Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Analis: Kritik Atas Paham Wahabisme (Part 1)

Analis: Kritik Atas Paham Wahabisme (Part 1)

Written By Unknown on Jumat, 09 Februari 2018 | Februari 09, 2018


Oleh: Najmu al-Din Thabasi

Sejarah Singkat Wahhabisme

Ahmad bin Hanbal adalah salah satu dari empat imam madzhab Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama‘ah. Lebih dari satu abad setengah ia merupakan ulama paling besar dan tanpa tanding di dunia Sunni, terkhusus Ahlu al-Hadits[1]. Kala itu, yang menjadi ukuran sunnah atau bid’ahnya sesuatu adalah pendapat Ahmad bin Hanbal.

Dasar pijakan yang dibuat oleh Ahmad bin Hanbal untuk orang-orang Ahlu al-Hadits adalah “pembendaan” (jismiyyah) dan “penyerupaan” (tasybih) terhadap Zat Tuhan, dan bahwasannya Tuhan berada di sebuah tempat tertentu, dan/atau berada di atas ‘Arsy-Nya. Keyakinan-keyakinan seperti ini, pada waktu itu, adalah bagian dari keyakinan kaum muslimin, terkhusus (baca: tanpa ragu) golongan Ahlu al-Hadits ini dimana mereka meyakini bahwa mengingkarinya sama dengan murtad atau keluar dari agama Islam. Pikiran-pikiran seperti ini terus menaungi pengikut Ahmad bin Hanbal sampai pada waktu Abu al-Hasan al-Asy’ari, setelah taubat dari empat puluh tahun pengasingan dirinya, kembali ke madzhab Ahmad bin Hanbal.

Abu al-Hasan al-Asy’ari, pada tahun 305 H naik mimbar di Bashrah dan mengumumkan bahwa ia telah kembali dari pengasingan dirinya. Dengan kembalinya Abu al-Hasan al-Asy’ari ke dalam lingkaran pengikut Hanbali, telah memberikan perubahan-perubahan pada madzhab ini.

Seorang yang selama empat puluh tahun selalu berkecimpung dalam argumentasi-argumentasi akal dan logika, tidak bisa menerima begitu saja pandangan-pandangan Ahmad bin Hanbal. Dia, dalam bukunya al-Ibanatu fi al-diyanati menerima semua pandangan Ahmad bin Hanbal, akan tetapi di dalam bukunya yang lain al-Luma’ ia menerakan pandangannya dan ia telah kembali kepada pandangan-pandangan akliahnya sendiri.

Dari sejak permulaan abad ke lima, kecemerlangan Ahmad bin Hanbal mulai surut, sementara kecemerlangan Abu al-Hasan Asy’ari mulai memancar.

Maqrizi berkata[2], “Dengan perantaraan kelompok yang terdiri dari beberapa tokoh[3], dari sejak tahun 1380, akidah mazhab Abu al-Hasan Asy’ari, telah menyebar di daerah Iraq, Suriah, dan Mesir[4].”

Walaupun metode Abu al-Hasan Asy’ari telah membuat Ahmad bin Hanbal tergilas dari pengikut Ahlu al-Sunnah, akan tetapi pada abad ke delapan, melalui beberapa orang dari pengikut Hanbali, dasar-dasar akidah Ahmad bin Hanbal, seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, kembali dimunculkan.

Yang menghidupkan kembali keyakinan-keyakinan Ahmad bin Hanbal adalah Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdu al-Halim yang dikenal dengan Ibnu Taimiyyah. Ia dilahirkan pada tahun 661 H di kota Haran –salah satu bagian Suriah. Ayahnya, ‘Abdu al-Halim, karena takut terhadap penyerangan Mongol ke Suriah, maka ia dengan membawa semua keluarganya, pindah ke kota Damaskus.

Ibnu Taimiyyah menjelaskan kembali hadits-hadits tentang “penyerupaan” dan “pembendaan” serta “kebertempatan” Tuhan –yang merupakan dasar-dasar pandangan akidah Hanbali. Ketika masyarakat Hamah menanyakan kepadanya tentang ayat:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى 

(Maha Pengasih, Yang bersemayam di atas ‘Arsy), ia menjawab bahwa Tuhan bertempat di ‘Arsy.

Dari kekhususan yang mencolok Ibnu Taimiyyah adalah berfatwa dengan fatwa yang berbeda dengan pandangan umum di kalangan kaum muslimin. Karena alirannya terbiasa dengan kata-kata kasar dan permusuhan –sebagaimana ciri Wahhabiah- maka tidak laku di masyarakat, dan banyak ulama yang mengkritiki serta menolak pandangan-pandangannya. Seperti kitab-kitab Syafaa-u al-Saqaam fi Ziyaarati Khairi al-Anaam (Obat Penyembuh dalam Ziarah ke Paling Mulianya Manusia), al-Durratu al-Mudhiiah Fi Raddi ‘Alaa ibni Taimiyyati (Mutiara Berkilau dalam Menolak Ibnu Taimiyyah), karya Taqiyyu al-Din Sabuki, dan kitab al-Tuhfatu al-Mukhtaarrah Fi al-Raddi ‘Alaa Mungkiri al-Ziyaarati (Pilihan Berharga dalam Menolak Anti Ziarah), karya Taaju al-Diin.

Tokoh-tokoh lain yang juga menulis kitab dalam rangka menolak pikiran-pikiran Ibnu Taimiyyah. Seperti bnu Hajar ‘Asqalaaniy (w. 852 H); Ibnu Syakir Kutbiy (w. 764 H); Ibnu Hajar Haitsamiy (w. 973 H); Mulla ‘Aliy Qaariy Hanafiy (w. 1016 H); Syaikh Mahmuud Kautsariy Mishriy (w. 1371 H); Yusuf bin Ismail bin Yusuf Nabhani (w. 1265 H); Abu Bakar Hashniy Damesyqiy (w. 829 H); Dan lain-lainnya dari para mufti jaman itu yang telah memberi fatwa bahwa ia –Ibnu Taimiyyah- adalah fasik dan kafir.

Pengarang kitab al-Fataawa al-Haditsiyyah telah berkata tentang Ibnu Taimiyyah sebagai berikut, perkataan Ibnu Taimiyyah tidak memiliki nilai ilmiah dan ia adalah orang sesat dan menyesatkan serta tidak masuk akal. Allah, dengan keadilan-Nya, pasti akan mengadilinya, dan semoga Tuhan melindungi kita dari keburukan akidah, jalan dan pandangannya.

Dari apa-apa yang dilakukan Ibnu Taimiyyah –yang ruh Hanbali sendiri tidak mengetahuinya (baca: mencengangkannya)- adalah dua hal:
1. Membid’ahkan dan mengharamkan perjalanan ziarah ke kubur Rasul saww., dan karenanya apapun bentuk tawassul (berperantara) dengan para penghulu Islam dan wali Tuhan, seperti tabarruk (mengambil berkah) dengan mereka dan bekas-bekas mereka, juga diharamkan;
2. Menganggap tidak benar dan mengingkari semua riwayat-riwayat tentang keutamaan Ahlulbait dimana Ahmad bin Hanbal sendiri dan murid-muridnya telah meriwayatkannya.”[5]

Ibnu Bathuthah, seorang yang dikenal dengan suka melancong, dalam catatan pelancongannya (Rihlatu Ibni Bathuthah) menulis tentang Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:

وكان في عقله شيء

(Akalnya tidak normal)[6]

Ibnu Hajar Haitsami menganggap Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang telah direndahkan, disesatkan dan dibutakan Tuhan. Bahkan Syamsu al-Din Dzahabi –yang sangat fanatik- mengatakan tentang Ibnu Taimiyyah, “Kamu terlalu berlebihan dalam keberanian hingga hadits-hadits Bukhari dan Muslimpun, tidak luput dari kritikanmu.”[7]

Pada akhirnya Ibnu Taimiyyah Harrani pada tahun 705 H diadili di pengadilan dan kemudian dihukum (penjara). Pada tahun 707 H ia dibebaskan dari penjara, dan dengan kebebasannya itu ia menyebarkan keyakinan-keyakinanya. Pada tahun 721 H ia kembali diadili dan dihukum penjara hingga meninggalnya pada tahun 728 H

Dengan meninggalnya Ibnu Taimiyyah, maka murid-muridnya[8], seperti Ibnu Qayyim Jauziy (691-751), menyebarkan pandangan-pandangan gurunya. Akan tetapi tidak terlalu berhasil dan orang-orang Ahlussunnah menjadikan pandangan-pandangan Asy’ari sebagai dasar akidahnya.

Setelah meninggalnya, hingga lima abad kemudian, tidak ada orang yang membicarakan (memasarkan) akidah-akidahnya (Ibnu Taimiyyah). Semua keyakinannya, ditentang oleh ulama-ulama pada jamannya sampai abad ke dua belas, dimana pada tahun ini keyakinannya yang dangkal dan kering itu menjadi laku lagi.

Yang mengepalai penyebaran pikiran-pikiran sesat Ibnu Taimiyyah adalah Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab al-Najdi. Ia dilahirkan di ‘Uyainah, bagian dari Najd (bagian timur Saudi, pentj.) pada tahun 1115 H, ayahnya ‘Abdu al-Wahhab bin Sulaiman adalah Qadhi (hakim agama, pentj.) di kota ‘Uyainah.

Almarhum Sayyid Muhsin Amin menukil dari Mahmud Syukri al-Alusiy, “Ibnu ‘Abdu al-Wahhab dilahirkan di kota ‘Uyainah, bagian dari Najd (bagian timur Saudi, pentj.). Ia belajar fikih Ahmad bin Hanbal kepada ayahnya. Di masa mudanya ia mulai angkat bicara, tapi tidak dikenal oleh kaum muslimin.[9]

Ketika ia tidak berhasil di ‘Uyainah, maka ia pergi ke Mekkah dan kemudian ke Madinah. Beberapa waktu ia belajar pada Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif. Di sana (Madinah) ia melihat orang-orang menangis dan merintih di kubur Nabi saww. Ia melihat hal seperti itu adalah sesuatu yang jelek. Kemudian ia pergi ke Najd dan dari sana ia pergi ke Bashrah[10] sampai kemudian ke Syam (Suriah).

Ketika sampai di Bashrah, ia bermukim di sana dan belajar kepada Syaikh Muhammad al-Majmu’iy. Akan tetapi ia tidak bisa bertahan lama di sana tanpa mengkritiki amalan-amalan penduduk Bashrah. Pada akhirnya penduduk Bashrahpun mengusirnya. Kemudian ia, untuk beberapa waktu, pergi ke kediaman orang tuanya yang ada di Huraimilah (bagian Najd, pentj.). Di kota ini, ia juga menjelek-jelekkan amalan kaum muslimin hingga ayahnya mengkritik perbuatannya itu. Akan tetapi ia tetap saja memaksakan pendapatnya hingga timbul pertengkaran antara dia dan ayahnya.

Pada masa ayahnya masih hidup, ia mengurangi pengulasan pendapatnya. Ibnu ‘Abdu al-Wahhab sangat sedikit memiliki ilmu agama dan sangat dangkal. Fatwa-fatwanya menjadi bukti atas ketidak mengertiannya terhadap hukum-hukum syariat. Ayahnya yang terhitung orang shaleh, meninggal pada tahun 1153 H.

Zaini Dahlan seorang mufti Syafi’i berkata, ayah syaikh adalah orang shaleh dan alim.[11]

Alusi menulis bahwa setelah ayahnya meninggal, ia mengulas pandangan-pandangannya dan menjelekkan apa-apa yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimin. Akibatnya, masyarakat ingin membunuhnya, akan tetapi ia lari dari Huraimilah menuju ‘Uyainah.

Yang memerintah ‘Uyainah kala itu adalah ‘Utsman bin Ahmad bin Mu’ammar. Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab memberikan janji harapan kepadanya bahwa masyarakat Najd (bagian timur Saudi, pentj.) akan dibuat tunduk kepadanya, dengan syarat ia harus membantunya dalam menyebarkan pandangan-pandangannya.

Dengan bantuan pemerintah setempat itu, ia menyebarkan keyakinan-keyakinannya secara terang-terangan dan sebagian masyarakat ‘Uyainahpun mengikutinya. Mereka menghancurkan kubah kuburan Zaid bin Khaththab. Dan aktifitas mereka mendapatakan kelancaran

Berita –tentang semua itu- sampai pada Sulaiman bin Muhammad bin ‘Azizu al-Hamidi, orang yang memegang pemerintahan di Ihsa’ (bagian Saudi, pentj.). Ia menulis surat kepada ‘Utsman dan memerintahkan untuk membunuh Muhammad bin Abdu al-Wahhab. Akhirnya, ‘Utsman mengusirnya dari kota –‘Uyainah.

Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab pada tahun 1160 pergi ke kota Dir’iyyah (bagian Saudi, pentj.). Kota ini, adalah kotanya Musailamah al-Kadzdzab (pemalsu hadits ynag sangat terkenal, pentj.) dan yang memegang pemerintahan setempat saat itu adalah Muhammad bin Su’ud dari suku ‘Unaizah. Ibnu ‘Abdu al-Wahhab menawarkan tawaran yang pernah ia sampaikan kepada pemimpin pemerintahan ‘Uyainah kepada Muhammad bin Su’ud.

Akhirnya, terbuatlah kesepakatan keji antara dua orang ini. Setelah kesepakatan itulah, aliran Wahhabi ini mulai membuat pembantaian keji dimana ijin dari perbuatan mereka itu adalah fatwa memalukan dari Ibnu ‘Abdu al-Wahhab ini; hal mana membuat Ali Su’ud bisa mendapatkan pemerintahan dengan syiar agama dan dakwah Ibnu ‘Abdu al-Wahhab bisa diraih dengan pedang.

Akhrinya, Su’ud sebagai pemimpin pemerintahan, sementara Ibu ‘Abdu al-Wahhab sebagai pemimpin agama. Slogan syi’ar Ibnu ‘Abdu al-Wahhab adalah “Sesungguhnya aku hanya mengajak kalian kepada tauhid dan meninggalkan syirik kepada Allah.”

Tauhid yang dibawa oleh Ibnu Abdu al-Wahhab adalah tauhid yang memalukan dan tidak jauh beda dengan penyembah berhala.

Sayyid Muhsin Amin ra[12] dengan menukil dari seorang ahli Geografi, menuliskan, Orang-orang Yaman punya cerita, yaitu tentang seorang pengembala kambing yang miskin bernama Sulaiman[13].

Ia bermimpi melihat bahwa dirinya mengeluarkan api yang menyala-nyala sampai memenuhi bumi dan melahap apa saja yang dihadapinya. Kemudian ia menceritakan mimpinya kepada ahli ta’bir mimpi. Sang penta’bir mengatakan: “Kamu akan memiliki keturunan yang akan membuat pemerintahan.” Ta’bir mimpinya itu menjadi kenyataan pada cucunya. Benar, memanglah api yang melahap dunia Islam dan…

Percikan api itu terpancar melalui para penjajah dari Ingris. Para pemimpin Saudi pada dua abad setengah terakhir ini, secara terus menerus, menjadi penyebar pahaman wahhabi. Secara global, sebelum perang dunia pertama, mereka telah menjadi tersisih dan tidak memiliki kekuasaan melebihi Najd (bagian timur Saudi, pentj.).

Akan tetapi, dengan jatuhnya pemerintahan Utsmani, para penjajah (Ingris) memperalat daerah-daerah bekas kekuasaannya. Begitu pula terhadap keluarga Su’ud yang berada di Najd (bagian timur Saudi, pentj.), Hijaz (bagian barat Saudi, pentj.), yang dikarenakan pengabdiannya yang baik (pada Inggris, pentj.).

Kembalinya gerakan Salafisme di Haramain Syarifain (Mekkah dan Madinah, pentj.) telah menimbulkan kerugian yang sangat besar dimana ketajaman propagandanya telah diarahkan kepada tempat-tempat peninggalan sejarah Islam. Para Wahhabi, dengan keji, telah menghancurkan semuanya.

Akan tetapi di lain pihak, mereka telah menghidupkan nama-nama orang kafir dan telah menamai jalan-jalan dan pasar-pasar dengan nama-nama kafir itu. Yang paling aneh, mereka telah merenofasi benteng Khaibar dan benteng Ka’ab bin Asyraf yang Yahudi di Madinah, dan kemudian melindunginya.

Para Wahhabi Salafi, dengan tanpa berfikir, telah menghancurkan bekas-bekas peninggalan sejarah Islam, dan kalau mereka lebih berani dari itu –semoga Tuhan melindungi- maka mereka bisa menghancurkan kubur Nabi saww dan sisa-sisa peninggalannya yang ada di masjid.

Ketika ide-ide Ibnu ‘Abdu al-Wahhab sampai ke telinga Muhammad bin Ismail, penguasa Yaman, dia memuji dengan membuat syair:

S’lamat atas Najd dan penghuni Najd[14]

Walau ucapku yang jauh tiadalah berguna

Akan tetapi setelah ia mendengar fatwa-fatwa keji Ibnu ‘Abdu al-Wahhab tentang pengkafiran muslimin yang hanya dengan tuduhan syirik maka darah, harta dan kehormatannya dihalalkan, iapun meralat perkataannya itu dan membuat puisi baru:

Aku tarik kataku tentang orang Najd

T’lah jelas bagiku, tiada sama dari kiraku

Kalau seseorang tidak menerima keyakinannya, maka ia memperlakukannya sebagai kafir harbi (kafir yang diperangi). Laskar Wahhabi, kalau sudah menang atas penyerangannya atas kota-kota muslimin, maka meraka menghalalkan apa saja yang mereka ingin lakukan.

Ketika mereka menyerang kota Karbala, dengan keji telah menumpahkan banyak darah dan tidak menghormati cucu Nabi saww. Mereka telah menyerang dan merampok semua isi yang ada di Makam cucu Nabi saww (Imam Husain as, penterjemah).

