Raja Salman (kanan) dan MBS (tengah)
Rezim Al Saud dengan menggulirkan fitnah baru di Timur Tengah selain melemahkan posisinya regionalnya, juga dalam rangka mendukung kepentingan rezim Zionis.
Fitnah baru Al Saud di Timur tengah dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang. Pertama, perubahan hubungan terselubung dengan Israel menjadi hubungan nyata. Asumsi rezim Al Saud adalah bahwa dalam perimbangan kekuatan di Timur Tengah, Riyadh telah kalah di hadapan para rivalnya. Oleh karena itu, Riyadh beranggapan dengan semakin merapat kepada rezim Zionis, posisinya di Timur Tengah dapat diperkokoh.
Pangeran Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman, dalam kunjungannya pada bulan Maret lalu ke Washington, selain mengakui rezim Zionis, juga menuding Palestina sebagai faktor kegagalan perundingan damai. Oleh sebab itu, kedekatan Arab Saudi dengan Israel bukan hanya akan melanjutkan brutalitas rezim ZIonis di hadapan rakyat Palestina, juga akan memperlebar jurang perbedaan dalam tubuh dunia Islam.
Kedua, fitnah Arab Saudi di Timur Tengah adalah perannya dalam perang proxy di kawasan. Perang langsung AS di Timur Tengah akan membebani biaya besar bagi Washington. Akan tetapi dalam perang proxy, bukan hanya negara-negara pelaksana yang akan terjun menggantikan posisi AS, bahkan kepentingan finansial Washington juga terpenuhi sebagai penyuplai senjata dan amunisi.
Yaman dan Suriah merupakan dua medan perang proxy utama Amerika Serikat di kawasan yang secara langsung ditantani oleh Arab Saudi. Hasil dari perang tersebut adalah pengungsian 12 juta warga Suriah di dalam dan luar negeri dan tiga juta warga Yaman, serta tewas dan terlukanya ratusan ribu orang di Suriah dan belasan ribu warga Yaman. Tidak hanya itu, infrastruktur kesejahteraan kehidupan warga Suriah dan Yaman juga hancur.
Ketiga, rezim Al Saud berusaha memilah jenis rezim regional berdasarkan mazhab dan etnis. Arab Saudi yang mengklaim sebagai pemimpin kubu Ahlussunnah di Timur Tengah, tidak menyia-nyiakan segala bentuk makar terhadap warga Syiah baik komunitas Syiah di dalam negerinya atau warga Syiah di negara-negara lain. Gejolak yang terjadi di Irak juga dikarenakan politik fitnah perpecahan Arab Saudi.
Rezim AL Saud dalam proses pendudukan Irak oleh kelompok teroris Daesh (ISIS), menurut berbagai tokoh terkemuka Irak termasuk mantan perdana menteri Irak, Nouri Al-Maliki, selalu mendukung Daesh, dan secara implisit mendukung langkah pemimpin wilayah otonomi Kurdistan Irak, Masoud Barzani untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat Baghdad. Jejak rezim Al Saud juga terdeteksi di balik demonstrasi anti-pemerintah di Irak selatan, dan juga berbagai peristiwa terbaru di provinsi Basrah.
Pada saat yang sama, rezim Al Saud juga menggulirkan fitnah perang saudara di Lebanon, akan tetapi berkat kewaspadaan Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayyid Hassan Nasrullah dan sejumlah tokoh seperti Michel Aoun, Presiden Lebanon, fitnah tersebut berhasil digagalkan.
Seluruh langkah dan politik Arab Saudi telah membuat banyak tokoh dan analis menilai Arab Saudi sebagai penebar benih fitnah di Timur Tengah.
(Parstoday/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar