش مگو بانگ نماز

که شود جنگ و عداوتها دراز

او ستیزه کرد و پس بی‌احتراز

گفت در کافرستان بانگ نماز

خلق خایف شد ز فتنهٔ عامه‌ای

خود بیامد کافری با جامه‌ای

شمع و حلوا با چنان جامهٔ لطیف

هدیه آورد و بیامد چون الیف

پرس پرسان کین مؤذن کو کجاست

که صلا و بانگ او راحت‌فزاست

هین چه راحت بود زان آواز زشت

گفت که آوازش فتاد اندر کنشت

دختری دارم لطیف و بس سنی

آرزو می‌بود او رامؤمنی

هیچ این سودا نمی‌رفت از سرش

پندها می‌داد چندین کافرش

در دل او مهر ایمان رسته بود

هم‌چو مجمر بود این غم من چو عود

در عذاب و درد و اشکنجه بدم

که بجنبد سلسلهٔ او دم به دم

هیچ چاره می‌ندانستم در آن

تا فرو خواند این مؤذن آن اذان

گفت دختر چیست این مکروه بانگ

که بگوشم آمد این دو چار دانگ

من همه عمر این چنین آواز زشت

هیچ نشنیدم درین دیر و کنشت

خوهرش گفتا که این بانگ اذان

هست اعلام و شعار مؤمنان

باورش نامد بپرسید از دگر

آن دگر هم گفت آری ای پدر

چون یقین گشتش رخ او زرد شد

از مسلمانی دل او سرد شد

باز رستم من ز تشویش و عذاب

دوش خوش خفتم در آن بی‌خوف خواب

راحتم این بود از آواز او

هدیه آوردم به شکر آن مرد کو

چون بدیدش گفت این هدیه پذیر

که مرا گشتی مجیر و دستگیر

آنچ کردی با من از احسان و بر

بندهٔ تو گشته‌ام من مستمر

گر به مال و ملک و ثروت فردمی

من دهانت را پر از زر کردمی



[2] Dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi’i karya Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dijelaskan bahwa hukum azan adalah sunah. Azan juga memiliki beberapa syarat sah. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa syarat sah azan ada tujuh.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: