Ilustrasi
Oleh: TAUFIK RAHMAN
Ernes Renan pada tahun 1882, membuka pendapatnya tentang faham “bangsa.” Menurut pujangga ini, bangsa adalah suatu nyawa, suatu azas yang terjadi dari dua hal: Pertama, rakyat harus bersama-sama menjalin satu riwayat; Kedua, rakyat mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Persatuan dan kesatuan, itulah kebangsaan.
Bangsa lahir bukan hanya karena kesamaan suku, budaya, agama dan etnis, akan tetapi lebih dari itu. Bangsa lahir karena persamaan nasib. Nasib di sini memiliki arti, adanya kesamaan peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh suatu bangsa, seperti sama-sama tertindas, tersakiti, terbuang dan terjajah oleh kolonialisme, yang menyebabkan penderitaan, kesengsaraan dan rusaknya mentalitas kemanusiaan.
Setelah suatu bangsa lahir, baik diakui secara de facto dan de jure, salah satu landasan yang perlu diteguhkan yaitu mental cinta tanah air, atau yang lebih dikenal dengan istilah “nasionalisme”. Bangsa tanpa jiwa nasionalisme adalah bangsa fatamorgana; ada dalam ketiadaan. Bangsa seperti ini, hanya akan diselimuti oleh harapan semu dan utopis, tanpa mampu menaklukan kenyataan hidup yang sebenarnya.
Kecintaan terhadap tanah air merupakan harga mati. Dengan demikian, suatu bangsa bisa terus mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan badai dan ganasnya ombak, menuju dermaga harapan yang ada didepan sana. Ibarat nahkodah dan penumpang sebuah kapal laut, mereka harus terus berusaha dan berjuang, agar kapal laut tersebut bisa mencapai tujuannya. Begitupun suatu bangsa, memiliki cita-cita yang ingin dicapai, dan itu bukan tugas individu melainkan tugas kolektif. Sebab jika hanya individu yang berjuang sendirian, maka ia hanya memperjuangkan kegagalan.
Seorang filsuf bernama Marcus Tullius Cicero, ia berasal dari Romawi kuno, mengatakan bahwa, ” jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.” Kata-kata ini bisa menjadi cambuk kesadaran bagi setiap warga negara, agar tidak selalu menuntut hak-haknya kepada negara. Semua permasalahan yang terjadi, selalu pemerintah (pejabat negara) yang salah dan menjadi kambing hitam. Menurut penulis, otok kritik terhadap diri sendiri juga penting, dalam memberikan sumbangsi demi kepentingan bangsa dan negara.
Suatu bangsa, bagaikan seluruh anggota tubuh. Ketika salah satu bagian tubuh sakit, maka tubuh yang lain pun akan ikut merasakan sakit, begitulah sistemnya. Dalam bernegara pun demikian, tidak ada yang perlu disalahkan karena persoalan kebangsaan merupakan tanggung jawab bersama sebagai warga negara. Jatuh dan bangunnya suatu bangsa ada ditangan rakyatnya. Ketika rakyat memiliki mentalitas cinta tanah air, cita-cita suatu bangsa pun akan bisa tercapai.
Nasionalisme atau cinta tanah air, merupakan konstruksi identitas yang dibentuk melalui narasi dan digambarkan dalam berbagai definisi dan aksi bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan kepada bangsa dan negara. Dengan catatan bahwa kepentingan bangsa atau kepentingan bersama harus diutamakan dibadingakan kepentingan individu. Berdasrkan nilai-nilai, norma-norma maupun kostitusi yang berlaku.
Nilai-nilai nasionalisme yang sering dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat seperti, nilai rela berkorban, nilai persatuan, nilai kerja sama, nilai harga menghargai, nilai bangga sebagai warga negara. Namun nilai-nilai ini hanya diindahkan dengan kata-kata, dimuliahkan dengan tulisan tapi dikhianati dalam tindakan. Nilai-nilai tersebut seharusnya mendarah daging dalam setiap jiwa warga negara, karena itu merupakan identitas bangsa.
Di era milenial ini, bisa dilihat bahwa nilai-nilai nasionalis mengalami degradasi. Contohnya, secara ekonomi masyarakat yang tua maupun yang muda, lebih bangga memakai dan menggunakan produk luar negeri, dibandingkan dengan produk dalam negeri. Secara budaya, indentitas nasional yang ramah dan santun, tergeserkan dengan budaya Barat yang bebas dan fulgar. Secara sosial, karakter individual lebih dominan dibandingkan dengan karaktek kolektif dan gotong royong.
Rasa nasionalis harus selalu diajarkan kepada generasi-generasi penerus bangsa, sehingga bisa menjadi tameng yang kuat untuk menjaga integritas bangsa agar tidak tergoyah oleh konflik internal maupun eksternal. Keamanan dan ketertiban merupakan harapan setiap warga negara, dan bangsa yang besar adalah bangsa yang menjamin ketentraman dan kedamaian rakyatnya.
Oleh sebab itu, konstruksi mentalitas nasionalis tidak hanya diedukasikan melalui lembaga formal, lembaga-lembaga informal maupun forum grup diskusi, harus mengambil bagian dalam upaya mewujudkan rasa cinta tanah air. Di era milenial ini, arus informasi yang begitu mudah dan cepat diakses, sangat cocok untuk digunakan dalam memberikan pendidikan nasionalisme, baik itu melalui film, iklan, musik, game, yang itu bisa diakses dengan mudah melalui HP Android.
Generasi milenial yang instan dan konsumtif tidak boleh dibiarkan asing dengan istilah dan praksis nasionalisme. Jika itu dibiarkan terjadi, maka sangat berdampak terhadap perkembangan dan kegagalan suatu bangsa. Dengan prinsip gotong royong, bahu membahu, dan saling mengingatkan satu dengan yang lain, di era milenial ini, gerakan penyadaran untuk cinta tanah air harus senantiasa dilakukan, baik dimulai dengan hal-hal yang sederhana maupun pada tataran makro.
Bangsa Indonesia diibartkan tanah surga, katanya. Tongkat dan batu pun bisa jadi tanaman, bahkan kolamnya pun kolam susu. Ditanah surga mengalir sungai-sungai, mengairi sawah-sawah, menghidupi rakyat jelata, dan ditanah surga, yang terpenting adalah, “nasionalisme tak boleh mati.”
(Geo-Times/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar