Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel adalah merupakan hasil konspirasi tiga negara yang berkepentingan. Tiga negara tersebut adalah Arab Saudi, Israel dan Amerika Serikat. Konspirasi ini menjadi gencar beberapa bulan terakhir, untuk menguasai Timur Tengah, khususnya wilayah Gaza. Jelas dalam hal ini Palestina tidak akan dilibatkan.
Kalau kita melihat kilas balik ke belakang, beberapa peristiwa yang terjadi memiliki benang merah dengan apa yang kita saksikan sekarang ini. Pertama, sekitar tiga bulan yang lalu, pemerintah Inggris dan Kerajaan Arab Saudi melakukan pertemuan bilateral. Fakta yang diungkap kepada khalayak adalah rencana mega proyek sang Putra Mahkota untuk membangun kawasan bisnis.
Namun lazimnya, pertemuan itu tidak hanya membicarakan masalah ekonomi tapi juga masalah politik. Hanya saja, pembicaraan mengenai politik telah disembunyikan. Bagaimana pun kita harus ingat bahwa Inggris adalah sekutu terdekat AS. Inggris selalu menyetujui langkah-langkah Amerika Serikat untuk mengendalikan dunia.
Tidak berapa lama, kemudian Donald Trump melakukan kunjungan ke Arab Saudi. Alasan yang disajikan kepada pers, adalah kerjasama di bidang ekonomi terkait mega proyek, serta membangun pangkalan militer AS di Arab Saudi. Agenda pembicaraan lain tampaknya tidak diketahui oleh pers atau masyarakat umum.
Bulan berikutnya, secara diam-diam Putra Mahkota, Mohammed bin Salman melakukan kunjungan ke Tel Aviv. Sayangnya kunjungan tersebut tercium oleh pers. Putra Mahkota berdalih bahwa ini adalah kunjungan pribadi. Namun sebagai pemimpin dari kerajaan Arab Saudi, besar kemungkinan melakukan pembicaraan terkait Palestina.
Di sisi lain, Putra Mahkota merombak tatanan pemerintah dengan alasan memberantas korupsi. Namun yang ditangkap sebenarnya adalah oarang-orang yang diperkirakan tidak loyal atau akan menentang kebijakan yang dikeluarkan kerajaan. Perampasan aset-aset orang-orang yang ditangkap, terindikasi menjadi modal yang akan digunakan untuk langkah kerajaan berikutnya.
Ketika dunia heboh dengan pernyataan Donald Trump tentang Yerusalem, terungkap sebuah fakta penting. Bulan lalu saat Presiden Palestina Mahmoud Abbas berkunjung ke Riyadh, Putra Mahkota menyodorkan sebuah proposal agar Palestina mengganti ibukotanya dengan Abu Dis. Jelas bahwa Yerusalem sudah dipastikan menjadi milik Israel.
Abu Dis adalah kota di wilayah Yerusalem Timur. Kota ini dikelola bersama antara pemerintah Israel dengan pemerintah Palestina. Meski Abu Dis tidak begitu jauh dari Yerusalem, tetapi kota ini sama sekali tidak memiliki nilai sakral bagi umat muslim. Di Yerusalem ada Masjidil Aqsa, tempat suci ketiga kaum muslim, sedangkan Abu Dis hanya kota biasa.
Dalam proposal tersebut, Mahmoud Abbas hanya diberi waktu selama dua bulan untuk menjawab. Apa yang bisa kita lihat? jelas jawaban Mahmoud Abbas tidak akan mempunyai arti apapun bagi tiga negara tersebut. Kalaupun menolak, maka Palestina tetap dipaksa untuk menerima bahwa Yerusalem menjadi ibukota baru Isarel.
Karena itu, baik jawaban ya atau tidak, rakyat Palestina hanya akan menjadi korban. Arab Saudi, Israel dan Amerika Serikat tidak pernah memikirkan nasib mereka. Menjadi suatu keharusan bagi negara-negara tersebut untuk mencaplok tanah Palestina secara sewenang-wenang agar tujuan menguasai wilayah gaza dapat tercapai.
Sejak kemarin hingga hari ini, rakyat Palestina turun ke jalan-jalan utama di Yerusalem. Misalnya jalan Sultan Salahuddin, yang menuju Masjidil Aqsa. Gelombang protes secara besar-besaran ini telah menimbulkan bentrokan dengan pasukan Israel. Anak-anak yang ikut demontrasi juga menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan tentara Israel.
Di sejumlah negara gelombang protes juga terjadi. Termasuk di negara-negara Eropa Barat seperti Jerman. Kanselir Jerman yang tampak keberatan dengan keputusan AS, menghimbau agar diadakan pertemuan antara pemimpin-pemimpin dunia untuk membicarakan hal ini.
(Kompasiana/Muthiah-Al-HasanyShabestan/Berbagai-Sumber-Laqin/ABNS)
Posting Komentar