Dengan penyerangan mereka itu, telah mengingatkan kita kepada petaka Hurrah (Suatu tempat di Madinah. Maksudnya adalah penyerbuan, pembantaian, perampasan dan pemerkosaan terhadap masyarakat Madinah, pentj.) oleh Bani Umayyah dan pembanjiran air terhadap daerah pekuburan Imam Husain as oleh Mutawakkil khalifah Bani Abbas.

Pengarang kitab Mu’jamu Ma Allafahu ‘Ulama-u al-Ummati al-Islaamiyyati Dhiddi al-Wahhabiyyati (Ensiklopedi tentang Kitab-kitab yang Dikarang Para Uama Islam dalam Menentang Wahhabiyyah), telah meringkas kekejaman para Wahhabiah dengan menulis, pada tahun 1208 H para Wahhabi telah menyerang dan menguasai Bashrah (kota di Iraq, pentj.), kemudian setelah itu menyerbu dan merampok kota al-Zubair. Pada tahun 1216 H telah merampok Karbala dan menumpahkan darah penduduknya, dan telah pula merampok apa saja yang ada di Makam Imam Husain as. Pada tahun 1220 H mereka menyerang Najran, dan pada tahun 1222 H menyerang dan menguasai Madinatun Nabi saww dimana telah merampok apa saja yang ada di Makam Nabi saww. Pada tahun 1225 H menyerang Syam (Suriah) dan telah membantai penduduk Huran. Pada tahun 1305 H menyerang Syarif Ghalid (pemimpin Mekkah) dan menguasai banyak daerahnya. Pada tahun 1317 H telah merubah kota Thaif menjadi tempat penjagalan manusia. Pada tahun-tahun 1332 H sampai tahun 1317 H, penjajah Ingris telah membantu mereka menentang pemerintahan Utsmaniah dan berkat pengabdiannya yang baik (pada Ingris) maka mereka telah dibuat berkuasa di seluruh Hijaz (Arab Saudi sekarang, pentj.). Pekuburan suci Baqi’-pun dihancurkan dan merampok lagi apa saja yang ada di Makam Nabi saww. Dan akhirnya, pada tahun 1407 H. mereka menjadikan kota Mekkah sebagai tempat penyembelihan manusia dimana di siang hari bolong mereka telah menggorok 500 jema’ah haji. Dan pada tahun-tahun 1216, 1218, 1225 H, dan seterusnya, mereka telah menyerang Karbala secara keji dan membantai ratusan muslimin, serta merusak dan menghina Makam suci Imam Husain as. Begitu pula telah mengepung kota suci Najaf dalam beberapa waktu yang, karena adanya perlawanan dari masyarakat dibawah naungan fatwa-fatwa para marja’ agung, maka serangan mereka dapat dipatahkan dan akhirnya mereka lari tunggang langgang secara terhina.[15]

Memang, pada akhirnya Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab mati pada tahun 1206 H, namun demikian, proposal dia tetap mencari peluang. Kejahatan apapun yang dilakukan pengikutnya, maka akan tercatat dalam proposalnya itu.

Pandangan-pandangan orang ini, tidak mendapat dukungan dari sukunya, dan bahkan penentang pertamanya adalah saudaranya sendiri yang bernama Sulaiman bin ‘Abdu al-Wahhab dengan bukunya yang berjudul al-Shawa’iqu al-Ilahiyyah Fi al-Raddi ‘Ala al-Wahhabiyyah (Petir-petir Ilahiah dalam Menolak Wahhabiah).

Dengan semua ini, bagaimana mungkin akidah kering dan unlogis ini bisa diterima oleh umumnya kaum muslimin? Kecuali dengan pemaksaan, ancaman dan pembunuhan? Sudah tentu, penerimaan semacam ini ibarat fata morgana yang tidak akan berkelanjutan.


Pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah

Dunia Islam, khususnya daerah Syam (Suriah), pada tahun 698 H telah diserang dengan tanpa ampun oleh orang yang mengaku pendukung Islam. Orang ini telah menyebar pandangan-pandangannya yang batil dan menyimpang.

Akhirnya, para alim ulama dan fuqaha dari berbagai madzhab bangkit menentangnya dengan keras dan telah memenjarakannya sampai ia mati di dalam penjara. Sudah banyak yang telah menasihatinya dan menyuruhnya untuk berhati-hati terhadap pandangan-pandangannya. Akan tetapi ia tidak membenahi kesesatannya.

Syamsu al-Din al-Dzahabi, pengarang kitab Mizaanu al-I’tidaal, menuliskan nasihat kepadanya dengan berbunyinya, saudara, demi Tuhan kami harus meredam pemikiran-pemikiranmu. Kamu adalah pembahas yang mengandalkan bahasa, tidak tenang dan tidak tawadhu. Jauhkanlah dirimu dari goncangan-goncangan agamamu yang Nabimu sendiri tidak menyukai dan menjelekkan materi-materi bahasanmu serta melarang kita banyak bertanya. Banyak bicara –itupun tanpa goncangan- dalam masalah-masalah halal dan haram bisa membuat hati kita menjadi keras. Apalagi kalau perkataannya itu mengandung kekufuran, maka akan membuat hati menjadi mati, dan tidak akan membuahkan apapun kecuali kejelekan. Wahai kamu yang telah dijadikan pondasi pengikutmu, kalau agama dan ilmu mereka hanya sedikit, maka mereka terancam dalam bahaya pengingkaran terhadap wujud Tuhan dan kehancuran agamanya. Tidak ada yang mengikutimu kecuali orang-orang yang tak berdaya dan tak pandai, atau buta huruf dan pendusta serta bodoh, atau gelandangan yang banyak tipuannya, atau orang saleh tapi kering dan tak pandai. Hai muslim, sejauh mana hawa nafsumu itu terus memuji dan menghebatkanmu serta merendahkan orang-orang saleh?! Sampai kapan kamu akan terus membesarkan dirimu sendiri dan mengecilkan para ‘abid (ahli ibadah/taat)?! Sampai kapan kamu akan terus mengagumi dirimu sendiri dan menganggap buruk perkerjaan para zahid?! Sampai kapan kamu akan terus menyanjung kata-katamu sendiri sementara –demi Tuhan- kamu tidak menyandung sekalipun dengan sanjungan yang sama, hadits-hadits Bukhari dan Muslim?! Duhai andaikata kamu tidak mengotak-atik Bukhari-Muslim. Tapi bahkan, kamu tempelkan kepada hadits-hadits keduanya apa saja sesukamu. Kadang kamu sifati dengan dhaif (lemah), kadang dengan khayalan, atau kadang kamu rubah dengan takwilan dan pengingkaran.[16]

Pandangan-pandangan batil orang ini, tidak hilang walaupun dianya sendiri sudah meninggalkan dunia ini. Murid-muridnya telah meneruskan ajaran sang guru dan menyebarkannya. Sekalipun perjuangan mereka gagal dan tidak membuahkan hasil yang banyak di antara kaum muslimin, sampai datangnya Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab –sang penerus ajaran Ibnu Taimiyyah- yang dibantu dengan kekuatan militer Muhammad bin Su’ud, dengan memproklamirkan dakwahnya sembari menuduh dunia Islam dengan kafir.

Ia mengingkari hal-hal yang biasa berlaku di antara kaum muslimin dan menyerang keimanan-keimanan mereka. Sementara hal-hal yang diharamkan, tidak diperdulikannya sambil membantai ribuan kaum muslim tanpa kesalahan.

Dunia Islam, secara serius, merasa sangat terancam dan dalam dirinya telah mengalami perubahan-perubahan baru. Orang pertama yang telah membunyikan genderang penentangan kepadanya adalah ayahnya dan saudaranya sendiri yang bernama Syaikh Sulaimaan.

Syaikh Sulaimaan di dalam kitabnya, menyalahkan keyakinan saudaranya dan meminta muslimin untuk wasapada terhadapnya. Ia juga meminta umat Islam untuk menentang gerakan pemikiran saudaranya itu. Setelah mendapat penentangan dari dua orang ini, maka para ulama dari berbagai madzhabpun bangkit menentangnya dan menolak dengan dalil kekhurafatannya tersebut.

Dalam setiap jaman, selalunya kaum muslimin menghadapi penyimpangan-penyimpangan yang, selalu pula mereka dapat membuktikan kebatilannya, dan kejauhan akidahnya dari Islam.

Saya –penulis- sebagai salah satu pelajar agama di Hauzah (pesantren), dan juga sebagai salah satu dari umat Islam ini, sesuai dengan kemampuan yang ada, merasa wajib secara syar’i, di sela-sela kesibukan belajar, untuk menentang penyimpangan-penyimpangan yang menghancurkan ini, dan membuat generasi mendatang sadar dan tahu atas penyimpangan yang ada serta menjelaskan kepada mereka atas kewajibannya untuk menentang adanya setiap penyimpangan.

Buku ini, merupakan rangkuman dari pengajaran dan ceramah-ceramah penulis yang ditulis dalam rangka tujuan di atas. Dan ianya mencakupi bahasan-bahasan sebagai berikut:
1. Mengkritisi hadits-hadits yang menjadi pegangan dan dasar pemikiran sesat Wahhabi, serta membuktikan kebatilan mereka;
2. Banyaknya bukti dan catatan-catatan sejarah yang menentang dakwaan Wahhabisme. Tentu saja, sebelum ini, almarhum Amin pengarang kitab Kasyfu al-Irtiyaab dan Allamah Amini pengarang kitab al-Ghadir, telah menggunakan kehebatan dan usaha gigih mereka untuk membuktikan kebatilan Wahhabiah ini;
3. Membedah topik-topik yang dianggap peka oleh Wahhabi. Seperti: ziarah kubur Nabi saww, melakukan perjalanan ziarah (Syaddu al-Rihaal), ziarah kubur, tabarruk, mengusap kuburan, bertabarruk pada peninggalan sejarah Islam, shalat dan doa di samping kuburan dan makam-makam, menyalakan lampu di kuburan, hajatan dan syafaat, sumpah dengan selain Allah, mengadakan perayaan maulid dan semacamnya.

Yang selalu kita dengar dari tim Amr Ma’ruf –yang spesialis mereka adalah berdebat dengan para jemaah hadi- hanyalah dalam masalah-masalah di atas. Mereka sama sekali tidak pernah menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan agresor Zionits dan ide-ide jahat mereka.

Begitu pula, tidak pernah menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan permusuhan Amerika terhadap kaum muslimin. Tidak juga pernah membahas masalah-masalah yang ada di Aljazair, Sudan, Afganistan, muslim di Albania dan Balkan.


Tentang Syafaat

Pandangan Wahhabi Tentang Syafaat

Orang-orang Wahhabi mengharamkan meminta syafaat sekalipun kepada orang-orang yang telah diberi hak mensyafaati oleh Tuhan, seperti para nabi, orang-orang saleh dan malaikat. Bahkan meminta syafaat kepada mereka terhitung sebagai kafir. Dan karenanya maka harta dan nyawa orang-orang yang meminta syafaat itu dihalalkan.

Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab berkata, “Kalau yang dimaksud para peminta syafaat, adalah meminta syafaat pada malaikat, nabi-nabi dan para wali agar dengan perantaraan mereka menambah dekat dengan Tuhan, maka hal itulah yang telah menyebabkan harta dan darah mereka menjadi halal.”

Perkataan ini diambil dari Ibnu Taimiyyah yang berkata, “Sebab dari peperangan Rasulullah saww adalah seperti apa yang telah kami jelaskan, dimana mereka juga menyatakan hal yang sama[17], dan begitu pula mereka juga berkata bahwa patung-patung itu tidak mengatur apapun (secara mandiri) dan bahwasannya berlindungnya mereka kepada patung-patung itu hanya untuk meminta syafaat. Oleh karena itulah, kalau ada orang yang meminta syafaat kepada orang-orang saleh, maka pandangan mereka sama dengan pandangan para kafir itu, yang mengatakan,

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

“Kami tidak menyembah mereka –patung-patung- kecuali dalam rangka mendekatkan diri kami kepada Allah.”[18]


Makna Syafaat

Syafaat secara bahasa diambil dari pokok kata “Syafa’a” yang memiliki makna “pasangan” (genap) dan berlwanan dengan “sendiri” (tunggal). Dan makna istilahnya, pemberi syafaat dengan perantaraan syafaatnya itu, melengkapi yang memiliki kekurangan hingga menjadi sempurna. Dan sesuai dengan posisi pemberi syafaat itu, yang menerima syafaat tersebut akan menjadi sempurna seukuran dengan diterimanya permintaan syafaatnya yang, karenanya akan mencapai kedudukan yang sesuai.[19]


Siapa Penerima Syafaat?

Manusia yang ingin mendapatkan pahala dan derajat yang tinggi, sudah tentu tidak bisa mencapainya tanpa dengan adanya usaha-usaha dan melengkapi dirinya dengan konsekuensi-konsekuensi yang diperlukan hingga mendapat syafaat untuk mendapatkan pahala dan mencapai derajat tersebut. Ia akan mendapatkan syafaat itu manakala ia memiliki potensi dan kelayakan. Yaitu manakala ia telah berusaha untuk itu, tapi masih memiliki kekurangan –yang disebabkan kesalahannya sendiri- yang membuatnya belum layak mendapatkannya, maka disinilah peran pemberi syafaat. Yakni untuk menutupi kekurangannya tersebut. Dengan kata lain, syafaat adalah pelengkapnya sebab (sebab pencapaian, pentj.) yang ada pada penerima syafaat, bukan penyebab mandiri (untuk mencapai derajat yang diinginkan, pentj.).[20]


Peran Pemberi Syafaat

Peran pemberi syafaat tidak menafikan ke-Tuhan-an Tuhan (karena syafaatnya itu terjadi dengan ijin-Nya dan tidak mandiri). Begitu pula (peran pemberi syafaat, pentj.) tidak menafikan keharusan taatnya seorang hamba (karena syarat menerima syafaat adalah ketaatan, yang mana dalam hal ini masih memiliki kekurangan).

Dan tidak juga membatalkan sebuah hukum (siksa, pentj.) yang telah diambil untuk seorang hamba (karena sekalipun seorang hamba telah melakukan kesalahan, akan tetapi dengan perantaraan syafaat dari rahmat Tuhan yang membentang dan ampunan-Nya yang tidak terbataslah yang membuat orang yang memiliki kelayakan mendapatkannya itu menjadi bersih).

Pemberi Syafaat, menyeru Tuhan melalui sifat-sifatNya seperti sifat Mulia dan Pemurah hingga menyebabkan terampuni dan terkasihinya seorang hamba. Sebagai contoh dikatakan, “Ya Tuhan, demi ke-Muliaan dan ke-Murahan-Mu, maka rahmati dan ampunilah hamba yang punya dosa ini.”

Begitu pula, pemberi syafaat juga mengungkapkan sifat-sifat dari seorang hamba kepada Tuhan hingga menyebabkan turunnya rahmat dan kasih sayang serta ampunan kepadanya. Sebagai contoh dikatakan, “Wahai Tuhan, orang ini mengharapkan RidhaMu, orang hina yang telah merasa malu atas pelanggarannya.” Atau seorang pemberi syafaat, mengajukan sifatnya sendiri kepada Tuhan (seperti kedekatannya dengan Tuhan dan ketinggian derajatnya dan seterusnya). Sebagai contoh dikatakan: “Ya Allah, demi posisiku yang ada di sisi-Mu, maka ampunilah orang ini.”

Dengan demikian, hakikat syafaat adalah penjempatanan seorang pemberi syafaat untuk menyampaikan kebaikan, atau menolak keburukan (siksa) dari seorang hamba (penerima syafaat). Penjembatanan ini, bukan dari jenis “hukumat” (istilah Ushulfikih, yang berarti pembatalan suatu hukum dengan hukum lain, pentj.) dan juga bukan dari jenis “tadhad” (“kontradiksi” istilah Logika, yang bermakna dua sifat yang saling bertentangan dan tidak saling bertemu pada satu obyek, pentj.)[21].Yakni seorang pemberi syafaat menerangkan sebab yang berpengaruh dalam mengangkat suatu siksa dimana seseorang bisa terselamatkan dari posisi siksanya, dan menjadi obyek dari rahmat dan ampunan Tuhan.

Sebagaimana hak memberi syafaat ini diberikan oleh Tuhan kepada sejumlah orang, bagitu pula seorang hamba –dengan sendirinya- bisa memancing rahmat Tuhan, atau menampakkan kehinaannya. Dia dengan sepenuh kekhusukan dan amal saleh, bisa mengeluarkan dirinya dari hamba pendosa kepada hamba yang baik. Dalam hal ini al-Quran telah mengatakan,

فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

“maka mereka adalah orang-orang yang telah dirubah keburukannya menjadi kebaikan oleh Allah.”[22] Dalam hal ini Allah merubah dosa seorang hamba menjadi kebaikan, sebagaimana bisa saja menghancurkan modal seseorang yang ditabung melalui amalan-amalan baiknya menjadi tidak tersisa. Allah berfirman,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Kami mendatangi amalan-amalan yang telah mereka lakukan, lalu Kami menjadikannya debu yang berterbangan.”[23]


Para Pemberi Syafaat

Syafaat dibagi menjadi dua bagian:

1. Syafaat dalam ciptaan (takwini), yaitu sebab-sebab pewujud yang membentang antara Tuhan dan suatu makhluk, baik di dunia atau di akhirat. Pemberi syafaat Takwini yang ada di sisi Tuhan ini, akan dikenali (karena mereka adalah perantara Tuhan dalam mencipta makhluk);

2. Syafaat dalam agama, yakni syafaat yang ada di dalam taklif dan syariat dimana sebagian dari padanya adalah syafaat yang menyebabkan ampunan Tuhan.


Pemberi Syafaat di Dunia

1. Taubat

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا له

“Katakan: Wahai hamba-hamba–Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya ….” [24]


2. Iman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيم

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[25]


3. Amal Saleh

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beraman saleh (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang bersar.”[26]


4. Al-Quran

يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaanNya ke jalan keselamatan, dan Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seijin–Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”[27]


5. Para Nabi

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Sesungguhnya jikalau mereka menganiaya dirinya (berdosa) datang kepadamu (Muhammad) lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”[28]


6. Para Malaikat

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman…”[29]

وَالْمَلَائِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“….dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[30]


7. Para Mukmin

Orang-orang mukmin, memohon ampunan untuk dirinya dan saudaranya yang seiman.

وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا

“Beri maaflah kami (saya dan sesama mukminin, pentj.), dan ampunilah kami, dan rahmatilah kami, Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami dari kaum yang kafir.”[31]


Pemberi Syafaat di Hari Kiamat

1. Para Nabi

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ

“Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’. Maha Suci Allah. Sebenarnya mereka (para nabi) adalah hamba-hamba yang dimuliakan.”[32]

وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى

“…dan mereka tidak memberi syafaat kecuali kepada orang-orang yang diridhai.”[33]


2. Para Malaikat

وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).”[34]


3. Para Syahid

وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah itu, tidak dapat memberi syafaat, akan tetapi (orang yang akan memberi syafaat ialah) orang yang bersaksi (syahida) dengan benar dan mereka yang mengetahuinya.”[35]

Ayat ini, menunjukkan bahwa kemampuan mereka memberi syafaat adalah karena pemberian kesaksian yang benar dari mereka. Dan setiap yang syahid memiliki kemampuan untuk bersaksi. Dan yang dimaksudkan dengan syahid di ayat ini adalah kesaksian terhadap perbuatan, bukan mati syahid di dalam peperangan.


4. Para Mukminin

Dari ayat terdahulu dapat diketahui bahwa para mukmin adalah bagian dari yang memberikan syafaat. Dan Tuhan telah menisbahkan kesaksian mereka akan al-hak (kebenaran) ini kepada penyaksi-penyaksi pada hari kiamat. Allah berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang shiddiqin (membenarkan hak, pentj.) dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka.”[36]


Syarah dan Penjelesan

Makna “syafaat” adalah meminta sesuatu dari pemilik syafaat untuk si penerima syafaat. Dengan demikian, maka makna dari syafaat para nabi dan selainnya adalah doa dan permohonan ke hadirat Allah swt supaya mengampuni dosa-dosa dan mengabulkan hajat-hajat. Karena itulah maka syafaat adalah termasuk doa.

Fakhru al-Rozi dalam menafsirkan ayat:

(مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا): 

“Barang siapa mensyafaati dalam kebaikan, maka ia akan mendapatkan bagian daripadanya.”[37] dengan menukil dari Maqatil, menuliskan[38], “Meminta syafaat dari sisi Tuhan adalah doa itu sendiri. Dengan dalil riwayat yang datang dari Abu Darda’, dari Nabi saww yang mengatakan, “Siapa yang mendoakan saudara seimannya, maka doanya akan menjadi mustajab, dan para malaikat akan mendoakannya dan mendoakan yang didoakannya itu.””[39]

Meminta doa dari setiap mukmin hukumnya boleh. Sebagaimana Muhammad bin Abdulwahhab juga mengakuinya, “Boleh meminta doa dari setiap manusia yang masih hidup.”

Kita bahkan bisa mengatakan bahwa kebolehan meminta doa itu adalah salah satu dari ajaran agama yang sangat jelas (dharuri). Dengan ini, maka meminta doa dari setiap mukmin adalah boleh, dan apalagi dari seorang rasul, dan secara khusus dari Nabi besar kita saww.

Mungkin saja seseorang berkata, “Syafaatnya pemberi syafaat akan diterima manakala ia memiliki maqam dan posisi yang tinggi di sisi Tuhan.”

Untuk menjawab perkataan ini[40], harus dikatakan, “Tuhan memuliakan setiap mukmin yang akan memberi syafaat (dan bahkan siapapun yang akan memberi syafaat mestilah memiliki kedudukan di sisi-Nya). Disamping itu, syafaat tidaklah khusus untuk para nabi saja, tapi bahkan untuk semua mukmin dan malaikat, telah diberikan hak mensyafaati.

Fakhru al-Razi dalam menafsirkan ayat :

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekililingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): ‘Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala’ (7) ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (8) dan peliharalah mereka dari (balasan) ke jahannam. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu, maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (9) mengatakan[41], “Ayat ini menunjukkan sampainya syafaat dari para malaikat untuk orang-orang yang terlah melakukan dosa[42].”

Dengan demikian, sebagaimana Nabi saww[43] dan para nabi as bagian dari orang-orang yang memberi syafaat dimana Tuhan telah memerintahkan mereka untuk memberi syafaat, para malaikat juga memiliki kemampuan untuk mensyafaati dengan ijin-Nya. Karena itulah maka syafaat, tidak lain dan tidak bukan kecuali hanya doa dan memohon ampunan.


Syafaat Hajar Aswad

Salah satu dari pemberi syafaat adalah Hajar Aswad. Hadhrat Ali as mengatakan, “Batu ini, menyaksikan kebaikan-kebaikan yang kalian lakukan, karena itulah jadikan dia sebagai saksi. Karena di akhirat kelak batu ini akan menjadi pemberi syafaat yang musyaffa’ (diterima) dimana akan diberikan kepadanya lidah dan dua bibir untuk menyaksikan siapa saja yang telah mengusapnya.”[44]

Riwayat ini dinukil oleh Abu Na’im yang berkata, “Hadits hadhrat Ali as ini adalah hadits yang shahih dan kuat.”

Azizi dalam Syarahnya mengatakan, “Kata “Jadikanlah ia –Hajar Aswad- sebagai saksi” maksudnya adalah jadikan Hajar Aswad itu sebagai saksi terhadap perbuatan dan amalan-amalan baik, seperti mengusapnya, berdoa dan berdzikir di dekatnya. Kata ‘Syaafi’ (Pemberi syafaat) yang ada pada riwayat di atas, maknanya adalah mensyafaati orang-orang yang telah menjadikannya saksi terhadap kebaikannya. Sedang “Musyaffa’ ” (syafaatnya diterima) adalah bahwa syafaat Hajar Aswad ini akan diterima –Tuhan.[45]

Kesimpulannya, menjadikan Hajar Aswad sebagai saksi, adalah meminta syafaat kepadanya, sementara ia adalah batu yang tidak memiliki rasa dan tidak bisa berbicara. Walaupun demikian, kita telah diperintah untuk menjadikannya saksi. Kalau perbuatan ini adalah syirik, maka dengan kata perintah “jadikanlah ia saksi” tidak akan merubahnya dari kesyirikan. Karena hukum, tidak bisa merubah obyek hukum. [46]

Pernyataan yang sesuai adalah menyatakan bahwa doa dan syafaat memiliki kesamaan hakikat. Dan sudah tentu, tidak demikian bahwasannya siapa saja yang mau memberi syafaat lalu Tuhan menjadi wajib menerimanya. Akan tetapi bahkan, peng-kabulan doa dan syafaat adalah hanya dari Lutfh (pemberian lebih) dan Fadhl-Nya (hadiah murni).[47]


Syafaat Orang Mati

Salah satu kelompok pemberi syafaat adalah orang mati. Ibnu Taimiyyah berkata: “Meminta syafaat dari orang mati adalah bid’ah.” Dan Muhammad bin Abdulwahhab serta Shan’ani mengatakan, “Syafaat seperti ini adalah kafir dan syirik.”

Menurut Ibnu Taimiyyah, belum ada pembolehan untuk kita, untuk meminta syafaat dari para nabi dan orang-orang saleh serta yang lainnya yang sudah mati dengan mengatakan, “Doakan kami!” atau “Mintakanlah kepada Tuhanmu untuk kami!” dan -menurutnya- dalam hal ini tidak pernah dinukilkan dari para shahabat, tabi’in[48] (sahabatnya sahabat Rasul saww) dan begitu pula dari para imam madzhab yang empat,[49] bahwa mereka menyuruh kita untuk meminta seperti itu, dan begitu pula tidak ada satupun hadits tentang hal tersebut.


Jawaban

Kalau pelarangan dan pengharaman terhadap permintaan syafaat dari orang mati dikarenakan kemustahilan-bisanya bicara dengan orang yang tidak ada (anggap manusia setelah matinya menjadi tiada), maka kami akan mengatakan: Bahwasannya Nabi Muhammad saww dan para nabi yang lain, tetap hidup sekalipun telah meninggal dunia, dan mendengar perkataan orang-orang yang masih hidup serta menjawab mereka. Siapun yang mengucap salam dan tahniah untuk mereka, maka akan sampai kepada mereka.

Ilmu Nabi saww setelah meninggalnya, sama dengan sebelum meninggal. Seluruh amalan dan perbuatan umat manusia, disajian kepada beliau, dan beliaupun memohonkan ampun bagi dosa-dosa umatnya. Para ulama Kalam (teologi) telah menyatakan secara jelas tantang hal ini dimana tidak seorangpun bisa mengingkarinya.

Samhudi[50] berkata, “Tidak ada keraguan terhadap kehidupan ruhani Nabi saww setelah wafatnya, dan begitu pula para nabi yang lain. Mereka hidup di alam kubur dengan kehidupan yang lebih sempurna dari para syahid yang Tuhan sendiri telah mengabarkan tentang (kehidupan, pentj.) mereka[51]. Dari sisi yang lain, Nabi kita, adalah pemimpin para syahid dimana seluruh amalan mereka ditimbang dengan amalan beliau saww. Rasul mulia saww bersabda, “Ilmuku setelah matiku sama dengan ilmuku ketika aku masih hidup di dunia”. Riwayat ini telah diriwayatkan oleh Haafizh Mundziri.[52]”

Ibnu ‘Udday dalam kitabnya al-Kaamilu Fi Dhu’afaa’i al-Rijaali, telah menukilkan dari Tsabit, dari Anas, Rasulullah saww bersabda, “Para nabi hidup di dalam kubur mereka dan melaksanakan shalat.” Riwayat ini, juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan perawi yang tsiqah. Baihaqi, setelah meriwayatkan hadits ini, menyatakan sebagai hadits shahih[53].

Ada bukti-bukti terhadap keshahihan[54] riwayat-riwayat yang mengabarkan tentang kehidupan para nabi as setelah wafat mereka. Misalnya hadits Nabi saww berkenaan dengan peristiwa isra’ mi’raj, beliau bersabda, “Aku melewati Musa as dimana ia dalam keadaan berdiri di dalam kuburnya melakukan shalat.” Begitu pula hadits-hadits Nabi saww yang menceriterakan tentang pertemuan beliau saww. dengan nabi-nabi yang lain dan melakukan shalat bersama mereka.

Ibnu Maajah dengan sanad yang Hasan (baik, pentj.) –sebagaimana juga dikatakan oleh al-Mundziri yang menukil dari Abu al-Darda’, Nabi saww bersabda: “Ucapkanlah banyak tahniah kepadaku pada hari Jumat. Karena ucapan-ucapan itu didengar oleh para malaikat, dan mereka menyaksikan ucapan-ucapan tersebut. Dan tidak siapapun yang mengucapkan tahniah kepadaku kecuali begitu selesai, maka ucapan itu langsung disajikan kepadaku.” Abu Darda’ berkata, Aku berkata kepada Rasulullah saww, Setelah Anda meninggal, bagaimanakah hal itu? Nabi saww menjawab, “Allah telah mengharamkan tanah untuk menghancurkan jasad para nabi. Para nabi adalah hidup dan juga mendapat rejeki.”

Bazzar telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Mas’ud dari Nabi saww bersabda, “Tuhan memiliki malaikat-malaikat yang meliputi dunia ini dan mengabarkan kepadaku tentang umatku.” Begitu pula Nabi saww bersabda, “Kehidupan duniaku adalah baik buat kalian, karena kalian bisa berbicara denganku dan akupun berbicara dengan kalian. Dan kematianku juga baik buat kalian, karena perbuatan kalian disajikan kepadaku dimana kalau kulihat kebaikannya aku ucapkan syukur ke hadirat Tuhan, dan kalau kulihat keburukannya, maka aku memintakan ampun untuk kalian.”

Abu Manshur al-Baghdadi mengatakan, “Para Ulama dan ahli ilmu Kalam serta para peneliti dari ulama kita berkata: Nabi kita Muhammad saww hidup setelah wafatnya dan senang melihat ketaatan umatnya. Jasad para nabi as tidak bisa lapuk.”

Baihaqi dalam kitabnya al-I’tiqaad menulis[55], “Setelah para nabi meninggal, ruh mereka kembali lagi, mereka seperti para syahid yang hidup di sisi Tuhan, dan Nabi kita saww telah melihat sebagian mereka di waktu isra’ mi’raj. Kami adalah satu-satunya orang yang menulis buku untuk membuktikan kehidupan para nabi setelah wafat mereka.”

Samhudi, selain menuliskan hal diatas, mengatakan, “Kehidupan para nabi setelah wafat mereka, dapat dibuktikan dengan hadits ini, “Isa dengan maksud melakukan haji dan umrah, mampir di Madinah. Kalau ia mengucap salam padaku, maka aku menjawab salamnya.”


Dalil-dalil Kehidupan Para Nabi

Dengan dalil-dalil berikut ini, kehidupan badaniah para nabi (setelah wafat, pentj) sama seperti sewaktu masih hidup di dunia, akan tetapi tanpa memerlukan makanan. Mereka memiliki kemampuan untuk memasuki alam ini. Kami telah menerangkan masalah ini dalam buku kami yang berjudul al-Wafaa-u Limaa Yajibu Li-hadhrati al-Mushtafaa[56].

Qasthilaani berkata, “Tidak diragukan bahwa kehidupan para nabi (setelah wafat, pentj.) adalah sesuatu yang nyata dan diketahui (semua orang). Dan karena Nabi kita saww adalah paling afdhalnya nabi, maka sudah pasti kehidupan beliau saww akan lebih sempurna dari yang lainnya[57].

Dengan semua pernyataan ulama ini dan riwayat-riwayat yang shahih dari kitab-kitab Ahlussuunah ini, maka tidak tersisa lagi tempat bagi keyakinan Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.

Apakah mungkin kita katakan bahwa syafaat dan meminta doa dari Nabi saww adalah bid’ah dan syirik? Satu-satunya perkataan yang mesti dikatakan untuk mereka (para Wahhabi, pentj.) adalah hendaknya mereka meninjau kembali pandangan-pandangan mereka dan hendaknya mencari di hadits-hadits dan penjelasan-penjelasan para ulama hingga mereka paham bahwa apa-apa yang mereka katakan dan tulisankan itu sangat jauh dari keilmiahan dan penelitian. Dan pandangan-pandangan yang telah dipaparkan mereka dalam hal ini, menunjukkan kedangkalan informasi mereka terhadap pondasi-pondasi pemikiran mereka sendiri.[58]


Pandangan Ulama Tentang Kehidupan Setelah Mati

1. Abu Bakar ‘Arabi

Dalam bukunya al-Amadu al-Aqsha Fi Tafsiiri al-Asmaa-i al-Husna, ia menulis, “Di dalam pengikut Ahulussunnah, tidak ada perbedaan tentang hidupnya semua orang yang telah mati di kuburan dan mendapat pertanyaan-pertanyaan.”[59]


2. Saifuddin Aamudi[60]

Dia menulis dalam kitab Ibkaaru al-Afkaar, “Para salaf terdahulu dari umat Islam, sebelum munculnya penentang, semua bersepakat terhadap hidupnya semua manusia di alam kubur mereka. Dan bahkan setelah munculnya para penentangpun, mayoritas muslimin tetap meyakini akan hidupnya orang mati di dalam kubur mereka.”[61]


3. Sabki

Dia berkata, “Ahlussunnah sepakat terhadap hidupnya orang mati di kuburan.” Imam Haramain[62] dalam kitab al-Syaamil menulis, “Para salaf dari umat Islam bersepakat atas adanya azab kubur, hidupnya orang mati di alam kubur dan kembalinya ruh mereka ke badan mereka (di alam kubur).”

Sabki, setelah ia menukil kata-kata ini, menambahkan, “Ruh (orang mati) dikembalikan ke jasadnya, dan hidup ketika terjadi tanya-jawab dimana kalau memiliki perbuatan baik maka akan diberi rejeki oleh Tuhan, tapi kalau memeiliki perbuatan buruk maka akan mendapat siksa Tuhan sejak waktu itu sampai hari kiamat.”[63]


4. Ibnu Taimiyyah

Dalam kitab Iqtidhaa-u al-Shiraathi al-Mustaqiim, dia mengatakan, “Para syahid, dan bahkan semua mukminin, melihat setiap muslim yang datang di kuburnya sembari mengucap salam kepadanya. Ia mengenali orang itu dan membalas salamnya. Samhudi berkata, ‘Kalau untuk setiap orang mukmin saja hal seperti ini terjadi, lalu bagaimana mungkin tidak terjadi pada penghulu para rasul, Nabi besar kita saww?’”[64]


4. Imam Ghazali

Dia menulis, “Muhammad bin Waasi’ selalu pergi ziarah kubur tiap hari Jumat. Orang-orang berkata kepadanya supaya ia mengundur ziarah kuburnya pada hari Minggu. Iapun menjawab, ‘Yang sampai kepadaku (melalui riwayat, pentj.) adalah, pada hari Jumat, dan sehari sebelum dan sesudahnya, orang-orang yang telah mati di kuburan, mengenali penziarahnya.’”[65]


5. Syaikh Manshur Ali Nashif

Dia (pengarang kitab al-Taaju al-Jaami’ Li al-Ushuul, pentj.) menukil hadits tentang kehidupan setelah mati dari Ibnu Abbas, Suatu hari Nabi saww melewati pekuburan Madinah, lalu beliau menghadapkan wajahnya ke arah pekuburan itu dan berkata, “Salam pada kalian semua wahai orang-orang yang berada di kubur. Semoga Tuhan mengampuni kami dan kalian semua. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian.”

Hadits ini, diriwayatkan oleh Turmudzi[66] dengan sanad (perawi) yang hasan (baik). Dalam menjelaskan hadits tersebut, Syaikh Manshur mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang menziarahi kubur untuk mengucap: ‘Assalamu ‘alaikum’ (keselamatan atas kalian -bukan mereka- pentj.) dan berdoa untuk yang mati dan dirinya sendiri. Dan sangat ditekankan untuk membaca surat Ikhlash untuk si mati, karena surat itu kunci dikabulkannya doa.

Dan dari sisi yang lain, keinginan orang mati akan ucapan salam, menandakan adanya kesadaran dan pengertian pada mareka. Mati, bukanlah ketiadaan mutlak, akan tetapi bahkan perpindahan dari satu situasi ke situasi yang lain (barzakh atau akhirat). Badan manusia yang telah mati akan hancur, akan tetapi ruhnya terus abadi dan secara sadar menimkati rejeki atau azab Tuhan sampai hari kiamat.”[67]

Dalam menjelaskan sabda Rasulullah saww ini, “Kecuali kalau Tuhan mengembalikan ruhku kepadaku,”[68] (Syaikh Manshur) berkata, “Yakni, ‘Aku –Nabi saww- sekarang berbicara dalam keadaan dan perasaan yang hanyut dalam malakut’ (dimensi batin alam semesta, pentj.). Sebab, kalau bukan karena itu, maka sesungguhnya semua nabi itu hidup di dalam kubur mereka sebagaimana sudah diterangkan di bab Hari Jumat yang telah lalu.”

Dia (Syaikh Manshur), dalam Bab Jumat, menukil riwayat dari Aus bin Aus dari Nabi saww, “Paling baiknya hari adalah Jumat dimana pada hari itu Nabi Adam as dicipta dan meninggal dunia, dan pada hari itu pula terjadi kiamat dan matinya semua makhluk (Shaa’iqah). Karena itulah maka perbanyaklah salam (shalawat) kepadaku pada hari itu, karena salam kalian disajikan kepadaku.” Orang-orang berkata kepada beliau saww, “Ya Rasulullah, bagaimana shalawat kami disajikan kepadamu sementara badanmu telah hancur menjadi tanah?” Nabi saww menjawab[69], “Allah telah mengharamkan badan para nabi untuk tanah.” Hadits ini telah diriwayatkan dalam kitab Sunan Abu Daud[70] dan Nasai[71] dengan sanad (perawi) yang shahih.

Pengarang kitab al-Taaju al-Jaami’ Li al-Ushuul, dalam menjelaskan hadits ini menulis, Dengan Kuasa Tuhan, Nabi saww mendengar shalawat dan salam yang dikirimkan untuknya dan beliau saww mendengarnya dan bahagia karenanya. Karena beliau saww hidup di dalam kuburnya dan senang kepada orang yang telah mengirimkan salam dan shalawat kepadanya. Dengan demikian, maka hari Jumat adalah hari naiknya derajat beliau saww dan yang lainnya sesuai dengan derajatnya masing-masing. Akan tetapi pada hari-hari selain hari Jumat, shalawat dan salam yang dikirimkan untuk Nabi saww disajikan kepada beliau saww melalui malaikat yang dikhususkan untuk itu, sebagaimana perbuatan umat yang disajikan kepada beliau saww setiap hari Kamis[72].

Abdullah bin Abi Aufa meriwayatkan dari Nabi saww, “Ucapkanlah shalawat dan salam kepadaku pada hari Jumat, karena shalawat dan salam kalian sampai kepadaku dan akupun mendengarnya.”

Syafi’i dan Ibnu Maajah meriwayatkan hadits ini[73].

Selain hal-hal yang sudah diterankan sebelumnya, ketahuilah bahwa indra ruh di alam barzakh adalah indranya sewaktu di dunia, akan tetapi lebih tajam, karena Tuhan berfirman,

(لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ)

“Kalian telah lengah terhadap hal ini, dan sekarang Kami buka tabir kaian, maka indra kalian sekarang menjadi kuat.”[74]


Pertanyaan[75]

Hadits Nabi saww ini[76], “Salamnya dikirimkan ke aku supaya aku menjawabnya”[77], tidak menunjukkan bahwa kehidupan itu berkelanjutan setelah mati. Karena beliau saww berkata, “Allah mengembalikan ruh-ku.” Dengan demikian, maka sebelum pengembalian itu, ruh tersebut tidak ada dan baru setelah itu dikembalikan.


Jawaban

1. Kemungkinan yang dimaksud dengan dikembalikannya ruh disini, adalah secara maknawi. Karena ruh Nabi saww selalu hanyut dalam penyaksian (syuhud) kepada Allah swt dan selalu berada di alam yang lebih tinggi. Kalau ada orang yang mengucap salam untuk Nabi saww maka ruh beliau saww, untuk menjawab salam tersebut, mesti menghadap padanya (baca: jawab beliau mensederajati salamnya pengucap salam, pentj.). Jadi, bukanlah maksud dari “pengembalian ruh” itu bahwasannya pertamanya di kuburan tidak ada ruh, lalu setelah ada kiriman salam, ruhnya dikembalikan ke badannya. Sabki juga berpendapat seperti ini.

2. Kemungkinan yang lainnya adalah bahwa Nabi saww berbicara dengan umat sesuai dengan tingkatan pahaman mereka. Yakni bahwasannya untuk menjawab salam, terpaksa ruhnya kembali ke badannya (yang ada di kuburan, pentj.). Pendeknya, Nabi saww ingin mengatakan bahwa “Aku mendengar dan menjawab secara sempurna.”

Hadit di atas –kalaulah mau dipaksakan lahiriahnya- menunjukkan bahwa ruh Nabi saww dengan adanya salam yang pertama, dikembalikan ke badan. Dan sebelum salam itu, ruh beliau saww tetap dalam keadaan qabdhah (renggutan malaikat) yang pertama pula.

Dengan demikian, tidak ada yang memahami bahwa dengan adanya salam berikutnya, ruh beliau saww dikembalikan ke badannya lagi, karena setelah menjawab salam yang pertama ruh beliau saww dicabut lagi. Hadits itu, sama sekali tidak menunjukkan bahwa ruh Nabi saww dikembalikan ke badannya setelah kiriman salam yang pertama, lalu setelah itu dicabut lagi, dan dikembalikan lagi untuk menjawab salam ke dua, lalu begitu seterusnya. Sama sekali tidak bisa dipahami demikian.

Kami yakin, bahwa semua kesadaran (seperti ilmu, pendengaran dan lain-lainnya) tetap berlaku pada orang mati. Dan ketika untuk orang mati yang biasa saja, seperti itu, maka bagi para nabi sudah tentu lebih utama.

Dengan yakin, kehidupan dikembalikan kepada orang mati di alam kubur. Karena hal tersebut telah nyata diterangkan dalam riwayat-riwayat. Dan tidaklah demikian bahwa setelah kematian yang pertama itu kemudian ada kematian lagi. Akan tetapi bahkan dapat dipahami dari riwayat-riwayat itu bahwa di dalam kubur ada kenikmatan dan azab kubur. Dan untuk merasakan keduanya itu, sudah tentu memerlukan adanya kehidupan. Namun demikian, cukuplah dengan kehidupan yang sederhana (tanpa harus banyak aktifitas seperti kehidupan dunia, pentj.) untuk merasakannya.

Hal ini (kejelasannya, pentj.), tidak perlu pada penjelasan lagi[78], sebagaimana yang diperlukan oleh golongan Mu’tazilah[79] yang mengatakan perlunya adanya keterangan dalam hal tersebut.

Dengan demikian, untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyyah yang tidak membolehkan meminta syafaat kepada para nabi, kami akan mengatakan:

Pertama, para nabi itu hidup di dalam kubur mereka, hingga karenanya meminta syafaat kepada mereka bukan berarti meminta syafaat kepada orang mati.

Kedua, para syahid juga hidup sesuai dengan pernyataan al-Quran. Dari sisi lainnya, derajat para nabi sudah tentu lebih tinggi dari derajat para syahid. Dan bahkan tinta ulama juga lebih tinggi dari darah syahid[80]. Kesimpulannya, ketika seseorang gugur di jalan Tuhan, maka ia hidup. Dengan demikian, maka setelah ruh para nabi itu dicabut, dikembalikan lagi kepada mereka, dan mereka hidup di sisi Tuhan sebagaimana para syahid.[81]

Ketiga, anggap saja orang mati itu tidak mendengar dan tidak mampu melakukan doa, akan tetapi tetap saja meminta doa dari orang mati tidak menyebabkan kekafiran. Permintaan ini sama dengan meminta orang buta untuk membaca.

Keempat, para shahabat, setelah wafatnya Rasulullah saww, pada meminta syafaat, pertolongan dan doa kepada beliau saww dan bahkan kepada selain beliau saww dari orang-orang saleh. Semua ini menunjukkan kebolehan dan kebersesuaiannya dengan agama (masyru’).

Kelima, ruh tetap abadi setelah mati dan tidak sirna, hingga sangat mungkin untuk meminta doa darinya. Fakhru al-Raazi[82] dalam tafsirnya, ketika menjelaskan ayat

 (قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي) 

“Katakanlah (Muhammad) bahwa ruh itu dari urusan Tuhanku”[83] ia telah membuktikan dengan 17 dalil akan kelanggengan ruh setelah matinya.

1. Dalam khutbah yang panjang, Nabi saww bersabda, “Ketika kematian menimpa badan, maka ruhnya terbang di atas jasadnya dan berkata, “Wahai istri dan anak-anakku, hendaknya jangan sampai dunia mempermaikan kalian sebagaiamana ia telah mempermainkanku.” Kata-kata ini dengan jelas mengatakan bahwa ruh manusia tetap ada, hidup dan mengerti.

2. Allah swt berfirman,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ () ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu secara ridha dan diridhai.”[84] Ayat ini menunjukkan bahwa ketika ruh kembali kepada Tuhan dikala mati, ia tetap hidup dan meridhai, dan Tuhanpun meridhainya. Dengan demikian ayat tersebut mengatakan kepada kita bahwa manusia itu tetap ada dan hidup setelah matinya.

3. Nabi saww bersabda, “Para nabi tidak pernah mati, akan tetapi berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dan sesiapa yang mati, maka telah datang baginya kiamatnya.” Dan juga bersabda, “Kuburan, kalau bukan berupa kebun dari kebun surga, maka ia adalah jurang dari api neraka.” Semua riwayat-riwayat ini menerangkan kepada kita bahwa manusia, setelah matinya, tetap ada dan hidup.

4. Allah berfirman,

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah satu di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka sebenarnya.”[85] Sesuai ayat ini, barang siapa yang kembali kepada Tuhan, Ia akan menjadi Tuannya (Penguasanya). Dengan demikian, maka yang kembali itu bukan jasad yang tanpa ruh tersebut.

5. Semua bangsa-bangsa di dunia, seperti India, Romawi, Arab dan ‘Ajam, dan semua agama dan kepercayaan, seperti Yahudi, Nasrani, Zoroaster, Islam dan yang lain-lainnya, memberikan sedekah untuk yang meninggal (menghadiahkan pahala sedekahnya kepada yang mati), dan mendoakan kebaikan serta datang menziarahi kuburannya. Kalau manusia setelah matinya, tidak hidup, maka sia-sialah memberi pahala sedekah, mendoakan dan menziarahinya. Dengan demikian, kesamaan dalam sedekah, doa dan ziarah kubur ini, menunjukkan bahwa fitrah mereka yang sihat dan mendasar itu menjadi saksi bahwa hakikat manusia bukanlah jasad/badan, hakikat manusia tidak bisa disetuh kematian, dan yang disentuh kematian itu hanyalah jasad dan badannya.[86]


Kesimpulan

Bahwa keniscayaan fitrah yang sehat yang ada pada manusia, menyaksikan (c: menjadi saksi bagi, pentj.) kehidupan ruh setelah matinya, dan ayat serta riwayatpun menjadi saksi pula terhadap abadinya ruh tersebut. Dengan demikian, maka meminta syafaat dan doa kepada ruh-ruh suci itu –dimana keberterusan hidup mereka telah dijamin oleh kitab, hadits dan fitrah yang sihat itu- tidak terlarang, tidak masalah dan tidak pula menyebabkan bid’ah dan apalagi kafir atau syirik. Perkataan Wahhabi itu, menandakan tidak merujuknya mereka ke fitrah yang sehat, dan menandakan ketidak adaan perenungan mereka terhadap al-Quran dan riwayat-riwayat.


Pandangan Sabki Terhadap Kekalnya Ruh

Sabki pernah ditanya, “Apakah ruh seperti badan yang akan hancur dan sirna?” Ia menjawab, “Pertanyaan tentang ruh ini, bisa dijawab sesuai dengan pandangan para Filosof atau Mutasyarri’[87]. Kalau para Musyarri’[88] bersepakat atas keabadian ruh setelah berpisah dari badannya, kemungkinannya juga ada (baca: tidak ada dalil kemustahilanya, pentj.), dan semua agama bersepakat atas hal tersebut. Dalam hal ini, saya tidak melihat perbedaan diantara semua agama. Kecuali yang dikatakan oleh Fakhru al-Raazi yang dalam hal ini mengatakan, “Para Filosof melihat tetapnya ruh setelah berpisah dari badan sebagai sesuatu yang dipahami akal. Kalau umumnya pernyataan para nabi dan filosof digabungkan, maka memberikan keyakinan kepada kita bahwa ruh itu abadi.”

Dari perkataan Fakhru al-Raazi di atas “umumnya pernyataan para nabi”, bisa saja seseorang mengira bahwa maksud dia adalah para nabi tidak bersepakat tentang abadinya ruh setelah berpisah dari badan. Padahal, perkiraan semacam itu darinya adalah perkiraan yang jauh dari kebenaran. Dan saya tidak mengira bahwa maksud perkataannya ‘umumnya para nabi’ bahwa para nabi tidak bersepakat secara total. Karena pada permulaan kata-katanya ia berkata, “Merupakan ijma’ mereka –para nabi- atas keabadian ruh.”

Dengan demikian, meyakini akan keabadian ruh setelah berpisah dari badan, merupakan kewajiban. Karena syariat dan kitab-kitab suci Tuhan –khususnya al-Quran dan riwayat yang banyak- menerangkan masalah ini, bahwasannya ruh setelah berpisah dari badan, tetap ada dan abadi. Dan tak seorangpun dari umat Islam yang meragukan akan hal tersebut. Sampai-sampai dikatakan, ‘Semua orang mati memiliki kehidupan, dan semua aliran dari para salaf bersepakat terhadap hal ini’.

Akan halnya ayat yang mengatakan ‘Jangan katakan bagi yang terbunuh di jalan Tuhan itu mati’[89], mereka berkata, “Ayat ini tidak khusus bagi para syahid. Karena ayat tersebut dalam rangka penyangkalan terhadap perkataan orang-orang kafir yang mengingkari adanya hari kebangkitan (kiamat) dan manusia setelah matinya akan sirna hingga tidak menyisakan apapun darinya, dari kesadarannya dan semacamnya.

Memang, kehidupan setelah mati itu berbeda-beda. Kehidupan para syahid memiliki kedudukan lebih tinggi dari mukmin biasa. Dan kehidupan orang-orang kafir, karena azab yang dialaminya, memiliki kehidupan yang paling rendah. Yang jelas, mereka sama-sama memiliki kehidupan. Sebagian jasad hancur di dalam kubur, dan sebagian lainnya tidak hancur, akan tetapi ruh tetap ada.”

Perkataan ini, tidak lain kecuali ajaran Islam itu sendiri. Dengan menelusuri ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat, akan menjadi jelas bahwa masalah ini (tetap hidupnya ruh setelah mati, pentj.) dilihat dari kejelasannya, sampai ke tingkat dharuri (mudah dipahami semua orang, pentj.)”[90]

Dengan kata lain, bahwa –terusnya kehidupan ruh setelah mati- merupakan dharuriyyaat-nya agama (baca: bagian dari agama, pentj.). Karena itulah para Wahhabi tidak punya alasan untuk mengafirkan orang yang bertawassul kepada ruh para nabi dan orang saleh, karena ruh mereka tetap ada (dan hidup, pentj.). Kemungkinan satu-satunya, mungkin karena ketidak tahuan mereka –wahhabi- dan ketidak adanya perenungan mereka terhadap ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang, kalau mereka tidak sengaja, maka dapat dimaklumi, tapi kalau sebaliknya, maka tidak ada udzur lagi bagi mereka.


Keenam, meyakini atau tidaknya terhadap mendengar atau tidaknya orang yang sudah meti, bukan bagian dari rukun iman (dasar agama) atau bagian wajibnya dimana kalau seseorang meyakini kebalikannya (baca: tidak benarny, pentj.), maka menjadi bid’ah. Tapi bahkan, kalau ia meyakini yang benar akan mendapat pahala dan kalau sebaliknya akan mendapat ampunan. Jadi tidak ada yang berakibat buruk bagi seseorang dalam hal ini. Hal seperti ini telah dinukilkan dalam kitab-kitab hadits Shahih dan Sunan (maksudnya riwayat yang mengatakan bahwa siapa saja yang benar dalam memberikan fatwa sesuai ijtihadnya, maka ia akan mendapat dua pahala, dan kalau salah, maka akan mendapat satu pahala, pentj.)[91]

Kesimpulan: Meyakini hal tersebut (hidupnya orang setealah berpisah dari badannya, pentj.) tidak membuat seseoang menjadi kafir, atau telah melakukan dosa. Kalau bisa menjadi kafir dan dosa, maka mengapa Fakhru al-Raazi[92] mengatakan: “Ruh tetap ada dan doa, ziarah, nazar serta sedekah yang diperuntukkan untuk mayyit, dikarekan ketetap ada-an ruh”? Apakah kita harus mengatakan bahwa Fakhru al-Raazi telah kafir atau melakukan bid’ah? Para ahli tafsirpun, dalam menafsir ayat yang berbunyi “Sekarang Kami abadikan badanmu (Fir’aun)”[93] menulis, “Ayat ini secara jelas mengatakan bahwa ruh manusia bukanlah badannya.”


Syafaat dalam Riwayat dan Perkataan Shahabat

1. Anas berkata, aku meminta kepada Rasulullah saww agar pada hari kiamat kelak mensyafaatiku. Beliaupun mengabulkan dan bersabda, “Saya akan melakukan permintaanmu.” Aku berkata kepada beliau saww, “Kemana saya bisa mencari Anda (di makhsyar, pentj.)?” Beliau bersabda, “Di sisi shirat”.[94]

Sawaad bin Qaarib mendatangi Rasulullah saww dan membacakan puisi yang mengandung permintaan syafaat, “Jadilah pensyafaat bagiku di hari kiamat. Hari syafaat, yang lain tidak akan memberikan keuntungan sebesar biji kurma bagi kondisi Sawad bin Qaarib.”[95]

2. Ibnu Abbas berkata, “Ketika Ali as telah selesai memandikan Rasulullah saww ia berkata, “Ayah ibuku untukmu (baca: siap mengorbankan apapun juga, pentj.), engkau suci dikala hidup dan dikala mati, ingatilah kami di sisi Tuhanmu.”[96]

3. Abu Bakar membuka kafan Nabi saww dan menciumnya lalu mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ali as.[97]

4. Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, masyarakat pernah mengalami paceklik. Bilal bin Harits, salah seorang shahabat Nabi saww, mendatangi makam (kubur) Nabi saww dan berkata, “Ya Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena mereka bisa binasa.” Kemudian Rasulullah saww datang dalam mimpi orang itu dan mengabarkan bahwa hujan akan segera turun.[98]

Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil untuk meminta hujan kepada Nabi saww yang ada di alam barzakh, dan begitu pula berdoanya Nabi saww yang juga di alam barzakh, dan Nabi-pun saww mengetahui permintaan orang yang meminta kepadanya. Karena itu, maka sebagaimana meminta sesuatu pada Nabi saww sewaktu berada di dunia bukanlah merupakan hal bid’ah, syirik dan kafir, bagitu pula meminta dari beliau saww. dikala sudah berada di alam barzakh.

Kalau dikatakan bahwa meminta syafaat dari mayat itu terlarang karena terhitung melakukan ibadah untuknya, maka untuk menjawab masalah ini, kami akan mengatakan, kalau begitu meminta syafaat dan meminta sesuatu dari orang hidup juga merupakan ibadah. Dan apapun yang Anda jawabkan untuk itu, maka ianya akan menjadi jawaban kami juga. Anda yang membolehkan meminta syafaat dari orang hidup, juga memiliki problem yang sama.

Dengan semua penjelasan ini, maka tidak ada lagi jalan bagi Wahhabi untuk mengatakan dan mendakwakan pandangannya tentang haramnya meminta syafaat dari orang mati.

Yang paling aneh dari dakwaan mereka para Wahhabi adalah mereka mengatakan bahwa tidak satupun dari shahabat dan tabi’in (shahabatnya shahabat) yang pernah meminta syafaat. Perkataan seperti ini dari mereka para Wahhabi, menunjukkan ketidak tahuan mereka terhadap kitab-kitab sandaran agama dan perbuatan para shahabat. Karena itu kata-kata mereka adalah ketidaktahuan yang nyata.

(Bersambung)


Referensi:

[1] Ahlu al-hadits adalah orang-orang yang melarang pembahasan agama (akidah) dengan akal (Pent.)

[2] Lihat al-Khuthath, jld. 2, hlm. 58.

[3] Abu Bakr al-Baqilani (w. 403), Abu Bakr Baihaqi (w. 458), Ibnu Furak (w. 406).

[4] Al-Khuthath, jld. 2, hlm. 58.

[5] Lihat Ibnu Taimiyyah dan Imam Ali as, karya Sayyid Ali Milani.

[6] Hlm. 95-96, cetakan Daru Shadr.

[7] Benar, dalam penyerangan Wahhabi ke Thaif, al-Quran, Shahih Bukhari dan Muslim berantakan di jalan-jalan dan di pasar-pasar (al-Fajru al-Shadiq, hlm. 22), dalam pengantarnya, semua perkataan Dzahabi telah dinukilkan.

[8] Dan begitu pula Ibnu Katsir.

[9] Kasyfu al-Irtiyab, hlm. 8-9.

[10] Dikatakan bahwa dia pernah tinggal di Bashrah 4 tahun, di Baghdad 5 tahun, di Kurdistan 1 tahun, di Hamadan 2 tahun. Dan konon pernah juga mampir di Isfahan dan Qom.

[11] Al-Futuhatu al-Islamiyyah, jld. 1, hlm. 364.

[12] Kasyfu al-Irtiyab.

[13] Muhammad bin Abdu al-Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhid bin Buraid bin Musyrif bin Hamr bin Ba’dhad bin Zakhir bin Muhammad bin ‘Ali bin Wahab al-Tamimi.

[14] Maksudnya adalah Ibnu ‘Abdu al-Wahhab (Muhammad bin Abdulwahhab).

[15] Mausu’atu al-‘Atabaati al-Muqaddasati, jld. 6, hlm. 228; dan jld. 8, hlm. 272.

[16] Pernyataan Dzahabi di atas dibawakan oleh Muhammad Kautsariy Mishri (orang Mesir, wafat tahun 1371 H). Ia mengambilnya dari tulisan Qadhi Burhanu al-Din bin Jama’ah. Dan Ibnu Jama’ah mengambil dari Haafizh Abu Said bin al-‘Ala-iy , kemudian dialah yang mengambil dari tulisan Dzahabi. ‘Uzzami dalam kitab Furqan-nya hlm. 129 memuat sebagiannya, begitu pula dalam kitab al-Ghadir –karya Amini- jld. 5, hlm. 89. Dan sebagian orang, dengan ngotot dan memaksakan, berusaha menolak penghubungan tulisan itu kepada Dzahabi. Memperpanjang masalah ini, tidak ada gunanya.

[17] Disini layak menjadi pertanyaan, bahwa mengapa para ulama Wahhabi membuat fatwa seperti itu dimana mereka bahkan -dengan itu- keluar dari empat madzhab mereka sendiri? Secara global dapat dikatakan bahwa mereka ini tidak meyakini akan “insidaatnya pintu ilmu” (“Insidaat pintu ilmu”, yakni tidak adanya jalan atau dalil yang ilmiah dan/atau zhanniah untuk membuktikan hukum-hukum Tuhan. Karena itu mereka yang percaya kepada insidaat ini, menutup pintu ijtihad, dan hanya menaklidi salah satu dari ke empat imam madzhab. Lawannya, adalah “Infitaah” atau “Terbukanya pintu ilmu”. Yaitu, bisa dijangkaunya hukum-hukum Tuhan itu melalui dalil ilmiah –yakni dalil fitrah atau gamblang- dan/atau dalil zhanniah yang telah dikuatkan dengan qath’i atau dalil pasti, pentj.), karena itu mereka tidak taklid kepada salah satu dari ke empat madzhab. Sekalipun mereka mendakwa diri sebagai Salafi Hanbali, akan tetapi dalam beberapa masalah, mereka memberi fatwa (ijtihad, pentj.) yang berbeda.

Muhammad bin Islmail, sebagai ulama yang sejaman dengan ‘Abdu al-Wahhab, dalam buku Tathhiru al-I’tiqad (Membersihkan Akidah) menulis:
“Para fuqahaa’ (ahli fikih) empat madzhab, setelah mereka berempat (Abu Hanifah, Syafi’i, Maliki dan Hanbali), melihat bahwa ijtihad (yakni ketika tidak bisa memastikan apapun baik dari sisi pamahaman ayat, kebenaran dan makna hadits, atau menghadapi masalah baru yang tidak pernah ada sebelumnya, maka harus menjadikan ijtihad sebagai jalan keluarnya, pentj. ) merupakan satu-satunya jalan yang tersisa. Sementara perkataan seperti ini (terbukanya pintu ilmu seperti di jaman Nabi saww atau di jaman yang dekat dengan jamannya saww, pentj.) adalah hal yang batil dan merupakan perkataan orang yang bodoh terhadap hakikat.”

Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhab yang merupakan salah satu anak dari ‘Abdu al-Wahhab mengatakan,
“Madzhab kami adalah madzhabnya Ahmad bin Hanbal dan kami tidak mendakwa diri sebagai mujtahid (orang yang memakai ijtihad, pentj.). Ketika kami mendapatkan hadits yang shahih dari Rasulullah saww, maka kami amalkan hadits itu dan kami tidak akan mendahulukan perkataan siapapun daripadanya.”

Padahal, perkataan dia ini adalah penerimaannya terhadap ijtihad itu sendiri. Karena riwayat yang sampai kepadanya itu, yang datang dari Rasulullah saww itu, memiliki dua kemungkinan. Sampai secara mutawatir atau tidak. Kalau secara mutawatir, maka mengapa bisa sampai kepadanya secara mutawatir sementara kepada para ulama lain tidak sampai secara mutawatir? Hal demikian sudah pasti tidak benar. Dan kalau sampainya itu secara tidak mutawatir, tapi Zhanni (perkiraan kuat akan benarnya, baik terhadap sanadnya atau maknanya), dimana hadits itu memang merupakan zhanni, dan dimana Tuhan telah melarang kita beramal dengan zhan, maka kalau dia beramal dengan riwayat zhanni maka tidak memiliki nilai apapun. Kerenanya, berarti ia telah beramal dengan ijtihadnya. Dengan demikian maka berakhir pula dapa ijtihad. Kalau sudah merupakan ijtihad, lalu mengapa ijtihad-ijtihadnya itu selalu bertentangan dengan nash yang, akan membuatnya tidak berharga?!!

[18] Al-Zumar: 3

[19] Pada hakikatnya, esensi syafaat adalah pelengkap potensial (kelayakan) bagi yang memiliki kelayakan. Yang dilakukan pemberi syafaat adalah melengkapi kekurangan penerima syafaat, hingga ia terbebas dari kekurangannya itu dan bisa mencapai kesempurnaan yang dicarinya. Akal mengatakan bahwa kalau suatu keberadaan tidak memiliki kesempurnaan tertentu, maka ia harus mendapatkannya dari Hakikat Kesempurnaan (Tuhan). Akan tetapi kalau ia belum memiliki kelayakan yang cukup untuk mendapatkan kesempurnaan itu, maka ia harus menggunakan perantara-perantara, hingga ia mencapai ukuran kelayakan tersebut. Hal seperti ini bukan hanya tidak bertentangan dengan kaidah akal, akan tetapi bahkan sangat berkesesuaian.

Dengan kata lain, bukanlah syafaat bagi seseorang itu bermakna bahwa dia yang memiliki kekurangan dan tidak memiliki prasyarat untuk diterima itu menjadi diterima dengan syafaat. Akan tetapi, syafaat bermakna mewujudkan perubahan-perubahan pada pendosa hingga kelayakan untuk mendapat siksa itu menjadi terangkat dan ia keluar dari posisi keharusan mendapat siksa tersebut.

Sebagai contoh, setelah shalat Istisqa (minta hujan), bukan berarti tanpa dengan mengadakan perubahan pada cuaca yang ada, lalu hujan diturunkan. Akan tetapi, Tuhan mewujudkan sebab-sebab turunnya hujan tersebut. Misalnya dengan memerintah angin untuk membawa mendung ke daerah bumi yang kemarau. Allah berfirman:

وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَاهُ إِلَى بَلَدٍ مَيِّتٍ

“Dan Allah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke negeri yang mati…” (QS. 35: 9).

[20] Pertanyaannya disini: Apakah cukup hanya dengan menambahkan posisi pemberi syafaat kepada penerimanya, bisa membuat seseorang mendapat syafaat? Jawabannya: Tuhan hanya akan menerima permintaan syafaat bagi seseorang yang agama dan imannya telah diterima-Nya. Akan tetapi, kalau agamanya tidak diridhai-Nya (seperti kafir, sebagaimana tergambar dalam ayat yang berbunyi, “Ia tidak meridhai kekufuran bagi hamba-Nya” –QS. 39:7), maka sama sekali tidak akan mendapatkan syafaat. Sementara agama yang diridhai Tuhan hanyalah Islam, “Sesunguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. 3: 19.). Dengan demikian, kalau calon penerima syafaat itu memiliki iman, dimana masih memiliki kekurangan perbuatan baik, maka bisa saja orang seperti itu mendapatkan ampunan Tuhan.

[21] Istilah “hukumat” pada tulisan di atas, adalah dari bab toleransi saja. Sebab kalau tidak, maka istilah yang paling cocok adalah “takhashshush”, yakni seorang hamba terkeluarkan dari ekstensi (individu) siksaan dan masuk ke dalam rahmat. (Kalau “hukumat” berarti hukum yang ada pada pemberi syafaat –mengangkat siksa- telah menentang dan mengalahkan hukum yang ada pada Tuhan –menyiksa. Ini pasti tidak benar. Tapi kalau Takhashshush, yakni keluarnya hamba dari siksa ke dalam rahmat, maka hal ini menjadi benar. Karena bukan dari bab berlawanannya dua hukum yang saling bertentangan tadi, yakni bukan dari penentangannya hukum syafaat-hamba kepada hukum siksa-Tuhan. Akan tetapi, hamba yang layak siksa tadilah yang memang telah dikeluarkan dari hukum siksa olehNya dan dimaksukkan ke dalam hukum rahmat. Jadi, posisi pemberian syafaat tidak lain hanyalah memohonkan ampunan bagi yang mau disyafaatinya itu, bukan melawan hukum-Nya, pentj.)

[22] QS. 25: 70.

[23] QS. 25: 23.

[24] QS. Al-Zumar: 53. Paling ampuhnya pemberi syafaat di dunia adalah Taubat. Karena pemberi syafaat yang lainnya, seperti malaikat dan para nabi dan lain-lainnya, daerah syafaat mereka adalah di dosa-dosa selain syirik, yakni hanya meliputi umat Islam yang berdosa, seperti yang telah dikatakan dalam QS. 9: 113: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik….” Akan tetapi, taubat tidak seperti itu. Karena dengan taubat, semua noda syirik dan kemunafikanpun bisa dibersihkan. Imam Ali as berkata, “Tidak ada syafaat yang lebih menyelamatkan dari taubat.” (Nahju al-Balaghah, Hikmah ke 371)

Memanglah harus diakui bahwa syafaat para pemberi syafaat itu, seperti para malaikat dan nabi, juga memiliki kelebihan. Yaitu, dari sisi bahwa syafaat mereka itu di akhirat, sementara taubat hanya di dunia. Allah berfirman, “Dan tidaklah mereka yang mati dalam keadaan kafir.” (QS. 4: 18) Diriwayatkan dalam kitab Biharu al-anwar, jld. 74, hlm. 423: “Sekarang adalah amal tanpa hisab, dan besok adalah hisab tanpa amal.”

[25] QS. Al-Hadid: 28

[26] QS. Al-Maidah: 9

[27] QS. Al-Maidah: 16. Imam Ali as: “Ketahuilah bahwa al-Quran mensyafaati dan syafaatnya diterima, dan Perkataannya yang benar. Siapa saja yang di akhirat mendapatkan syafaatnya, maka akan diterima. Begitu pula, siapa saja yang diadukannya akan diterima (mendapat celaka, pentj.).” (Nahju al-Balaghah, Khuthbah ke: 175).

[28] QS. Al-Nisaa’: 64

[29] QS. Al-Mu’min: 7

[30] QS. Al-Syuuraa: 5

[31] QS. Al-Baqarah: 286

[32] QS. Al-Anbiya’: 26

[33] QS. Al-Anbiya’: 26-27

[34] Al-Najm: 26

[35] QS. Al-zukhruf: 86

[36] QS. Al-Hadid: 19

Para Wahhabi, memustahilkan secara akal adanya syafaat itu. Dan mereka mengajukan beberapa sanggahan terhadapnya. Almarhum Allamah Thaba Thabai ra menukil tujuh sanggahan mereka dan juga menjawabnya. Di bawah ini akan dinukilkan beberapa diantaranya.

Sanggahan Pertama

Syafaat terhadap pendosa menyebabkan terangkatnya azab dari padanya. Kalau mengangkat azab ini adalah adil, maka azab itu sendiri adalah aniaya (zhalim). Dan kalau azab itu adalah zhalim, maka doa para nabi yang memohon didatangkannya azab untuk umat mereka, juga merupakan kezhaliman.

Dengan kata lain, mengangkat azab itu adalah adil atau zhalim. Kalau adil, berarti adanya azab dari Tuhan –na’udzubillah- adalah zhalim. Padahal Tuhan tidak pernah menzhalimi siapapun. Allah berfiman, “Dan Tuhanmu tidak menzhalimi siapapun.” (QS. 18: 49) Akan tetapi, kalau mengangkat azab itu adalah zhalim, maka adanya azab itu sendiri yang adil. Dan ketika ianya adalah adil, maka apalah arti syafaat dan pemberi syafaat?

Almarhum Allamah ra berkata, “Makna dari mengangkat azab bukanlah menentang (mengkontra) hukum pertama yang dikatakan azab itu. Akan tetapi mengeluarkan pendosa dari ekstensi (individu) azab, dan memasukkannya ke dalam rahmat Tuhan. Dan sama sekali, disini tidak ada penentangan hukum (kontradikis).”

Jawaban lain yang dapat diberikan disini adalah: Proposisinya adalah proposisi terpisah, bukan kontradiksi. Yakni, mengangkat azab itu adil atau zhalim. Disini bukan kontradiksi sehingga tidak bisa dipertemukan atau diangkat dua-duannya (Kontradiksi adalah istilah logika, dimana konsekwensinya adalah tidak bisa dipertamukan dan juga tidak bisa diangkat dua-duanya. Misalnya, saya adalah ada atau tidak ada. Disini, ada dan tidak ada, tidak bisa ditetapkan pada saya, dan tidak pula saya terlepas dari dua-duanya sekaligus. Jadi saya adalah ada, atau tidak ada, pentj.). Karena antara adil dan zhalim adalah “Pertentangan-kepemilikan dan tidak” (Proposisi atau kalimat yang bertentangan, bisa “Kontradiksi”, bisa “Kepemilikan Dan Tidak”, bisa “Kontras” dan bisa juga “Saling Menyangkut”. “Kepemilikan Dan Tidak” seperti buta dan melihat, memiliki hukum atau konsekwensi, tidak bisa dikumpulkan dalam satu obyek, tapi bisa diangkat dua-duanya, yakni di tempat yang tidak memiliki kelayakan untuk sifat itu, seperti pohon yang, tidak bisa dikatakan melihat atau buta. “Kontras” adalah dua sifat yang tidak bisa dipertemukan dalam satu obyek, seperti hitam dan putih yang, jelas bisa diangkat dua-duanya dari obyek yang tidak memiliki keduanya, seperti di warna merah. Dan kalau “Saling Menyangkut” adalah dua pahaman yang untuk memahami salah satunya perlu memahami yang lainnya, seperti atas san bawah, pentj.), atau “Pertentangan Kontras” dimana konsekwensinya adalah bisa diangkat dua-duanya dari suatu obyek. Karena, mengangkat azab, bisa saja merupakan “Bonus” (pemberian/fadhl) dan sama sekali kedua sifat adil dan zhalim tadi, tidak cocok untuknya (Seperti ampunan Tuhan. Kalau mengazab yang dosa itu adil, maka mengampuninya adalah bonus, bukan zhalim, pentj. Kesimpulannya, azab adalah adil, dan mengangkat azab adalah bonus/pemberian dimana hal ini, di atas derajat adil (Adil adalah memberi sikap sesuai apa adanya, baik dalam memberi pahala atau azab. Tapi bonus/fadhl adalah memberi melebihi apa adanya dari hak seseorang, pentj.). Dengan demikian, maka sifat zhalim/aniaya, tidak bisa lagi disifatkan ke atasnya.

Sanggahan Kedua

Syafaat bisa menyebabkan penyimpangan. Karena sunnatullahnya, adalah membuat aturan untuk dilaksanakan. Karenanya, kalau ada yang melanggar aturan itu, maka sunnatullahnya adalah menghukum orang tersebut. Tapi dengan adanya syafaat, maka akan terjadi penyimpangan terhadap aturan yang dimaksud. Atau, sunntaullahnya akan mengalami perubahan, padahal Tuhan sendiri telah mengatakan, “Dan tidak akan ada perubahan dalam sunnatullah.” (QS. Fathir: 43)

Jawaban al-marhum Allamah Thaba Thabai ra sebagai berikut:
“Sesuai dengan riwayat yang mengatakan, “Allah tidak suka melaksanakan semua urusanNya kecuali melalui sebab-sebabnya’, maka Tuhan pasti melakukan apapun sesuai dengan sebab-sebabnya. Kesimpulannya, menentukan suatu hukum pasti sesuai dengan sebab-sebabnya. Dan bisa saja, memiliki sebab-sebab yang banyak dimana satu perbuatan haram –salah satu dari sebab yang banyak itu- merupakan sebab yang belum sempurna (iqtidhaa’) bagi suatu siksa, akan tetapi sebab yang lainnya –seperti taubat atau syafaat- merupakan sebab bagi diangkatnya siksa tersebut.”

Jawaban lainnya adalah:
Sanggahan Anda adalah memakai dalil universal pada individu yang masih diragukan keindividuannya terhadap universal tersebut. Pembuktian seperti ini, tidak bisa diterima akal dan fitrah. Contohnya, seperti menerapkan hukum “Hormatilah semua ulama” pada si Fulan yang belum kita ketahui keadaannya, apakah ia salah satu dari ulama atau bukan. Di sini, kita tidak bisa memakai kaidah universal tadi (Hormatilah semua ulama) untuk membuktikan ke-ulamaan si Fulan. Karena, kalau kita memakainya, berarti kita telah menggunakan dalil universal untuk membuktikan keindividuan satu individu yang masih diragukan keindividuannya bagi yang universal tersebut (Cara berdalil seperti itu, jelas tidak bisa dibenarkan. Karena mestinya, dalam berdalil untuk membuktikan suatu hukum terhadap suatu obyek atau individu, memakai hukum yang ada pada obyek universal dari individu tersebut. Misalnya, untuk membuktikan kerasionalan si Fulan, kita harus memakai hukum yang ada pada “manusia” sebagai universalnya si Fulan itu. Karena kita yakin bahwa si Fulan merupakan individu dari “manusia”. Baru setelah itu menerapkan hukum yang ada pada “manusia” yang dalam hal ini “rasional”, kepada si Fulan. Hasilnya, adalah bahwa si “Fulan itu rasional”. Jadi, dari universal ke individunya.

Akan tetapi, kalau kita sendiri belum yakin tentang keindividuan sesuatu terhadap sebuah universal, lalu kita memakai hukum yang ada pada universal itu untuk diterapkan kepada individu yang masih diragukan keindividuannya tersebut, maka hal ini jelas terlarang. Karena kita masih ragu terhadap keindividuannya. Lalu bagaimana mungkin kita menerapkan hukum yang ada pada universal itu ke atas individu yang masih diragukan tersebut?

Dan kalau kita tetap saja melakukannya, sebenarnya, bukan menerapkan hukum universal ke atas individunya, tapi bahkan sebaliknya. Yakni kita, secara tidak langsung, seakan ingin membuktikan keindividuan sesuatu bagi subyek hukum (maudhu’) universalnya itu, bukan hukumnya (predikat) itu sendiri. Artinya, dengan menerapkan hukum universal ke atas individu yang diragukan tadi, maka kita telah menjadikannya individu dari obyek/subyek hukum yang universal itu. Yakni kita sedang berusaha membuktikan keindividuannya dari universal tersebut. Padahal, kita ingin membuktikan bahwa hukum atau predikat yang ada pada subyek yg universal itu, adalah benar dan meliputi setiap individunya dimana termasuk individu yang kita bahas itu. Tapi disini menjadi terbalik. Inilah kebatilan yang dikenal dalam kaidah akal dengan “Memakai hukum universal untuk sebuah individu yang masih diragukan keindividuannya” (al-tamassuku bi al-‘aam fi syubhati al-mishdaaqiyyati) dimana jelas bahwa akal dan fitrah manusia menolak hal seperti ini.

Cobtoh: Misalnya kita mau mengatakan bahwa: Syafaat itu merubah sunnatullah. Karena itu syafaat adalah batil. Sebab, sunnatullah dan hukum Tuhannnya adalah siapa saja yang melakukan maksiat harus diazab. Dan hukum universalnya adalah setiap sunnatullah tidak bisa berubah. Karena itu, maka syafaat yang mengangkat azab dari orang yang maksiat, adalah batil, sebab bertentangan dengan sunnatullah.

Dalil di atas, jelas ingin membuktikan kebatilan syafaat karena menentang sunnatullah. Yakni, sudah diyakini bahwa syafaat itu menentang sunnatullah, baru setelah itu dihukumi dengan hukum universal yang mengatakan bahwa setiap sunnatullah tidak bisa berubah.

Padahal, kita belum tahu bahwa syafaat itu bukan bagian dari hukum atau sunnatullah. Jadi, hakikat dalil itu, bukan ingin membuktikan hukum “batil” pada syafaat. Tapi membuktikan “Kepenentangan syafaat terhadap hukum Tuhan atau sunnatullah.” Padahal, kepenentangan ini, baru berupa dakwaan yang perlu dibuktikan. Pentj.) Jadi, dengan menggunakan ayat: “Dan sunnatullah itu tidak akan pernah berubah” ini, tidak bisa menyimpulkan bahwa syafaat itu bertentangan dengan sunnahtullah yang berupa hukum dan hukuman bagi pelanggarnya tersebut. Karena perkataan ini –syafaat bukan sunnatullah- baru berupa dakwaan atau statement pertama (yang harus dibuktikan, pentj.).

Makna dari ayat itu adalah: Yang memang merupakan sunnatullah, maka pasti tidak akan berubah. Akan tetapi, bahwasannya syafaat bermakna merubah sunnatullah, atau tidak diterimanya syafaat merupakan sunnatullah yang tidak bisa dirubah, hal ini, tidak terkandung dalam ayat itu. Dengan kata lain, kalau dikatakan bahwa Tuhan hanya berbuat adil dan tidak pernah ber-ihsan (melebihkan pemberian dari jatah penerima, yakni dari jatah yang sesuai hak dan keadilannya, pentj.) serta tidak melakukan Fadhl (memberi tanpa imbalan apapun, pentj.), maka jelas merupakan perkataan yang batil, dan justru kebalikannyalah yang benar secara argumentasi. Karena secara sunnatullah, Tuhan selalu berlaku sesuai dengan Asma-asmaNya. Dan sebagaimana Adil adalah salah Nama dan SifatNya, maka Dia juga memiliki sifat-sifat lainnya, seperti Penyantun, Pengasih, Pemaaf, Pemberi Dengan Lebih (Muhsin) dan Pemberi Tanpa Balasan (Mufadhdhil).

Sanggahan Ketiga

Sanggahan ini ada di dalam kitab al-Manar karya Rasyid Ridha. Dia berkata, “Dalam masyarakat umum, apabila didapatkan seorang hakim yang mensyafaati pelanggar hukum, maka hakim itu dikatakan sebagai hakim yang zhalim, yang beramal atas dasar relasi, bukan hukum (keadilan). Sebab dari kejadian seperti itu, bisa saja karena si hakim tersebut telah dibengkokkan melalui pemikirannya dengan mengajukan dalil-dalil akal (baca: dalil-dalil akal yang semu, pentj.), dan bisa juga dari sisi latar belakangnya, seperti hubungan pertemanan.

Akan tetapi, kalau hakim itu adil, dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin bisa merubahnya, baik dari arah pemikirannya atau latar belakangnya. Padahal, dua sebab di atas itu (merubah pemikiran dan latar belakang), tidak bisa diterapkan ke atas Tuhan. Karena akibatnya, adalah menguasai kehendak-Nya. Dan hal ini adalah batil.”

Jawab

Tuhan memiliki dua macam ilmu. Yang pertama, Ilmu Zati (Ilmu-Nya terhadap Diri-Nya, pentj.) yang Azali (Tidak Bermula, pentj.) dan yang lainnya adalah Ilmu Partikular yang bukan hakikat Zat-Nya (Ilmu-Nya terhadap makhluk-Nya, pentj.). Syafaat, tidak merubah Ilmu Zati dan Azali Tuhan, melainkan hanya merubah Kehendak dan Perbuatan Partikulir atau individual-Nya. Karena Ilmu Tuhan itu adalah Azali, sementara yang berubah-ubah, adalah obyek Ilmu-Nya (makhluk) yang selalu dalam perubahan. Dia, dari sejak Azal (tak bermula) sudah tahu bahwa obyek Ilmu-Nya (makhluk) akan selalu berubah-ubah. Misalnya, Tuhan tahu bahwa si Fulah akan dilahirkan pada waktu fulan, akan menuntut ilmu dan seterusnya. Semua yang akan dilakukannya, adalah sesuai dengan Ijin dan Kehendak-Nya yang Partikular, individual dan baru (bc: bermula, pentj.) serta sesuai dengan pemberian yang juga baru. Allah swt berfirman, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. 55: 29) Demikian pula dengan syafaat, ia diketahui Tuhan sejak azal bahwa –misalnya- si Fulan di suatu masa tertentu akan mendapatkan syafaat, tanpa adanya perubahan di dalam Kehendak Tuhan Yang Azali itu.

Sanggahan Keempat

Salah satu gugatan para Wahhabi terhadap adanya syafaat ini adalah bahwa dengan adanya syafaat, membuat manusia yang melanggar akan semakin berani melakukan pelanggarannya (tajarri). Dan hal ini, bertentangan dengan tujuan penciptaan.

Almarhum Allah Thaba Thabai ra mengatakan:

Pertama, perkataan di atas, bertentangan dengan ayat-ayat yang menunjukkan ke-Maha Pengampunan dan ke-Maha Luasan Rahmat-Nya. Karena sudah dikatakan dalam ayat bahwa Tuhan akan mengampuni semua dosa selain syirik yang hanya bisa dibersihkan dengan taubat.

Kedua, ada jawaban “Halli” (berupa uraian dan penyelesaian terhadap suatu sanggahan, pentj.) untuk masalah di atas. Yaitu, bahwasannya syafaat itu dapat membuat manusia berani melakukan dosa, kalau: Pertama, nama dan sifat-sifat yang akan mendapatkan syafaat sudah disebutkan dari awal. Begitu pula kalau jenis dosa yang akan disyafaati sudah disebutkan dari awal. Kedua, syafaat meliputi seluruh dosa dan keadaan. Padahal, dua kondisi ini tidak disebutkan dalam janji syafaat.

Jawaban Lainnya

Tuhan dalam menyampaikan janji syafaat ini, tidak dalam bentuk Proposisi Positif Universal. Bahwasannya semua dosa atau siapa saja, akan dimaafkan melalui syafaatnya pemberi syafaat. Dan tidak pula dengan menyebutkan kreteria dosa yang akan diampuni melalui syafaat. Begitu pula tidak dengan menyebutkan identitas orang atau kelompok yang akan diberi syafaat. Bahkan semuanya dalam bentuk Proposisi (statement) yang Global dan Positip Partikular (Istilah logika, positif pada sebagian indivunya seperti “Sebagian manusia adalah wanita” atau “Sebagian pendosa akan mendapat syafaat” bukan Positip Universal, seperti “Semua manusia atau dosa akan mendapat syafaat” pentj.).

Sayafaat seperti ini (baca: global), bukan hanya tidak merupakan perangsang untuk berani berbuat dosa, tapi bahkan bisa mencuatkan harapan dan menumbuhkan peluang bagi manusia untuk memperbaiki diri dan merubah masa lalunya yang pahit. Dan selalunya akan membuat manusia dalam keadaan takut dan harapan (khauf dan raja’).

Dalam kitab Ma’ani Akhbar, hlm. 112, dan kitab Biharu al-Anwar, jld. 68, hlm. 176, telah dinukilkan dari Almarhum Ibnu Babawaeh ra, dari Amirulmukminin as, bahwa Tuhan menyembunyikan beberapa hal dalam beberapa hal:
1. Menyembunyikan ke-Kerasan-Nya diantara pendosa-pendosa. Dari sini, manusia memiliki konsekwensi untuk menghindari semua dosa dan tidak menganggap enteng maksiat manapun. Karena ia tidak tahu bahwa Tuhan akan mengazab seseorang dengan dosa yang mana. Jangan-jangan Tuhan akan mengazap dosa yang sekarang ia ingin lakukan itu;
2. Menyembunyikan Kasih Sayang-Nya diantara orang-orang yang menaati-Nya. Yakni tidak menjelaskan ketaatan yang akan diterima-Nya. Dari sini, tidak boleh meremehkan apapun bentuk ketaatan, baik yang wajib atau sunnah. Karena barangkali ketaatan itulah yang akan diterima dan diridhai-Nya;
3. Menyembunyikan wali-Nya diantara manusia-manusia yang tidak dikenali. Yakni tidak jelas, siapakah wali-Nya itu, dan sedang memakai baju apa (bc: tidak mengenali maqam ke-waliannya itu, baik dari orang yang kita kenal atau tidak, pentj.). Dari sisi ini, siapapun tidak punya hak untuk merendahkan orang lain. Karena bisa saja orang itu adalah wali Tuhan;
4. Menyembunyikan pengabulan doa-Nya diantara doa-doa. Dari sisi ini, tidak boleh mengecilkan doa manapun. Karena barangkali, doa itulah yang akan diterima Tuhan.

Syafaat, yang sebegitu tersembunyinya itu, bukan hanya tidak merangsang orang untuk berani melakukan dosa, tapi bahkan memunculkan harapan dan memotifasi gerakan perubahan dari seorang hamba, serta menempatkannya selalu dalam posisi takut dan harap (harap-harap cemas).

[37] QS. Al-Nisa’: 85

[38] Tafsir al-Kabir, jld. 10, hlm. 207.

[39] Dalam kitab-kitab hadits, kata “syafaat” banyak dipakai dalam artian doa. Dalam shahih Bukhari dalam dua bab –satunya permintaan umat Islam terhadap imamnya, dan satunya lagi permintaan kaum musyrikin dari umat Islam- telah menggunakan kata “syafaat”:

(اذا استشفعوا الى الامام ليستسقى لهم لم يردهم)

“Kalau mereka meminta syafaat –meminta- dari imam untuk memberi mereka minum, maka ia tidak akan menolaknya.”

(اذا استشفع المشركون بالمسلمين عند القحط)

“Ketika kaum musyrik dalam keadaan paceklik, meminta syafaat dari kaum muslimin.”

[40] Aslami (Abu Barzakh al-Aslami, pentj.) menukil dari Nabi saww ketika berbicara dengan Ka’bah, “Tidak ada yang lebih terhormat dari kamu –Ka’bah- untuk dihormati, akan tetapi seorang mukmin di sisi Tuhan lebih terhormat dari kamu.” (Sunan Turmudzi, jld. 4, hlm. 378, bab 85, hadits ke 2032, jld. 7, hlm. 337, hadits ke 1955, pentj.)

[41] QS. Al-Ghafir: 7-9

[42] Tafsir al-Kabir, jld. 7, hlm. 32.

[43] Tuhan memerintah Rasulullah saww, “Mintalah ampun untuk dosamu dan untuk orang-orang mukmin dan mukminat.” (Muhammad: 19) Begitu pula telah memerintah nabi Nuh as, “Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan siapa saja yang masuk ke dalam rumahku dalam keadaan beriman, dan untuk semua mukminin dan mukminat.” (Nuh: 28)

[44] Kanzul Ummal, jld. 12, hlm. 217, hadits ke 34739; Jami’u al-Shaghir karya Suyuthi, hlm. 225.

[45] Kitab Faidhu al-Ghadir, jld. 1, hlm. 527.

[46] Kaidah yang telah ditetapkan dalam Fikih dan Ushulfikih adalah, bahwasannya Hukum membuntuti Obyek hukum. Kalau Obyek hukumnya ada (sesuatu yang layak memiliki hukum, pentj.), maka Hukumnyapun akan datang. Tapi kalau tidak ada, maka Hukum, tidak akan pernah datang. Dan Hukum, sama sekali tidak punya pengaruh terhadap ada dan tidak adanya Obyek Hukum. ((Maksudnya adalah, kalau meminta syafaat pada batu itu, pada hakikatnya adalah syirik, maka kata perintah tersebut tidak akan pernah bisa merubahnya menjadi tidak syirik. Sebab, hukum seperti “perintah” yang melahirkan hukum wajib atau sunnah, tidak akan bisa merubah kenyataan, karena hukum itu ikut hakikat kenyataannya. Kalau hakikat nyatanya baik, maka hukumnya juga baik, seperti halal, sunnah atau bahkan wajib. Tapi kalau kenyataannya memang tidak baik, maka hukumnya akan menjadi makruh atau bahkan haram. Jadi, dengan kata perintah untuk meminta syafaat pada Hajar Aswad itu dapat diketahui bahwa pada hakikatnya meminta syafaat pada Hajar Aswad itu adalah bukan merupakan kesyirikan, pentj.)

[47] Kalau menurut Filosof, bukanlah wajib ke atas Allah, tapi wajib dari Allah (baca: Allah yang memestikan Diri-Nya sesuai dengan kemurahan dan kebijakan-Nya untuk menerima doa yang mustajab atau yang memenuhi syarat, pentj.). Ringkasnya adalah, kalau dikatakan “wajib ke atas Allah” maka akibatnya, Allah akan menjadi majbur dan terpaksa atau dipaksa. Sedang kalau dikatakan “wajib dari Allah” maka maksudnya adalah, karena Tuhan itu memiliki Zat Yang Tanpa Tanding dan memiliki kesempurnaan yang paling sempurna maka pemberian-Nya selalu keluar dari pada-Nya tanpa henti –seperti dalam doa- “Wahai Yang Pemberian-Nya Kepada Makhluk Tak Pernah Berhenti.” Inilah makna “wajib dari Allah” dan jelas tidak akan mengakibatkan kemajburan (keterpaksaan) –bagi-Nya. Untuk mengkaji lebih jauh, maka bisa merujuk kepada buku Wilayah Fakih karya Ayatullah Jawadi Omuli, hlm. 59-60, terbitan Yayasan Isra’.

[48] Kata-kata di atas, akan banyak didapati dalam buku ini. Oleh karenanya kami akan menjelaskan beberapa hal di sini:

(a). “Shahaabat” ( صحابة dengan shad yang difathah) adalah jamak dari “shaahib” (صاحب) yang berarti sahabat dimana dalam peristilahan ilmu Hadits bermakna “Orang Islam yang telah melihat Nabi saww.” Ibnu Hajar dalam bukunya al-Ishaabat mengatakan,

“الصحابي من لقى النبي ص مؤمنا به ومات على الايمان” 

(shahabat adalah orang yang pernah melihat Nabi saww dalam keadaan iman dan mati dalam keimanan).

Jumlah shahabat Nabi saww sampai wafat beliau saww berjumlah 114.000 orang dimana 100.000 dari mereka telah mendengar Hadist dari beliau saww. Paling akhirnya shahabat yang meninggal adalah Abu al-Tufail ‘Aamir bin Waatsilah yang meninggal pada tahun 110 H.. Beberapa ulama telah menulis tentang shahabat, baik secara mandiri atau bagian dari sub judulnya. Seperti: 1. al-Istii’aab Fi Asmaa’-i al-Ashhaab, karya ‘Abdu al-Bir Qurthubi (w. 462 H). 2. Usdu al-Ghaabati Fi Ma’rifati al-Shahaabati, karya Ibnu al-Atsir (w. 630 H). 3. Al-Ishaabatu Fi Tamyiizi al-Shahabati, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalaani (w. 852 H.). 4. Al-Thabaqaatu al-Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad.

(b). “Taabi’iin” (تابعين) adalah jamak dari “Taabi’ii” (تابعي), yaitu orang yang dalam keadaan Islam tidak bertemu dangan Nabi saww akan tetapi bertemu dengan sahabatnya. Dan kalau seseorang tidak bertemu dengan shhabat, atau bertemu tidak dalam keadaan Islam, tapi bertemu dengan Taabi’in dalam keadaan Islam, maka disebuat dengan “Tubba’“ (Taabi’in-nya Taabi’in, pentj.). Taabi’in dan Tubba’ memiliki peringkat-peringkat. Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam Taqribu al-Tahdzib-nya mengatakan, 1. Orang besar dari Taabi’in seperti Sa’id bin Musayyab. 2. Tingkatan pertengahannya (dari Taabi’in, pentj.) seperti Hasan Bashri dan Ibnu Syirin. 3. Orang besarnya Taabi’in-nya Taabi’in, Malik bin Anas dan Sufyan al-Tsauri. 4. Tingkatan pertengahannya dari Taabi’in-nya Taabi’in, Ibnu ‘Uyainah dan Ibnu ‘Aliyyati. Salah satu dari orang yang tidak bertemu dengan Taabi’in tapi menukil (hadits, pentj.) dari taabi’in-nya Tabi’in adalah Ibnu Hanbal.

[49] Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Syafi’i dan Malik

[50] Nuru al-Din ‘Ali bin Ahmad yang terkecal dengan nama Samhudi, bertempat tinggal di Madinah adalah seorang alim, mufti, pengajar dan ahli sejarah di kota itu. Dia bermadzhab Syafi’i dan merupakan tokoh masyarakat. Dilahirkan pada bulan Shafar tahun 844 H. Banyak orang yang telah belajar kepadanya di Mekkah dan Madinah. Dia memiliki beberapa karangan. Sakhawi mengatakan: “Sangat sedikit dari orang Madinah yang tidak belajar kepadanya. Beliau adalah seorang imam, ahli dalam fikih dan selalu menyibukkan dalam ilmu dan mengarang. Ahli ibadah, kajian, diskusi dan masih memiliki fadhilah yang banyak lainnya. Bahasanya sangat fashih dan memiliki kekuatan keyakinan yang jarang ditemui duanya. Beliau wafat pada tahun 911 H. Yang ingin tahu lebih banyak, silahkan merujuk kepada kitab Syadzaraatu al-Dzahabi, karya Ibnu ‘Imad al-Hanbali, jld. 8, hlm. 52; Al-Dhau-u al-Laami’, karya Muhammad bin ‘Abdu al-Rahman al-Sakhaawi, jld. 5, hlm. 245.

[51]

 وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kalian kira bahwa yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mareka hidup dan mendapat rejeki di sisi Tuhan mereka.”

[52] Jamak dari “Haafizh” (حافط) adalah “Huffazh” (حفاظ). Dikatakan kepada orang yang alim tentang Hadits Nabi saww. dan menghafal, setidaknya, seratus ribu hadits dengan perawinya.

[53] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hlm. 1349.

[54] Hadits Shahih di madzhab Imamiyyah adalah hadits yang silsilah perawiaannya diriwayatkan oleh orang yang tsiqah (jujur) dan Syi’ah.

[55] Untuk riwayat Nabi saww yang mengatakan bahwa beliau saww melewati kubur Nabi Musa as dan melihatnya berdiri melakukan shalat, mesti dikatakan bahwa Kubur Nabi Musa as berada di Madyan, suatu tempat antara Madinah dan Baitu al-Muqaddas (Sairu A’laami al-Nubala’, jld. 16, hlm. 99; Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 2375; Sunan Nasai, jld. 3, hlm. 216; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 3, hlm. 148).

[56] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hlm. 1349.

[57] Al-Mawaahibu al-Daniyyatu, jld. 3, hlm. 413.

[58] Perkataan-perkataan seperti itu (seperti bid’ah dan syirik, pentj.) sangat mungkin keluar dari orang-orang seperti mereka, karena mereka tertinggal dari kafilah Ahlulbait as yang maksum, dikarenakan tidak mengamalkan wasiat Nabi saww., dan meninggalkan Tsiql Ashghar (“yang berat ke dua” –Ahlulbait as- sebagai wasiat dan titipan Nabi saww. kepada umat Islam disamping yang berat pertama, yaitu al-Quran, pentj.), sehingga mereka berada dalam kerancuan pemahaman. Mereka jauh dari pengajaran para imam dua belas, hingga hal yang berdasar kepada al-Quran-pun (syafaat), mereka ingkari dan berkata seperti itu.

(كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا) 

“Besar sekali kata-kata yang keluar dari mulut mereka, sesungguhnya perkataan mereka itu adalah dusta.” (QS. Kahf: 5).

Sebagai contoh, Rasyid Ridha yang telah terpengaruh dengan kerancuan ini, dalam tafsirnya, al-Manar, jld. 1, hlm. 307, mengatakan: “Yang bisa dikatakan oleh akal, adalah ‘kemungkinan ada-nya’ syafaat, tapi bukan ‘kemungkinan terjadinya’. Dan dari al-Quran-pun tidak bisa diambil kesimpulan yang pasti, karena sebagian ayatnya menolak syafaat dan sebagian lainnya menetapkan. Sebagian ayat syafaat terkondisikan (muqayyad) dan sebagian lainnya mutlak. Hasilnya, perbedaan seperti ini, menjadikan ayat-ayat syafaat termasuk dari ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas) dimana ilmunya harus diserahkan kepada yang tahu (Tuhan, karena bagi dia yang tahu hanyalah Tuhan, pentj.). Karena itulah, maka tidak ada dalil aqli (akal) yang menunjukkan bahwa syafaat akan terjadi, dan begitu pula tidak ada dalil naqli (al-Quran-Hasits) yang menunjukan terhadap kemungkinannya.

Jawab: Siapa saja yang ingin menafsir al-Quran, maka ia harus terlebih dahulu membersihkan pikirannya dari kefanatikan jahiliyyah (kebodohan), dan hendaknya jangan memaksakan pikirannya ke atas al-Quran, serta hendaknya berfikiran bebas. Yang ke dua, kalau seseorang mendakwakan tentang kemutasyabihan al-Quran, maka hendaknya merujukkannya kepada yang muhkamat (jelas, pentj.). Hendaknya mengembalikan yang cabang kepada pokoknya, mengembalikan anak kepada induknya. Al-Quran itu tidak diturunkan untuk tidak dipahami mutasyabihatnya dan untuk tidak bisanya ditafsirkan. Akan tetapi, semua isi al-Quran dapat ditafsirkan, dibedah dan diargumentasikan. Sebagiannya, bisa ditafsirkan tanpa melalui perantara (muhkamat/jelas), dan sebagian lainnya harus dengan perantara (mutasyabihat). Dengan demikian, maka apa-apa yang diperlukan seorang mufassir yang mahir, adalah merenungi ayat-ayat secara sempurna dan memehami mana-mana yang muhkamat, mana-mana yang mutasyabihat, lalu mengembalikan yang mutasyabihat kepada yang muhkamat sebagai ummulkitabnya (induknya), sehingga kalaulah mereka mengatakan ayat syafaat itu adalah mutasyabihat, bisa menjadi jelas.

[59] Syafaa-u al-Suqqaam

[60] Saifu al-Diin Aamudi, dilahirkan pada tahun 554 H. di daerah Aamud (bagian dari daerah Bakr, barat-laut Negara Turki sekarang). Kedua orang tuanya bermadzhab Hanbali dan diapun dibesarkan dalam keluarga itu. Setelah itu ia pergi ke Baghdad dan belajar pada Abu al-Fath Hanbali. Setelah itu ia pindah madzhab menjadi Syafi’i. Setelah mencapai derajat tinggi dalam ilmu, ia pergi ke Syam (Suriah) untuk mempelajari ilmu-ilmu akal. Kecintaannya pada ilmu membuatnya pergi sampai ke Mesir dimana disana ia mendapatkan kedengkian dari beberapa orang. Dari kedengkian itulah mulai munculnya isu-isu buruk tentangnya hingga sampai pada tingkat penyimpangan dan pengkafirannya serta penghalalan darahnya. Saifuddin, akhirnya tidak melihat jalan lain kecuali harus meninggalkan Mesir dan menuju Damaskus. Sesampainya di Damaskus iapun diangkat menjadi guru di madrasah ‘Aziziyyah. Di daerah ini juga ada beberapa orang yang menentangnya. Pada akhirnya, iapun tinggal di rumahnya (tanpa kegiatan, pentj.) dan setelah beberapa tahun, pada tahun 621 H iapun meninggal dunia dan jasadnya dikuburkan di gunung Qasiyun.

Karya-karya ilmiahnya yang tertinggal adalah: 1. Al-Ihkaamu Fi Ushuuli al-Ahkaam; 2. Muntahaa al-Suaal Fi ‘Ilmi al-Ushuul; 3. Ghaayatu al-Maraam Fi ‘Ilmi al-Kalam. Buku terakhir ini adalah buku Teologi (akidah) yang disusun berdasarkan keyakinan Asy’ariah dimana dalam kitabnya itu juga disisipkan kitabnya yang lain yang berjudul Abkaaru al-Afkaar. Dia dalam kitab ini, mengkritisi akidah Syi’ah, akan tetapi tidak satupun kitab Syi’ah yang ia baca dan semua yang ia nukil tentang Syi’ah dalam kitabnya ini diambil dari buku-buku penentang Syi’ah.

[61] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hlm. 1351.

[62] Imam Haramain, bernama ‘Abdu al-Malik bin Abi Muhammad Abdullah Juwaini. Mengenainya, Ibnu Khalikan berkata, “Tidak ada yang lebih alim darinya dari ulama muta-akhkhirin (ulama generasi akhir) dan pengikut madzhab Syafi’i. Ia tinggal di Makkah selama 4 tahun. Di Madinahpun ia mengajar dan memberikan fatwa. Dan karena tinggal di dua kota itulah ia dijuluki dengan Imamu al-Haramain. Di masa mudanya ia belajar dari ayahnya sendiri, Syaikh ‘Abdullah (Ahli fikih Syafi’i). Setelah meninggalnya sang ayah (438 H) ia pergi ke madrasah di Baihaq dan melengkapi pelajarannya pada Syaikh Abu al-Qaasim Isfaraayini dan yang lainnya.

Diantara karya-karyanya adalah, 1. Al-Irsyaad; 2. Al-Risaalatu al-Nizhaamiyyatu; 3. Al-Syaamilu Fi Ushuuli al-Diin; dan lain-lainnya. Dari kitab-kitab ilmu Kalamnya, dapat dipahami bahwa ia berada dalam pengaruh ketiga ustadznya yang Asy’ariah. Akhirnya, ia meninggal di rumahnya pada tahun 478 H. dan dikuburkan di sana. Dan setelah beberapa tahun, kuburnya dipindah ke pekuburan al-Husain dan dikuburkan di dekat kuburan ayahnya.

[63] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal 1412.

[64] Idem, jld. 4, hlm. 1351.

[65] Idem, jld. 4, hlm. 1412. Abu Ahmad, Muhammad bin Muhammad, dikenal dengan Ghazali adalah salah satu ulama Asy’ariah. Dia, dalam beberapa waktu, menjadi utusan Nizhaamu al-Mulk (paling terkenalnya mentri pemerintahan Saljuqiyah, pentj.) untuk mengajar di markas militer kota Baghdad. Setelah empat tahun mengajar, pada tahun 588 H ia meninggalkan pengajarannya dan pergi ke Hijaz (Saudi). Setelah melakukan haji, ia pergi ke Damaskus dan selama sepuluh tahun ia menetap disana. Pada akhirnya ia kembali ke Thus (bagian Iran) dan tidak mengerjakan lainnya kecuali beribadah, membaca al-Quran dan mengarang kitab. Dengan desakan Nizhamu al-Mulk, beberapa waktu ia mengajar di markas militer Nisyaabur (bagian Iran), akan tetapi pada akhirnya ia tinggalkan dan kembali ke kotanya (Thus). Di sana, ia mendirikan Khoniqohi (tempat bertapa para Shufi, pentj.) untuk para Shufi dan madrasah untuk pencari ilmu. Akhirnya, pada tahun 505 H, ia meninggal dunia. (Dzahabi dalam kitabnya Sairu A’laami al-Nubala’, jld. 19, hlm. 328, menukil topik penting darinya tentang al-Ghadir, berkenaan dengan hadits “Siapa yang menganggap aku penguasanya maka Ali juga penguasanya.” dimana sangat layak untuk dipelajari.

[66] Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah dilahirkan pada tahun 200 H atau 209 H di Bugh, salah satu desa dari Turmudz. Ia belajar pada Bukhari dan para Masyayekh hadits (guru hadits) lainnya, dan demi menuntut ilmu ia telah pergi ke Khurasan, Iraq dan Hijaz. Turmudzi selain mengarang kitab Sunan-nya, ia juga mengarang kitab ‘Ilal dan Syamaailu al-Nabi saww. Ia sekalipun seorang yang buta, akan tetapi terkenal sebagai penghafal hadits. Jaami’ atau Sunan Turmudzi, memiliki sekitar lima ribu hadits dan jarang ada pengulangannya. Akhirnya, ia meninggal pada bulan Rajab tahun 279 H.

[67] Al-Taaju al-Jaami’ Li al-Ushuul, jld. 1, hlm. 381.

[68] Ibid, hlm. 291.

[69]QS. Zumar: 68.

[70] Abu Daud Sulaiman bin Ishaq Sajistani. Dilahirkan pada tahun 202 H. Dan untuk mendengar dan mengambil hadits Rasul saww ia telah pergi ke Khurasan (bagian Iran), Syam (Suriah) dan Hijaz (Saudi). Pada akhirnya ia bermukim di Bashrah (kota di Iraq) dan meninggal pada tahun 275 H. Turmudzi, Nasai dan Abu ‘Uwanah Isfaraini, mendengar (dan mengambil) hadits darinya. Abu Daud mengumpulkan hadits dalam kitab Sunan-nya dari yang dia dengar sendiri dari para tsiqah. Kitabnya pernah ditunjukkan kepada Ahmad bin Hanbal dan iapun memujinya. Ia berkata, “Aku telah menulis sebanyak lima ratus ribu hadits.” Salah satu dari sanad-sanadnya (perawinya) adalah Bukhari dan Muslim.

[71] Abu ‘Abdu al-Rahman Ahmad bin Syu’aib yang dikenal dengan Nasai, dilahirkan pada tahun 214 H atau 215 H di daerah Nisa’ (bagian dari kota Khurasan-Iran). Untuk mendapatkan hadits ia telah pergi ke Khurasan, Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan lain-lainnya. Kemudian setelah itu ia tinggal di Mesir. Diceritakan bahwa di akhir-akhir umurnya ia meninggalkan Syam menuju Mesir. Di Mesir ia ditanya tentang fadhilah Muawiyah yang ada dalam riwayat. Ia menjawab, “Saya tidak tahu hal lain selain hadits Nabi saww. yang diucapkan untuknya yang berbunyi, ‘Semoga Tuhan tidak pernah mengenyangkan perutnya.’” Karena itu, orang memukulinya ramai-ramai dan mengeluarkannya dari masjid. Dan karena dia menjadi sakit karena pukulan dan tendangan masyarakat itu, maka ia pergi ke Ramlah (bagian kota Palestina). Dan diapun meninggal dunia di sana karena sakitnya itu. Nasai dituduh sebagai Syi’ah. Dalam kitabnya, Khashaish, telah menulis fadhilah Imam Ali as dimana dalam menjelaskan sebab penulisan bukunya itu ia mengatakan, “Ketika aku sudah sampai di Syam (Suriah), aku melihat masyarakat menyimpang dari Ali as, karena itulah aku tulis kitab ini.” Iapun maninggal dunia pada tahun 303 H.

[72] Al-Taaju al-Jaami’ Li al-Ushuul, jld. 1, hlm. 292.

[73] Muhammad bin Yazid bin Maajah Qazwaini (Qazwin salah satu kota di Iran dekat dengan Isfahan, pentj.), dilahirkan pada tahun 209 H atau 207 H. Ia melakukan perjalanan (ilmu) ke Bashrah, Kufah, Baghdad (ketiganya adalah kota di Iraq), Makkah, Syam dan Mesir. Ia meninggal pada tahun 273 H. Sebagian karyanya adalah Tafsir al-Quran dan Tarikh Qazwaini.

[74] QS. Qaaf: 22

[75] Salah satu permasalahan yang diterangkan dengan jelas di dalam al-Quran dan Hadits, adalah kehidupan barzakhi. Dalam hal ini, umat Islam, selain sebagian yang sangat kecil yang tidak tahu agama, semuanya bersepakat dan meyakini akan kehidupan barzakhi. Keyakinan ini memiliki dasar al-Quran dan hadits. Sebegitu banyaknya masalah ini dibicarakan dalam buku-buku agama kita, maka kalau seandainya ditulis dalam kitab tersendiri, akan menjadi berjilid-jilid.

1. Di dalam surat al-Baqarah, ayat 154,

(وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ) 

“Dan janganlah kalian katakan kepada orang-orang yang terbunuhi di jalan Allah bahwasannya mereka telah mati, bahkan mereka hidup akan tetapi kalian tidak mengetahuinya.” Di akhir ayat dikatakan “kalian tidak mengetahuinya”, hal ini menjelaskan kepada kita bahwa kehidupan -manusia di alam kubur- itu adalah kehidupan yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari kehidupan duniawi ini, dan tidak dapat dijangkau (dirasakan) oleh ilmu manusia. Perumpamaan manusia yang hidup di planet ini dengan hakikat yang ghaib, sama dengan bayi yang ada di dalam perut ibunya. Seumpama dikatakan kepadanya bahwa di luar perut ada bintang gemintang, planet-planet, lautan, dan samudra-samudra, dia pasti tidak akan dapat memahaminya. Karena semua itu, adalah hal-hal yang menyangkut hakikat-hakikat di luar perut ibu.

Manusia yang dicipta dari tanah ini, tidak memiliki kemampuan untuk mengerti hakikat sebagaimana ia. Oleh karenanya tidak ada jalan lain baginya kecuali mengimani hal-hal yang diluar tabiat materi ini (non materi/ghaib, pentj.), dan menghindari pemaksaan diri untuk mengertinya. Oleh sebab itulah maka ketika Tuhan mengatakan “kalian tidak mengetahuinya”, hal itu dikarenakan bahwa kehidupan setelah mati itu, tidak bisa diketahui oleh umumnya manusia.

2. Dalam surat Ghaafirt: 46 dikatakan,

(النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ)

“Pada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat, dikatakan kepada malaikat: ‘Masukkanlah Fir’un dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.’”

Dalam ayat ini, kita temui dua kalimat. Yang pertama adalah “Pada mereka dinampakkan neraka pada siang dan petang.” Dan yang ke dua adalah “Dan pada hari terjadinya kiamat, dikatakan kepada malaikat, ‘Masukkan Fir’un dan pengikutnya ke dalam azab yang sangat keras.’”

Sangat jelas bahwa kalimat pertama tidak memaksudkan azab pada hari kiamat. Karena pada kalimat ke dua-lah azab hari kiamat itu dijelaskan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa azab itu (yang pertama) adalah azab barzakhi (alam kubur). Karena itu mereka sudah pasti dalam keadaan hidup hingga merasakan siksa kubur.

QS.Aali Imraan: 169-171; Nuh: 25; Yaasin: 28-29; al-Sajdah: 11; al-A’raaf: 77; dan lain-lain ayat…

Dalam riwayat, banyak sekali yang menerangkan tentang kehidupan barzakhi ini. Diantaranya riwayat yang datang dari Imam Ja’far Shadiq as, dimana beliau as ditanya tentang ruh orang-orang mukmin (yang telah meninggal dunia, pentj.), beliau as menjawab, “Mereka tinggal di rumah-rumah yang berada di surga. Mereka makan dan minum makanan-makanan dan minuman-minuman yang ada di surga, sambil berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah kiamat untuk kami dan berikanlah apa-apa yang telah Engkau janjikan kepada kami.’” (Biharu al-Anwaar, jld. 6, hlm. 169.

Salah satu riwayat yang lainnya adalah riwayat yang diriwayatkan oleh: Bukhari dalam Shahihnya, jld. 5, dalam bab Perang Badr; Shahih Muslim, jld. 4, kitab/bab Jannah (surga); Nasai dalam Sunannya, jld. 4; Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, jld. 2; Ibnu Hisyam dalam Sirahnya, jld. 1, hlm. 2; Maghaazi waaqidi, jld. 1; Majlisi dalam Biharnya, jld. 16. Disana diriwayatkan: Orang-orang kafir Quraisy yang mati dalam perang Badr berjumlah 70 orang. Nabi saww. memerintahkan supaya jasad-jasad mereka dilemparkan ke sumur (lubangan). Setelah semua dimasukkan ke dalamnya, Nabi saww menyeru satu persatu nama mereka dan berkata, “Hai ‘Utbah, hai Syaibah, hai Abu Jahl……apakah kalian telah menemukan janji yang diberikan oleh tuhan kalian?” Dalam pada itu beberapa orang berkata kepada Nabi saww, “Apakah anda memanggil orang-orang yang telah mati?” Nabi saww menjawab, “Kalian tidak lebih mendengar dari mereka, akan tetapi mereka tidak mampu menjawabnya.”

Nabi saww pada waktu berbicara dengan orang-orang kafir Quraisy yang sudah mati, berkata, “Kalian sungguh keluarga yang tidak baik bagi nabi kalian. Kalian mendustakan aku sementara selain kalian menerimaku; kalian telah mengusir aku sementara yang lainnya melindungiku; kalian berperang denganku sementara yang lainnya menolongku. Apakah kalian telah menemukan janji tuhan kalian?”

[76] Al-Taaju al-Jaami’ Li al-Ushuul, jld. 1, hlm. 290.

[77] Nabi saww bersabda, “Tidak ada satu orangpun yang mengucap salam kepadaku yang tidak disampaikan Tuhan kepada ruhku dan akupun menjawabnya.”

[78] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hlm. 1355.

[79] Sebagian orang telah menghubungan pandangan tentang penolakan adanya siksa atau nikmat kubur itu kepada Mu’tazilah. Penghubungan itu tidak benar adanya. Karena yang ingkar, hanya satu orang dari kelompok Mu’tazailah itu, yaitu Dhiraar bin Umar. Walaupun begitu, iapun pada akhirnya bertaubat dari madzhab Mu’tazilahnya dan merubahnya menjadi Jabariah.

Qodhi ‘Abdu al-Jabbaar yang seorang Mu’tazilah, mengatakan dalam bab, ‘Adzaabu al-Qubri (azab kubur), dalam bukunya, Syarhu al-Ushuuli al-Khamsati, “Tidak ada perbedaan pandangan dalam umat Islam tentang adanya azab kubur, kecuali satu orang yang bernama Dhiraar bin Umar, dimana dia dulunya Mu’tazilah kemudian pindah madzhab menjadi Jabariah. Dalam keadaan seperti itupun –bahwa yang mengingkari azab kubur itu hanya satu orang Mu’tazilah dan iapun telah merubah madzhabnya- Ibnu Raawandi masih juga tetap mengkritik kita dengan mengatakan, ‘Mu’tazailah mengingkari dan tidak meyakini adanya azab kubur.’”

Setelah itu, Qaadhi ‘Abdu al-Jabbaar membuktikan adanya kehidupan bagi manusia di alam Barzakh, dan ia memakai dalil-dalil dari al-Quran. (Talkhiishu al-Tamhiid, hlm. 623, Mukhaadharaatun Fi al-Ilahiyyaati, ustadz ayatullah Ja’far Subhani).

[80] Kanzu al-‘Ummaal, jld. 10, hlm. 141, hadits ke: 28715; Bihaaru al-Anwaar, jld. 2, hlm. 14.

[81] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hlm. 1355.

[82] Muhammad bin Umar, dikenal dengan Fakhru al-Raazi, dilahirkan pada tahun 543 H atau 544 H di daerah yang bernama Ray (berdampingan dengan kota Tehran, Iran, pentj.). Ia mahir dalam berpidato dan bekhuthbah dan lancar dalam berbicara Parsi dan Arab. Ia belajar pada ayahnya sendiri, Dhiyaa-u al-Diin Umar. Fakhru al-Raazi merupakan salah satu pembesar pengikut ‘Asy ari dan benar-benar telah mengabdi di dalamnya. Ia pernah mengajar di kota Haraat (salah satu kota pusat keramaian dan perdagangan di Iran lama, dan sekarang masuk bagian barat laut Afghanistan, pentj.) dimana orang-orang dalam madzhab apapun belajar kepadanya hingga ia dijuluki dengan Syaikhu al-Islam. Suatu ketika, setelah ia selesai ceramah di atas mimbar, ia membaca puisi ini: “Manusia kala hidup dipandangnya rendah. Dan kala mati dipandangnya musibah besar.” (Wafiyaatu al-A’yaan, karya Ibnu Khalikan). Pada akhirnya, iapun meninggal pada tahun 604 H. di Haraat. Dari karya-karyanya adalah: 1. Mafaatiihu al-Ghaib; 2. al-Mabaahitsu al-Masyriqiyyati; 3. Syarhu al-Isyaaraat; dan lain-lainnya (seperti Tafsir Fakhru al-Raazi, pentj.)

[83] QS. Israa’: 85.

[84] QS. al-Fajr: 27

[85] QS. Al-An’aam: 61.

[86] Tafsir al-Kabiir, jld. 21, hlm. 41.

[87] Mutasyarri’ adalah para ahli fikih (fuqaha’ atau mujtahid, pentj.).

[88] Musyarri’ adalah para nabi.

[89] QS. Al-Baqarah: 152.

[90] Fataawaa al-Sabki, jld. 2, hlm. 636

[91] Shahih Bukhari, jld. 9, hlm. 193; Shahih Muslim, jld. 5, hlm. 131. Dan di kitab-kitab kami (Syi’ah) tidak dapat ditemukan kata-kata seperti itu. Salah satu dalil ketidak shahihan hadits itu di dalam pandangan kami adalah di dalam perawiannya ada yang bernama Maula Umar bin al-‘Ash, dimana orang ini tidak diketahui (majhl), dan sebagian ulama Sunni menolak orang ini. Sementara dalam silsilah riwayat yang lainnya, dinukil secara Mursal (terputus, yakni seseorang menukil hadits dari Rasul saww. atau maksum as. padahal tidak pernah berjumpa dengan mereka, artinya tidak menyebut nama satu perawi langsungnya, pentj.). Terlebih lagi, bahwa riwayat itu dalam pandangan kami, tertolak. Lihat ‘Umdatu al-Qaari, jld. 25, hlm. 67.

[92] Tafsir al-Mizaan, jld. 10, hlm. 121.

[93] QS. Yunus: 92.

[94] Al-Jaami’u al-Shahih, jld. 4, hlm. 621, hadits ke: 2433.

Dan salah haditsnya adalah hadits Rasulullah saww yang bersabda, “Aku diberi –Tuhan- lima hlm…..dan aku diberi hak mensyafaati dimana kukhususkan untuk umatku, yaitu bagi yang tidak menyekutukan Tuhan dengan apapun.” (Musnad Ahmad, jld. 1, hlm. 301; Sunan Nasai, jld. 1, hlm. 172; Sunan Daarimi, jld. 1, hlm.323.).

Dalam riwayat yang lain, Nabi saww. bersabda: “Aku adalah pemberi syafaat pertama dan yang pertama dikabulkan.” (Sunan Turmudzi dan Darimi). Abu Dzar ra. Berkata, “Rasulullah saww di suatu malam melakukan shalat, rukuk dan sujud sampai pagi. Dan selalu membaca ayat:

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Kalau Engkau mengazab mereka, maka mereka adalah hamba-hambaMu, dan kalau Engkau mengampuni mereka, maka sesuangguhnya Engkau Maha Mulia dan Bijaksana” Setelah pagi aku berkata, “Ya Rasulullah, mengapa Engkau selalu membaca ayat itu?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku memohon kepada Allah akan kewenangan syafaat untuk umatku, lalu Ia mengabulkannya, yaitu bagi yang tidak menyekutukanNya dengan apapun.’” (Musnad Ahmad, jld. 5).

Syarat-syarat menerima syafaat: 1. Tidak menyekutukan Tuhan; 2. Ikhlas dalam mengakui tauhid (ke-Esaan Tuhan, pentj.), Nabi saww bersabda, “Syafaatku untuk orang yang secara ikhlash bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah, yakni hatinya membenarkan kata-katanya, dan kata-katanya membenarkan hatinya.”; 3. Bukan dari golongan yang memerangi keluarga Rasulullah saww (nashibi). Imam Shadiq as bersabda: “Seorang mukmin bisa mensyafaati teman dekatnya kecuali kalau ia nashibi. Sungguh kalaulah para rasul dan malaikat berusaha mensyafaatinya, ia tidak akan mendapatkannya.” (Tsawaabu al-A’maal, hlm. 251); 4. Yang tidak meringankan shalatnya. Imam Musa al-Kazhim as bersabda, “Orang yang meringankan shalatnya, tidak akan mendapatkan syafaat kami.” (al-Kaafii, jld. 3, hlm. 6).

[95]

(وكن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة * بمغن فتيلا عن سواد بن قارب). 

Dalam sebagian kitab, dinyatakan sebagai Sawaad bin ‘Aadzib, dan pada sebagian lainnya Sawaad bin Qaarib. Lihat kitab-kitab: Al-Duraru al-Saniyyati, hlm. 29; Kasyfu al-Irtiyaab, hlm. 263; al-Ishaabatu, jld. 2, hlm. 96; Usdu al-Ghaabati, jld. 3, hlm. 375.


[96] Amaali, karya Syaikh Mufid, hlm. 105; Bihaaru al-Anwaar, jld. 22, hlm. 527. Maksud imam Ali as. yang mengatakan “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu” adalah sama dengan pernyataan “Syafaatilah kami” sebagaimana yang dikatakan nabi Yusuf as di dalam penjara kepada temannya yang akan segera bebas “Ingatilah aku di sisi rajamu.” (QS. Yusuf: 42)

[97] Kasyfu al-irtiyaab, hlm. 265, yang dinukil dan diringkas dari kata-kata Daini Dahlaan.

[98] Fathu al-Baari, jld. 2, hlm. 398; al-Sunanu al-Kubraa, jld. 3, hlm. 351; Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hlm. 137.

(Syiah-Sunni/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: