Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Meiliana dan Arab Badui Yang Mengencingi Masjid Nabi

Meiliana dan Arab Badui Yang Mengencingi Masjid Nabi

Written By Unknown on Senin, 27 Agustus 2018 | Agustus 27, 2018

Meiliana menangis saat dijatuhi hukuman di Pengadilan Negeri Medan.

Kasus Meiliana, seorang ibu tiga putra yang mengeluhkan bisingnya pengeras suara dari masjid, berujung vonis 1.5 tahun penjara. Sementara para pelaku yang merusak dan membakar beberapa vihara, klenteng dan balai pengobatan serta beberapa kendaraan bermotor yang menjadi buntut keluhan Meiliana, mereka hanya divonis 1.5 bulan!

Meliana yang protes, kok bisa vihara, klenteng dan mobil yang dibakar? Inilah pelampiasan kemarahan orang-orang yang tidak terima keluhan Meiliana yang kebetulan dia keturunan Tionghoa dan beragama Buddha. Kemarahan itu tentu saja setelah bercampur provokasi dan kebencian yang bermula dari kesalahpahaman.

Saat protes, bisa saja dianggap ada ucapan dan sikap Meiliana yang menyinggung, tapi pelampiasan kemarahan pada pembakaran rumah ibadah tak bisa dibenarkan sama sekali. Namun yang jadi masalah serius: perbedaan vonis yang dijatuhkan pada Meiliana dan para pelaku pembakar rumah ibadah sungguh mengusik rasa keadilan kita. Ujung-ujungnya mudah ditebak: Pengadilan tak berdaya tekanan massa.

Seperti halnya para pelaku pembakar masjid di Tolikara, Papua yang divonis ringan, hanya 2 bulan. Tanjung Balai, mayoritas muslim, Pengadilan berhadapan dengan massa yang membawa-bawa golongan mayoritas. Tolikara mayoritas Kristen, di mana Pengadilan akan berhadapan dengan golongan mayoritas. Akhirnya keadilan tumpul membentur tembok golongan mayoritas.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui ketua bidang hukum dan HAM, Robikin Enhas menyebutkan bahwa protes terhadap suara adzan bukan lah penistaan agama. Saya setuju dengan pendapat ini. Namun masalah yang lebih serius adalah buntut dari protes ini yang kemudian bergulir menjadi kemarahan massa. Ini ada apa? Apakah hal sepele dari protes soal pengeras suara dari masjid, tiba-tiba menyebabkan amuk massa? Pendapat yang sering terlontar adalah soal kecemburuan sosial dan ekonomi, akhirnya pelampiasannya dengan merusak dan mengamuk dengan tak wajar. Kasus protes soal bunyi adzan hanyalah pemantik, yang sebenarnya sudah ada bara dalam sekam di masyarakat itu, percikan api kemarahan ini mengobarkan bara yang kemudian melahap semuanya.

Saya tak yakin, kalau tidak ada masalah dalam masyarakat itu, protes soal pengeras suara masjid ini akan menyambar kemana-mana. Namun sayangnya solusi terkait masalah ini bukan berusaha keras mematikan bara api, dan memperkuat akar-akar rumput di masyarakat tapi sepeti menyimpan kembali api dendam dengan proses dan hasil dari pengadilan yang tidak adil.

Sebagai introspeksi (muhasabah) ke dalam internal umat Islam, saya ingin mengingatkan kembali tentang hadits Nabi. Ada kejadian zaman Nabi yang lebih “parah” dari “hanya” soal protes pengeras suara dari masjid. Masjid Nabawi, masjidnya Nabi Muhammad Saw pernah dikencingi oleh orang Arab Badui!

Suatu waktu saat para sahabat Nabi sedang meriung di sekeliling Nabi dikejutkan oleh kedatangan seorang Arab badui yang tiba-tiba masuk ke dalam masjid dan kencing di salah satu sudutnya. Para sahabat marah, ingin menghardik (dan mungkin saja ada yang mau memberinya “pelajaran”), tapi Nabi melarang dan membiarkan orang Arab Badui itu menyelesaikan hajatnya. Kemudian beliau memerintahkan sahabat agar mengambil air dan menyiramkannya ke bekas kencing orang Badui tadi.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Anas Ra, Nabi Muhammad Saw tidak menampakkan sikap yang marah atas kelakuan orang Arab Badui itu, yang pastilah bagi kita yang waras ini bisa menangkap, Nabi tidak marah karena orang badui itu tidak tahu tentang tata krama masjid, dan bisa jadi orang Arab Badui itu belum memeluk Islam. Atau mungkin aja dia sudah muslim tapi belum sempurna pengetahuannya tentang Islam. Karena sebutan al-a’rabi (orang Arab Badui) merupakan sebutan bagi orang Arab yang saat itu masih terbelakang. (Dalam riwayat lain, Nabi melarang para sahabatnya menghardik orang Arab Badui itu bahkan “membelanya” dengan sabdanya “siapa tahu dia yang masuk surga”).

Bagi pengulas syariah setelahnya, hadits tadi menjadi dalil beberapa hukum: 1. Kencing itu najis, 2. Bekas kencing harus dibersihkan, 3. Bekas kencing harus segera dibersihkan, 4 tata cara membersihkan najis kencing dst.

Sementara para pengulas dakwah, mengambil hadits tadi sebagai inspirasi cara berdakwah seperti yang diajarkan Nabi, menjauhkan cara marah apalagi terhadap seseorang yang belum mengerti.

Yang menarik lagi hadits tadi ditutup dengan sabda Nabi, ”Fa innama bu‘itstum muyassiriin wa lam tub’atsu mu‘assirin. Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.

Andai para sahabat itu menyikapi dengan marah-marah, bahkan memukul orang Arab Badui itu (yang tak jarang bisa dianggap wajar dari respon manusiawi yang sedang emosi tinggi…”ada yang mengencingi tempat suci!”) mungkin akan timbul kesulitan, dan bisa jadi orang Arab Badui itu kalau ia belum masuk Islam, akan tidak pernah masuk Islam, kalau ia pun sudah Islam, akan tidak simpati dengan cara yang marah-marah. Namun dengan cara yang elegan dan simpatik Nabi Muhammad Saw keagungan ajaran Islam memancar. Subhanallah….

Apakah masyarakat di Tanjung Balai tidak mendengar hadits tadi? Saya tidak tahu, saya juga tidak mau menambah kemarahan dengan kemarahan yang lain. Peristiwa sudah terlanjur terjadi. Karena dalam kondisi yang marah pun jangan kan ingat sebuah hadits, lebih parah lagi, kita sampai lupa diri. Yang perlu disikapi terkait kasus ini adalah bagaimana ke depannya.

Rasa keadilan kita, terkait beda jauh vonis bagi para pelaku pembakar rumah ibadah dengan Meiliana sungguh mengusik, dan yang lebih serius lagi, akan menimbulkan masalah baru. Ketidakadilan justeru akan melahirkan dendam dan persoalan yang berlarut-larut. Bukan saya mau minta agar vonis bagi para pelaku pembakar vihara dijatuhkan vonis yang lebih berat lagi. Tapi vonis pada Meiliana sungguh tak adil. Ini yang saya sebut sebagai over kriminalisasi.

Apakah dengan memvonis Meiliana dengan berat rasa kebencian akan hilang? Apakah dengan memenjarakan Meiliana kondisi di Tanjung Balai akan kembali damai? Saya pesimistis, karena saya baca respon ormas-ormas yang menekan pengadilan dengan pengerahan massa tidak puas dengan vonis itu, meskipun di sisi lain, vihara, klenteng, balai pengobatan, kendaraan bermotor dan benda-benda lainnya sebagai pelampiasan kemarahan sudah dirusak dan dibakar.

Ketidakadilan tidak akan pernah menyingkirkan kebencian, ketidakadilan tidak akan melahirkan perdamaian. Karena seperti yang sering diucapkan Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Sedangkan kebencian hanya hanya bisa dihapus dengan proses rekonsiliasi, bukan dengan menjatuhkan vonis yang sewenang-wenang.

Masih ada waktu ke depan agar lembaga yudikatif (pengadilan) mempertimbangkan putusan untuk Meiliana, keadilan yang lebih mementingkan ikhtiar untuk rekonsiliasi, bukan keadilan distributif lagi, karena untuk ranah distributif ini, pengadilan sudah gagal dengan jauhnya perbedaan vonis untuk Meiliana dengan para pembakar rumah ibadah. Maka, keadilan restoratif lah yang semestinya dituju.

Saya sangat yakin masyarakat Tanjung Balai sudah belajar dari kejadian kelam ini dan tidak mau lagi ada gangguan. Pemulihan ke kondisi semula dengan ikhtiar rekonsiliasi dan ini tidak bisa terjadi kalau Meiliana justeru dijebloskan ke dalam penjara dan memisahkannya dari masyarakatnya.

Meiliana sudah banyak belajar dari kasus ini, demikian pula para pelaku pembakar itu, juga masyarakat di Tanjung Balai, biarlah rekonsiliasi ini berjalan alami. Dan rekonsiliasi ini akan terjadi kalau Meiliana tidak mengalami vonis yang over kriminalisasi.

Dia harus dibebaskan dari dakwan penodaan agama, karena hukuman sosial dan derita selama perjalanan kasus ini, serta proses persidangan sudah lebih dari cukup membuatnya menderita.

Wallahu A’lam

Mohamad Guntur Romli

(Gun-Romli/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: