Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Kisah-kisah Nabi Muhammad saw: Akhlak Nabi Di Masa Kecil

Kisah-kisah Nabi Muhammad saw: Akhlak Nabi Di Masa Kecil

Written By Unknown on Minggu, 17 Desember 2017 | Desember 17, 2017


Apa kabar adik-adik tercinta? Tentunya di bulan Maulid ini, adik-adik sudah banyak mengikuti acara-acara maulid Nabi saw. yang diadakan di banyak tempat, mulai di mushalla, masjid, sekolah, komplek perumahan dan bahkan di tempat-tempat belanja. Maulid Nabi juga diadakan dalam berbagai bentuk, mulai dari lomba, pembacaan sejarah Nabi, atau sekedar ceramah.

Nah, inti dari itu semua adalah supaya kita mengenal Nabi lebih dalam lagi dan bisa menteladaninya. Berikut ini Kakak bawakan kisah tentang akhlak Nabi Muhammad saw. pada saat beliau masih berusia 8 tahun. Bagaimana kisahnya, yuk kita baca:

Tahun Gajah adalah tahun ketika Abrahah membawa pasukan penunggang gajah ke kota Makkah. Namun pasukan tersebut hancur binasa dengan hujan batu yang dilemparkan oleh burung Ababil. Karena kejadian ini merupakan sebuah keajaiban dan kemukjizatan, maka penduduk Arab meninggalkan hitungan kalender terdahulu. Mereka menyebut tahun itu sebagai tahun Gajah dan menjadikannya sebagai permulaan sejarah baru.

Kisah berikut ini terjadi pada tahun ke-8 dari tahun Gajah, yaitu 45 tahun sebelum permulaan tahun Hijriah. Saat itu musim haji semakin dekat. Pagi itu, orang-orang menghamparkan sebuah hamparan di dekat dinding Ka’bah. Abdul Muttalib (Pembesar Quraisy dari keluarga Hasyim) duduk di ujung hamparan pada sandaran khusus sebagai seorang pemimpin. Para kepala suku sedang menggelar sebuah rapat yang disebut dengan rapat “Rifadah” di hadapan beliau.

Pengaturan kota Makkah pada musim haji bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Selain terdapat sebuah majelis bernama “Darun Nadwah”, Kota Makkah memiliki 9 lembaga besar. Masing-masing lembaga ini mempunyai tugas untuk mengerjakan satu bagian dari pekerjaan tata kota. Tanggung jawab dua lembaga yang bernama “Rifadah” dan “Siqayah” ini berada di tangan Abdul Muttalib, kakek Nabi saw.

“Rifadah” adalah unit yang menyediakan jamuan untuk jamaah haji. Setiap orang yang datang dari mana saja untuk menziarahi Ka’bah, akan menjadi tamu unit “Rifadah” ini. Orang-orang Makkah yang mampu biasanya memberikan bantuan kepada unit ini. Para musafir akan mendapatkan makanan dari lembaga ini secara gratis. Penduduk Makkah, khususnya Suku Quraisy dan Bani Hasyim menganggap para penziarah Ka’bah adalah tamu-tamu Allah, tamu-tamu Ka’bah dan tamu-tamu di kota mereka. Mereka akan menunjukkan kedermawanan sebisa mungkin di hadapan para tamu.

Jamuan ini dapat memberikan motifasi kepada masyarakat umum untuk menziarahi Ka’bah. Selain itu, menyambut tamu dan menunjukkan kedermawanan menciptakan kebanggaan tersendiri. Para tokoh dan orang-orang mampu berlomba-lomba untuk dapat mengharumkan nama mereka, kabilah mereka dan kota mereka dengan cara memberikan jamuan terhadap tamu-tamu ini.

Selain itu, mereka dapat menjalin persahabatan dengan kabilah lain. Hal itu juga penting, karena orang-orang kaya Makkah memiliki kerjasama dengan kabilah-kabilah yang tinggal di gurun-gurun. Kabilah-kabilah itu akan membantu menjaga dan mengamankan lalulalang kafilah-kafilah dagang penduduk Makkah dari gangguan para penyamun jalanan.

“Siqayah” adalah sebuah lembaga terpisah yang mengurusi persiapan air minum untuk para penziarah. Tanah Makkah selalu panas, kering, gersang, dan tandus. Tiada air selain dari beberapa sumur. Maka merupakan pekerjaan yang cukup sulit untuk menyediakan air bagi para jamaah di musim haji. Oleh karena itu, unit “Siqayah” ini jauh-jauh hari sebelumnya, telah mengambil air dari sumur-sumur sekitar dan menyimpannya dalam gudang-gudang penyimpanan air.

Sebagaimana disebutkan bahwa para penziarah Baitullah tidak dikenakan biaya untuk makan dan minum, bahkan hampir seluruh kebutuhan mereka dipenuhi secara cuma-cuma. Maka wajar bila pekerjaan ini butuh banyak biaya dan pengeluaran. Mempersiapkan makanan dan minuman untuk jamaah haji tidak dapat dilakukan diri, namun hal itu bisa terlaksana dengan bantuan bersama.

Sejak masa kepemimpinan Qushay (kakek Abdul Muttalib) telah dibuat kesepakatan bersama. Isinya supaya masing-masing dari para pembesar dan kepala kabilah untuk memberikan bantuan setiap tahunnya sesuai kemampuan. Hal itu menjadi seperti sejenis donasi atau sumbangan wajib yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi para donaturnya.

Sumbangan itu tidak diambil secara paksa, namun juga tidak dapat dihindari begitu saja. Sumbangan bisa berbentuk uang atau barang. Ada yang menyumbang unta atau uang atau gandum atau buah-buahan atau apa saja yang dimilikinya.

Mayoritas orang-orang kaya di Makkah terdiri dari para pedagang yang selalu bepergian ke Syam dan Yaman untuk berdagang atau melakukan perdagangan di Makkah sendiri (yang menjadi pusat lalulalang perjalanan jauh dan panjang di Arab pada waktu itu). Sebagian memiliki kebun atau ladang kurma di pinggiran kota.

Mayoritas donatur selalu memberikan sumbangan mereka tepat waktu. Namun ada juga sebagian orang yang melalaikannya. Salah seorang yang belum juga memberikan donasinya pada tahun itu bernama “Hafs bin Murrah”. Ia berpenghasilan banyak dan juga cukup terkenal. Ia memiliki 100 ekor unta yang ikut pada kafilah-kafilah perdagangan. Selain itu, ia memiliki kebun di Thaif (sekitar 64 Km dari kota Makkah) yang panennya sangat berlimpah. Tidak diketahui apa alasannya ia masih belum menyerahkan sumbangannya.

Suatu hari, Abdul Muttalib dan beberapa orang sedang melakukan penghitungan dan tiba-tiba sampai pada nama Hafs. Abdul Muttalib berkata, “Hafs ini sudah harus menyerahkan 5 unta dan beberapa kwintal atau ton gandum. Kenapa hingga saat ini belum ada yang mengingatkan?!”

Para pencatat menjawab, “Kami telah mengingatkannya dan beberapa kali kami katakan kepadanya, namun ia tidak memberikan apa-apa.”

“Baiklah, kita akan ingatkan sekali lagi hari ini,” jawab Abdul Muttalib.

Mereka berkata, “Percuma saja, tampaknya orang ini tidak ingin memberikan donasinya!”

Abdul Muttalib berfikir sejenak dan memandang cucunya, Muhammad yang yatim berusia 8 tahun. Ia saat itu duduk di sana dan sedang mendengarkan percakapan itu. Sang Kakek berkata, “Muhammad! Apakah engkau mengetahui rumah Hafs?”

“Ya, aku tahu, Kakek,” jawab Muhammad.

Abdul Muttalib berkata, “Aku ingin engkau pergi dan menanyakan apa alasan Hafs ini? Bila ia tidak ingin memberikan donasinya, suruh mengatakannya saja sehingga kita coret namanya dari list ini! Dan bila ia masih ingat terhadap kesediaannya dahulu, kenapa belum juga melaksanakannya?”

Kemudian Muhammad bangkit dan berkata, “Insya Allah aku tidak akan kembali dengan tangan hampa.”

Abdul Muttalib berkata, “Muhammad! Aku minta supaya Amir menemanimu sehingga bila Hafs memberikan unta dan barang lainnya, ia bisa membantumu untuk membawanya. Di sini aku akan menunggumu hingga engkau kembali.”

Salah seorang yang berada di sana berkata, “Tuan! Tidak akan ada gunanya. Beberapa orang dewasa sebelumnya telah pergi untuk mengingatkan Hafs dan kembali dengan tangan hampa. Hafs berkali-kali juga mengancam, bila sekali lagi ada yang datang, akan berurusan langsung dengannya. Kini Anda mengutus seorang anak kecil?!”

“Bersabarlah, kita lihat saja apa yang akan terjadi,” jawab Abdul Muttalib dengan tenang.

Muhammad kecil berangkat dan diikuti oleh Amir. Setelah sekian lama waktu berlalu, tiba-tiba orang-orang yang ada di majelis itu memberitahukan bahwa Muhammad sedang datang diikuti oleh Hafs diiringi 6 ekor unta. Semua orang berdiri dan menjulurkan lehernya untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Muhammad tampak sedang berbincang-bincang hangat dengan Hafs dan diikuti oleh Amir bersama unta-untanya. Ketika sampai di tengah majelis, Hafs memberi hormat, mengucapkan salam dan menjabat tangan Abdul Muttalib. Ia juga menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan menyerahkan donasinya. Hafs berkata, “Sebagai ganti 5 unta yang aku janjikan, aku membawa 6 ekor dan itu aku lakukan karena anak kecil dengan perilaku baik dan akhlak mulianya ini.”

Semua orang memandang Hafs dan Muhammad dengan keheranan dan bertanya-tanya apa yang telah dilakukan Muhammad sehingga Hafs bertutur kata dengan sangat sopan kepada Abdul Muttalib dan begitu cepat membawa sumbangannya.

Abdul Muttalib berkata, “Hafs! Semoga Allah swt memberikan balasan kebaikan kepadamu. Coba katakan kenapa engkau terlambat menyerahkan donasimu? Sebagian orang mengatakan bahwa engkau telah berlaku buruk terhadap beberapa orang yang mendatangimu sebelumnya dan bahkan engkau mengancam akan melaknat atau mematahkan kepala siapa saja yang datang kepadamu.”

Hafs menjawab, “Benar! Aku katakan bahwa aku akan mematahkan kepala atau melaknat siapa saja yang datang, akan tetapi sebenarnya aku bukan tipe orang seperti itu. Orang-orang itulah yang telah membuatku marah dan aku terpaksa berlaku demikian, bahkan aku berniat datang ke tempat ini untuk mengadukan mereka kepada Anda, namun hari ini Anda mengutus seseorang yang telah memberi pelajaran besar kepadaku. Demi diriku sendiri! Sepanjang umurku, aku belum pernah melihat akhlak pada diri siapapun sebaik akhlak Muhammad.”

“Jelaskan lebih detail apa yang telah terjadi!” sambung Abdul Muttalib penasaran.

Hafs bertutur, “Sebelumnya telah datang tiga orang; Hafid, Naim, dan Sami ke rumah untuk mengambil donasi yang harus aku berikan. Pertama, Hafid datang dan berteriak di hadapan wanita dan anak-anakku, “Hai orang yang tidak berperhitungan! Kenapa engkau tidak menepati janjimu? Kenapa engkau belum memberikan unta-untamu?” Aku pun marah dan memerintahkan kepada para pelayan untuk mengusirnya dari rumah.

Setelah itu Naim datang dan masuk rumah tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ia langsung ingin mengambil unta untuk dibawa pergi begitu saja.

Aku tanya, “Wahai Naim! Apa yang engkau lakukan?”

“Aku sedang mmengambil donasi untuk lembaga “Rifadah”, jawabnya.

Aku jawab, “Perbuatanmu ini sama dengan mencuri! Macam apa ini? Apakah Abdul Muttalib mengatakan supaya kamu melakukan hal ini? Bagaimanapun juga, aku pemilik rumah ini dan unta-unta ini milikku. Kamu tidak berhak melakukan itu.” Maka aku marah dan mengusirnya dari rumah.

Sedangkan Sami, ia lebih baik. Namun tetap tidak menanyakan alasanku belum menyerahkan sumbangan tahun ini. Aku ingin menjelaskannya, namun ia tidak mendengarkan ucapanku dan memotong pembicaraanku. Aku katakan kepadanya, “Kamu tahu apa? Sebelum aku mengusirmu dari rumah ini seperti Hafid dan Naim, pergilah!” Mereka membuatku marah. Percayalah bahwa perilaku mereka terhadapku sangat buruk.

Sementara Muhammad, meskipun masih kecil, pertama ia mengetuk pintu, mengucapkan salam dari luar rumah dan meminta izin untuk masuk.

Aku bertanya, “Siapa di luar itu?”

Ia menjawab, “Tamu, apakah Anda mengizinkanku masuk?”

Aku jawab, “Tamu menjadi kehormatan kami, silahkan masuk.” Ia masuk sambil tersenyum santun dan memulai pembicaraan dengan sangat sopan.

“Muhammad! Tidak biasanya engkau datang ke rumah kami, apa gerangan yang membawamu ke sini?” tanyaku.

Ia menjawab, “Aku datang ke hadapan Anda untuk dua urusan: Pertama, menyapa dan menanyakan kabar Anda. Kedua, aku membawa pesan yang harus aku sampaikan kepada Anda secara khusus empat mata.”

Maka aku menyuruh para pembantu dan keluarga yang berada di ruangan untuk keluar dan meninggalkan kami berdua. Ketika semua orang pergi, aku berkata, “Ayo katakan apa keperluanmu?”

Lalu ia berkata sambil menunjukkan wajah sungkan dan malu-malu, “Aku membawa sebuah pesan dari kakekku, Abdul Muttalib untuk Anda. Beliau menyampaikan salamnya kepada Anda dan berkata, “Musim haji semakin dekat, kebutuhan untuk para penziarah banyak sekali, sedangkan apa yang kita miliki sangat sedikit.” Bila menurut Anda baik dan tidak ada masalah, silahkan menunaikan kewajiban Anda. Dan bila ada halangan, silahkan Anda jelaskan supaya aku dapat menyampaikan jawaban Anda kepada kakekku.”

Aku katakan, “Tidak ada halangan untuk menunaikan kewajiban. Tunggulah sebentar! Aku akan menyiapkan donasi yang semestinya sudah harus aku serahkan.”

Wahai Abdul Muttalib! Meskipun Muhammad ini masih anak-anak, namun di hadapanku ia berperilaku seperti orang dewasa yang memahami kondisi. Ia mendengarkan seluruh ucapanku dan tidak menyela pembicaraanku. Maka aku segera mengambil bagian yang harus aku berikan dan berkata kepadanya, “Muhammad! Ini bagianku. Apakah engkau bisa membawanya sendirian?”

Muhammad menjawab, “Tidak, tapi Amir datang bersamaku untuk membantu. Selain itu, aku ingin menyampaikan sebuah usulan. Bila tidak keberatan atau pun merepotkan, sebaiknya Anda sendiri ikut datang bersama kami supaya harga diri dan kehormatan Anda tetap terjaga dan sekaligus menghilangkan kesalahpahaman yang terjadi.”

Dengan usulan ini, aku sendiri datang menyerahkan donasiku dan juga menjelaskan alasan keterlambatan ini.”

Maka merekahlah senyuman dari bibir Abdul Muttalib sambil berkata, “Ya, kita semua mengetahuinya. Muhammad sangat istimewa dan hanya satu di antara kita. Anak ini sejak kanak-kanak melakukan perbuatan seperti orang-orang dewasa. Semoga Allah swt menjaga Muhammad dan memberikan keberkahan kepadamu. Terima kasih Hafs, terima kasih!”

Nah, bagaimana adik-adik? Indah bukan akhlak Nabi kita tercinta, Muhammad saw.?

Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad


(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: