Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » “Proses Perdamaian” Itu Ilusi, Keputusan Trump Bak Neraka Itu Fakta

“Proses Perdamaian” Itu Ilusi, Keputusan Trump Bak Neraka Itu Fakta

Written By Unknown on Kamis, 14 Desember 2017 | Desember 14, 2017


Pelanggaran langsung terhadap hukum internasional bukanlah hal baru dalam hal kebijakan AS terhadap Israel. Namun yang baru adalah keputusan Trump yang provokatif, tak peduli dengan berbagai risiko dan jangkauannya yang luas.

Pengumuman Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan rencananya untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem tidak akan merusak usaha perdamaian, karena sebenarnya tidak ada upaya perdamaian yang sedang dilakukan.

Protes sudah dimulai, dan kemarahan meningkat tidak hanya di kalangan orang-orang Palestina tetapi juga di seluruh dunia Arab dan Muslim, di antara banyak pemerintahan termasuk sekutu utama AS, dan di antara orang-orang di seluruh dunia. Untuk memahami gerakan ini perlu dilihat dari dua perspektif yang berbeda.

Dilihat berdasarkan nilai yang kasat mata, pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibukota Israel mencerminkan kebutuhan Trump untuk menenangkan pendukung pendukung utamanya atas Israel, terutama bos kasino Sheldon Adelson, dan komponen Zionis Kristen dari basis evangelikal sayap kanannya.

Partisan Pro-Israel di Kongres mengusulkan sebuah undang-undang pada tahun 1995 yang memberikan mandat untuk pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem, namun diberikan jalan keluar bagi presiden –presiden dapat mengabaikan pemindahan tersebut jika keamanan nasional dipertaruhkan. Setiap presiden sejak saat itu telah memanfaatkan pengabaian tersebut -termasuk Donald Trump pada enam bulan yang lalu.

Para pendukung Israel di Kongres dapat menyalahkan presiden, namun Gedung Putih menghindar dengan menyatakan bahwa ancaman keamanan mencegah langkah tersebut dan semua orang merasa bahagia.

Namun komitmen kampanye Trump untuk pemindahan kedutaan itu lebih penting bagi pendukung yang lebih berpengaruh daripada yang terjadi pada presiden sebelumnya. Ditambah lagi kegagalan Trump untuk memenangkan legislatif (sampai bencana potensial baru-baru ini yang dikenal dengan “GOP Tax Scam”) menjadikan dia lebih memiliki insentif untuk mewujudkan janjinya di Yerusalem.

Trump menyebut langkah ini sebagai “pengakuan akan realitas.” Perlu dicatat bahwa itu adalah kebijakan AS sendiri –dukungan bagi Israel, miliaran dolar pajak AS dikirim ke militer Israel setiap tahun, menerima adanya permukiman Yahudi dengan menduduki wilayah Yerusalem Arab, perlindungan terhadap Israel di Perserikatan Bangsa-Bangsa- yang bertanggung jawab besar atas kenyataan itu.

Resolusi PBB yang membagi Palestina menjadi apa yang seharusnya sebagai (secara tidak adil) negara Yahudi dan negara Arab Palestina, juga mengakui sebuah status khusus bagi Yerusalem – yang tidak menjadi bagian dari kedua “negara” itu, melainkan menjadi corpus separatum, sebuah wilayah terpisah yang tetap berada di bawah kendali internasional.

Israel mengklaim Yerusalem Barat sebagai ibukotanya, dan pada tahun 1967 ketika secara ilegal menduduki bagian timur kota itu setelah Perang Enam Hari, ia mengumumkan aneksasi Yerusalem Arab dan secara paksa menyatukan kota tersebut sebagai ibukotanya. Tidak ada negara di dunia yang mengakui aneksasi tersebut, dan sejak saat itu, resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengikat secara hukum terus menegaskan kembali bahwa Yerusalem Timur tetap menjadi wilayah Palestina. Keputusan Trump ini bertentangan secara langsung dengan hukum internasional.

Namun, pelanggaran hukum internasional oleh AS mengenai Israel adalah cerita lama. Selama beberapa dekade sebelumnya AS telah menerima, mengakui, mengizinkan (walaupun terkadang secara retoris mengkritik) perluasan ilegal pemukiman kolonial Yahudi di Yerusalem Arab yang diduduki dan menyeberang ke Tepi Barat.

Beberapa dekade pelanggaran yang menguntungkan Israel terhadap resolusi PBB dan hukum internasional mengenai Yerusalem dengan miliaran dolar dukungan ekonomi dan militer telah dilakukan oleh AS. Memveto resolusi Dewan Keamanan yang mengecam pembangunan permukiman ilegal Israel di Yerusalem juga dilakukan.

Hal yang baru dari kebijakan Trump kali ini adalah sifat keputusan provokatif yang disengaja dan gegabah untuk menenangkan para pendonornya apa pun risikonya -risiko tanggapan kekerasan di seluruh dunia, apalagi risiko pelanggaran lebih lanjut terhadap hak-hak warga Palestina.

Yang tidak beresiko adalah peran Amerika Serikat sebagai perantara yang jujur ​​dalam mensponsori pembicaraan damai. Mengapa? Karena AS tidak pernah menjadi perantara yang jujur ​​dalam perundingan Israel-Palestina. Hal itu selalu terjadi, setidaknya salah satu negosiator AS mengakui, memainkan peran sebagai pengacara bagi Israel. Itu juga tidak mengubah apapun. Tidak ada negosiasi yang sedang berlangsung yang terancam dengan pembatalan.


Menabur Kekacauan dan Mengancam Lebih Banyak Perang di Seluruh Wilayah

Perspektif kedua jauh lebih berkaitan dengan situasi regional, dan kebijakan luar negeri anti-diplomasi yang menggerakan perang dari pemerintahan Trump. Selain tekanan dari pendonor, pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan ancaman untuk memindahkan kedutaannya, harus dilihat dalam konteks usaha yang dipimpin oleh menantu Trump, Jared Kushner untuk mengkonsolidasikan koalisi anti-Iran yang kuat di Timur Tengah yang seolah-olah merupakan musuh nyata bagi Israel dan Arab Saudi.

Trump telah memberkati Kushner sebagai orang utamanya dalam mencapai “kesepakatan akhir” Israel-Palestina. Ini bukanlah tentang sesuatu yang diklaim sebagai kepentingan perdamaian, namun merupakan rencana kolaboratif regional yang digagas oleh Kushner dan BFF barunya, Pangeran Mahkota Saudi Mohamed bin Salman, yang dikenal sebagai MBS.

Secara bersama-sama kedua pangeran mahkota tersebut, seolah-olah, berusaha membawa Israel dan Arab Saudi bergabung dalam aliansi baru yang terbuka melawan Teheran. Untuk melakukan normalisasi hubungan antara musuh-musuh yang nyata ini dan tidak berisiko kehilangan kekuasaan atau hal yang lebih buruk lagi, perlu mengubah retorika, bukan keadaan sebenarnya.

Dimasukkanlah apa yang disebut “pembicaraan baru Israel-Palestina”. Jika pangeran muda Saudi yang ambisius itu bisa meyakinkan mayoritas keluarga kerajaan dan setidaknya mayoritas warga Saudi bahwa pembicaraan baru ini berarti akhir dari konflik dan kita dapat menghentikan semua yang dikhawatirkan orang-orang Palestina, maka normalisasi hubungan dengan Israel tiba-tiba terliha lebih bisa diterima.

Kemitraan semacam itu menunjukkan peningkatan yang serius dalam ancaman perang -tidak hanya Amerika Serikat tapi Israel dan Arab Saudi, ditambah Yordania, UEA, Mesir dan banyak lagi, secara terbuka bersatu melawan Iran.

Seminggu sebelum pengumuman tentang Yerusalem ini, pemerintahan Trump mengancam untuk menutup kantor PLO di Washington kecuali orang-orang Palestina menerima persyaratan Washington untuk perundingan baru. Perundingan yang diperantarai AS ini akan didasarkan pada kondisi pelanggaran hak asasi manusia yang pro pemukiman yang tidak dapat diterima oleh pemimpin Palestina. Jika seorang pemimpin Palestina -kepala Otorita Palestina Mahmoud Abbas saat ini, atau pemimpin lain jika orang Saudi memaksa Abbas untuk berhenti karena mereka dilaporkan terancam -menerima sebuah kesepakatan yang melegitimasi kontrol permanen Israel terhadap tanah Palestina, Arab Saudi dapat dengan mudah masuk ke tempat yang nyaman untuk bermitra dengan mantan musuh mereka.

Waktunya tetap menjadi sebuah pertanyaan. Mengapa Kushner dan mertuanya membuat tujuan aliansi Israel-Saudi melawan Iran menjadi lebih sulit dengan langkah provokatif mengenai Yerusalem ini? Sebagian dari jawabannya berkaitan dengan keutamaan Israel atas Arab Saudi di dunia Kushner – terlepas dari kemarahannya baru-baru ini terhadap MSB.

Kushner telah menjadi pendukung pemukiman ilegal Israel selama bertahun-tahun; dalam perannya di salah satu yayasan keluarganya, dia membantu mengatur puluhan ribu dolar yang disumbangkan ke permukiman Israel. Menurut Newsweek:, “Yayasan tersebut menyumbangkan setidaknya $ 38.000 antara tahun tahun 2011 sampai 2013 ke sebuah kelompok penggalangan dana yang membangun sebuah seminari Yahudi di sebuah pemukiman di Tepi Barat yang dikenal sebagai Beit El. Selama periode tersebut, yayasan Kushner juga menyumbangkan tambahan $ 20.000 untuk institusi Yahudi dan pendidikan di pemukiman di seluruh wilayah itu, Associated Press melaporkan.”

Entah bagaimana, menantu Trump itu lupa menyebutkan transaksi tersebut saat dia mengisi laporan keuangan yang diperlukan untuk izin keamanan tingkat atasnya. Namun itu sesuai dengan suatu pola. Pada akhir tahun 2016, Kushner memerintahkan Michael Flynn, penasihat kebijakan luar negeri Trump untuk membujuk Rusia agar menunda pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang mendesak untuk mengkritik permukiman Israel. Presiden Obama telah memutuskan untuk abstain dan membiarkan resolusi tersebut lolos. Trump ingin orang-orang Rusia menunda pemungutan suara itu sehingga pemerintahan yang baru dapat memvetonya. Namun Moskow menolak untuk bermain bersama.

Jika Anda hanya mendengarkan retorika resmi dari kedua pemerintahan, sesuatu seperti aliansi Saudi-Israel tampaknya tidak terpikirkan. Namun ternyata banyak perkembangan “tak terpikirkan” di Timur Tengah yang bergejolak sebenarnya cukup bisa dipikirkan -meski biasanya ada harga yang harus dibayar.

Pengakuan Washington atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah dianggap sebagai ancaman selama bertahun-tahun terlepas dari hukum internasional. Pemerintah fundamentalis Saudi mempunyai semua hal kecuali untuk melakukan hubungan terbuka dengan Israel meski pelanggaran hak-hak Palestina terus berlanjut di Tel Aviv.

Pemimpin nasional mungkin membayar harga politik untuk pergerakan tersebut. Namun harga yang sebenarnya akan dibayar oleh rakyat Iran, yang kemungkinan akan menghadapi sanksi yang lebih melumpuhkan dan ancaman perang yang semakin meningkat; dibayar oleh orang-orang Yaman, yang mana perang Saudi yang didukung AS terus berlanjut dengan konsekuensi kemanusiaan yang mengerikan. Hal itu juga berpotensi dibayar oleh Lebanon, yang mana campur tangan Saudi kembali meningkat; dan seperti biasa dibayar oleh orang-orang Palestina, yang telah membayar harga untuk dukungan AS. terhadap pendudukan dan apartheid Israel selama lebih dari 70 tahun, dan baru saja terjual habis lagi.

Tidak ada pembicaraan damai Israel-Palestina yang sedang berlangsung yang mungkin terancam oleh pengakuan AS atas Yerusalem ini. Namun langkah tersebut tentu saja membuat perdamaian -atau keadilan- di manapun di wilayah yang dilanda perang ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.

Baca: https://www.commondreams.org/views/2017/12/06/no-peace-process-exists-destroy-trumps-jerusalem-decision-dangerous-hell

(Common-Dreams/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: