Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Epistemologi Agama

Epistemologi Agama

Written By Unknown on Jumat, 09 Februari 2018 | Februari 09, 2018


Oleh: Mahdi Yahya

Membicarakan jagad wujud, seperti menimba air laut yang tidak akan pernah habis dan selesai. Setiap timba yang diambil dari lautan wujud merupakan batasan-batasan terhadap realitasnya. Setiap filsuf berupa membagikan isi timba tersebut kepada generasi selanjutnya dalam bentuk karya-karya tulis.

Salah satu permasalahan jagad wujud yang selalu menjadi soroton para filsuf adalah pengetahuan. Meninjau pengetahuan sebagaimana pengetahuan itu sendiri. pada era-era awal para filsuf, mereka tidak pernah membedakan kajian ilmu dengan aspek yang beragam dan kemudian memilah-milahnya menjadi satu subjek tersendiri. Terkadang, sering kali kita menyaksikan bahasan mereka menari-nari dan kemudian meloncat dari satu sudut pandang ke sudut lainnya.

Sebagai contoh kasus, terkadang bahasan tentang ilmu ada dalam pasal eksistensi mental. Dalam pasalnya yang sama, kita melihat ilmu terkadang menjadi objek sorortan para filsuf sebagai kesesuaian antara mental dengan realitas eksternal. Atau pun realitas ilmu sebagai kaif nafsani yang merupakan bahasan ontologi ilmu.

Pada era modern hingga kontemporer, sengaja membedakan antara keduanya, para filsuf mulai memberikan perhatian serius dengan berkembangnya disiplin metodologi pengetahuan. Seiring dengan berkembang dan meluasnya kajian secara sistematik dan terminologis, maka pemilahan terhadap subjek bahasan tentang pengetahuan pun membelah diri. Melihat pengetahuan sebagai metodologi peraihan pengetahuan menyeret kita pada istilah epistemologi. Namun, jika pengamatan pada pengetahuan sebagai suatu fakta dari jagad wujud, maka itu adalah filsafat ilmu atau juga disebut dengan meta-epistemologi.

Memahami kedua perbedaan sudut pandang subjek dan metodologi sangat membantu kita untuk membedakan subjek bahasan, agar tidak terjebak dalam kerancuan subjek. Memasuki bahasan pengetahuan tanpa membedakan kedua kajian di atas, tentunya akan membangun paradigma yang rancu. Sehingga, menjadikan keduanya seakan satu bahasan.

Terlepas dari diskursus tentang epistemologi dan meta-epistemologi, pokok bahasan dalam makalah ringan ini adalah epistemologi yang merasuki kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Artinya, pengetahuan memasuki kehidupan manusia dan mewarnainya dalam seluruh fase mentalnya. Penekanan pada mental, karena seluruh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tersimpan dalam mentalnya. Walaupun, terjadi ke-gradual-an dalam perolehan dan metodologinya.

Salah satu bagian penting dalam fase epistemologi adalah tahapan pengetahuan agamis. Menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang fase ini. Karena, pada tingkatan pengetahuan agamis, terkandung metodologi epistemologi dengan seluruh tingkatannya. Tentunya, epistemologi agamis sangat terkait dengan pengetahuan kewahyuan.

Dalam menjelajah epistemologi agamis, dalam makalah ini akan sering bersinggungan dengan pengetahuan kewahyuan. Perolehan dan capaian pengetahuan agamis tidak lepas dari penggunaan seluruh metodologi yang belaku pada epistemologi. Terjadi perbedaan di kalangan ulama tentang metodologi pendekatan terhadap pengetahuan kewahyuan, namun mereka sepakat dalam tujuan, dan itu adalah mencari akar rasionalitas dalam konten kewahyuan dan menjaga keimanan dari segala bentuk gangguan.


Alquran, Sumber Pengetahuan Agama

Alquran merupakan kitab yang menghidupkan hati dengan ilmu dan pengetahuan ilahiayah yang abadi. Kitabullah yang menyeru kepada perkara-perkara atau sisi-sisi keilahiyahan. Dan seluruh hamba-Nya hendaklah merujuk kepada kitab tersebut agar terealisasi pengambilan manfaat darinya, untuk menuju sisi-sisi keilhaiyahan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, penafsir seyogianya dapat mengurai sisi-sisi tersebut agar manusia bisa menjelmakannya dalam kehidupan jasmani dan ruhaniahnya. Alquran menjelaskan hal di atas dalam surah al-Isra’, sebagai berikut:

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (Q.S: 17:82)

Seorang penafsir bertugas untuk menyingkap tabir dari ayat-ayat suci qurani agar nampak hakikatnya dan berkilau maknanya, berdasarkan kapasitas dan kualitas penafsir. Setiap penafsir memiliki kapasitas dan kualitas keilmuan yang beragam. Keragaman tersebut memberikan pengaruh yang besar bagi penafsir ketika membaca ayat-ayat suci, sehingga berpengaruh pemaknaannya dalam penafsiran. Terdapat banyak kitab tafsir yang menunjukkan latar-belakang keilmuan penafsirnya. Sudut-pandang para penafsir mengekspresikan kecenderungan ilmiah mereka, dengan demikian pun, mereka tidak mengabaikan atau pun masabodoh terhadadap makna linguistik dari perkata bahasa wahyu.

Kembang-kencup pemaknaan terkait erat antara teks dengan konteks. Dari sisi lainnya, juga terhubung dengan disiplin pengetahuan yang menjadi landasan dasar penafsir. Sebagai contoh kasus kata “nur” (baca: cahaya). Di tangan seorang ‘arif cahaya memiliki makna emanasi Kausa-Prima kepada akibat-akibat yang menyeruak dari-Nya. Sedangkan, di tangan seorang teolog diartikan hidayat dan petunjuk. Namun, mereka tidak mengabaikan arti linguistik cahaya tersebut dari makna aslinya.

Kembang-kencup pemaknaan terhadap teks, baik teks suci atau pun bukan, merupakan salah satu subjek bahasan semiotika. Semiotik menjadi sangat krusial dalam membaca teks suci, selain hermeneutik dan semantik. Peranan yang diambil semiotik dalam pembacaan teks-teks suci adalah membaca tanda (baca:bahasa) dan mengaitkannya dengan makna (fakta atau pun konteks). Dalam proses pengaitan tersebut, kembang-kencup makna tidak bisa dihindari.

Nah, menarik untuk diamati secara seksama, peran semiotik tidak kalah besar, bahkan bisa dikatakan lebih besar ketimbang porsinya hermenenutik dalam pembacaan teks-teks suci. Selanjutnya, peranan semiotik dalam membentuk bangunan pengetahuan agamis sangat besar. Dimana, kembang-kencup pemaknaan yang ditangkap oleh seorang penafsir memberikan satu pengetahuan baru baginya.

Dengan sekelumit penjelasan di atas, maka menjadi jelas bagi kita betapa pentingnya pengetahuan agamis. Dan dari sisi inilah, kita memerlukan struktur bangunan pengetahuan agamis.


Sekilas tentang Bahasa dalam Pandangan Ahli Ushul Fiqih

Bagi sebagian orang di saat mendengar kata usul-fiqih tersirat di Paiman mereka adalah satu disiplin ilmu yang berkutat dalam kedah-kaedah kefikihan. Padahal, jauh panggang dari api. Usul-fiqih adalah satu disiplin ilmu yang membahasa anasir-anasir umum dalam upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya. Menariknya, sebagaian besar bahasan dalam usul-fiqih justru berkutat pada kajian bahasa. Salah satu diskursus yang mengundang perdebatan serius di dalamnya adalah asal usul kemunculan bahasa.

Konvensional bahasa merupakan landasan dasar dalam diskursus tentang bahasa. Artinya, bahasa bukan sesuatu titipan yang disematkan ke dalam jiwa manusia. Melainkan, berdasarkan kesepakatan dan kesepaham antara dua orang atau pun lebih atas satu kata yang bertujuan menerangkan satu fakta tertentu. Sebagai singgungan, dalam logika formal terdapat bahasan tantang beberapa jenis eksistensi. Salah satunya adalah eksistensi kata dan bahasa. Bahasan tersebut sama dengan apa yang digagas dalam usul-fiqih.

Contoh kasus, kata “gelas” yang terdiri dari beberapa huruf yaitu, g-e-l-a-s disepakati sebagai penunjuk atas realitas dan fakta wadah untuk minum. Kesepakatan tersebut menghasilkan gagasan di mental pendengarnya. Sehingga, dia memahami kemauan pembicarannya. Pertukaran keinginan pembicara menjadi gagasan pada pendengarnya tidak akan terealisasi tanpa ada kesepakatan atau konvensional atas kata tersebut. Poros terpenting yang menjadi sorotan para ahli usul-fiqih bukan pada kesepakatannya, namun pada bagaimana kata atau bahasa bisa menjadi penanda atas realitas dan bisa menciptakan gagasan pada pendengarnya.

Dengan ungkapan lain, kesepakatan saja tidak mampu untuk menghadirkan gagasan di mental pendengarnya. Perlu unsur lain yang mampu secara kokoh untuk mewujudkan gagasan tersebut. Sayyid Khoei berpendapat, unsur tersebut tidak lain adalah “perjanjian”. Di mana, peletak kata berjanji untuk menggunakan kata tersebut sebagai penanda atas realitas tertentu. Sayangnya, pendapat beliau tergeser oleh teori bahasa Syahid Sadr. Sadr, setelah memberikan beberapa keberatan atas pandangan Sayyid Khoei, guru Sadr, memaparkan teori bahasanya yang dikenal dengan “al-qarn al-akid” (baca: keseiringan yang erat).

Menurut Sadr, eksistensi eksternal dan eksistensi bahasa harus memiliki ikatan yang kuat. Tanpa ikatan tersebut tidak akan menghasil gagasan bagi pembicara atau pun pendengar. Ikatan tersebut adalah upaya mengikat dua eksistensi tersebut dengan cara penggunaan selalu keduanya. Kondisi tersebut berakhir pada sirnanya kata dalam makna. Manunggaling kata dalam makna. Sehingga, ketika terdengar kata “gelas” pendengar tidak lagi terfokuskan kepada eksistensi kata yaitu “g-e-l-a-s”, namun langsung mental pendengar mendapatkan gagasan eksistensi eksternal gelas. Setelah sedikit kita menjelajah dunia bahasa dan hubungannya dengan realitas, maka saatnya kita memasuki subjek bahasan kita yaitu, bahasa wahyu. Peran beberapa disiplin ilmu sangat besar untuk memperoleh pengetahuan agamis dari bahasa wahyu.


Teologi Baru

Salah satu persoalan yang menerpa kaum agamis adalah ketika dihadapkan pada muatan-muatan teks suci yang diyakini. Pertanyaan fundamental bak tsunami menghantam keyakinan mereka terhadap teks-teks suci yang disakralkan. Tidak sedikit, mereka terjebak pada dikotomi kelompok. Sebagian, mulai terbawa arus tsunami dan “ikut-ikutan” mempertanyakan kembali teks agama. Lainnya menolak segala bentuk rasionalitas dan rasionalisasi teks suci. Dikotomi tersebut membelah pandangan kaum agamis menjadi lateralis dan liberalis. Minimnya modal disiplin ilmu yang mereka miliki merupakan konsekuensi dari dikotomi tersebut. Padahal, terdapat jalan tengah yang dapat menjembatani antara keimanan dan rasionalitas. Jalan tengah tersebut adalah dengan tidak mengabaikan sisi-sisi pengetahuan yang digunakan untuk memperkuat keyakinan.

Jika kita menyelisik tujuan ilmu kalam yaitu, menjaga keyakinan dan keimanan dari terpaan kritik fundamental, maka dapat dimengerti tujuan sebagian pemikir kontemporer muslim menggagas Teologi Baru (new theology) sebagai jembatan yang menengahi antara rasionalitas dengan keimanan.

Teologi Baru merupakan “jabang bayi” di tengah-tengah kaum muslimin. Tentunya, bahasan dan istilah teologi ini bukanlah hal yang asing bagi dunia Barat. Masuknya Teologi Baru di tengah kaum muslimin adalah andil sebagian pemikir kontemporer muslim yang menganggap terpaan badai kritik terhadap gereja juga bisa berlaku kepada teks-teks suci, Alquran dan riwayat.

Tidak dipungkiri, badai kritik terhadap gereja dengan mempertanyakan validitas muatan teks Injil yang dibenturkan kepada sains. Diawali dari Galileo Galilei yang berujung pada fatwa mati atasnya. Tragedi Galleleo memicu kemarahan kaum Saintis untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni keimanan yang diwakili oleh gereja. Klimaksnya, gelombang Renaissance di Prancis dan Aufklarung di German memudarkan hegemoni tersebut.

Namun, badai tersebut tidak berhenti dengan memudarnya hegemoni gereja, bahkan menampakkan kegigihannya dan menancapkan pondasi-pondasi berfikirnya semakin kuat. Berbagai karya ilmiah dari mulai koronal, esseai dan buku terbit secara masif. Menariknya, pihak gereja pun lemah menghadapi badai kritik tersebut.

Mengamati sekelumit perjalanan pemikiran yang terkait dengan agama, maka sangat dimaklumi bila sebagian pemikir muslim kontemporer memasukkan Teologi Baru sebagai satu disiplin pengetahuan di tengah-tengah kaum muslimin.

Bahasan-bahasan seperti, hubungan agama dengan sains, agama dan etika, definisi agama, pluralitas gagasan terhadap muatan agama, hermeneutik dan tafsir dan kembang-kencup pengetahuan agamis merupakan sekian dari kajian Teologi Baru.


Epistemologi teks

Salah satu hal terpenting dan terkait dengan seluruh bahasan teks adalah epistemologi teks. Bahkan, kajian tersebut menjadi landasan bagi hermeneutik, semiotik dan tafsir. Teks merupakan media untuk memindahkan keinginan penulis kepada pembaca, sebagaimana kalimat yang terucapkan merupakan media untuk menjelaskan keinginan pembicara yang tersembunyi di benaknya kepada pendengar. Teks harus mewakili kehendak penulis agar benar-benar dimengerti oleh pembaca. Seluruh teks memiliki tujuan tersebut tanpa terkecuali, termasuk teks-teks suci agama. Namun, tidak setiap teks memiliki tingkatan yang sama. Teks sastra berbeda dengan teks ilmiah, begitu pula teks agama. walaupun, sama dalam tujuan.

Terdapat dua aliran dalam menghubungkan makna dengan teks. Kelompok pertama, Atomistic, menganggap bahwa makna dari sebuah teks itu terkandung dalam kalimat-kalimat. Di mana setiap kalimat memiliki kekhususan tersendiri. Sedangkan kelompok kedua, Holistic, berkeyakinan bahwa makna dari sebuah teks tidak diperoleh serta-merta dari sebuah kalimat, melainkan dari kalimat-kalimat tersusun yang menjadi satu kesatuan, seperti sulaman benang, sehingga memiliki makna khas darinya. Setiap bagian dari sulaman tersebut, kalimat, memiliki peran khusus dan unik untuk membentuk makna dari sekumpulan bagian-bagiannya.

Selanjutnya, permasalahan makna dan teks berkembang pada pembatasan makna dan kebebasan makna. Dengan artian, apakah makna dari setiap teks memiliki keterbatasan atau bebas tanpa sekat. Gadamer berpendapat, makna dari setiap teks tidak ditentukan. Ia tergantung dan terhubung dengan pendengar dan pembacanya hingga ia dapat dimengerti. Lain halnya dengan Gadamer, Derrida, pendiri mazhab dekonstruksi, berpandangan bahwa mungkin sekali makna dari sebuah teks tidak memiliki batasan. Dan sama sekali tidak ada satu makna bisa menjustifikasi makna lainnya. Karena, makna merupakan satu permainan dari tanda-tanda yang tiada batasannya. Ketika tanda-tanda tersebut berhadapan dengan tanda lainnya, bisa saja memberikan makna-makna temporal, akan tetapi makna-makna tersebut sama sekali tidak memiliki batasan.

Berbeda dengan pandangan di atas, terdapat satu kelompok lainya yang berpendapat bahwa hanya terdapat satu makna dari satu teks. Perseteruan dua pandangan di atas, berakibat pada munculnya kelompok ketiga yang berdiri di antara keduanya, netral. Kelompok ini menawarkan pandangannya berkaitan dengan masalah hubungan antara teks dan makna dengan menegasikan bahwa teks hanya memiliki makna tertentu dan makna memiliki makna yang tidak terbatas. Menurutnya, makna dari sebuah teks memiliki batasan-batasan tertentu yang menyebabkan munculnya makna yang beragama, tidak tunggal. Beragamnya makna tidak berakhir dengan ketidakterbatasannya makna itu sendiri.


Logika Memahami Agama

Perkembangan pemikiran dunia pengetahuan menarik untuk selalu dikaji dan dicermati. Selain, memberikan wacana baru juga menambah daftar pustaka pengetahuan pada manusia. Diskursus-diskursus dialektik yang panjang di antara para pemikir, baik dalam pengertian penerimaan atau pun penolakan, menelurkan karya-karya menarik. Bahkan, terkadang tidak sedikit menghasil satu disiplin pengetahuan baru. Salah-satunya Teologi Baru di atas itu.

Selain itu, juga terjadi perkembangan pada metodologi memahami agama. Hal tersebut mendapatkan tempat khusus di kalangan pemikir. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang berupaya menawarkan teori dalam metodologi memahami agama.

Sekilas pandang, diskursus tentang agama mendapatkan ruang yang cukup besar di kalangan pemikir dunia, baik kontra atau pun pendukung. Kajian-kajian terhadap agama tidak mensyaratkan para penelaahnya harus sejalan dengan agama, bisa jadi seorang ateis memberikan pandangannya terhadap agama. Oleh karena itu, di sinilah letak mengapa diskursus terhadap agama memiliki ruang yang sangat luas dan menarik. Sebagai contoh kasus, Marx seorang sosialis yang memiliki kecenderungan kuat menolak agama juga menuangkan pandangannya terhadap agama.

Persoalan metodologi memahami agama bukan hal baru, khususnya dalam Islam. Garis-garis besar yang telah diberikan oleh agama itu sendiri ketika mengenalkan dirinya kepada manusia. Secara garis besar, agama memuat dua hal besar, teoretis dan praktis. Seluruh ajaran agama, jika ditarik pada pangkalnya hanya berporos pada dua garis besar tersebut. Teoritis menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya diketahui. Sedangkan praktis menerangkan hal-hal yang semestinya dilakukan. Singkat kata, teoretis berbicara pada poros pengetahuan, sedangkan praktis pada core “harus dan tidak”. Akan tetapi, dua garis besar tersebut tidak menjelaskan secara detail metodologi perolehannya.

Mengamati persoalan di atas, para pemikir agama, khususnya dalam Islam, mulai menata bangunan pengetahuan agamisnya dan menganalisa muatan-muatan agama sehingga bisa menelurkan metodologi yang benar dan tepat dalam memahami agama.

Proses dan prosedur memahami agama disebiut dengan logika memahami agama. Sebagai sampel kasus, Syeikh Muhammad Sanad al-Bahraini berpendapat, ushul-fiqih sebagai media untuk memahami agama. Menurutnya, dengan meletakkan ushul-fiqih sebagai landasan besar dalam memahami agama akan memberikan pengertian yang luas dalam menarik kesimpulan-kesimpulan pengetahuan dari agama. Walau pun demikian, Sanad tidak menolak penggunaan rasio, bahkan menurutnya rasio memiliki peran penting dalam menjalankan mekanisme ushul-fiqih sebagai logika memahami agama.

Selanjutnya, Sanad memberikan perluasan makna dan defini ushul-fiqih. Menurutnya, harus melakukan perombakan konsep ushul-fiqih yang selama ini hanya dipahami sebagai satu disiplin pengetahuan yang hanya digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum syariat dari sumber-sumber otentiknya. Definisi populer yang ditawarkan oleh Muhammad Baqir Shadr adalah satu disiplin ilmu yang membahas anasir-anasir umum dalam upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya. Melihat definisi tersebut, Sanad tergerak untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ushul-fiqih. Menurutnya, sangat relevan jika kita merobah definisi yang sudah ada. Dikarenakan, ushul-fiqih adalah pengetahuan metodologis sebagaimana logika. Metode dalam peraihan pengetahuan dari sebuah upaya penarikan kesimpulan hukum-hukum praktis. Oleh karena itu, seyogianya, dengan perkembangan zaman, ushul-fiqih tidak lagi dilihat sebagai pengetahuan metodologi dalam ranah hukum-hukum praktis. Namun, diletakkan sebagai metodologi peraihan pengetahuan agamis dari sumber-sumbernya. Dengan demikian, Sanad menawarkan definisi ushul-fiqih dengan adalah satu disiplin ilmu yang membahas anasir-anasir umum dalam upaya menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan agamis dari sumber-sumber otentiknya.

Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut tawaran Sanad di atas. Dengan menjadikan ushul-fiqih sebagai core besar dalam membaca agama agar diperoleh darinya pengetahuan-pengetahuan agamis, tentunya akan menarik kita pada satu bahasan yang tidak kalah menarik yaitu, intra-disipliner.

Sanad, dalam Imamah Ilahiyah-nya, setelah menjelaskan beberapa jenis pengetahuan sebagai premis atas karyanya, memulai bahasan tentang permasalahan teologi dengan membagi dua jenis hukum. Hukum wâqi’i dan hukum thariqi. Wâqi’i adalah hukum yang langsung mengarah kepada perbuatan manusia, seperti kewajiban salat. Sedangkan thariqi adalah hukum atau aturan-aturan yang termuat dalam ushul-fiqih dalam rangka menyingkap hukum wâqi’i. Selanjutnya, Sanad menjelaskan kemungkinan penggunaan kedua hukum atau aturan tersebut dalam permasalahan-permasalahan teologi. Pada paparannya, Sanad, menarik masalah keimanan pada ranah akal praktis.

Dengan sampel di atas, cukup jelas bagi kita, Sanad telah menawarkan intra-disipliner. Mengawalinya dengan bahasan ushul-fiqih dan berkembang pada kajian akal-praktis. Sudah menjadi mafhum, kajian akal-praktis merupakan satu core besar dalam filsafat. Banyak filsuf besar dunia seperti, Immanuel Kant hingga Derrida memberikan perhatian serius terhadapnya, baik dalam dukungan atau pun kritik.

Sebagai singgungan, persoalan akal-praktis memiliki akar sejarah yang panjang di tengah para filsuf muslim. Dari Ibnu Sina hingga Allamah Thabathabaei persoalan akal-praktis bergulir. Walau pun, pada awalnya permasalahan akal-praktis terkait dengan kasus-kasus teologis, namun bahasan dan terapannya terjalinlindan dengan beberapa disiplin pengetahuan seperti, filsafat dan ushul-fiqih.

Sangat menarik untuk menjelajahi persoalan intra-disipliner. Di mana, terdapat rajutan benang merah antara satu disiplin dengan lainnya. Sehingga, batasan-batasan antara disiplin menjadi semu, walau pun bukan dengan artian roboh.


Problematika Ushul Fiqih

Sebagaimana diketahui bersama, ushul-fiqih merupakan satu disiplin pengetahuan yang digunakan oleh mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat, fikih, dari sumber-sumber otentiknya. Akan tetapi, definisi-definisi yang dipaparkan oleh para pakar hanya membatasi fungsi ushul-fiqih. Padahal, terdapat tiga bagian besar pembahasan dalam ushul-fiqih. Jika diamati, ketiga bagian besar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan bagian lainnya, dan sebagai berikut:
1. Sebagian bahasan ushul-fiqih sama sekali tidak digunakan kecuali dalam menyimpulkan hukum-hukum fikih. Seperti, pembahasan tentang hakikat kesyariatan, sahih dan a’am, awamir (baca: perintah), macam-macam hukum, bagian-bagian wajib, mukadimah wajib, masalah dhid (baca: perlawanan), larangan-larangan, bertemunya –kata- antara perintah dengan larangan, mafahim, ijma’, istishab, ushul-amaliyah dan lain-lainnya.
2. Sebagian lainnya, selain digunakan dalam menyimpulkan hukum-hukum fikih juga dapat digunakan dalam domain-domain agama dan pengetahuan agamis. Seperti, pembahasan peletakan bahasa, hujjiyat dhawahir (baca: validitas makna tersurat dari kata atau kalimat), tanda-tanda hakiki –dari kata-, kondisi kata atau bahasa, homonimitas, dan sebagian pemabahasan rasional –aqli-. Kajian-kajian di atas, walau pun merupakan bahasan yang digunakan dengan pendekatan fungsional kefikihan saja, namun dalam perjalannnya, memperoleh perluasan cakupannya.
3. Sebagiannya lagi, pada hakikatnya adalah bahasan-bahasan yang sesungguhnya asing bagi ushul-fiqih, bahkan merupakan bagian dari permasalahan ilmu-ilmu alat. Akan tetapi, dibahas dalam ushul-fiqih hanya sebatas singgungan. (Ali Akbar Reshad, Manteq Fahme Din, hal 66).

Mengamati bagian besar kedua di atas, menjelaskan pada kita bahwa sebagian bahasan ushul-fiqih merupakan ilmu alat dalam membentuk dan menciptakan pengetahuan agamis. Tentunya, melihat kondisi awal dari bahasan-bahasan tersebut yang hanya dikhususkan untuk menyimpulkan hukum-hukum fikih, diperlukan perluasan bahasan dan penyempurnaannya. Dari sinilah, sebagian ulama muda hauzah melihat perlunya akan hal tersebut. Dikarenakan, adanya “kebutuhan mendesak” bagi para pemikir agar dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan non-fikih yang terkait dengan pengetahuan-pengetahuan agamis. Oleh karena itu, istilah ijtihad tidak lagi hanya bercokol di dunia fikih, namun merambah seluruh pengetahuan yang terkait dengan agama, baik bangunan teoretis atau pun praktisnya. Sebagai contoh, ijtihad kalami (baca: ijtihad teologis) merupakan satu upaya menarik kesimpulan-kesimpulan teologis dari sumber-sumber primernya yang pada akhirnya akan membentuk satu sikap praktis di hadapannya.

“kebutuhan mendesak” tersebut mendorong para ahli dan ulama untuk merumuskan bangunan dan struktur pengetahuan yang dapat membantu mereka dalam menarik kesimpulan-kesimpulan non-fikih, yang disebut dengan pengetahuan agamis. Salah satunya dengan memperkuat dan mempertajam bahasan-bahasan “bagian besar” kedua dalam ushul-fiqih dan memperluas cakupannya tidak terbatas hanya dalam persoalan-persoalan kefikihan saja. Selain itu, juga memberikan seperangkat alat yang dapat dengannya mengukur dan menakar kesesuaian gagasan atau pun kesimpulan dengan sumber-sumbernya. Dari sinilah, muncul disiplin epistemologi agama.

Persoalan yang menjadi polemik antara para ahli dan ulama berkenaan dengan “affair of the truth” (baca: nafs al-amr) agama. Pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait masalah “affair of the truth” agama bukanlah sesuatu yang baru di kalangan kaum agamis. Seperti, apakah gagasan-gagasan yang diperoleh manusia dari teks-teks suci adalah sama dengan hakikat dan entitas kewahyuan secara faktual? Ataukah, gagasan tersebut hanya menyentuh “sebagian” kecil dari hakikat-hakikat kewahyuan? Jika, memang antara gagasan kewahyuan dengan faktanya adalah sama, lantas apakah penafsiran terhadap teks-teks suci merupakan pendeskripsian atas fakta-fakta tersebut? Ataukah, hanya merupakan pendeskripsian atas gagasan yang diperoleh dari teks-teks suci? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggugah para ahli dan ulama muda untuk memasuki kajian-kajian filosofis-irfani dalam membicarakan hakikat kewahyuan dan tolok-ukur kesesuaian antara gagasan kewahyuan dengan “affair of the truth”-nya.


Nafs al-Amr (baca: affair of the truth)

Dalam bahasan filsafat, terdapat satu bab yang mengupas “affair of the truth” secara detail. Sebagai singgungan, kajian “affair of the truth” merupakan bahasan ontologis yang terkait-erat dengan epistemologi. Di mana, “affair of the truth” merupakan wadah pengembalian seluruh jenis proposisi yang dimiliki oleh manusia. Lebih lanjutnya, manusia memiliki pengetahuan yang terdeskripsikan dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi tersebut berbeda antara satu dengan lainnya berdasarkan objeknya. Objek-objek tersebut beragam secara gradual.

Proposisi adalah sekumpulan gagasan yang terdiri dari subjek dan predikat serta menjelaskan predikasi, baik afirmatif atau pun negasi. Predikasi itulah penentu bagi hubungan antara subjek dengan predikatnya, yang kemudian menjadi pengetahuan. Pengetahuan manusia harus memiliki tolok-ukur benar dan salahnya, sehingga manusia mendapatkan jaminan atas apa yang dimilikinya sebagai pengetahuan.

Dalam pembahasan epistemologi, hal yang paling menarik perhatian para pakar adalah kajian tentang tolok-ukur benar dan salah. Diskursus tolok-ukur benar dan salah menyeret mereka untuk menuangkan teori tentangnya. Banyak teori telah mereka sodorkan, mengingat bahwa pengetahuan manusia harus mendapatkan jaminan, sehingga layak disebut pengetahuan dan berbeda dengan informasi yang belum terverifikasi. Dari sisi inilah, mengapa kaji tentang epistemologi menjadi sangat urgen.

Dari sisi lain, pengetahuan terverifikasi adalah yang dapat dikembalikan pengetahuan tersebut kepada pemiliknya, fakta. Tentunya, berbicara tempat pengembalian pengetahuan kepada pemiliknya akan menyeret kita memasuki bahasan tentang Nafs al-amr (baca: affairs of the truth).

Berdasarkan “teori korespondensi”, kesesuaian mental dengan eksternal, terdapat “affairs of the truth”, “wadah” pengembalian seluruh proposisi yang dimiliki manusia dalam mentalnya. “wadah” sebagai pemilik proposisi-proposisi dengan segala jenis dan tingkatannya.


Bahasa Wahyu

Agama mewartakan diri dan apa yang diembannya kepada manusia dengan meminjam media bahasa. Terdapat dua sisi tinjauan terhadap bahasa wahyu; tinjauan kebahasaan, dengan menggunakan bahasa Arab; tinjauan bahasa manusia, di mana wahyu berbicara kepada manusia dengan ukuran-ukuran fitrah dan nalarnya.

Bahasa merupakan media pemahaman. Melahirkan apa yang tersembunyi dalam benak. Kehendak dan keinginan yang batin menjadi lahir dengan peran bahasa, sehingga muncul kepahaman antara dua belah pihak; pembicara dan pendengar. Maka, dari sinilah dipahami bahwa hubungan antara kehendak dengan bahasa seperti hubungan antara zahir dan batin.

Sekilas intermezo, salah satu bahasan dalam ushul-fiqih tentang bahasa menjelaskan bahwa terdapat dua denotasi; sederhana; tersusun. Denotasi (baca: al-dilalah) sederhana adalah pendengar hanya sekedar mendengar satu kata “gelas”, baik dari manusia atau pun selainnya, secara spontan akan tergambar di dalam benaknya makna gelas sebagai wadah dan alat untuk minum. Pada fase ini bahasa dan makna terhubung dengan peletakan berdasarkan teori “keseiringan yang erat” ala Sadr. Denotasi tersusun terbagi menjadi dua: primer dan sekunder. Denotasi tersusun primer adalah ketika seorang pembicara berkeinginan menyiratkan makna satu kata kepada pendengar, namun tidak diiringi oleh kesungguhan dan keseriusan kehendak. Keseriusannya hanya sekedar dalam penggunaan kata pada maknanya seperti, ketika bersendagurau. Walau pun, dalam fase ini terjadi pemahaman, namun tidak menunjukkan keseriusan dan kesungguhan pembicara. Denotasi tersusun sekunder adalah merujuk pada keseriusan dan kesungguhan pembicara atas makna yang diinginkan. Pada fase ini, penggunaan bahasa tidak lagi merujuk pada peletakan bahasan, akan tetapi menitikberatkan pada penggunaan yang terkait dengan kehendak juga keinginan.

Melihat dua model denotasi di atas, dapat disimpulkan bahwa denotasi sederhana memfokuskan pada peletakan dan kesepakatan bahasan dan makna. Sedangkan pada denotasi tersusun menitikberatkan pada penggunaan dan kehendak.

Bahasa wahyu dapat ditinjau dari dua sudut denotasi di atas. Ketika dalam Alquran disebutkan kata “’arabiyan” menitikberatkan pada denotasi sederhana yaitu, bahasa yang digunakan untuk menciptakan pemahaman adalah bahasa Arab. Namun, di kala Alquran menggunakan kata “mubina” ingin menerangkan denotasi tersusun sekunder. Di mana, terdapat kesungguhan dan keseriusan pembicara untuk menjelaskan hakikat-hakikat serta realitas-realitas kepada manusia agar dapat dimengerti. Tentunya, dengan sebuah kesadaran bahwa tingkat dan kadar manusia menangkap penjelasan yang menghantarkan pada hakikat dan realitas tersebut beragam.

Mengingat kadar dan tingkat kemampuan manusia dalam memahami penjelasan wahyu tentang hakikat juga realitas beragam, maka bahasa wahyu, walau pun memiliki keindahan sastrawi, dapat dimengerti berdasarkan jenjang pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Semakin luas dan beragamnya pengetahuan yang dimiliki manusia sangat berperan dalam memahami bahasa wahyu.


Pengalaman Agamawi dan Penyingkapan Sufistik

Perseteruan merebut posisi agama dalam diri manusia di antara para pemikir dan filsuf terjadi bukanlah hal yang baru, khususnya bagi kaum muslimin. Al-Maturidi meletakkan pesan-pesan wahyu yang berhubungan dengan keimanan dalam ranah akal praktis, begitu pula Abul-Hasan al-Asy’ari setelah memisahkan diri dari aliran Mu’tazilah.

Perdebatan serius dalam permasalahan baik-buruk perbuatan manusia menyeret pada permasalahan teologis yang lebih dalam yaitu, ketentuan Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Dan berakhir pada meletakkan permasalahan teologis tersebut pada akal praktis.

Dari sisi lainnya, para sufi yang berkembang pada abad-abad awal Islam, menfokuskan diri mereka pada tazkiyah meletakkan agama dengan pesan-pesannya sebagai permasalahan akal praktis, namun jauh lebih spesifik ketimbang para teolog. Dalam pandangan mereka, para sufi, Tuhan dengan segala sifat dan asma’-Nya hanya bisa dikenali melalui pengalaman dan penyingkapan sufistik, karena akal manusia memiliki keterbatasan untuk mengenali-Nya. Dan proses penyingkapan sufistik atas realitas Tuhan hanya dengan cara tazkiyah (baca: penyucian jiwa).

Munculnya kelompok dan aliran dalam tasawuf berakar dari penentuan metodologi tazkiyah. Aliran tasawuf Abul-Hasan al-Bashri, yang dikenal dengan mazhab zuhud, menjadikan zuhud adalah pondasi dasar dalam tazkiyah. Ada pun, Rabi’ah al-‘adawiyah menjadikan isya dan cinta sebagai landasan dasar tazkiyah, sehingga aliran tasawufnya dengan dengan mazhab isyq wa mahabbah.

Para ‘arif atau pun sufi berkeyakinan, dengan kejernihan jiwa dapat meyakini teks-teks suci. Dalam artian, dengan kejernihan jiwa seorang ‘arif mampu memperoleh penyingkapan-penyingkapan hakikat atas teks-teks suci dan meyakininya tanpa proses rasionalisasi.

Dalam pandangan mereka, akal dan seluruh kemampuan pengetahuan manusia tidak memiliki kemampuan untuk sampai kepada Al-Haq, sifat-sifat dan asma’-Nya. Pengetahuan terhadap Zat Tunggal, sifat dan asma’-nya hanya bisa memperoleh jaminan validitasnya dengan cara penyingkapan dan ilham.

Di masa Suhrawardi, pada abad ke-enam hijriah, terjadi satu “revolusi” dalam mazhab tasawuf. Beliau menawarkan dalam hikmah isyraq-nya (baca: filsafat iluminasi) dua hal besar dalam berinteraksi dengan jagat wujud, khususnya Tuhan, dengan metodologi dzauq (baca: taste atau rasa) dan argumentasi rasional. Di mana, sebelumnya para sufi lebih cenderung menolak penggunaan rasio dalam berinteraksi dengan realitas Tuhan. Namun, sayangnya Suhrawardi dengan hikmah isyraq-nya tidak menjadi bagian tasawuf. Beliau diletakkan sebagai seorang filsuf dan bukan sebagai ‘arif.

Ibnu Arabi, pada abad ketujuh hijriah, mengamati sekumpulan faktor-faktor yang berlaku pada abad-abad sebelumnya, merumuskan tasawuf dalam wajah baru yang lebih menarik. Ibnu Arabi memberikan warna ilmiah, argumentatif dan sisi teoretis pada tasawuf. Karya monumentalnya, “fusus al-hikam” merupakan bukti nyata atas kerja ilmiah Ibnu Arabi. Dari sinilah, Ibnu Arabi menjadi tenar sebagai pendiri irfan teoretis.

Mengamati upaya rasionalisasi dan teorisasi irfan Ibnu Arabi sebagian ahli berpendapat bahwa penyingkapan atau mukasyafah merupakan akhir dari irfan praktis dan titik awal bagi irfan teoretis.

Lain di Timur, Barat pun juga tidak kalah menarik dalam diskursus keimanan dan agama. Tarik-menarik merebutkan posisi agama dan keimanan apakah berada dalam ranah akal teoretis ataukah akal praktis menjadi perdebatan-perdebatan panjang. Kant, filsuf Jerman, menarik dan meletakkan agama dalam cakupan akal praktis. Menurutnya, terdapat tiga unsur dasar agama yang keluar dari cakupan dan teritorial akal teoritis yaitu, keberadaan Tuhan, hak pilih manusia (ikhtiar) dan keberadaan serta kekekalan ruh. Selanjutnya, dalam pandangnya posisi agama tidak lain hanya berada pada ranah akal praktis, pada akhirnya agama akan berubah menjadi moral dan etika.

Pada masa berikutnya, Schleiermacher, filsuf Jerman (1768-1834), berpendapat bahwa argumentasi keberadaan Tuhan tidak lain hanyalah bentuk kulit agama, sedangkan “hati” agama adalah pengalaman. Schleiermacher menambahkan, Tuhan bukanlah satu asumsi yang digambarkan oleh manusia, akan tetapi Dia merupakan pengalaman bagi seorang yang beriman. Pengalaman merupakan sesuatu yang hidup dan dinamis, di mana ia akan memendarkan cahayanya di hati seorang agamis atau beriman.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: